Dasar Abolisi Penuntutan

Harus dibedakan antara dasar abolisi pidana, mirip penulis telah uraikan dengan dasar pembatalan penuntutan. Dasar penghapusan pidana ditujukan terhadap hakim, sedangkan dasar peniadaan penuntutan ditujukan terhadap Penuntut Umum. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dasar abolisi pidana terbagi dua, ialah dasar pembenar dan dasar pemaaf. Ditinjau dari segi persepsi dualistis maka dasar pembenar menghapus sifat melawan hukumnya tindakan, dan terdakwa sebaiknya dibebaskan. Sedangkan bilamana terdapat dasar pemaaf bermakna tindakan criminal terdakwa terbukti, tetapi pembuat delik dimaafkan.

Dasar Peniadaan Penuntutan yang ada di dialam kitab undang-undang hukum pidana ialah :

  1. Ne Bis In Idem (Pasal 76)
  2. Lampau Waktu/Verjaring (Pasal 79)
  3. Kematian Terdakwa atau Terpidana (Pasal 77)
  4. Penyelesaian di Luar Proses Pengadilan (Pasal 82)
  5. Tidak adanya aduan pada Delik Aduan

Dasar Peniadaan Penuntutan di Luar KUHP :

  1. Abolisi
  2. Amnesti

Dasar peniadaan penuntutan di dalam Bab VIII KUHP yakni selaku berikut :

1. Asas Ne Bis In Idem

Asas Ne Bis In Idem terdapat dalam Pasal 76 kitab undang-undang hukum pidana yang menyatakan bahwa orang tidak boleh dituntut dua kali alasannya adalah tindakan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan keputusan yang menjadi tetap (putusan inkra).

Asas ne bis in idem mempunyai dua segi yaitu yang bersifat langsung (persoonlijk) dan yang bersifat peristiwa (zakelijk).

Ne bis idem memiliki arti tidak melaksanakan investigasi untuk kedua kalinya tentang tindakan (feit) yang sama. Ketentuan ini disahkan pada pertimbangan, bahwapada suatu ketika (nantinya) harus ada simpulan dari pemeriksaan/penuntutan dan final dari baliknya ketetuan pidana kepada sebuah delik tertentu. Azas ini ialah pegangan supaya tidak lagi menyelenggarakan pemeriksaan/penuntutan terhadap pelaku yang serupa dari sebuah tindakan pidana yang telah menerima putusan hukum yang tetap.

Dengan maksud untuk menghindari dua putusan kepada pelaku dan langkah-langkah yang sama juga untuk menyingkir dari usaha penyidikan/penuntutan terhadap perlakuan delik yang serupa, yang sebelumnya telah pernah ada putusan yang memiliki kekuatan yang tetap.

Tujuan dari azas ini ialah biar kewibawaan negara tetap dijunjung tinggi yang berarti juga menjamin kewibawaan hakim serta semoga terpelihara perasaan kepastian aturan dalam masyarkat. Kuota putusan dibilang sudah mempunyai kekuatan hukumyang tetap jika upaya hukum yang umum ialah perlawanan, banding, kasasi tidak dapatlagi digunakan baik alasannya melalui waktu, atau pun alasannya adalah tidak dimanfaatkan atau putusanditerima oleh pihak-pihak. Agar agar suatu masalah tidak dapat diperiksa untuk kedua kalinya kalau :

  • Perbuatan yang didakwakan (untuk kedua kalinya) yakni sama dengan yangdidakwakan terdahulu.
  • Pelaku yang didakwa (untuk kedua kalinya) ialah sama.
  • Untuk putusan yang pertama kepada langkah-langkah yang sama itu sudah mempunyaikekuatan hukum yang tetap.

Belakangan dasar Ne bis in idem Itu digantungkan terhadap hal, bahwa terhadapseseorang itu juga mengenai insiden yang tertentu sudah diambil keputusan oleh hakimdengan vonis yang tidak diubah lagi. Putusan ini berisi:

  1. Penjatuhan hukuman (veroordeling). Dalam hal ini oleh hakim diputuskan, bahwa terdakwa terperinci salah telah melakukan insiden pidana yang dijatuhkankepadanya; atau
  2. Pembebasan dari penuntutan aturan (outslag van rechisvervolging). Dalam hal ini hakim memutuskan, bahwa insiden yang dituduhkan kepada terdakwa itudibuktikan dengan cukup terperinci, akan tetapi peristiwa itu ternyata bukan insiden pidana, atau terdakwanya kedapatan tidak dapat dihukum, alasannya tidak mampu dipertanggung jawabkan atas perbuatannya itu, atau
  3. Putusan bebas (vrijspraak). Putusan ini memiliki arti, bahwa kesalahan terdakwa atas kejadian yang dituduhkan kepadanya tidak cukup buktinya.

2. Lampau Waktu/Verjaring

  Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Undang-Undang Perikanan

Daluwarsa ialah pengaruh lampau waktu yang diberikan oleh Undang-undanguntuk menuntut seseorang tertuduh dalam perbuatan pidana. Yang menjadi dasar ataualasan pembuat KUHP menerima lembaga melalui waktu (verjaring) yaitu :

  1. Sesudah lewatnya beberapa waktu, apalagi waktu yang lewat itu cukup panjang,maka ingatan orang tentang kejadian sudah berkurang bahkan tidak jarang nyaris hilang.
  2. Kepada individu mesti diberi kepastian aturan (rechtsverligheid) khususnya apabilaindividu terpaksa tinggal di mancanegara dan dengan demikian untuk sementarawaktu merasa kehilangan atau dikurangi kemerdekaannya.
  3. Untuk berhasilnya tuntutan pidana maka sukarlah menerima bukti sesudahlewatnya waktu yang agak usang. Dalam Pasal 79 KUHP diputuskan bahwa selaku saat mulai berjalannya jangkawaktu daluwarsa dalam tuntutan pidana adalah “keesokan harinya setelah perbuatan dilakukan”.

Dalam Pasal 79 KUHP ditentukan bahwa selaku dikala mulai berjalannya jangkawaktu daluwarsa dalam tuntutan pidana ialah “keesokan harinya setelah tindakan dilakukan”.

Pembuat KUHP juga menentukan saat istimewa mulai berjalannya melalui waktunya tuntutan pidana dalam tiga hal ialah :

  1. Dalam hal memalsu atau menggandakan uang logam atau kertas atau duit kertas bank, maka jangka lewat waktunya permintaan pidana mulai berjalan pada harisesudah hari duit palsu itu dipakai
  2. Dalam hal salah satu kejahatan yang tercantum dalam Pasal-pasal 328KUHP (Penculikan), 329 KUHP, Pasal 330 KUHP, dan Pasal 333 kitab undang-undang hukum pidana, maka jangka lewat waktunya tuntutan pidana mulai berjalan setelah hari dibebaskannya atau meninggal dunianya korban.
  3. Dalam hal pelannggaran peraturan-peraturan Pencatatan Sipil (Pasal 556-558 a kitab undang-undang hukum pidana) maka jangka melalui waktunya permintaan pidana muali berjalan padahari setelah hari daftar-daftar yang bersangkutan sudah diserahkan kepada Panitia Pengadilan tersebut.

Verjaring dapat dicegah (gestuit) atau dipertangguhkan (geschorst). Beda antara pencegahan dengan penangguhan yaitu selaku berikut :

  Cara Membuat E-KTP 2023: Syarat, dan Ketentuan

Dalam hal pencegahan, maka jangka lewat waktu yang sudah dilalui hilang samasekali, sedangkan dalam hal penangguhan jangka lewat waktu yang telah dilalui sebelum diadakannya pertangguhan itu dapat dipertimbangkan terus.

Pasal 80 kitab undang-undang hukum pidana mengatur pencegahan jangka lewat waktunya tuntutan pidana :“tiap-tiap tindakan penuntutan menangkal daluwarsa (melalui waktu) asal saja perbuatan itu diketahui oleh orang yang dituntut atau diberitahukan kepadanya berdasarkan cara yangditentukan oleh undnag-undang”.

Pasal 81 kitab undang-undang hukum pidana menertibkan perihal penangguhan lewat waktunya tuntutan pidana itu disebabakan oleh apa yang disebut “question prefudictelleau judgement” atau perselisihan pra yudiciil. Ini merupakan pertengkaran menurut hukum perdata yang apalagi dahulu mesti diselesaikan sebelum perkara pidananya dilanjutkan.

3. Kematian Terdakwa/Terpidana

Ketentuan ini dikontrol dalam Pasal 77 KUHP : “Kewenangan menuntut pidana hapus kalau terdakwa meninggal dunia”

Apabila seorang terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir dari pengadilan maka hak menuntut gugur. Jika hal ini terjadi dalam taraf penyelidikan, maka pengusutan itu tidak boleh. Jika penuntut sudah dimajukan, maka penuntut umum harusoleh pengadilan dinyatkaan tidak dapat diterima dengan pastinya (niet-outvanhelijk verklaard). Umumnya demikian apabila pengadilan banding atau pengadilan kasasi masihharus menetapkan perkaranya.

Dalam pasal 77 kitab undang-undang hukum pidana terletak suatu prinsip, bahwa penuntutan hukum itu mesti ditujukan kepada diri langsung orang. Jika orang yang dimaksud sudah melakukan peristiwa pidana itu meninggal dunia, maka tuntutan atas kejadian itu habis sampai demikian saja artinya tidak mampu permintaan itu kemudian diarahkan kepada andal warisnya.

Pengecualiannya dikontrol dalam pasal 361 dan 363 H.I. R yang pertanda bahwa dalam hal menuntut denda, biaya kasus atau merampas barang-barang yang tertentu mengenai pelanggaran tentang penghasilan negara dan cukai, permintaan itu dapat dilaksanakan kepada ahli waris orang yang bersalah. Oleh alasannya sifat perorangan aturan program pidana, maka baik wewenang penuntut biasa untuk menuntut pidana seseorang yang disangkamelakukan delik, maupun wewenang untuk mengeksekusi pidana hapus sebab kematian terdakwa atau terpidana.

4. Penyelesaian di Luar Proses Pengadilan

Hal ini dikelola dalam Pasal 82 kitab undang-undang hukum pidana. Yang bunyinya sebagai berikut :

Pasal 82 ayat (1)

Hak menuntut aturan karena pelanggaran yang terancam eksekusi utama tak lain dari pada denda, tidak berlaku lagi jikalau maksimum denda dibayar dengan kemauan sendiridan demikian juga dibayar biaya mereka, kalau penilaian telah dilakukan, dengan izinamtenaar yang ditunjuk dalam undang-undang umum, dalam tempo yang ditetapkannya.

  Kehidupan Seksualitas, Dan Agama Batak Sihombing - Marpaung Di Pontianak 2011 - 2019

Pasal 82 ayat (2)

Jika perbuatan itu terjadwal selamanya denda juga benda yang patut dirampas itu ataudibayar harganya, yang ditaksir oleh amtenaar yang tersebut dalam ayat pertama.

Pasal 82 ayat (3)

Dalam hal hukuman itu ditambah diubahkan berulang-ulang membuat kesalahan, boleh juga pemanis itu diharapkan jika hak menuntut hukuman sebeb pelanggaran yang dikerjakan dahulu sudah gugur memenuhi ayat pertama dan kedua dari pasal itu.

Pasal 82 ayat (4)

Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum remaja  yang pada saat melakukan perbuatan belum berumur enam belas tahun.

Ketentuan ini memuat forum aturan pidana yang populer dengan namaafkoop ialah penebusan permintaan pidana sebab pelanggaran. Jadi dalam hal kejahatan afkoop ini tidak mungkin, yang diatasnya tidak ditentukan, hukuman pokok lain dari pada denda, dengan mengeluarkan uang sukarela maksimum denda.

Menurut Pasal 82 kitab undang-undang hukum pidana ada 2 macam syarat untuk dipenuhi semoga seorang mampu lepas dari pidana yang harus dilaksanakan atas pelanggaran itu, adalah :

  1. Dengan mengeluarkan uang secara sukarela denda tertinggi (maksimum) yangdiancamkan terhadap pelanggaran ini.
  2. Dengan ijin dari pegawai yang ditunjuk undang-undang, misalnya KepalaJawatan Pajak dalam hal orang yang melanggar peraturan di dalam aturan fiscal.

5. Tidak Adanya Aduan pada Delik Aduan

Tidak adanya pengaduan pada delik aduan (Pasal 166, 221 ayat (2) KUHP) Delik aduan adalah delik yang cuma mampu dituntut kalau ada pengaduan dariyang berhak mengadukannya. Delik aduan ini ditentukan secara khussus dalam beberapaPasal KUHP. Misalnya Perzinahan (Pasal 284 kitab undang-undang hukum pidana)

Sedangkan yang diatur di luar KUHP

Abolisi dan Amnesti

Abolisi dan Amnesti ini tidak tercantum dalam KUHP. Tetapi dikontrol dalamUndang-undang Darurat No. 11/1954 ihwal Manesti dan Abolisi, LN.1954 No.146 .Abolisi yaitu meniadakan wewenang dari Penuntut Umum untuk menuntut hukuman. Sedangkan Amnesti yaitu suatu wewenang yang lebih luas lagi, yakni amnesti tidak hanya meniadakan wewenang untuk menuntut eksekusi namun juga wewenang untuk mengeksekusi eksekusi, baik dalam hal eksekusi itu belum dimulai maupun sudah dimulai. Amnesty dan Abolisi ini diberikan oleh Presiden atas kepentinan Negara. Amnesty dan Abolisi ini diberikan sehabis menerima usulan dari Mahkamah Agung.