Gong dari rumah panjang menggelegar bertalu-talu. Penduduk kampung Tebelianmangkang sudah tahu. Jika gong ditabuh, memiliki arti ada kondisi genting. Mereka pun bergegas mendatangi rumah itu. Rupanya, seorang perempuan bernama Darahitam akan melahirkan bayi. Namun, bayinya tak juga mau keluar. Darahitam sangat cemas. Sebelumnya, telah dua kali bayinya meninggal. Sambil kesakitan, beliau berdoa dan bernazar.
“Jubata, tolonglah agar anakku lahir dengan selamat. Lelaki atau perempuan, anak ini akan kupersembahkan menjadi pelayanmu!”
Jubata ialah tuhan tertinggi suku Dayak. Jubata yakni perantara antara insan dan Tuhan. Darahitam percaya, Jubata akan menolongnya. Dan …. “Hoa, hoa, hoa…,” bunyi tangis bayi memecah keheningan.
Seluruh penduduk desa menyambut besar hati. “Ia lahir dengan selamat!
Bayi yang manis! Kulitnya bersih. Hidungnya mancung. Alisnya tebal. Bulu matanya lentik,” seru para perempuan. Karena sangat bagus, bayi perempuan itu dinamakan Domia. Dalam bahasa Dayak, domia memiliki arti dewi.
Seperti ramalan banyak orang, Domia berkembang menjadi gadis jelita. Banyak laki-laki yang melamarnya. Namun, Domia menolak sebab dia terikat nazar ibunya pada Jubata. Domia ditakdirkan menjadi pelayan Tuhan atau imam wanita.
Seorang imam tak boleh menikah. Tak seorang pun mampu membatalkan nazarnya, kecuali Jubata sendiri yang mencabutnya. Meskipun demikian, Domia jatuh cinta terhadap cowok berjulukan Ikot Rinding. Pemuda itu pun menyayangi Domia.
Namun, Ikot Rinding heran karena Domia tak mau menikah dengannya.
Suatu hari yang panas, pergilah Ikot Rinding memancing. Karena tak ada seekor ikan pun yang didapatnya, beliau pun pergi ke hulu sungai. Di tengah jalan, Ikot Rinding terhenti. Ia menyaksikan Domia sedang mencuci pakaian. Pemuda itu langsung menghampiri gadis pujaan hatinya.
“Domia, mengapa kamu tak mau menjadi istriku?” tanya Ikot Rinding.
Mendengar pertanyaan itu, Domia terkejut. Gadis anggun itu akhirnya berterus terperinci. Ia bercerita wacana nazar ibunya pada Jubata dikala melahirkannya. Betapa murung hati Ikot Rinding mendengar kisah itu. Ia tahu, nazar pada Jubata hanya mampu dibatalkan oleh Jubata sendiri, namun … ke mana beliau harus mencari Jubata?
Demi cintanya pada Domia, Ikot Rinding pun mengembara. Setelah enam hari mengembara, sampailah dia di Bukit Sungkung. Ikot Rinding beristirahat dan tertidur pulas di bawah pohon rindang. Begitu berdiri, hari sudah pagi, bermakna ini hari ketujuh pengembaraannya mencari Jubata.
Ketika akan melangkah pergi, Ikot Rinding terkejut. Ia menyaksikan sebuah sumpit tergeletak di tanah. Ikot Rinding secepatnya memungutnya dan meneruskan pengembaraannya. Ketika melintasi sebongkah kerikil, beliau tiba-tiba teringat pada hikmah ibunya, “Jangan sekali-kali mengambil barang orang lain tanpa izin.
Seketika Ikot Rinding berbalik dan menaruh sumpit itu ke kawasan semula.
Ikot pun meneruskan perjalanannya mencari Jubata. Badannya letih. Ia merasa lapar dan dahaga. Akan tetapi, begitu ingat Domia, ia bersemangat kembali. Tiba-tiba terdengar suara desisan. Sekelebat melintas seekor ular tedung. Ia terhenti di depan Ikot Rinding. Lidahnya kecil panjang bercabang.
Badannya yang tadi melingkar, ditegakkan. Ikot Rinding sadar, ia mesti berhati-hati. Tangan kanannya sekarang menjangkau ranting. Diputar-putar ranting itu, dengan cepat tangan kirinya menyambar si ular tedung. Ular itu rupanya terpedaya oleh gerak tipunya. Dilemparkannya ular tedung itu ke tepi jurang.
Usai insiden itu, terdengar langkah kaki. Rupanya ada orang yang menonton pertengkaran Ikot Rinding melawan ular tedung. Semula Ikot Rinding curiga. Namun, wajahpemuda itu tampak ramah.
“Aku Salampandai, putra bungsu raja hutan di sini,” ungkapnya.
Salampandai bercerita telah dua hari ini dia berburu. Namun, tak berhasil menangkap apa pun. Ini gara-gara senjatanya hilang. Ia juga bercerita bahwa ayahnya menyuruhnya berlatih menyumpit.
Sekarang Ikot Rinding tahu siapa pemilik sumpit yang ditemukannya tadi. Ia mengajak Salampandai ke daerah sumpit itu. Benda itu masih ada di sana. Karena besar hati, Salampandai memanggil Ikot Rinding menginap di rumahnya. Ia ingin mengenalkan teman barunya kepada keluarganya.
Bahkan, ia pun ingin menjadikan Ikot Rinding saudara angkatnya, walau dia telah memiliki enam orang kakak.
Sejak ketika itu, Ikot Rinding diizinkan tinggal di istana. Raja dan ratu sungguh menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Salampandai dan Ikot Rinding pun selalu bareng ke mana pun mereka pergi. Suatu hari raja berpesan kepada Ikot Rinding dan keenam putranya ketika mereka akan pergi berburu, “Jaga si bungsu baik-baik!” Ikot Rinding pun mengangguk, tetapi keenam saudara kandung Salampandai tak menjawab. Mereka tak menggemari Ikot Rinding. Mereka merasa ratu dan raja hanya memerhatikan si Bungsu dan Ikot Rinding. Mereka lalu membuat planning mencelakakan salah satu dari Ikot Rinding atau si Bungsu. Mereka mengajak si Bungsu dan Ikot Rindang ke hutan
Setibanya di hutan, mereka harus berpencar. Salampandai menerima kawasan yang jauh agak mendaki dan Ikot Rinding ke daerah yang menurun. Keenam kakak Salampandai sengaja memisahkan mereka berdua. Namun, ketika keenam orang itu sudah pergi, membisu-diam Ikot Rinding membuntuti
Salampandai. Ia tahu keenam orang itu sengaja memerintahkan Salampandai ke tempat yang berbahaya.
“Berhenti! Jangan lewat gua itu!” teriak Ikot Rinding pada si Bungsu.
Ikot Rinding tahu, di gua itu hidup sekawanan kalong. Gigi dan cakar hewanhewan itu sungguh tajam. “Salampandai, tiarap!” teriak Ikot Rinding dikala menyaksikan gumpalan hitam keluar dari verbal gua. Akan namun, telat. Si Bungsu sekarang dalam kepungan kelelawar.
Dengan tangkas, Ikot Rinding mecabut mandau. Ia menebas ke segala arah.
Satu per satu hewan gua itu dikalahkannya. Kini tinggal raja kelelawar yang berbadan besar. Kali ini Ikot Rinding memakai sumpitnya. “Fuuhhhh!”
Hanya sekali tiupan, robohlah si raja kelelawar. Si Bungsu pun selamat.
Keduanya lalu pulang. Salampandai menceritakan insiden pada ayahnya. Raja sangat takjub mendengarkan cerita ketangkasan Ikot Rinding. beliau sungguh bahagia alasannya putra kesayangannya selamat.
“Mintalah apa saja yang kamu kehendaki,” ujarnya terhadap Ikot Rinding.
“Hari ini juga akan segera kupenuhi.”
Pada saat itu Ikot Rinding gres sadar. Ayah Salampandai ternyata yakni Jubata itu sendiri. Inilah saat yang diimpikannya. Meski agak ragu, Ikot Rinding pun berkata, “Aku memohon bukan untuk diriku, namun untuk orang lain. Sudilah kiranya Raja membebaskan Domia dari nazar ibunya, Darahitam.”
Jubata ingat. Tujuh belas tahun yang kemudian, seorang ibu bernama Darahitam kesulitan bersalin. Karena putus asa, Darahitam bernazar dan kini Ikot Rinding meminta semoga nazar itu dilepaskannya. Jubata yang bijaksana mengetahui. Berbuat baik jauh lebih penting ketimbang memegang ketekunan suatu sumpah.
“Permohonanmu kukabulkan,” ujarnya.
“Apakah tandanya?” tanya Ikot Rinding.
Melihat keraguan putra angkatnya, Raja masuk ke kamarnya. Begitu keluar, tangannya memegang setangkai anggrek hitam, yang cuma berkembang di halaman istana Jubata.
“Inilah tandanya,” sabda Jubata. Anggrek itu lalu diserahkannya terhadap Ikot Rinding. “Begitu Domia mendapatkan sendiri dari uluran tanganmu, bunga ini segera berganti warna. Itulah mengambarkan bahwa nazar ibunya telah kulepaskan.”
Usai menerima anggrek hitam itu, Ikot Rinding bergegas meninggalkan istana. Ia telah sungguh rindu pada Domia. Perjalanan panjang ditempuhnya tanpa rasa lelah. Tak terasa, tibalah dia di kampung Tebelianmangkang.
Anggrek hitam diserahkannya terhadap Domia. Tanpa banyak bicara, Domia berdasarkan saat diminta memejamkan matanya. Ketika membuka kelopak matanya, dia melihat anggrek hitam sudah berubah warna jadi putih higienis. Indah berseri bagai anggrek bulan. Domia terlepas dari nazar ibunya.
Akhirnya, Ikot Rinding dan Domia hidup bahagia sampai mereka bau tanah.
(Sumber: Bobo, No. 10/XXVIII)