Sumber gambar: gurubumi.com |
Dalam praktik pengajaran, penggunaan sebuah dasar teori untuk segala situasi ialah tindakan yang kurang bijaksana. Tidak ada suatu teori belajarpun yang sesuai untuk segala suasana. Karena masing-masing memiliki landasan yang berlawanan dan cocok untuk suasana tertentu.
Robert M. Gagne mencoba melihat aneka macam macam teori berguru dalam satu kebulatan yang saling melengkapi dan tidak bertentangan. Menurutnya, belajar memiliki delapan tipe. Kedelapan tipe itu bertingkat – ada hierarki dalam masing-masing tipe. Setiap tipe mencar ilmu merupakan prasyarat bagi tipe belajar di atasnya.
Tipe belajar yang dikemukakan oleh Gagne pada hakikatnya ialah prinsip umum baik dalam berguru maupun mengajar. Artinya, dalam mengajar atau membimbing siswa mencar ilmu pun terdapat tingkatan sebagaimana tingkatan berguru tersebut di atas. Kedelapan tipe itu adalah:
Daftar Isi
1. Belajar Isyarat (Signal Learning)
Belajar isyarat seperti dengan conditioned respons atau respons bersyarat. Seperti menutup mulut dengan telunjuk, aba-aba mengambil perilaku tak bicara. Lambaian tangan, arahan untuk datang mendekat. Menutup lisan dengan telunjuk dan lambaian tangan ialah aba-aba, sedangkan membisu dan datang adalah respon. Tipe belajar seperti ini dijalankan dengan menyikapi atau aba-aba. Kaprikornus, respons yang dilaksanakan itu bersifat biasa , kabur, dan emosional. Menurut Kimble (1961), bentuk berguru semacam ini biasanya bersifat tidak disadari dalam arti respons diberikan secara tidak sadar.
2. Belajar Stimulus – Respons (Stimulus Respons Learning)
Berbeda dengan bahasa kode, respons bersifat umum, kabur, dan emosional. Tipe mencar ilmu S – R , respons bersifat spesifik. 2 x 3=6 yaitu bentuk sebuah korelasi S – R. Mencium wangi kuliner sedap, keluar air liur, itupun ikatan S – R. Jadi, mencar ilmu stimulus respons sama dengan teori perkumpulan (S-R bond). Setiap respons dapat diperkuat dengan reinforcement. Hal ini berlaku pula pada tipe mencar ilmu stimulus respons.
3. Belajar Rangkaian (Chaining)
Rangkaian atau rantai dalam chaining yaitu semacam rangkaian antara berbagai S – R yang bersifat segera. Hal ini terjadi dalam rangkaian motorik, mirip gerakan dalam mengikat sepatu, makan-minum-merokok atau gerakan mulut, mirip selamat tinggal, bapak-ibu, dan sebagainya.
4. Asosiasi Verbal (Verbal Assosiation)
Suatu kalimat “piramida itu berbangun limas” adalah acuan asosiasi ekspresi. Seseorang dapat menyatakan bahwa piramida berbangun limas bila dia mengetahui berbagai berdiri mirip balok, kubus, atau kerucut. Hubungan atau perkumpulan mulut terbentuk jikalau komponen-unsurnya terdapat dalam urutan tertentu dan yang satu mengikuti lainnya.
5. Belajar Diskriminasi (Discriminition Learning)
Tipe belajar ini ialah perbedaan kepada banyak sekali rangkaian. Seperti membedakan banyak sekali bentuk muka, hewan, atau tumbuh-flora.
6. Belajar Konsep (Concept Learning)
Konsep merupakan simbol berpikir. Hal ini diperoleh dari hasil menciptakan tafsiran terhadap fakta atau kenyataan dan relasi antar aneka macam fakta. Dengan desain tersebut, maka mampu digolongkan binatang bertulang belakang menurut ciri-ciri khusus (kelas). Seperti kelas mamalia, reptilia, amphibia, burung, dan ikan. Dapat pula digolongkan manusia menurut ras (warna kulit) atau kebangsaan, suku bangsa, atau relasi keluarga. Kemampuan membentuk konsep ini terjadi bila orang dapat melakukan diskriminasi.
7. Belajar Aturan (Rule Learning)
Hukum, dalil, atau rumus yakni rule (hukum). Tipe balajar ini banyak terdapat dalam semua pelajaran di sekolah, mirip benda memuai jikalau dipanaskan atau besar sudut dalam sebuah segitiga sama dengan 180°. Belajar hukum temyata seperti dengan lisan chaining (rangkaian ekspresi), khususnya kalau aturan itu tidak diketahui artinya. Oleh sebab itu, setiap dalil atau rumus yang dipelajari mesti dipahami artinya.
8. Belajar Pemecahan Masalah (Problem Solving)
Memecahkan duduk perkara adalah lazimdalam kehidupan Ini memerlukan anutan. Upaya pemecahan persoalan dilaksanakan dengan menghubungkan berbagai hukum yang berkaitan dengan masalah itu. Dalam memecahkan persoalan dibutuhkan waktu adakalanya singkat dan adakalanya lama. Juga acap kali mesti dilalui aneka macam langkah, seperti tiap bagian dalam dilema itu mencari relevansinya dengan aturan (rule) tertentu, dan sebagainya.
Dalam segala langkah dibutuhkan pemikiran. Tampaknya pemecahan duduk perkara terjadi dengan tiba-datang (insight). Dengan ulangan-ulangan persoalan tidak terpecahkan dan apa yang dipecahkan sendiri – yang penyelesaiannya didapatkan sendiri lebih mantap dan dapat ditransfer kepada situasi atau duduk perkara lain. Kesanggupan memecahkan dilema memperbesar kesanggupan untuk memecahkan duduk perkara-problem lain.
Sumber buku:Judul: PROFESIONALISME GURU DALAM PEMBELAJARAN
Penulis: Drs. H. Zainal Aqib, M. Pd.
Dicetak oleh: Percetakan Insan Cendekia, Jl. Kaliwaron 58, Surabaya.
Cetakan Pertama, 2002. Cetakan Kedua, 2007, Cetakan Ketiga, 2010.