Konsep Konstitusionalisme, Pemisahan Kekuasaan, Dan Checks And Balances System
Adagium dari Lord Acton yang menyatakan bahwa absolutely power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely rupanya telah disadari jauh sebelum terkenalnya adagium tersebut dan hingga saat ini adagium tersebut tetap kasatmata. Kenyataan sejarah mengajarkan bahwa kekuasaan Negara yang tidak dikelola dan dibatasi akan condong mengarah pada otoriterisme atau bahkan totaliterisme. Keinginan untuk membatasi kekuasaan agar tidak disalahgunakan mampu tampakdari perkembangan rancangan negara. Konsep social contract menjelma desain negara penjaga malam (nachtwacherstaat) yang kemudian meningkat lagi menjadi rancangan negara kesejahteraan (welfaresate). Pembatasan kekuasaan dalam negara perlu diwujudkan dalam bentuk aturan, oleh alasannya itu lahirlah desain negara hukum. Perkembangan lebih lanjut dari desain negara aturan yakni desain negara (hukum) konstitusi. Konsep terakhir ini lebih menawarkan jaminan akan adanya pemisahan kekuasaan yang dituangkan dalam bentuk konstitusi tertulis. Tulisan ini mencoba untuk mengungkapkan benang merah antara rancangan konstitusionalisme, pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan checks and balances system serta bagaimana ketiga konsep tersebut diimplementasikan dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.
1. Konsep Konstitusionalisme
Untuk mampu mengetahui apa yang dimaksud dengan rancangan konstitusionalisme, maka perlu apalagi dulu memahami apa yang dimaksud dengan konstitusi. Konstitusi secara harfiah berarti pembentukan. Kata konstitusi sendiri berasal dari bahasa Perancis yakni constituir yang memiliki arti membentuk. Dalam bahasa latin, istilah konstitusi merupakan campuran dua kata adalah cume dan statuere. Bentuk tunggalnya contitutio yang bermakna menetapkan sesuatu secara gotong royong dan bentuk jamaknya constitusiones yang bermakna segala sesuatu yang sudah ditetapkan.
Ada beberapa pengertian perihal konstitusi diantaranya adalah pemahaman yang diberikan berdasarkan James Bryce (C.F. Strong, 1966:11) ialah constitution is a collection of principles according to which the powers of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted. Suatu konstitusi setidaknya mengatur perihal banyak sekali institusi kekuasaan yang ada dalam negara, kekuasaan yang dimiliki oleh institusi-institusi tersebut, dan dalam cara mirip apa kekuasaan tersebut dijalankan. Dengan demikian secara sederhana yang menjadi objek dalam konstitusi yaitu pembatasan terhadap tindakan pemerintah, hal ini ditujukan untuk memberikan jaminan kepada hak-hak warga negara dan menjabarkan bagaimana kedaulatan itu dilaksanakan.
Mengenai peranan konstitusi dalam negara, C.F Strong (1966:12) mengibaratkan konstitusi selaku tubuh insan dan negara serta badan politik sebagai organ dari badan. Organ badan akan bekerja secara serasi jika badan dalam keadaan sehat dan sebaliknya. Negara ataupun tubuh-badan politik akan melakukan pekerjaan sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam konstitusi.
Berdasarkan pemahaman dan peranan konstitusi dalam negara tersebut maka yang dimaksud dengan rancangan konstitusionalisme yakni rancangan tentang supremasi konstitusi. Adnan Buyung Nasution (Negara Hukum Konstitusionalisme, 1995:111) menyatakan bahwa konstitusi ialah hukum main tertinggi dalam negara yang wajib dipatuhi baik oleh pemegang kekuasaan dalam negara maupun oleh setiap warga negara.
Louis Henkin (2000) menyatakan bahwa konstitusionalisme memiliki bagian-unsur selaku berikut: (1) pemerintah menurut konstitusi (government according to the constitution); (2) pemisahan kekuasaan (separation of power); (3) Kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang demokratis (sovereignty of the people and democratic government); (4) Riview atas konstitusi (constitutional review); (5) Independensi kekuasaan kehakiman (independent judiciary); (6) Pemerintah yang dibatasi oleh hak-hak individu (limited government subject to a bill of individual rights); (7) Pengawasan atas kepolisian (controlling the police); (8) Kontrol sipil atas militer (civilian control of the military); and (9) Kekuasaan negara yang dibatasi oleh konstitusi (no state power, or very limited and strictly circumscribed state power, to suspend the operation of some parts of, or the entire, constitution).
Kesembilan elemen dari konstitusi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yang berhubungan dengan fungsi konstitusi selaku berikut:
1. membagi kekuasaan dalam negara adalah antar cabang kekuasaan negara (khususnya kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif) sehingga terwujud tata cara checks and balances dalam penyelenggaraan negara.
2. menghalangi kekuasaan pemerintah atau penguasa dalam negara. Pembatasan kekuasaan itu meliputi dua hal: isi kekuasaan dan waktu pelaksanaan kekuasaan. Pembatasan isi kekuasaan mengandung arti bahwa dalam konstitusi diputuskan tugas serta wewenang lembaga-forum negara.
2. Konsep Pemisahan Kekuasaan (The Separation of Power) Dalam Negara
Premis yang ada dibalik pemisahan kekuasaan ialah kekuasaan akan membahayakan bagi warga negara bila kekuasaan yang besar tersebut dimiliki oleh orang perorangan maupun kelompok. Pemisahan kekuasaan adalah suatu metode memindahkan kekuasaan ke dalam kalangan-kalangan, dengan demikian akan menjadi lebih sulit untuk disalahgunakan.
Menurut Jimly Asshiddiqie (2000:2), konsep pemisahan kekuasaan secara akademis mampu dibedakan antara pemahaman sempit dan pengertian luas. Dalam pengertian luas, rancangan pemisahan kekuasaan (separation of power) mencakup pemahaman pembagian kekuasaan yang umum disebut dengan perumpamaan division power(distribution of power). Pemisahan kekuasaan merupakan konsep hubungan yang bersifat horizontal, sedangkan rancangan pembagian kekuasaan bersifat vertikal. Secara horizontal, kekuasaan negara mampu dibagi ke dalam beberapa cabang kekuasaan yang dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga negara tertentu, ialah legislatif, administrator, dan judikatif. Sedangkan dalam konsep pembagian kekuasaan (distribution of power atau division of power) kekuasaan negara dibagikan secara vertikal dalam hubungan “atas-bawah”.
Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang mengadaptasi sistem pemisahan kekuasaan. Kekuasaan dibedakan atas tiga kalangan kekuasaan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga cabang kekuasaan tersebut dibedakan menurut kekuasaan yang mereka miliki. Kekuasaan legislatif mempunyai kemampuan untuk memutuskan hukum. Kekuasaan administrator memiliki kemampuan untuk melihat penegakan aturan. Kekuasaan Judikatif memiliki kemampuan untuk menciptakan keputusan serta menjatuhkan sanksi. Secara historis konsep pemisahan kekuasaan ini mengacu kepada Masa Yunani Kuno. Konsep tersebut diperbaiki oleh para pembentuk negara dan perbaikan tersebut mensugesti pembentukan tiga cabang kekuasaan dalam konstitusi. Aristotetes lebih cenderung kepada bentuk pemerintahan campuran yang terdiri atas monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Dalam pandangan Aristoteles jikalau cuma mengacu pada satu rancangan saja maka tidak tercapai sebuah keadaan yang ideal, namun gabungan dari hal-hal yang terbaik dari ketiga desain tersebut akan lebih mendekati ideal. Tahun 1656 James Harrington memperbaharui ketiga desain tersebut dan mengajukan sebuah sistem yang menurut pemisahan kekuasaan. John Locke, ditahun 1690, memisahkan kekuasaan-kekuasaan negara ke dalam eksekutif dan legislatif. Montesqieu, di tahun 1748, mempunyai semangat aturan untuk berbagi aliran Locke, dengan menyertakan komponen judikatif. Pembentuk konstitusi Amerika Serikat mengambil keseluruhan ide Montesqieu dan mengkonversi teori-teori tersebut ke dalam aplikasi yang simpel
3. Konsep Checks and Balances System
Check and balances system yakni tata cara dimana orang-orang dalam pemerintahan dapat menangkal pekerjaan pihak yang lain dalam pemerintahan jika mereka meyakini adanya pelanggaran terhadap hak. Pengawasan (checks) selaku bagian dari checks and balances yaitu sebuah langkah maju yang sempurna. Mencapai keseimbangan lebih susah untuk diwujudkan. Gagasan utama dalam checks and balances ialah upaya untuk membagi kekuasaan yang ada ke dalam cabang-cabang kekuasaan dengan tujuan mencegah dominannya suatu kelompok. Bila seluruh ketiga cabang kekuasaan tersebut memiliki checks kepada satu sama lainnya, checks tersebut dipergunakan untuk menyeimbangkan kekuasaan. Suatu cabang kekuasaan yang mengambil terlampau banyak kekuasaan dibatasi melalui tindakan cabang kekuasaan lainnya. Checks and Balances diciptakan untuk menghalangi kekuasaan pemerintah. Hal tersebut dapat tercapai dengan men-split pemerintah dalam golongan-kalangan persaingan yang dapat secara aktif membatasi kekuasaan kelompok yang lain. Hal ini akan berakhir jikalau ada suatu kalangan kekuasaan yang menjajal untuk menggunakan kekuasaannya secara ilegal.
Contoh sederhana dari konsep ini ialah hak veto yang dimiliki oleh Presiden Amerika Serikat. Presiden mempunyai kekuasaan yang signifikan kepada legislatif, yang memungkinkan presiden untuk menuntut bagian tertentu dalam meloloskan desain undang-undang atau bahkan mem-veto nya. Hasilnya adalah presiden mampu bekerja sama dengan legislatif untuk mengembangkan kekuasaan federal, dan selaku perayaan kepada legislatif untuk tidak melakukan langkah-langkah preventif untuk memperluas kekuasaannya.
Implementasi Konsep Pemisahan Kekuasaan dan Checks and Balances System dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945
1. Pergeseran Terhadap Teori Montesqiue Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
Gagasan dasar dari konstitusionalisme yakni pemisahan kekuasaan biar tidak terjadi adanya dominasi kekuasaan. Pemisahan kekuasaan tergambarkan dengan besar lengan berkuasa dengan adanya pembagian kekuasaan menjadi tiga cabang kekuasaan, sebagaimana yang dijabarkan oleh Montesquieu, adalah kekuasaan direktur, legislatif, dan yudikatif. UUD 1945 tidak melakukan pemisahan secara tegas terhadap ketiga cabang kekuasaan tersebut.
Berkaitan dengan problem checks and balances, Undang-undang Dasar 1945 (pra amandemen) dipandang mengandung kekurangan pengaturan perihal hal tersebut. Pengaturan perihal checks and balances dianggap tidak mencukupi. Sistem checks and balances dibutuhkan untuk merealisasikan tatanan penyelenggaraan negara yang memberi kewenangan antarn cabang kekuasaan negara (legislatif, direktur, yudikatif) untuk saling menertibkan dan menyeimbangankan pelaksanaan kekuasaannya masing-masing. Dengan demikian mampu dihindarkan penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang-cabang kekuasaan negara. Konstruksi dasar dari Undang-undang Dasar 1945 terlalu menitikberatkan pada executive heavy, presiden menerima takaran kekuasaan yang besar dibandingkan cabang-cabang kekuasaan lainnya, sehingga kekuasaan eksekutif tidak mampu dikelola oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Ketidaksederajatan antara cabang-cabang kekuasaan negara tidak memberikan daerah bagi mekanisme kendali diantara cabang-cabang kekuasaan tersebut (checks and balances system);
Kelemahan-kelemahan yang ada dalam Undang-undang Dasar 1945 dan terbukanya kemungkinan untuk melakukan pergeseran (amandemen) yang ada dalam Pasal 37 mendorong dilakukannya pergantian terhadap undang-undang dasar ini. Amandemen terhadap UUD 1945 menjinjing perubahan yang cukup fundamental kepada pembagian kekuasaan dalam negara. Terjadi pergeseran terhadap pembagian kekuasaan, dari pembagian kekuasaan berdasarkan teori montesqiue (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) menjadi enam cabang kekuasaan, yakni:
1. kekuasaan direktur/Pemerintahan Negara (vide Pasal 4 ayat (1) UUD RI 1945)
2. Kekuasaan legislatif (vide Pasal 20 ayat (1) UUD RI 1945)
3. Kekuasaan yudikatif/kehakiman (vide Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar RI 1945)
4. Kekuasaan auditif (vide Pasal 23E UUD RI 1945)
5. Kekuasaan moneter (vide Pasal 23d UUD RI 1945)
6. konstitutif (vide Pasal 3 Undang-Undang Dasar RI 1945)
2. Checks and Balances Sytems Dalam Amandemen UUD 1945
Check and balances ialah salah satu dari delapan paradigma pergantian terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan paradigma UUD ini harus membawa perubahan pola pikir, pergeseran kultur dari seluruh abdnegara negara serta perubahan berbagai peraturan perundang-ajakan yang tidak lagi sesuai dengan banyak sekali paradigma gres ini.
3. Checks and Balances dan Pengaturan Terhadap Lembaga Negara
Dalam studi hukum maupun politik di Barat, lembaga-lembaga negara atau alat-alat perlengkapan negara disebut branches of government, arms of the state, maupun organs of the state. Keberadaan alat-alat peralatan negara merefleksikan pemisahan kekuasaan negara yang dikontrol di dalam konstitusi.
Istilah “forum-forum negara” tidak dijumpai dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kenyataan tersebut berbeda dari Konstitusi RIS 1949, yang secara eksplisit menyebut President menteri-menteri, Senat, Dewan Perwakilan Rakyat (dewan perwakilan rakyat), Mahkamah Agung (MA), dan Dewan Pengawas Keuangan selaku “alat-alat perlengkapan negara RIS”(Konstitusi RIS 1949 Bab III). UUDS 1950 juga memastikan bahwa “alat-alat perlengkapan negara” mencakup Presiden dan Wakil Presiden (Wapres), menteri-menteri, dewan perwakilan rakyat, MA, dan Dewan Pengawas Keuangan (UUDS 1950 Pasal 4)
Istilah yang digunakan dalam UUD 1945 pra-amandemen yakni “penyelenggara pemerintah negara” (Presiden), “penyelenggara negara” (MPR) atau “badan” (MPR dan DPA) (vide klarifikasi Undang-Undang Dasar 1945 pra amandemen), sedangkan di dalam teks Undang-Undang Dasar 1945 dipakai perumpamaan “tubuh negara”(Pasal II Aturan Peralihan). Istilah “forum-lembaga negara” dikukuhkan penggunaannya dalam Ketetapan No. XX/MPRS/1966 (lihat TAP MPR No. VI/MPR/1976 dan TAP MPR No. III/MPR/1978). Lembaga-lembaga negara yang dimaksud yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (dewan perwakilan rakyat), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Presiden, Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Mahkamah Agung (MA). Sekarang, pasca-amandement ditemui ungkapan “alat Negara” untuk TNI dan POLRI (vide Pasal 30 ayat (3) dan ayat (4) UUD RI), sedangkan perumpamaan “lembaga negara” dijumpai di dua kawasan tanpa kejelasan maksud (vide Pasal 24-c ayat (1) dan Pasal I Aturan Peralihan UUD RI).
Pada prinsipnya pemisahan dan perimbangan kekuasaan negara tercermin dalam keberadaan lembaga-lembaga negara. Tapi praktik negara-negara moderen sudah memodifikasi dan merevisi teori-teori pemisahan kekuasaan negara yang konvensional, seperti trias politica. Indonesia pasca-amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (tahun 1999 -2002) juga mengalami perubahan yang mendasar ini.
Dapat dikatakan bahwa reformasi politik yang berjalan sejak 1998 dan diikuti dengan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah menghasilkan reformulasi checks and balances (perumusan kembali contoh hubungan antar-lembaga negara). Hal ini terkait dengan redistribusi kekuasaan dan restrukturisasi forum-lembaga negara.
Jika terjadi sengketa antar-forum negara (di tingkat pusat, atau antara pusat dan daerah, atau antar-forum daerah), bukan MPR atau MA yang menyelesaikannya melainkan MK. Terdapat dua hal yang belum terang: (a) apa yang dimaksud dengan “sengketa kewenangan konstitusional” tersebut; (b) bagaimana prosedur tersebut hendak ditempuh. Di sisi lain, soal kesesuaian Perda dengan undang-undang diuji oleh MA.
Anatomi pemisahan kekuasaan dan restrukturisasi lembaga negara pasca-amandemen UUD 1945, secara horizontal, terdiri atas: dewan legislatif bikameral yang asimetrik (dewan perwakilan rakyat dan DPD); direktur yang dipimpin oleh Presiden yang diseleksi secara pribadi oleh rakyat; kekuasaan legislatif yang melibatkan tiga lembaga (Presiden, dewan perwakilan rakyat dan DPD) namun didominasi oleh dewan perwakilan rakyat dan Presiden; kekuasaan kehakiman (judicial powers) yang tidak lagi monolitik (alasannya ada Mahkamah Konstitusi); forum audit keuangan negara (BPK) didampingi bank sentral yang independen KPKPN, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; serta aneka macam state auxiliaries (mirip Komisi Yudisial dan Komisi Pemilihan Umum). Tampak pula kedudukan dan tugas dewan perwakilan rakyat yang mengemuka. Dapat dikatakan, amandemen UUD 1945 sudah menghasilkan konstitusi dan struktur kenegaraan yang bersifat DPR-legislative heavy dan bukan lagi “MPR heavy.”