Contoh Makalah Hukum Perikatan Dalam Islam


HUKUM PERIKATAN DALAM ISLAM
 
Kelompok III
Nur Hidayah     ( 04020130196 )
Awaluddin    ( 04020130174 )
Sandy Alfiar Pattiwael    ( 04020130178 )
Annisa     ( 04020130208 )
Ayuningtyas     ( 04020130214 )

Kelas : C2

FAKULTAS HUKUM
ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016


A.    Pengertian Perikatan Dalam Islam Dan Dasar Hukumnya
Perikatan dalam bahasa Arab terdapat dua ungkapan, pertama kata ‘aqada artinya menyimpulkan,dalam kamus Al Munawir, Bahasa Arab Indonesia aqad adalah mengikat, mampu juga disebut ‘uquud artinya perjanjian (yang tercatat) perjanjian . Kedua ‘ahdu yakni berjanji. Dari segi bahasa aqad yakni ikatan, mengikat. Ikatan artinya mengumpulkan atau menghimpun dua ujung tali. Fathurrahman Djamil menyamakan kata al ‘aqdu dengan ungkapan verbintenisdalam KUH Perdata. Sedangkan Istilah al ‘ahdu disamakan dengan kesepakatanatau overeenkomst, ialah pernyataan dari seorang untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan sesuatu yang tidak berhubungan dengan orang lain. Oleh Quraish Shihab kata ‘uquud diberikata pengertian mengikat sesuatu dengan sesuatu sehingga tidak menjadi bagiannya dan tidak terpisah dengannya. Dalam Kompilasi aturan Ekonomi Syariah kata aqad diberi perngerttian yaitu komitmen dalalm sebuah perjanjinan antara dua pihak atau lebih untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan perbuatan aturan tertentu. Jadi, aturan perikatan Islam ialah seperangkat kaidah aturan Islam yang mengendalikan wacana hubungnan antara dua pihak atau lebih perihal sebuah benda atau barang yang menjadi halal dari sebuah objek transaksi.

Menurut para mahir hukum Islam (fuqaha) aqad adalah pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang mengakibatkan akhir hukum kepada objeknya. Dengan demikian kaidah-kaidah hukum yang berafiliasi pribadi dengan aturan perikatan Islam yakni bersumber dari Alqur’an dan Sunnah Rasulullah (syariah) dan hasil ajaran manusia (ijtiha) selaku implemenatasi dari syariah adalah fikih. Ini bermakna aturan perikatan Islam di satu sisi bersifat hubungan perdata dan di satu segi yang lain selaku kepatuhan melakukan pemikiran agama Islam (syari’at Islam). hukum perikatan Islam bersifat religius transendental yang menempel pada kaidah-kaidah yang melingkupi aturan perikatan Islam itu sendiri selaku pencerminan dari otoritas Allah SWT.

Dasar Hukumnya

    1). Al-Qur’an

Surah Al-Maidah ayat 1

Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah komitmen-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang mau dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu saat kau sedang haji. Sesungguhnya Allah memutuskan aturan-hukum berdasarkan yang dikehendaki-Nya”.

Surah Ali Imran ayat 76

Artinya :
“(Bukan demikian), bahwasanya siapa yang menepati janji (yang dibuatnya) dan bertakwa, maka bergotong-royong Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”.

2). Hadist

“Dari Rifa’ah bin Rafi’ bahu-membahu Nabi SAW, ditanya: Apakah pencaharian yang paling baik? Jawabanya: pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan tiap-tiap perdagangan yang mabrur”.

3). Ijma’Ulama

Dalam hukum kesepakatan, terjadi perbedaan usulan dari beberpa ulama mazhab. Salah satunya Mazhab Hambali bahwa komitmen bebas dijalankan selama tidak ada hal-hal yang terperinci tidak boleh agama. Sedangkan pada Mazhab Hanafi, bahwa komitmen ialah hal yang dilarang, kecuali kalau ada kondisi yang membuatnya untuk berakad terhadap orang lain (Istihsan). Kemudian mazhab lainnya seperti Syafi’i juga tidak mengijinkan janji apabila objeknya belum ada di hadapan pihak yang memerlukan.
B.    Unsur-Unsur Dan Syarat Perikatan Dalam Islam
Unsur-unsur yang terdapat dalam perikatan sebagaimana dapa definisi aqad adalah pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum kepada objeknya. Pada definisi terdapat tiga bagian yang terdapat dalam sebuah perikatan, yakni :

  Mengenal Lebih Akrab Tipe Kepribadian Introvert (Pendiam) !!

1.    Hubungan Ijab dan Qabul 

Ijab adalah pernyataan keinginanoleh satu pihak (mujib) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Qabul adalam pernyataan mendapatkan atau menyepakati hasratmujib tersebut pihak lainnya (qaabil). Unsur ijab dan qabul selalu ada dalam sebuah perikatan.

2.    Dibenarkan oleh syara’

 Aqad yang dikerjakan tidak boleh bertentangan dengan syara’ (Alqur’an dan Sunnah Rasulullah). Demikian juga objek komitmen tidak boleh berlawanan dengan syara’ jika bertengangan maka komitmen itu tidak sah.

3.    Mempunyai akhir hukum kepada objeknya 

Aqad ialah tindakan hukum (tasharruf), mengakibatkan akibat hukum kepada objek hukum yang diperjanjikan.

syarat-syarat dari perikatan Islam atau janji, yang mana akad akan terjadi apabila sudah menyanggupi syarat pada: 

1.    Subjek Hukum (aqidain) 
Menurut Ash-Shiddicqy, bahwa kedua belah pihak yang berakad atau melaksanakan perjanjian mesti mahir (ahliyatul aqidaini). Baik itu perorangan maupun dengan tubuh hukum atau institusi. Tidak akan sah komitmen jika dilaksanakan oleh orang ajaib , anak kecil yang belum mengetahui, dsb.

2.    Objek Hukum (mahallul aqad) 


Objek akad atau perikatan haruslah mampu diterima secara hukum, utamanya hukum Islam. Kemudian disamping itu, objek janji terbagi beberapa persyaratan yang mesti dipenuhi:
a.    Objek perikatan mesti ada dikala dilangsungkan atau tersedia untuk diakadkan dan janji akan selsai jika objek tersebut sudah diserahkan terhadap yang berhak mendapatkan. Islam tidak mengijinkan menjual objek yang belum waktunya, mirip memasarkan anak sapi yang masih dalam kandungan atau menjual buah yang belum masak.

b.    Objek akad atau perikatan dalam Islam harus dibenarkan syari’ah. Tidak dibenarkan objek perikatan yang haram, baik zat maupun cara mendapatkannya. Inilah yang membedakan perikatan Islam dengan perikatan biasa .

c.    Objek komitmen atau perikatan dalam Islam harus terang dan mampu dikenali dari jenis, bentuk, ukuran, dan urgensi barang tersebut.

d.    Objek dapat diserah terimakan pada ketika kesepakatan terjadi atau pada waktu yang telah disepakati sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam suatu transaksi.

C.    Prinsip Perikatan Dalam Islam


1.      Al – Hurriyyah (Kebebasan)
Asas ini ialah prinsip dasar dalam fiqih mu’amalah dan merupakan prinsip dasar pula dalam aturan perjanjian (akad). Pihak-pihak yang melaksanakan kesepakatan memiliki kebebasan untuk menciptakan sebuah perjanjian, baik dalam memilih yang diperjanjikan (objek perjanjian) maupun syarat-syaratnya, termasuk memutuskan cara-cara solusi jika terjadi sengketa.

2.      Al – Musawah (Kesetaraan)

Asas ini menunjukkan landasan bahwa kedua belah pihak yang melakukan janji mempunyai kedudukan yang sama atau setara antara satu dengan yang lainya. Sehingga, pada ketika memilih hak dan kewajiban masing – masing didasarkan pada asas persamaan atau kesetaraan ini.

3.      Al –‘Adalah (Keadilan)

Keadilan ialah salah satu sifat yang kuasa dan al-Qur’an menekankan supaya insan menjadikanya sebagai ideal tabiat. Pelaksanaan asas ini dalam janji dituntut untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan kondisi serta menyanggupi semua keharusan yang disepakati dalam perjanjian. Asas ini berkaitan akrab dengan asas kesetaraan, meskipun keduanya tidak sama, dan merupakan lawan dari kezaliman yaitu mencabut hak  hak kemerdekaan orang lain dan atau tidak menyanggupi keharusan terhadap kesepakatan yang dibuat.

  Syiar Islam Dan Kunci Memahami Syariat

4.      Ar- Ridha (Kerelaan)

Asas ini menyatukan segala bentuk transaksi yang dijalankan mesti atas dasar kerelaan semua pihak. Kerelaan antara pihak- pihak yang berakad di anggap sebagai syarat terwujudnya semua transaksi. Jika dalam sebuah transaksi asas ini tidak terpenuhi, dipandang telah menyantap sesuatu dengan cara yang batil (al-akl bil-bathil). Transaksi yang dilaksanakan tidak dapat dibilang telah mencapai bentuk sebuah usaha yang dilandasi saling rela antara pelakunya bila di dalamnya terdapat unsur tekanan, paksaan, penipuan atau ketidak jujuran dalam pernyatan. Kaprikornus, asas ini mewajibkan tidak adanya paksaan dalam proses transaksi dari pihak manapun.

5.      Ash – Shidiq (Kejujuran atau Kebenaran)

Kejujuran yaitu salah satu nilai budbahasa yang fundamental dalam Islam. Islam dengan tugas melarang kebohongan dan penipuan dalam bentuk apapun. Nilai kebenaran ini kuat pada pihak- pihak yang melakukan perjanjian untuk tidak berdusta, membohongi dan melakukan pemalsuan, pada ketika asas ini tidak tercukupi, legalitas janji yang dibentuk mampu menjadi rusak. Pihak yang merasa dirugikan balasan ketidakjujuran yang dilaksanakan pihak lainya dalam suatu janji, mampu menghentikan kesepakatan tersebut.

6.      Al – Kitabah (Tertulis)

Prinsip lain yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan akad yaitu pencatatan. Islam mengisyaratkan semoga komitmen yang dilaksanakan benar-benar berada dalam kebaikan (berfaedah) bagi semua pihak yang melaksanakan janji. Oleh karena itu, komitmen mesti dijalankan dengan kitabah (penulisan, perjanjian, persetujuan), terutama dalam transaksi bentuk handal. 
D.    Bentuk-Bentuk Perikatan Dalam Islam

Dilihat dari kaitannya dengan objek perikatan, secara garis besar ada empat macam perikatan:

1.    Perikatan Utang (al Iltizam bi ad Dain) 

Kunci untuk mengerti mengetahui konsep utang dalam hukum Islam adalah bahwa utang dinyatakan sebagai suatu yang terletak dalam dzimmah (tanggungan) sesorang. Sumber-sumber perikatan utang (al Iltizam bi ad Dain) dalam hukum Islam yakni selaku berikut: yang pertama adalah janji, yang kedua yaitu keinginansepihak seperti wasiat, hibah, nazar yang objeknya yakni sejumlah uang atau benda, dan yang ketiga yakni tindakan melawan hukum yaitu semua bentuk tanggungan (adh dhaman) yang muncul dari selain komitmen, seperti pencurian, perusakan yang objeknya adalah barang. Sumber yang keempat ialah pembayaran tanpa alasannya, yang kelima adalah syara’ adalah ketentuan syariah yang memutuskan kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan pembayaran tertentu pada seseorang.

2.    Perikatan Benda (al Iltizam bi al ‘Ain) 

Perikatan benda ialah sebuah kekerabatan aturan yang objeknya ialah benda tertentu untuk dipindahmilikkan baik bendanya, keuntungannya atau untuk diserahkan atau dititipkan kepada orang lain. Sumber-sumber perikatan benda yaitu kesepakatan dan ini ialah sumber paling penting dari perikatan benda, mirip jual beli atau sewa menyewa. Sumber lainnya yaitu kehendak sepihak mirip wasiat, dan tindakan melawan aturan juga mampu dijadikan sumber perikatan benda, mirip perkara gasab.

3.    Perikatan Kerja/ Melakukan Sesuatu (al Iltizam bi al ‘Amal) 

Perikatan Kerja/ Melakukan Sesuatu (al Iltizam bi al ‘Amal) adalah suatu korelasi hukum antara dua pihak untuk melaksanakan sesuatu. Sumbernya adalah komitmen istisna’ dan ijarah. Istisna’ yakni akad untuk melaksanakan sesuatu dimana bahan dan kerja dilakukan oleh pihak kedua atau pembuat. Sedangkan ijarah ialah sebuah kesepakatan atas beban yang objeknya adalah manfaat dan jasa. Akad ijarah ada dua ialah ijarah al manafi (sewa menyewa) dan ijarah al a’mal (persetujuankerja).

  Diagnosis Related Group Mengendalikan Tarif Rumah Sakit

4.    Perikatan Menjamin (al Itizam bi at Tautsiq) 

Perikatan menjamin ialah suatu bentuk perikatan yang objeknya adalah menanggung (menjamin) suatu perikatan. Maksudnya pihak ketiga mengikatkan diri untuk menanggung perikatan pihak kedua kepada pihak pertama. Perikatan yang ditanggung ada tiga macam, ialah perikatan utang, perikatan benda dan orang yang ditanggung dalam akad al kafalah bi an nafs.

E.    Berakhirnya atau Batalnya Perikatan Dalam Islam
Akad atau perikatan dalam Islam dapat selsai sebab umumnya dua hal, menurut Basyir, bahwa dua hal tersebut yakni sudah tercapainya tujuan kesepakatan dan fasakh atau waktunya rampung. Fasakh tersebut berakhir alasannya alasannya-alasannya adalah berikut:

1.    Difasakh, alasannya adanya hal-hal yang tidak boleh syara’, contohnya objek akadnya dimengerti dari hasil yang tidak halal atau jual beli barang yang tidak menyanggupi syarat kejelasan barang tersebut (gharar).

2.    Karena pembeli memilih untuk membatalkan perdagangan alasannya adalah karena-alasannya adalah tertentu dalam khiyar, seperti ditemukan ada yang tidak sesuai pada barang yang dia beli mirip adanya ketaknormalan.

3.    Karena salah satu pihak membatalkan akad dengan catatan ada kesepakatan lain. Cara fasakh ini disebut iqalah.

4.    Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya kesepakatan tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya alasannya overmact, yakni kondisi yang membuat debitur tidak bisa menyanggupi keharusan dikarenakan aspek-faktor eksternal. Apabila pihak yang sebaiknya memenuhi keharusan dengan sengaja tidak melakukannya, maka mampu dilaporkan ke badan aturan litigasi (peradilan) atau/dan non litigasi (arbitrase) terutama yang telah distandarisasi syari’ah.

5.    Karena habis jangka waktunya, seperti dalam janji sewa manyewa dalam rentang waktu tertentu dengan catatan mesti dikembalikan secara utuh kalau dalam penyewaan barang.


KESIMPULAN :

Perikatan dalam Islam yaitu sebuah hukum yang mengikat seseorang dengan orang lain dalam suatu kesepakatanyang dikontrol secara syari’at Islam. Kaidah-kaidah aturan yang berhubungan pribadi dengan aturan perikatan Islam yakni bersumber dari Alqur’an dan Sunnah Rasulullah (syariah) dan hasil ajaran insan (ijtiha) selaku implemenatasi dari syariah yakni fikih. Ini bermakna aturan perikatan Islam di satu sisi bersifat korelasi perdata dan di satu sisi yang lain selaku kepatuhan melakukan pemikiran agama Islam (syari’at Islam). aturan perikatan Islam bersifat religius transendental yang melekat pada kaidah-kaidah yang melingkupi aturan perikatan Islam itu sendiri selaku pencerminan dari otoritas Allah SWT.

Unsur-komponen perikatan dalam Islam sama dengan rukun akad yang disepakati jumhur, ialah pelaku kesepakatan, objek kesepakatan, dan ijab-qabul. Syarat-syaratnya pelaku janji harus piawai, objeknya terperinci, halal, tersedia, dan mampu diserah terimakan. Asas-asanya ialah asas ketuhanan, keadilan, kebolehan, kerelaan, tertulis, dsb. Perbedaan perikatan dalam Islam dengan perikatan pada umumnya itu terlihat dari bagaimana perspektif Islam kepada aturan perikatan itu. Misalnya Islam melarang riba dalam hutang-piutang, yaitu meminta bunga dari pengembalian dukungan duit. Apabila terjadi pertikaian atau persengketaan, tuntaskan di dua badan hukum, pertama pada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) apalagi dulu, lalu ke Peradilan Agama bila tak mampu diatasi di BASYARNAS tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

 
(Diakses pada hari Selasa, 19 April 2016)
(Diakses pada hari Selasa, 19 April 2016)