Contoh Peran Wacana Kelompok Masyarakat Laut Suku Buton

Hello sahabat.. 
Kali ini Nislof Blog mengembangkan lagi Tugas Kuliah dari Mahasiswi UNHAS, Tugas ini sengaja di kirim ke email : annisawally8@gmail.com untuk dijadikan pola bagi sahabat yang membutuhkan referensi atau sebagainya..
Semoga teladan  peran kali ini mampu berguna bagi sahabat yah..   

KELOMPOK MASYARAKAT MARITIM
SUKU BUTON
Suku Buton yakni suku bangsa yang menempati kawasan Sulawesi Tenggara tepatnya di Kepulauan Buton. Suku Buton juga dapat di temui dengan Jumlah yang Signifikan di Luar Sulawesi Tenggara Seperti di Maluku Utara, Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua.Nama Buton sebagai salah satu sentra budaya bahari tidak merujuk terhadap sebuah suku tertentu seperti Bajo, Mandar, Bugis, dan Makassar. Buton pasa zaman dulu merupakan sebuah daerah kesulanan yang bernama Wolio (Zuhdi dkk, 2009).
Seperti suku-suku di Sulawesi pada umumnya, suku Buton juga ialah suku pelaut. Orang-orang Buton sejak usang merantau ke seluruh pelosok Nusantara dengan menggunakan bahtera berskala kecil yang hanya dapat menampung lima orang, sampai perahu besar yang mampu memuat barang sekitar 150 ton.
Secara lazim, orang Buton yaitu masyarakat yang mendiami wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Daerah-kawasan itu sekarang telah menjadi beberapa kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara diantaranya Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Selatan, Kabupaten Buton Tengah, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Muna, dan Kabupaten Muna Barat.
Selain ialah penduduk pelaut, penduduk Buton juga semenjak zaman dahulu telah mengenal pertanian. Komoditas yang ditanam antara lain padi ladang, jagung, singkong, ubi jalar, kapas, kelapa, sirih, nanas, pisang, dan segala kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

1. SEJARAH KELOMPOK MASYARAKAT SUKU BUTON

Jika melihat dari Sejarah Suku Buton dan asal usulnya dapat dimengerti dengan mengungkapkan lebih dulu sejarah kedatangan Sipanjonga dan kawan-kawannya, yang diketahui dalam sejarah wolio dengan nama Kesatuannya “Mia Pata Mianan” yang artinya “empat orang” lebih jelasnya dimaksudkan dengan empat pemuka yaitu Sipanjonga, Simalui, Sijawangkati dan Siuamanajo. Dan dengan berpegang pada buku silsilah dari Raja-raja di Wolio, keempat orang tersebut konon berdasarkan riwayat berasal dari tanah Semenanjung Johor (Malaysia) pulau Liya Melayu, di mana tibanya di Buton dapat diperkirakan berkisar tamat era ke 13 atau setidaknya pada permulaan abad ke 14. Perkiraan tibanya Sipanjonga dan mitra-kawannya.
Setelah kekuasaan Sriwijaya runtuh Sipanjonga dan sobat-temannya serta pengikut-pengikutnya, sebagai seorang raja di negerinya, yang termasuk di dalam kerjaan Sriwijaya, mengetahui kedudukan Sriwijaya telah demikian lemahnya, Ia mengambil potensi untuk meninggalkan kerajannya mencari daerah lain untuk tempat tinggalnya dan Untuk dapat menetap sebagai seorang raja yang berkuasa dan tibalah mereka di Pulau Buton.
Tibanya Sipanjonga dengan kawan-kawan tidak bantu-membantu dan tidak pula pada sebuah tempat yang sama dan rombongannya terdiri dalam dua kelompok, dengan tumpangan mereka yang disebut dalam zaman “palulang”.Kelompok pertama Sipanjonga dengan Sijawangkati sebagai kepala rombongan menyelenggarakan pendaratan yang pertama di Kalaupa, sebuah tempat pantai dari raja tobo-Tobo, sedangkan Simalui dan Sitamanajo mendarat di Walalogusi (kira-kira kampung Boneatiro atau di sekitar kampung tersebut Kecamatan Kapontori sekarang). Pada waktu pendaratan pertama itu Sipanjonga mengibarkan bendera kerajaannya pada sebuah tempat tidak jauh dari Kalampa, menerangkan kebesarannya. Bendera Sipanjonga inilah yang menjadi bendera kerajaan buton yang disebut “tombi pagi” yang berwarna warni, “longa-longa” bahasa wolionya.
Di lalu kawasan di mana pengibaran bendera tersebut diketahui dengan nama “sula” yang hingga kini masih dikenal, terdapat di dalam desa Katobengke Kecamatan Wolio, tidak jauh lapangan udara Betoambari.Kemudian maka keempat pemuka tersebut di atas yang menciptakan dan meninggalkan sejarah dan kebudayaan wolio, sedangkan kerajaan yang pada zamannya pernah menjadi kerajaan yang mempunyai arti, dan merekalah pula yang mengawali pembentukan kampung-kampung, yang lalu sesuai dengan perkembangannya menjadi kerajaan dan inilah yang dimaksudkan dengan kerajaan Buton, yang selaku Rajanya yang pertama Ratu I Wa Kaa Kaa.Di daerah pendaratannya tersebut Sipanjonga dan mitra-kawannya membangun daerah kediamannya yang lambat laun menjadi suatu kampung yang besar, yang tidak usang sehabis pendaratannya itu Rombongan Simalui dan Sitamanajo bersatu kembali dengan Sipanjonga di Kalampa.
Oleh alasannya letak tempat tinggal dari Sipanjonga erat pantai bukanlah suatu hal yang mustahil terjadinya gangguan-gangguan keamanan, khususnya sekali dari bajak bahari yang berasal dari Tobelo Maluku – masyuurnya gangguan keselamatan dari apa yang dikenal dengan tobelo, demikian di takuti sehingga menjadi sertifikat menakuti anak-anak dari kalangan orang tua dengan “jaga otobelo yitu” artinya “awas tobelo itu”.
Untuk mengindarkan diri dari gangguan keamanan Sipanjonga dan rakyatnya meninggalkan Kalampa menuju arah gunung yang tidak jauh dari tempatnya itu kira-kira 5 km dari tepi pantai di tempat yang baru inilah Sipanjonga dan rakyatnya bertempat tinggal.Karena di daerah yang gres itu masih penuh dengan hutan belukar maka untuk membangun kawasan kediaman mereka ditebasnya belukar-belukar itu, yang pekerjaan menebas itu dalam bahasa wolionya dikatakan “Welia”. Inilah asal nama “Wolio” dan tempat inilah pula yang menjadi kawasan sentra kebudayaan Wolio ibu kota kerajaan.
Kesultanan Wolio bangun pada kala ke 14 dan selsai pada tahun 1960. Wilayah kekuasaan ini dulu kurun meliputi Pulau Kabaena, Pulau Muna, Pulau Tiworo, Pulau Buton, dan Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi). Wilayah tersebut ketika ini secara administrative merupakan bab dari Provinsi Sulawesi Tenggara.
Wilayah Kesultanan Buton merupakan kepulauan dimana wilayah lautnya lebih luas ketimbang daratan. Interpretasi Peta Geologi Lembar Buton memperlihatkan bahwa litologi. Wilayah ini tersusun oleh material endapan laut yang mengalami pengangkatan membentuk pulau, seperti sedimen pasir, lanau, lempung dan endapan koral yang membentuk batugamping. Luasan batugamping lebih mendominasi di kepulauan ini. Hal tersebut menjadikan tanah yang ada condong tidak cocok sebagai area pertanian. Kombinasi antara lautan yang membentang luas dan tanah yang tidak subur mendorong penduduk Buton berorientasi maritim (Zuhdi dkk, 2009).

2. SISTEM BUDAYA KELOMPOK MASYARAKAT SUKU BUTON
a. Sistem Pengetahuan
Sejak dahulu, orang Buton sangat mementingkan pendidikan. Pendidikan yang bagus terhadap anak laki-laki dan wanita menciptakan mereka memiliki kesusasteraan yang maju. Tidak ketinggalan pula dalam hal mempelajari bahasa asing. Karena itu, saat ini mulai tampakhasil-hasil perkembangan di bidang sosial. Dalam pengetahuan laut, orang-orang suku Buton menanamkan nilai-nilai dan tradisi yang dapat kita kenal dengan nilai Sabangka Asarope. Yaitu Pengenalan kepada ruang kultural menjadi prestise sosial bagi orang Buton dalam berlayar. Sekali menancapkan layar untuk satu tujuan berlayar (Asarope), maka mereka pantang kembali ke kampung, sebelum menjinjing hasil dan sukses dalam pelayaran itu. Semangat hidup di bahari dengan Sabagka Asarope menjadi salah satu nilai yang harus dipegang oleh para pelayar-pedagang Buton.
Bagi orang Buton, bahtera (Bangka/wangka) memiliki tugas yang sungguh penting dalam kehidupannya. Bahkan, alasannya pentingnya, perumpamaan perahu pun digunakan sebagai sapaan pada kehidupan di darat, untuk menyebut mitra/teman/sahabat, yaitu sabangka.Kesatuan kata dan langkah dalam perjuangan pelayaran dan perdagangan laut ialah unsur utama penguat tradisi bahari. Dengan semangat senantiasa bersama atau satunya kata dan tindakan, segala tantangan kehidupan di bahari, baik yang bersumber dari ruang samudra maupun dari manusia, mampu dihadapi. Itulah sebabnya, saat bahtera sudah dilayarkan dan meninggalkan pantai, pantang bagi pelayar Buton untuk mengganti haluan, terlebih kembali lagi ke pantai. Semangat yang dimaksud yakni asarope, diambil dari kata “rope” adalah bab depan atau haluan bahtera, diawali dengan kata “asa” yang berarti satu atau sama.Semangat hidup tersebut, disebut Sabangka-Asarope. Nilai budaya inilah yang menjadi penopang utama kelancaran tradisi laut orang Buton dari waktu ke waktu dan dari satu kawasan (ruang) ke tempat lain.

b. Bahasa
Masyarakat Buton memiliki kombinasi bahasa yang begitu bermacam-macam. Hingga sekarang mampu dijumpai lebih dari tiga puluhan bahasa dengan berbagai macam dialek. Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa Sansekerta yang mampu Anda temukan sampai kini dimana bahasa Sansekerta memperkaya perbendaharaan bahasa Buton.Dalam perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di gantikan oleh bahasa Arab seiring masuknya Ajaran Islam di Kerajaan Buton pada era ke-15 M, banyaknya penggunaan bahasa Arab pada kosakata bahasa Buton menawarkan tingginya dampak Islam dalam Kesultanan Buton. Disamping itu bahasa Buton juga menyerap unsur-unsur bahasa melayu.
c. Sistem Kemasyarakatan atau Organisasi Sosial
Untuk pengklasifikasian penduduk khusus pesisir tidak ada ungkapan-perumpamaan yang dipakai sebagai tanda bahwa orang itu pelaut yang kedudukannya tinggi ataupun rendah. Namun, dalam sistem Kerajaan Buton diterapkan pula sistem kasta yang hanya dipraktekkan pada tata cara pemerintahan dan ritual keagamaan saja. Berikut sistem kasta dalam kerajaan Buton:
  • Kaomu atau Kaumu (kaum bangsawan/bangsawan) keturunan dari raja Wa Kakaa. Raja/Sultan diseleksi dari golongan ini.
  • Walaka, (elit penguasa) ialah keturunan berdasarkan garis bapak dari Founding Fathers Kerajaan  buton (mia patamiana). Mereka memegang jabatan penting di Kerajaan mirip mentri dan juga dewan. Mereka pula yang menunjuk siapa yang hendak menjadi Raja/Sultan berikutnya.
  • Papara atau disebut penduduk umumyang tinggal di daerah kadie (desa) dan masih merdeka. Mereka mampu diperhitungkan untuk menduduki jabatan tertentu di daerah kadie, namun sama sekali tidak memiliki jalan kepada kekuasaan di sentra.
  • Babatua (budak), orang yang hidupnya bergantung terhadap orang lain/memiliki utang. meraka mampu diperjualbelikan atau dijadikan hadiah
  • Analalaki dan Limbo. Mereka adalah kelompok kaomu dan walaka yang diturunkan darajatnya kerana melakukan kesalahan sosial dan berlaku tidak layak sesuai dengan status sosialnya.
d. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Perahu lambo ialah hasil karya orisinil penduduk Buton (Zuhdi dkk, 2009). Meskipun demikian, pembuatan lambo tetap menyerap pengetahuan dari barat. Perahu ini memiliki keunikan berupa penggunaan layar nade yang ialah produk barat. Perahu Lambo bisa mengangkut barang sampai 300 ton. Lambo juga digadang-gadang menjadi pesaing Perahu Pinisi yang banyak digunakan oleh suku Bugis untuk berdagang.
e. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Perairan di pulau Buton dan Muna kaya akan ikan tuna dan ikan ekor kuning. Maka dari itu sebagian besar penduduk suku Buton hidup pada bidang perairan menjadi pelaut dan nelayan. Tetapi semenjak kesempatan untuk menemukan penghasilan yang cukup di daerah terasa sukar, banyak dari mereka yang lalu pergi meninggalkan mata pencaharian di sektor perairan. Dan kontemporer aktivitas pertanian menjadi aktivitas utama perekonomian. Mereka menanam padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kapas, kelapa, sirih, nanas, pisang dan lain-lain termasuk beberapa macam sayuran.
f. Sistem Religi dan Kepercayaan
Sebelum masuknya efek Hindu ke Buton oleh bangsa Majapahit pada masa ke-13 dan Islam yang dibawah pada abad 15, masyarakat Buton mengenal dan memiliki akidah yaitu pemujaan kepada roh nenek moyang (animisme dan dinamisme). Masuknya agama Hindu-Islam mendorong masyarakat Buton mulai menganut agama Hindu-Islam walaupun tidak meninggalkan keyakinan asli mirip pemujaan kepada arwah nenek moyang dan ilahi-ilahi alam. Misalnya penduduk nelayan Wakatobi khusunya Tomia mengenal adanya Dewa maritim Wa Ode Maryam yang dipercaya dapat mempertahankan mereka dalam mengarungi lautan Banda yang populer ganas. Disamping itu penduduk Buton juga mengenal Dewa yang melindungi keberadaan Hutan yang dikenal dengan nama Wa Kinam**** (tidak boleh disebut namanya/cuma diucapkan dengan cara berbisik)
Masuknya Islam di Buton pada kurun ke-15, yang di bawah oleh Ulama dari Patani juga telah meletakkan dasar-dasar Ilmu Fikih kepada Kesultanan dan masyarakat Buton. Ilmu Fikih merupakan ilmu Islam yang mempelajari aturan dan peraturan yang menertibkan hak dan keharusan umat terhadap Allah dan sesama insan sehingga masyarakat Buton dapat hidup sesuai dengan kaidah Islam. Dan Pada Abad ke-16 M, lahir dasar-dasar Ilmu Qalam dan Tasawuf di Buton, yang dibawah oleh Sufi yang berasal dari Aceh.
g. Kesenian
Orang Buton populer pula dengan peradabannya yang tinggi dan hingga ketika ini peninggalannya masih dapat dilihat di wilayah-wilayah Kesultanan Buton, diantaranya Benteng Keraton Buton yang ialah benteng paling besar di dunia, Istana Malige yang merupakan rumah akhlak tradisional Buton yang bangkit kokoh setinggi empat tingkat tanpa memakai sebatang paku pun, mata duit Kesultanan Buton yang berjulukan Kampua, dan banyak lagi.Mata duit kesultanan Kampua Buton tersebut uniknya berbahan kain tenun dan merupakan satu-satunya yang pernah beredar di Indonesia. Menurut dongeng rakyat, mata duit ini pertama kali diperkenalkan oleh Bulawambona, adalah Ratu kerajaan Buton yang kedua, yang memerintah sekitar era XIV.

  Tungau Paras : Ada Di Setiap Muka Insan

3.  KEARIFAN LOKAL DALAM KELOMPOK MASYARAKAT SUKU BUTON

Sebagai kebiasaan dan kesadaran kolektif, penduduk Suku Buton memilik tradisi yang mampu memperlancar perkembangan pribadi penduduk . Hal ini dekat relevansinya dengan keberadaan tradisi sebagai wadah penyimpanan norma sosial kemasyarakatan.
Sejumlah kearifan tradisi dari tradisi yang ada dalam masyarakat Buton yakni kangkilo. Merupakan modal sosial budaya masyarakat Buton untuk merealisasikan keserasian dan keserasian hidup. Kearifan tradisi yang meliputi kesucian ritual dan kesucian rasa dan etika bila dimengerti dan dimengerti maknanya dengan baik akan membentuk karakter prilaku, tutur kata dan sikap konkret masyarakat Buton sesuai dengan nilai budbahasa dan susila yang direkomendasikan dalam tradisi itu.
Selain itu juga terdapat ritual-ritual dan pesta Adat yang dilakukan penduduk Buton hingga sekarang yang dikabarkan mengandung unsur Sinkritisme. 
Berikut ritual-ritual dan pesta adat tersebut:
  • Tuturiangana  Andaala adalah Ritual kesyukuran masyarakat Buton yang berada di Pulau Makassar (liwuto) terhadap Allah SWT,  atas keluasan rejeki yang terhampar luas disektor kelautan.
  • Kabuenga ialah tradisi mencari pasangan hidup khas Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Tradisi ini bermula dikala kaum para perjaka maupun gadis lokal jarang memiliki peluang bertemu.Dahulu para pemuda sering berlayar untuk merantau atau lebih banyak di bahari sehingga sukar bertemu dengan para gadis. Karena itulah, para lelaki dan perempuan lajang kemudian dipertemukan dalam Tradisi Kabuenga.
  • Mataa yakni ritual adab yang digelar penduduk Buton etnik cia-cia di desa.
  • Laporo yang ialah wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil panen yang diperoleh.
  • Pekande-kandea ialah pesta syukuran masyarakat Buton kepada Allah SWT atas limpahan anugrah yang diberikan.
  • Goraana Oputa/Maludju Wolio yaitu ritual penduduk Buton dalam menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dikerjakan tiap tengah malam tanggal 12 Rabiul permulaan
  • Qunua, adalah ritual keagamaan yang dikerjakan masyarakat Buton pada 16 malam bulan Ramadhan.
  • Karia yaitu pesta adat masyarakat Buton yang berada di Kaledupa untuk menyambut bawah umur yang sedang beranjak remaja. Pesta Rakyat ini diiringi dengan tarian-tarian yang dilaksanakan oleh pemangku budpekerti, bareng orang renta kemudian memanjatkan doa bersama belum dewasa mereka yang bertujuan untuk membekali belum dewasa mereka dengan nilai-nilai tabiat dan spiritual.
  • Posuo (pingit) ialah pesta etika penduduk Buton yang ditujukan pada kaum wanita yang memasuki usia remaja sekaligus menyiapkan diri untuk berumah tangga.
  • Haroa, Sambura’e, dll.
4. PERMASALAHAN SOSIAL EKONOMI YANG ADA DALAM KELOMPOK MASYARAKAT SUKU BUTON
Dulu
Orang Buton yang meliputi seluruh daerah kekuasaan Kesultanan Wolio adalah salah satu pengelana laut yang termasyur mirip yang sudah dijelaskan diatas. Faktor pendorong yang sering dipakai untuk menjelasakan hal tersebut adalah tanah yang kurang subur dan posisi geografis yang berada di jalur pelayaran antara Indonesia Timur dan Barat (Zuhdi dkk, 2009). Indonesia Timur mempunyai Maluku dan Papua yang menghasilkan hasil bumi berbentukrempah-rampah dan kopra, sedangkan Indonesia Barat memiliki Jawa sebagai penghasil alat-alat dan keperluan rumah tangga. Pelaut Buton khususnya Tukang Besi berfungsi selaku penghubung kedua kawasan ini (Hadara, 2006). Oleh sebab itu, orang Buton banyak tersebar dari Barat  sampai Timur Indonesia.
Letak Buton yang secara geografis strategis, ternyata juga menyebabkan problem. Kepulauaan Buton kerap kali menjadi target bajak laut (Wafren, 2002). Perampok ini berasal dari Tobelo dan tempat Laut Sulu. Ancaman kepada kenyamanan masyarakat Buton ternyata tidak hanya berasal dari bajak bahari. Letak goegrafis wilayah ini juga menimbulkan Buton berada diantara efek politik Kerajaan Gowa dan Ternate (Zuhdi dkk, 2009). 
Dua problem tersebut tentunya menyebabkan penduduk Kepulauan Buton tidak aman, sehingga mereka banyak yang bermigrasi.Migrasi yang dilaksanakan orang Buton mempunyai contoh yang mampu diklasifikasikan menjadi dua golongan (Zuhdi, 2010). Pola Ternate cenderung menyebabkan orang Buton menempati kedudukan tinggi. Hal ini dikarenakan telah adanya korelasi akrab antarkesultanan. Hubugan ini melibatkan penduduk di Kulisusu Buton Utara yang memiliki kemampuan tertentu, sehingga dapat tinggal di lingkungan Keraton Ternate. Pola Ambon menempatkan mereka pada strata rendah. Orang Buton pada contoh migrasi Ambon didominasi oleh masyarkaat Kepulauan Wakatobi. Orang Wakatobi yang bermigrasi ini mulanya membuka daerah gres di Teluk Ambon dengan nama Kampuung Tomea Pekerjaan mereka didominasi oleh tukang becak, penjualtoko kelontong, dan hasil bumi berukuran kecil. 
 Saat Ini
 
Masalah sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat Buton saat ini mampu kita pahami dari curhatan atau info para nelayan. Dalam Festival yang gres-gres ini diadakan,dihadiri oleh 20.000 nelayan dan 30.000 penduduk pesisir pantai di Buton, Sulawesi Tenggara, Senin, 4 Maret 2019. Juga wakil pemerintah yang diwakili Kepala Staf Kepresidenan Jenderal Tentara Nasional Indonesia (Purn.) Dr Moeldoko. 
Di hadapan Moeldoko, para nelayan menyampaikan aspirasi banyak sekali urusan yang dihadapi. Ketua nelayan tradisonal Kabupaten Buton, La Jannah Ali mengungkapkan persoalan yang dihadapai nelayan di Buton mirip eksistensi kapal-kapal besar yang memasuki wilayah tangkap mereka. 
Mereka telah bersurat ke Kementerian Kelautandan Perikanan (KKP) supaya menindak kapal besar yang memasuki kawasan tangkapan nelayan tradisonal. Kemudian penempatan rumpon (alat bantu pengumpulikan yang memakai aneka macam bentuk dan jenis pengikat/atraktor dari benda padat) yang tidak cocok dengan jarak seharusnya.
Oleh alasannya itu, demi keberlangsungan kegiatan, nelayan tradisional Buton sungguh berharap KSP mampu mendorong penyelesaian persoalan ini. Bahkan, para nelayan berharapaduan ini disampaikan juga terhadap Presiden Joko Widodo semoga penyelesainnya makin dipercepat. Namun, hingga ketika ini belum ada respons dari kementerian yang dipimpin oleh Susi Pudjiastuti tersebut.
DAFTAR PUSTAKA :
Nurkholis Afid.07 April 2018. Dalam Jurnal : “Menengal Pusat Kebudayaan Maritim”.
JanuariusKuwado, Fabian. 5 Maret 2019. Dalam gosip nasional Kompas.com. 
Pusat Web Informasi : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, https://belajar.kemdikbud.go.id/PetaBudaya/Repositorys/SabangkaAsarope/ .
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Buton diakses tanggal 11 Mei 2019.
?m=1 diakses tanggal 11 Mei 2019.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabuengadiakses tanggal 11 Mei 2019.
Sumber gambar : pixabay
Wallahu a’lam..