Saat kita mengarungi kehidupan di dunia yg fana inilah, selayaknya orang yg beriman terus-menerus berprasangka baik pada Allah. Rasulullah SAW senantiasa mendidik & mengarahkan para sahabat supaya berbaik sangka (ber-husnuzh-zhann) terhadap Allah SWT & manusia di sekitar mereka, semoga hati mereka tetap bersatu. Tiga hari menjelang wafat, Rasulullah SAW bersabda, ”Janganlah seseorang meninggal dunia, kecuali dlm kondisi berbaik sangka terhadap Allah SWT.” (HR Muslim).
Karena itu, pantaslah Allah berpesan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Artinya: “Wahai orang-orang yg beriman, jauhilah kebanyakan dr dugaan, sesungguhnya sebagian prasangka itu yakni dosa, & janganlah ananda mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS al-Hujurat [49]: 12).
Dikisahkan pada suatu malam, seorang sultan berjulukan Murad ar-Rabi (1623-1640) sedang ditimpa rasa bingung & gelisah yg sungguh mahir. Kepala sipir yg ada di sisinya sedari tadi mengamati kegelisahan sultannya memberi anjuran seraya berkata, “Barangkali sangat dibutuhkan jika tuan hendak turun melihat rakyat lagi!”
“Masuk nalar pula rekomendasi kepala sipir ini, jangan-jangan ada peristiwa sarat nasihat yg akan terjadi di balik kegelisahanku.” Batin sultan yg mempunyai kebiasaan menyambangi rakyatnya. Kemudian kepala sipir diminta untuk menemaninya.
Sepertinya kebiasaan sebelumnya, sultan sangat suka menyamar tatkala sedang turun melihat kondisi rakyat. Dalam perjalanan yg sudah tidak mengecewakan jauh & nyaris hingga pada sebuah perkampungan, di tengah-tengah jalan perbatasan kampung ia menyaksikan seorang tergeletak yg sudah tak bernyawa. Namun mirisnya satu orang pun yg berlalu lalang di sekelilingnya tak ada yg mengurus.
Kemudian sultan menanyakan mengenai seseorang yg tergeletak pada beberapa orang yg ada di sekeliling itu. Namun sebaliknya mereka menjawab dgn sinis. “Biarkan saja. ia orang fasik, peminum khamar, & penzina!”
“Wahai sipir, tolonglah orang itu dgn atas nama umat Nabi Muhammad Saw, antarkan mayit ini ke keluarganya sekarang!” ujar Murad ar-Rabi iba.
Lalu jenazah itu dibopong oleh sipir & dikirim oleh beberapa orang ke alamat yg dimaksud. Istrinya yg sudah menunggu di rumah menyambut dgn isak tangis yg penuh ketegaran & kesabaran menyaksikan suaminya sudah meninggal tanpa ada seorang yg mengurusnya.
Sestelah itu, semua pengantar bergegas pergi meninggalkan rumahnya & dlm hatinya tak ada keinginan untuk mengelola jenazah. Sang istri bertanya: “Mengapa kalian tak ikut serta meninggalkan kami mirip orang-orang itu, wahai wali Allah?”
Murad ar-Rabi terhenyak terkejut tatkala disebutkan wali Allah seraya bertanya: “Bagaimana kau-sekalian bisa menyebut kami wali Allah sedangkan orang-orang di luar sana menilai buruk & buruk pada mayat suamimu ini?”
Kemudian sang istri menceritakan awal mula sebelum suami meninggalkan selamanya. “Tidakkah kau-sekalian takut wahai suamiku, jikalau kau-sekalian terus melakukan amalanmu ini maka suatu dikala kamu-sekalian meninggal di tengah jalan & ketika itu pula tak ada satu orang pun yg peduli mengelola jenazahmu apalagi menshalatkanmu?”
Dijawablah oleh suamiku, “Wahai istriku, Allah Swt Maha Kuasa atas segala ciptaan-Nya. Janganlah kamu-sekalian khawatir bila itu akan terjadi, yg akan mengurus jenazahku nanti ialah wali Allah & penguasa di negeri ini. Bahkan para ulamanya pun yg akan menshalatkanku.”
Sang istri pun memperjelas mengenai amalan-amalan yg sudah dijalankan oleh suaminya semasa hidup. Amalan tersebut yakni:
- Suamiku memiliki kebiasaan membeli botol-botol minuman khamar, kemudian dibawanya pulang & kemudian ia pecahkan & membuangnya barang haram tersebut di selokan tanpa meminum maupun mencicipinya sedikitpun.
- Suamiku pergi ke tempat tinggal perempuan “bandel” seraya meminta untuk tak membukakan pintu bagi umat Nabi Muhammad Saw karena dosa pezina tergolong dosa besar. Dan membayarkan kompensasi seharga pria hidung belang.
Setelah mendengar cerita dr istri yg shalihah, Murad ar-Rabi yg bangkit terisak-isak berderai air mata seraya berkata, “Demi Allah, saya adalah sultan di negeri ini. Dan besuk akan saya perintahkan para ulama di negeri ini untuk menshalatkan suamimu itu.”
Subhanallah, kisah Murad ar-Rabi yg membangkitkan, memperlihatkan tauladan hasanah. Hendaknya seorang muslim tak liar dlm mempersangkakan orang lain di luar kita. Berbaik sangka pada Allah SWT merupakan kenikmatan yg paling agung.
Abu Hurairah RA meriwayatkan sabda Rasulullah SAW wacana kemuliaan berprasangka baik pada sang Khalik. ”Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman, Aku menurut dugaan hamba-Ku. Aku bersamanya saat ia mengenang-Ku. Jika ia mengingatku dlm kesendirian, Aku akan mengingatnya dlm kesendirian-Ku. Jika ia mengenang-Ku dlm keramaian, Aku akan mengingatnya dlm hiruk pikuk yg lebih baik daripada keramaiannya. Jika ia mendekat terhadap-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat terhadap-Ku sehasta, Aku akan mendekat kepadanya se depa. Jika ia datang terhadap-Ku dgn berjalan, Aku akan datang kepadanya dgn berlari.” (HR Bukhari & Muslim).
Karena prasangka baik terdapat pesan tersirat yg menarik. Berbaik sangka mendekatkan kita pada yg Maha Esa. Sebaliknya, berprasangka buruk menciptakan kita terpuruk. Berburuk sangka menyebabkan setan berkuasa di hati kita.
Wallahu A’lam.