Manusia selaku makhluk hidup dan makhluk sosial membutuhkan intraksi dengan sesamanya. Selain intraksi tersebut, insan juga membutuhkan sumberdaya dalam hidup atau yang lebih biasa disebut dengan harta. Dengan harta yang dimiliki menjadi seseorang mampu memenuhi keperluan dirinya dan keluarganya. Perpindahan harta dari satu kepemilikan pada kepemilikan lainnya banyak proses macamnya, diantaranya yaitu Hibah.
Daftar Isi
Devinisi Hibah
Hibah dalam Kitab Fathul Qorib didevinisikan sebagai bentuk pemberian hak milik barang selamanya dikala masih hidup tanpa imbalan. Indikatornya yakni setiap barang yang boleh diperjualbelikan maka boleh juga untuk dihibbahkan. Dalam devinisi lain hibbah juga diartikan selaku memberikan kepemilikan suatu benda secara eksklusif dan dimutlakkan dikala masih hidup tanpa meminta imbalan balik, walaupun kepada orang yang lebih tinggi derajatnya. Kata “secara pribadi” dan “dikala masih hidup” mengecualikan wasiat, sebab wasiat menanti meninggalnya orang yang memperlihatkan wasiat untuk terlaksananya perpindahan kepemilikan harta tersebut.
Dalam Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah Hibah memiliki pemahaman berikut ini :
الْهِبَةُ لُغَةً : الْعَطِيَّةُ الْخَالِيَةُ عَنِ الأْعْوَاضِ وَالأْغْرَاضِ ، أَوِ التَّبَرُّعُ بِمَا يَنْفَعُ الْمَوْهُوبَ لَهُ مُطْلَقًا . وَهِيَ شَرْعًا : تَمْلِيكُ الْعَيْنِ بِلاَ عِوَضٍ
Artinya, “Hibah secara bahasa adalah santunan terlepas dari imbalan dan tujuan terntentu, atau bisa bantuan dengan secara cuma-hanya sesuatu yang bermanfaat bagi pihak akseptor hibah secara mutlak. Sedang berdasarkan syara’, hibah adalah mengalihkan hak kepemilikan sebuah benda terhadap pihak lain dengan tanpa imbalan,” (Lihat Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Salasil: tanpa keterangan tahun], juz I, halaman 144)
Kata hibah berasal dari bahasa Arab dari kata (الهِبَةُ). Diantaranya penggunaan kata ini dalam Al Qur’an yaitu pada Surah Maryam ayat 5 dan 6 sebagai berikut,
وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا ﴿٥﴾ يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ ۖ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا
Artinya: Dan sebetulnya saya cemas kepada mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari segi Engkau seorang putra yang mau mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya´qûb; dan jadikanlah ia, ya Rabbku, seorang yang diridhai [Maryam/19:5-6].
Hukum Hibah
Pemberian hibah sangat direkomendasikan oleh syariat, karena dalam hibah terkandung nilai sosial saling memberi antar sesama insan, mengeratkan tali silaturrahmi. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Syyidah ‘Aisyah rs, istri Rasulullah SAW selaku berikut,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ (تهادوا تحابوا)
Hal itu juga seirama dengan hadis riwayat Abdullah bin Umar ra,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم (الراحمون يرحمهم الله، ارحموا من في الارض يرحمكم من في السماء، الرحم شجنة من الرحمن، فمن وَصَلَهَا وَصَلَهُ اللَّهُ، وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعَهُ اللَّهُ)
Perbedaan Hibah, Hadiah, dan Shodaqah
Hibah berbeda dengan kado dan shodaqah, hal tersebut sebagaimana penjelasan oleh Ibnu Utsaimin dalam Ta’liqnya ia mengemukakan bahwa “Sedekah yaitu pertolongan yang orientasinya yakni akhirat alias pahala dan ganjaran di darul baka. Sedangkan kado yaitu pertolongan yang maksudnya yakni menjangkau simpati dan rasa suka pihak yang diberi terhadap pihak yang memberi. Adapun hibah adalah santunan yang tujuannya adalah memberi manfaat kepada pihak yang diberi dengan “menutup mata” apakah akan mendapatkan pahala di akhirat ataukah tidak dan apakah akan mendapatkan simpati dari pihak yang diberi ataukah tidak.”
Dalam arti lain, hibah tidak menggantungkan prosesnya pada pengharapan pahala dan simpati terhadap yang diberi hibah.
Rukun Hibah
Rukun hibah ada 4 (empat), yakni : 1) Pemberi Hibah, 2) Penerima Hibah, 3) Barang yang dihibahkan, dan 4) Shighat Hibah. Seorang yang menunjukkan hibah disyaratkan harus memenuhi beberapa kreteria berikut : Pertama, Pemberi ialah seorang yang merdeka bukan berstatus budak, alasannya perlindungan yang dilakukan oleh budak tidaklah sah alasannya beliau dan semua yang berada dalam kepemilikannya pada hakikatnya yakni milik tuannya. Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, “Seorang hamba sahaya dihentikan memberi hibah kecuali dengan izin tuannya, alasannya ia yakni milik tuannya. Diperbolehkan bagi sang budak mendapatkan hibah tanpa izin tuannya.” (al-Mughni 8/256). Kedua, Pemberi Hibah harus seorang yang berilmu dan tidak sedang dilikuidasi (al-hajr) karena kurang akal atau gila. Ketiga, Pemberi telah meraih usia baligh. Dan Keempat, Pemberi yakni pemilik sah barang yang dihibahkan (diberikan).
Orang yang menerima hibah tidak terdapat syarat khusus, hibah mampu saja diberikan terhadap siapapun dengan beberapa pengecualian, diantaranya yaitu kalau hibah kepada anak di bawah umur atau orang yang tidak waras akal pikirannya, maka harus diserahkan terhadap wali atau pengampu yang sah dari mereka.
Barang yang dihibahkan (al-Mauhuub) mesti jelas ada pada dikala dihibahkan. Akad hibah tersebut dinyatakan tidak sah, kalau ketika proses hibah, barang yang dihibahkan tidak ada. Semisal menghibahkan buah kebun yang akan ada dan berbuah tahun depan atau janin hewan yang belum ada.
Shighat, menurut para Ulama fikih ada dua jenis yakni shighat perkataan (lafazh) yang dinamakan ijab dan qabul dan shighat tindakan mirip penyerahan tanpa ada ijab dan qabul. Para Ulama fikih sepakat ijab dan qabûl dalam hibah itu mu’tabar (dipertimbangkan), tetapi mereka bertikai perihal shighat tindakan atau al-mu’athah dalam dua pendapat. Dalam hibah mesti ada ijab dan qabul, sebab hibah ialah sumbangan kepemilikan dari seseorang terhadap orang lain sebagaimana perdagangan dan nikah. Hal ini sebagaimana klarifikasi dalam kitab Al Muhaddzab dalam bab Hibah,
فصل: ولا تصح إلا بالإيجاب والقبول لأنه تمليك آدمي فافتقر إلى الإيجاب والقبول كالبيع والنكاح ولا يصح القبول إلى على الفور وقال أبو العباس يصح على التراخي والصحيح هو الأول لأنه تمليك مال في حال الحياة فكان القبول فيه على الفور كالبيع.
Hibah Pada Non Muslim
Semua klarifikasi diatas selanjutnya kadang dipertanyakan status aturan hibah terhadap Non Muslim. Dalam menjawab pertanyaan ini, maka berikut persepsi Ali As-Saghdi yang ialah seorang ulama dari kelompok Madzhab Hanafi yang berpendapat boleh saja jika seorang Muslim memperlihatkan hibah terhadap non-Muslim. Hal ini sebagaimana klarifikasi beliau selaku berikut,
وَاَمَّا هِبَةُ الْمُسْلِمِ لِلْكَافِرِ فَجَائِزَةٌ يَهُودِيًّا كَانَ اَوْ نَصْرَانِيًّا اَوْ مَجُوسِيًّا اَوْ مُسْتَأْمَنًا فِي دَارِ الْاِسْلَامِ
Artinya, “Adapun hibah orang Muslim terhadap orang kafir itu boleh, baik orang kafir tersebut yaitu orang Yahudi, Katolik, Majusi, atau kafir musta`man di negara Islam,” (Lihat Ali As-Saghdi, An-Nutaf fil Fatawi, [Beirut, Muassatur Risalah: 1404 H/1984 M], halaman 520).
Pandangan di atas mesti dimengerti dalam masalah disaat apa yang dihibahkan itu memang mampu dimiliki oleh non-Muslim. Kebolehan berhibah tersebut setidaknya didasarkan salah satunya kepada firman Allah SWT ayat 8 Surat Al-Mumtahanah berikut,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangimu alasannya agama, dan tidak (pula) menghalau kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil,” (Surat Al-Mumtahanah ayat 8).
Menurut Al-Kawasy—sebagiamana dikemukakan Ibnu Ajibah—ayat tersebut turun selaku bentuk rukhshah atau keringan kebolehan menjalin bekerjasama dengan banyak sekali pihak yang memusuhi dan memerangi kaum Mukmin. Menurutnya, ayat tersebut juga menunjukkan kebolehan berhubungan dan berbuat kebaikan kepada orang-orang non-Muslim yang tidak memerangi umat Islam, kendati loyalitas di antara mereka (non-Muslim) masih tetap berpengaruh.
قَالَ الْكَوَاشِيُّ : نُزِلَتْ رُخْصَةً فِي صِلَةِ الَّذِينَ لَمْ يُعَادُوا الْمُؤْمِنِينَ وَلَمْ يُقَاتِلُوهُمْ . ثُمَّ قَالَ : وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ دَلَالَةٌ عَلَى جَوَازِ صِلَةِ الْكُفَّارِ، اَلَّذِينَ لَمْ يَنْصُبُوا لِحَرْبِ الْمُسْلِمِينَ ، وَبِرِّهِمْ ، وَإِن انْقَطَعَتِ الْمُوَالَاةُ بَيْنَهُمْ.
Artinya: “Al-Kawasi berkata, ‘Bahwa ayat ini diturunkan terkait kebolehan (rukhshah/dispensasi) menyambung tali silaturahmi dengan orang-orang yang tidak memusuhi dan memerangi kaum mukmin.’ Kemudian dia berkata, ‘Ayat ini menawarkan kebolehan bersilaturahmi dan berbuat kebajikan kepada orang-orang kafir yang memerangi kaum Muslim, dan meski loyalitas di antara mereka tetap kuat,’” (Lihat Ibnu ‘Ajibah, Al-Bahrul Madid, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1423 H/2002 M], cetakan kedua, juz VIII, halaman 37).
Larangan Menarik Kembali Hibah
Rasulullah SAW melarang untuk menarik kembali hibah yang sudah diberikan terhadap seseorang. Hal tersebut disebabkan sebuah barang yang dihibahkan secara otomatis berpindah hak kepemilikannya kepada orang yang diberikan, sehingga perbuatan mengambil kembali barang hibah itu, sedikit banyaknya akan menciptakan hati saudaranya tersakiti. Di sini syariat islam dengan segala hikmahnya hendak menutup kemungkinan tersakitinya hati seorang muslim yang mampu berakibat putusnya tali silaturahim dan ukhuwah mereka.
Dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan orang yang mengambil kembali hibahnya menyerupai orang yang menelan kembali muntahnya.” (HR Bukhari nomor 2621 dan Muslim nomor 1622).
Di dalam riwayat yang yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
العَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ.
Artinya: “Perumpamaan orang yang mengambil kembali hibahnya mirip seekor anjing yang muntah kemudian menelan kembali muntahnya.” (HR Bukhari nomor 2589 dan Muslim nomor 1622).
Pelarangan tersebut tidak berlaku terhadap tunjangan orang renta kepada anaknya, Orang renta yang menghibahkan seseuati pada anaknya sewaktu-waktu bisa di batalkan dan ditarik kembali. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW selaku berikut,
لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً أَوْ يَهَبَ هِبَةً فيَرْجِعَ فِيْهَا، إِلَّا الوَالِدَ فِيْمَا يُعْطِي وَلَدَهُ.
Artinya: “Tidak halal bagi seorang pria memberi hadiah atau hibah lalu memintanya kembali, kecuali hadiah yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya.”
Hadis tersebut diperinci dengan klarifikasi dalam kitab Nihayatul Muhtaj selaku berikut,
(وَلِلْأَبِ الرُّجُوعُ فِي هِبَةِ وَلَدِهِ) عَيْنًا بِالْمَعْنَى الْأَعَمِّ الشَّامِلِ لِلْهَدِيَّةِ وَالصَّدَقَةِ عَلَى الرَّاجِحِ، بَلْ يُوجَدُ التَّصْرِيحُ بِذَلِكَ فِي بَعْضِ النُّسَخِ، وَلَا يَتَعَيَّنُ الْفَوْرُ بَلْ لَهُ ذَلِكَ مَتَى شَاءَ وَإِنْ لَمْ يَحْكُمْ بِهِ حَاكِمٌ أَوْ كَانَ الْوَلَدُ فَقِيرًا صَغِيرًا مُخَالِفًا دِينًا لِخَبَرِ «لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً، أَوْ يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ فِيهَا إلَّا الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَهُ» وَاخْتَصَّ بِذَلِكَ لِانْتِفَاءِ التُّهْمَةِ فِيهِ، إذْ مَا طُبِعَ عَلَيْهِ مِنْ إيثَارِهِ لِوَلَدِهِ عَلَى نَفْسِهِ يَقْضِي بِأَنَّهُ إنَّمَا رَجَعَ لِحَاجَةٍ أَوْ مَصْلَحَةٍ، وَيُكْرَهُ الرُّجُوعُ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ، فَإِنْ وُجِدَ كَكَوْنِ الْوَلَدِ عَاقًّا، أَوْ يَصْرِفُهُ فِي مَعْصِيَةٍ أَنْذَرَهُ بِهِ، فَإِنْ أَصَرَّ لَمْ يُكْرَهْ كَمَا قَالَاهُ، وَبَحَثَ الْإِسْنَوِيُّ نَدْبَهُ فِي الْعَاصِي، وَكَرَاهَتَهُ فِي الْعَاقِّ إنْ زَادَ عُقُوقُهُ، وَنَدْبَهُ إنْ أَزَالَهُ، وَإِبَاحَتَهُ إنْ لَمْ يَفْدِ شَيْئًا.
وَالْأَذْرَعِيُّ عَدَمُ كَرَاهَتِهِ إنْ احْتَاجَ الْأَبُ لِنَفَقَةٍ أَوْ دِينٍ، بَلْ نَدَبَهُ حَيْثُ كَانَ الْوَلَدُ غَيْرَ مُحْتَاجٍ لَهُ، وَوُجُوبُهُ فِي الْعَاصِي إنْ غَلَبَ عَلَى الظَّنِّ تَعَيُّنُهُ طَرِيقًا إلَى كَفِّهِ عَنْ الْمَعْصِيَةِ.