Pasal-pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana dan undang-undang pidana yang dibuat oleh pemerintah tidak didapatkan perihal definisi ihwal delik dan pertanggungjawaban pidana. Tiap-tiap pasal undang-undang tersebut menguraikan komponen-komponen delik yang berlawanan-beda. Di dalam pasal-pasal KUHP Buku II dan III ditemukan komponen-bagian delik dan bagian pertanggungjawaban pidana bercampur baur sehingga para ahlilah yang membedakan bagian-unsur keduanya. Jelaslah bahwa pembuat kitab undang-undang hukum pidana menggunakan persepsi monistis tentang delik, sehingga dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat pemidanaan dipersamakan dengan delik.
Pandangan Monistis
Pandangan monistis yakni sebuah persepsi yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa didalam pemahaman perbuatan atau tindakan melawan hukum telah tercakup didalamnya perbuatan yang tidak boleh (Actus Reus / Criminal Act) dan pertanggung-jawaban pidana atau kesalahan (Mens Rea /Criminal responbility).
Pada dasarnya pandangan ini tidak memisahkan antara komponen-unsur perihal tindakan dengan unsur-komponen mengenai penduduknya. Ada beberapa batas-batas atau pemahaman tidak pidana dari para sarjana yang menganut persepsi Monistis. Misalnya berdasarkan Simon. Dimana menurutnya tindakan melawan hukum ialah tindakan melanggar aturan yang telah dijalankan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakanya dan yang oleh undang-undang sudah dinyatakan sebagai suatu langkah-langkah yang mampu dieksekusi.
Dengan batas-batas seperti ini, maka berdasarkan Simon, untuk adanya suatu tindak pidana mesti dipenuhi bagian-bagian selaku berikut:
- Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan kasatmata (berbuat) maupun perbuatan Negatif (tidak beruat)
- diancam dengan pidana
- melawan hukum
- dilakukan dengan kesalahan
- oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
Dengan klarifikasi mirip tersebut diatas, maka tersimpul, bahwa keseluruhan syarat adanya pidana sudah melekat pada tindakan pidana. Simon tidak memisahkan antara Actus Reus / Criminal Act dan Mens Rea / Criminal responbility.
Pandangan Dualistis
Berbeda dengan pandangan Monistis yang menyaksikan kesalahan syarat adanya pidana telah menempel pada perbuatan pidana, persepsi dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Apabila berdasarkan persepsi Monistis dalam pengertian tindakan melawan hukum telah tercakup di dalamnya baik komponen perbuatan maupun komponen penduduknya. Menurut persepsi dualistis dalam tindak kriminal hanya mencakup perbuatannya saja. Sedangkan pertanggung jawaban pidana tidak menjadi bagian tindak kriminal. Menurut persepsi dualistis, untuk adanya pidana tidak cukup cuma bila telah terjadi perbuatan pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan atau pertanggungjawab pidana. Gambaran tentang bagaimana pandangan dualistis mampu terlihat dari persepsi Moeljatno yang menyatakan perbuatan pidana ialah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut, Dengan penjelasan untuk terjadinya tindakan atau tindakan melawan hukum mesti dipenuhi komponen-unsur selaku berikut:
- Adanya tindakan (manusia) yang memenuhi rumusana dalam undang-undang (hal ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya pasal 1 (1) kitab undang-undang hukum pidana )
- bersifat melawan hukum (hal ini ialah syarat materiil, terkait dengan ikutnya anutan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang Negatif)
Disamping pengertian tersebut, Moelyatno juga menegaskan bahwa untuk adanya pidana tidak cukup hanya dengan telah terjadinya tindak pidana, tanpa mempersoalkan apakah orang yang melakukan perbuatan itu bisa bertanggungjawab atau tidak. Makara peristiwanya adalah tindak kriminal, namun apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu sungguh-sungguh dipidana atau tidak, akan dilihat bagaimana keadaan bathin orang itu dan bagaimana kekerabatan bathin antara perbuatan yang terjadi dengan orang itu. Apabila tindakan yang terjadi itu dapat dicelakan terhadap orang itu, yang mempunyai arti dalam hal ini ada kesalahan dalam diri orang itu, maka orang itu dapat dijatuhi pidana, demikian sebaliknya.
Supaya lebih terperinci Andi Zainal Abidin Farid mencantumkan sketsa bagian-bagian delik dan pertanggungjawaban pidana:
A. Actus Reus (Delictum)
Perbuatan Kriminal
a. komponen-bagian konstitutif sesuai uraian delik (bestanddelen; Tatbestanmassigkeit)
b. komponen-unsur diam-membisu (kenmerk),
element:
– tindakan aktif atau pasif
– melawan aturan obyektif atau subyektif
– tak ada dasar pembenar (rechtsvaardigingsgrond, justification).
B. Mens Rea
Pertanggungjawaban pidana
a. kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaaheid)
b. kesalahan dalam arti luas
ba. dolus (kesengajaan)
– Sengaja sebagai niat (oogmerik)
– Sengaja sadar akan kepastian atau kewajiban (zekerheidsbewustzijn)
– Sengaja sadar akan kemungkinan (dolus eventualis, mogelijkeheidsbewustzijn)
bb. culpa lata
– Culpa lata yang disadari (alpa)
– Culpa lata yang tidak disadari (lalai).
C. Syarat-Syarat Pemidanaan
A + B = C
Syarat obyektif + Syarat subyektif = Syarat pemidanaan
Dalam persepsi monistis yang dianut oleh kitab undang-undang hukum pidana, perbuatan (actus reus) dan perilaku batin seseorang dipersatukan dan menjadi syarat adanya sebuah tindakan pidana. Dalam hal ini pengertian tindakan pidana dan syarat-syarat pemidanaan dipersamakan.
Unsur-komponen delik dan bagian –komponen pembuat delik, membawa konsekuensi bahwa komponen-bagian itu yang mesti dimuat dalam dakwaan penuntut biasa . Hal ini tidak memiliki arti bahwa hanya bagian yang disebut secara tegas di dalam undang-undang saja yang ialah komponen delik. Ada komponen delik yang sering tidak disebut dalam undang-undang, tetapi sering diakui sebagai unsur. Misalnya unsur melawan hukum materil dan tidak adanya dasar pembenar.
Unsur yang tidak disebut dalam undang-undang lazimdinamakan bagian membisu-membisu, yang tidak perlu diangkut dalam dakwaan penuntut umum dan tidak perlu dibuktikan. Unsur-komponen membisu-diam diterima adanya selaku asumsi, tetapi demikian terdakwa dapat membuktikan ketiadaan bagian itu. Misalnya seorang dukun penyunat di sebuah kampung, seorang petinju Pasal 338 atau 359), orang yang berjudi di arena tinju, panitia tinju.
Konsekuensi dianutnya pandangan monistis kepada delik yaitu bahwa jika salah satu bagian konstitutif atau bagian diam-daim tidak terbukti maka terdakwa mesti dibebaskan dan dilepaskan dari segala permintaan hukum. Konsekuensi lain bahwa jika ada peristiwa pidana taua tindakan melawan hukum, maka telah tentu pembuatnya harus pula dipidana. Hal tersebut bermakna bahwa komponen-bagian tindak pidana sama dengan komponen-bagian atau sayarat pemidanaan.
Berikut contoh masalah hipotesis yang memberikan bahwa pandangan monistis yang dianut oleh banyak sarjana (termasuk di Indonesia) mampu menciptakan ketidakadilan.
Perempuan Ani bertikai dengan wanita Becce, untuk melampiaskan dendamnya Ani membuat seorang pria Rhoma, melakukan perkosaan terhada Becce. Lelaki yang diseleksi oleh Ani tidak bisa bertanggungjwab sesuai dengan Pasal 44 KUHP (Sakit Jiwa). Berarti bahwa ada satu atau dua unsure yang tidak terbukti yakni kemampuan bertanggungjawab dan/atau kesengajaan (dolus). Menurut investigasi dokrter psikiater (saksi andal) dan beberapa orang saksi lain, Rhoma memang sakit jiwa. Kalau hakim mau konsekuen pada pandangan monistis, sudah tentu dia membebaskan atau melepaskan dari segala permintaan aturan bagi si Rhoma yang menjadi pembuat materiil alias pelaku (pleger) in casu manus ministra dan berarti tidak terbukti adanya delik sebab satu atau dua unsure tidak terbukti. Konsekuensi yaitu bahwa manus domina, pembuat intelektual, penganjur, atau pemancing uitlokker si Ani juga tidaka dapat dijatuhi sanksi hukum sebab tidak terwujudnya delik.
Berhubung alasannya itu, maka penulis menyetujui persepsi dualistis kepada delik yang bermakna bahwa dalam perkara hipotesis tersebut sudah terwujud delik karena unsur kemampuan bertanggungjawab dan sengaja bukanlah bagian delik, tetapi komponen pertanggungjawaban pidana (yang oleh pandangan monistis disebut bagian subjektif).
A. Perbuatan
Suatu delik mampu diwujudkan dengan kelakuan aktif atau aktual, sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya misalnya mencuri, (pasal 362 KUHP), membohongi (378 kitab undang-undang hukum pidana) dll, hal ini dinamakan delictum commissionis . Ada juga ketentuan-ketentuan undang-undang yang mensyaratkan kelakukan pasif atau negatif misalnya Pasal 164-165 (kejahatan kepada ketertiban lazim), 224 (mengabaikan panggilan pengadilan), 522 (pelanggaran mengabaikan panggilan pengadilan), 523 (membiarkan tidak dikerjakannya pekerjaan perusahaan kebun negara, desa, atau rodi), 529 (pelanggaran tidak melaporkan kepada catatan sipil tentang kelahiran atau maut), dan 531 (tidak menunjukkan pinjaman kepada orang yang menghadapi akhir hayat) kitab undang-undang hukum pidana. Delik seperti ini mampu terwujud dengan mengabaikan apa yang diperintahkan oleh undang-undang untuk dilaksanakan, yang dinamakan delictum omissionis. Disamping itu ada juga delik yang dapat diwujudkan dengan berbuat negatif, yang dinamakan delicta commissionis per omissionem comissa. Delik dememikian antara lain diuraiakn dalam Pasal 341 KUHP, yakni seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan nyawa anaknya denga n jalan tidak menawarkan masakan. Pasal 194 KUHP juga mengandung delik demikian yakni seorang penjaga pintu kereta api yang tidak dengan sengaja tidak menutup pintu kereta api pada waktunya yang menjadikan terjadinya kecelakaan kemudian lintas.
Apakah arti teori kelakuan insan ? Teori klasik yang dianut oleh Simons dan van Hammel menyatakan bahwa kelakuan atau tindakan konkret adalah gerakan otot yang dikehendaki yang dikerjakan untuk menyebabkan akhir. Pendapat ini ditentang oleh Pompe, yang berpendapat bahawa bagaimanapun pentingnya gerakan otot itu dipandang dari sisi psikologi, tetapi untuk aturan pidana hal itu tdak mempunyai arti apa-apa. Untuk merealisasikan delik, ada kalanya pembuat tidak memerlukan gerakan otot. Menurut Pompe arti kelakuan dapat dilihat dari suatu kejadian yang ditimbulkan oleh orang tertentu yang menampak keluar, dan diarahkan ke tujuan yang menjadi objek aturan.
Menurut Moeljatno, kelakuan tidak hanya bersifat jasmani yang hanya menatap dari sisi lahiriah saja, tidak termasuk kelakuan bila sikap jasmani yang tertentu benar-benar tidak disadari, dan meskipun disadari, tetapi bila terwujudnya, orang yang bersangkutan sama sekali tidak menyelenggarakan aktifitas (berbuat pasif), maka kelakuan dimaksud tidak terjadi. Moeljatno tidak memasukkan 3 macam aktifitas tergolong dalam arti kelakuan, yakni :
- Sikap jasmani yang sama sekali pasif, yang tidak dikehendaki, alasannya adalah orang itu dipaksa oleh orang lain (berada dalam daya paksa; overmacht)
- Gerakan refleks
- Sikap jasmani yang terwujud alasannya keadaan tak sadar, mirip mengigau, dihipnotis, mabuk, dll.
B. Unsur Melawan Hukum
Dalam KUHP dan ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang lain, maka ternyata bahwa ada pasal dan ketentuan yang mencatumkan kata melawan hukum dan ada juga tidak. Apa sebabnya sehingga tidak dicantumkan :
- Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum telah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tidak butuhdinyatakan secara eksplisit.
- Perbuatan melawan hukum memiliki arti perbuatan seseorang melanggar atau bertentangan dengan kaidah materil yang berlaku baginya, oleh karena itu dengan sendirinya mempunyai arti bahwa memidana orang yang tidak melakukan perbuatan pidana ialah tidak masuk logika.
Alasan dicantumkannya kata melawan hukum secara tegas, oleh karena dipidananya orang yang melaksanakan haknya yang melaksanakan suatu delik yang cocok dengan rumusan atau uraian undang-undang. Dengan kata lain, bahwa dalam hal seseorang menggunakan haknya, maka bagian melawan hukum itu tidak ada.
Melawan Hukum dalam arti Formil, undang-undang pidana melarang atau memerintahkan perbuatan itu dibarengi bahaya sanksi bagi barangsiapa yang melanggar atau mengabaikannya. Sedangkan Unsur Melawan Hukum dalam arti Materil, sekalipun tindakan telah sesuai dengan rumusan delik, masih harus diteliti wacana evaluasi penduduk apakah tindakan itu memang tercela dan pantas dipidana pembuatnya atau tidak tercela, ataupun dipandang sifatnya terlampau kurang celaannya sehingga pembuatnya tak perlu dijatuhi hukuman aturan pidana, tetapi cukup dikenakan hukuman-sanksi kaidah aturan lain atau kaidah sosial.
Namun meskipun dalam arti formil pemenuhan komponen delik sudah tercukupi tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan suatu peristiwa pidana, sebab dalam kitab undang-undang hukum pidana juga mengenal beberapa dasar pembatalan berupa dasar pembenar, yang menimbulkan suatu tindakan hilang sifat melawan hukumnya.
Perlawanan melawan aturan subjektif, terjadi bilamana perilaku batin pembuatnya sehingga perbuatannya sudah terwujud untuk melaksanakan delik, dengan melihat ke arah mana atau untuk apa tindakan tersebut dimaksudkan. Sedangkan perlawanan hukum objektif, adalah hakim mesti menilainya dari peristiwa yang faktual menurut ukuran evaluasi masyarakat, dan ia tidak perlu menilik sikap batin yang berafiliasi dengan sifat melawan hukumnya tindakan.
Sebagai teladan tentang perlawanan aturan subjektif, dapat dilihat dalam Pasal 362 (pencurian) : kata “….dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum…”. Kata dengan dengan maksud dan melawan hukum tidak terdapat kata dan, maka maksud disitu diarahkan ke sifat melawan hukumnya tindakan, dan berkembang menjadi menjadi melawan hukum yang subjektif, karena evaluasi dalam hal ini mesti ditujukan terhadap perilaku batin pembuatnya untuk melakukan pencurian.
Lain halnya kalau ada aturan tidak menghubungkan kata maksud dan melawan hukum itu, atau diantara kedua kata itu dietmpatkan kata dan. Misalnya pasal 406 (pengrusakan barang). Oleh sebab kata dan mengantarai kata sengaja dan melawan hukum, maka disitu sengaja ialah komponen pertanggungjawaban pidana pembuat delik dan bukan bagian delik, alasannya kata sengaja itu tidak diarahkan ke sifat melawan hukum.