Sudah lima tahun laki-laki itu jadi langganan restoran aku. Saya tahu benar siapa beliau itu dahulu dan sekarang. Dulu ia seorang mayor. Sekarang beliau tidak memiliki gaji tetap. Ia pelukis. Karena itu pula saya tahu benar, jikalau beliau akhir makan dan tersenyum asing dan menghunus tangannya ke atas, bukan memiliki arti beliau akan mengeluarkan uang, tapi memiliki arti dia akan mengutang pada saya. Saya lantas mengambil buku bon dan menuliskan jumlah utangnya terhadap saya.
Seperti juga aku, ia telah menjadi renta, lebih bau tanah dari umur yang sebenarnya. Tapi berlawanan dengan aku, yang sudah punya anak lima, dia, kawan usang saya itu, belum punya anak seorang pun. Dia belum punya anak alasannya adalah belum kawin. Saya tidak tahu apa karena ia belum kawin, seperti juga aku tidak tahu apa karena lelaki-laki-laki yang lain yang menyukai hidup sendiri di dunia ini.
Belakangan ini aku cemas melihat keadaannya. Dia semakin pemurung. Pekerjaan saya bergotong-royong bukan tukang hibur, pekerjaan saya yakni pemilik kedai makanan ini dan tidak lebih dari seorang suami dan bapak dari lima anak, tetapi pada ketika aku mengenali beliau kian pemurung, tergerak hati saya ingin menghiburnya.
“Mayor,” kata aku, dan dia kagetsekali mirip seorang yang sedang tidur dibangunkan. Dia tidak tidur. Dia sedang merokok.
“Mayor kelihatan susah,” kata aku.
“Saya kepingin ada pertempuran lagi,” jawabnya.
“Aneh! Kenapa Mayor hingga berpikir begitu?”
“Saya kepingin ada pertempuran lagi,” katanya.
Suaranya bukanlah bunyi pertempuran. Suaranya biasa saja dan bukan seperti suara komandan perang.
“Ke Irian Barat?” tanya aku.
“Ya, ke Irian Barat boleh, Konggo boleh, Aljazair boleh. Saya kepingin mengulangi riwayat pelukis Goya.”
Ketika aku mengenang film wacana pelukis Goya yang pro revolusi dan dalam kepala saya terbayang pula keberanian mayor ini dahulu, masuklah seorang perempuan yang juga jadi langganan aku. Saya sendiri tidak kenal dengan perempuan itu apakah beliau perawan bau tanah atau seorang janda. Yang aku kenal daripadanya hanya dia seorang langganan saya yang jika masuk terus memesan es kopyor.
“Es kopyor,” katanya.
Kawan aku bekas mayor itu aku amati tidak mengacuhkan wanita itu. Saya menjadi jengkel. Saya jengkel bila menyaksikan seorang lelaki yang tidak memiliki kegairahan kalau menyaksikan perempuan, setidak-tidaknya kegairahan pada pandangan matanya saja dan tidak usah memeluknya di kedai makanan.
“Makan?” tanya aku, ketika saya mengantarkan es kopyor.
“Ya, seperti biasa.”
Seperti biasa dia makan soto dan nasi putih dan sepiring sup. Sup ini umumnya dimakannya belakangan dan lambat-lambat.
Ketika saya menoleh kembali terhadap kawan saya bekas mayor itu, mitra aku bukan melihat ke arah wanita itu, tapi mengacungkan tangannya tanda akan berhutang. Lalu beliau pergi.
“Siapa dia itu?” tanya wanita itu.
Saya lebih bahagia dengan pertanyaan perempuan ini, dan wanita ini sendiri pada saat ini, punya keunggulan sedikit, untuk pertama kali dalam mata aku.
“Dulu dia mayor.”
“Sekarang?”
“Sekarang dia pelukis.”
“Rasanya aku pernah kenal beliau.”
“Di mana?”
“Saya lupa di mana,” kata perempuan itu sambil mengernyitkan keningnya.
Saya makin bahagia dengan wanita ini. Bukan bermakna saya meletakkan hati kepadanya, alasannya adalah saya telah punya istri dan lima orang anak. Seorang istri buat aku telah lebih dari cukup, dan lima orang anak telah cukup lebih-lebih menyibukkan saya.
“Dia belum kawin,” kata aku.
“Ya. Saya tahu dia belum kawin,”
Restoran telah sepi, dan saya menjajal beramah-tamah sebentar.
“Saya heran,” kata saya memulai keramahan.
“Mengapa?”
“Saya heran dalam zaman di mana kita berpikir secara mudah ini masih ada orang yang tidak suka pada perkawinan,” kata aku.
“Perkawinan itu membantu hidup mudah.”
Saya termenung sebentar menunggu tanggapan.
“Di mana Nyonya tinggal?”
“Di Jalan Tanjung.”
“Kenapa tidak tiba menenteng bawah umur?” tanya saya.
“Saya tidak punya anak,” jawabnya.
Sebenarnya saya mau menanyakan, “Kenapa Nyonya tidak bawa suami Nyonya ke sini?” tetapi saya takut dianggap laki-laki renta yang kurang sopan.
Orang-orang renta memang mempunyai keteguhan dalam segala soal, mereka berusaha berhemat secermat mungkin dalam segala hal, juga dalam pertanyaan-pertanyaan. Kecuali jikalau mereka tambah renta dan mulai pikun, mereka kembali jadi bawah umur dan boros kembali dalam segala hal, juga dalam pertanyaan-pertanyaan.
Karena aku belum boros dan belum pikun, aku menanyakan lainnya, “Nyonya sepertinya dari daerah Sumatera.”
“Memang. Saya masih baru di sini. Baru kira-kira enam bulan. Saya belum cocok dengan makanan di rumah daerah indekos aku, karena itu selama enam bulan di sini saja aku makan,” katanya dengan ramah. “Di Sumatera aku tak berani makan di kedai makanan.”
Pada saat itu dia menyaksikan kehidangan di depannya dan menyampaikan pada aku bahwa ia mau mulai makan dan aku pun minta maaf.
Besoknya saya mengharap mitra aku bekas mayor tiba lagi, karena ada hal penting yang mau saya sampaikan.
“Kenapa Mayor tidak menegur ia?”
“Saya tidak kenal memang.”
“Dia bilang kenal sama Mayor.”
“Mungkin ia ngimpi. Perempuan-wanita memang lebih pengimpi dan kita pria.”
Karena saya tahu benar, mitra aku bekas mayor itu memang membenci dengan kisah-kisah perempuan, aku menghentikan pertanyaan saya hingga di situ saja.
“Di mana beliau tinggal?” tanya perempuan itu saat dia tiba ke kedai makanan saya lagi.
“Tidak tahu saya.”
“Mungkin Nyonya salah,” kata aku kemudian.
“Tidak mampu. Saya kenal betul raut mukanya. Hidungnya itu tidak bisa dirubah-rubah lagi. Tapi dia telah agak bau tanah kini,” kata perempuan itu. Dia memesan segelas es kopyor lagi.
Seperti biasanya, perempuan ini datang jikalau kedai makanan sudah hampir ditutup dan pengunjung-hadirin telah tidak kelihatan. Tadinya beliau menanyakan terhadap saya apakah bekas mayor itu sudah tiba. Saya katakan tidak pernah lagi.
“Dia masih keras hati,” kata wanita itu.
“Kalau begitu Nyonya kenal betul dengan dia,” kata saya.
Wanita itu membisu agak usang.
“Dulu ia guru saya,” katanya kemudian.
“Di mana?”
“Di Medan.”
Kalau begitu semestinya mitra aku bekas mayor itu kenal betul dengan wanita ini. Wanita ini mampu menceritakan seluruhnya wacana mayor itu.
“Nyonya kini guru juga?” tanya saya.
“Jangan panggil aku nyonya.”
Saya termenung.
“Dia masih keras kepala,” kata wanita itu sambil berdiri dan membuka tasnya dan memberikan uang. Lalu wanita itu pergi.
Biarpun sebetulnya kedai makanan telah patut ditutup, alasannya adalah aku masih menimbang-nimbang keganjilan hidup ini, saya melongo saja di bangku dan minta pada pelayan segelas kopi. Tiba-tiba kawan saya bekas mayor masuk.
“Dia tadi ke sini lagi?”
“Siapa?”
“Perempuan tidak tahu malu itu,” kata kawan saya.
“Ya,” jawab saya.
“Dia membuntuti aku terus. Perempuan kalau telah ajaib sama laki-laki begitulah. Bukan kita yang membuntuti beliau, namun dia membuntuti kita.”
“Ada apa rupanya?”
“Dia murid saya dahulu. Enam bulan yang kemudian saya melihat beliau pertama kali. Saya benci wanita tidak berpendirian begitu.”
Lalu kawan aku minta kopi pada pramusaji dan memasang rokoknya. Agak lama dia bengong dan agak usang pula saya kekurangan kata-kata. Saya menyaksikan pada paras mitra aku bekas mayor ini kebencian yang sungguh kepada wanita.
“Saya punya pendirian. Dia tidak,” katanya.
“Tapi zaman telah berubah,” kata saya melembutkan hatinya.
“Siapa bilang zaman sudah berganti. Orang-orang yang telah berganti. Dan yang berganti itu otaknya,” kata mayor itu.
“Kalau begitu saya yang salah,” kata saya.
“Bung tidak salah. Bung betul. Bung buka kedai makanan sesudah perang. Bung kawin. Bung beranak. Sudah berapa anak Bung?”
“Lima.”
“Nah, lima. Tapi saya? Paling-paling aku akan hidup lima belas tahun lagi dan jikalau aku kawin kini, saat aku tua, anak aku baru berumur empat belas tahun dan sedang lahap dengan cita-cita, sedang gairah terhadap hidup ini, dan dikala itu saya mati dan saya mematahkan keinginan dan kegairahan hidupnya! Lebih baik aku mematahkan kegairahan hidup saya daripada saya mematahkan kegairahan hidup anak muda” katanya dengan lesu.
“Pasti lima belas tahun lagi Mayor akan mati?”
“Tidak niscaya. Mungkin sepuluh tahun lagi. Atau mungkin juga besok? Siapa bisa menerka?”
“Tapi Mayor telah menerkanya sendiri,” kata saya sambil ketawa, namun kemudian menyesal kenapa aku ketawa. Saya ketawa karena merasa lucu.
“Bung tahu berapa kira-kira umurnya?” tanyanya. Saya menggelengkan kepala. Dan ia menyatakan, “Tiga puluh setidak-tidaknya.”
“Tiga puluh,” kata saya, “masih cukup muda.”
“Bung tahu, berapa lamanya saya berdendam?”
“Tidak,” jawab aku, sebab memang saya tidak tahu.
“Empat belas tahun aku berdendam. Waktu itu ia masih gadis berumur enam belas tahun dan murid saya yang gres lulus. Karena kekolotan orang tuanya, lamaran aku ditolak. Ditolak mentah-mentah. Benar ditolak mentah-mentah. Dan apa yang aku bilang dikala itu? Ini, seumur hidup anak bapak tidak akan ditawar orang,” mitra aku tersenyum.
“Benar tidak ramalan mulut saya? Coba, jika ia pernah kawin, potong indera pendengaran saya. Anak itu sendiri sebetulnya mau. Namanya Nurhayati. Dan beliau memang masih keturunan darah biru. Tapi si Goya ini, ya, saya ini, mau melamar putri anak ningrat, betapa gobloknya si Goya.”
Kawan aku ketawa.
“Tapi bapaknya telah mati. Bukankah bapaknya yang menolak?”
Dia melamun mendengar kata-kata saya itu. Lama dia melongo. Tapi datang-datang dia mengunjukkan acungan tangannya, tanda akan berhutang dan katanya, “Persetan, persetan. Sedang untuk hidup sendiri saja saya tidak sanggup dan berhutang, Apalagi mengawininya,” katanya dan lalu pergi begitu saja, sambil ketawa-ketawa.
Pada suatu kali datang lagi wanita itu. Dia menanyakan pada saya soal-soal teman aku itu, dan lebih dari bertanya, malah memaksa nampaknya. Satu hal yang bisa saya katakan, “Dia takkan kawin-kawin.”
“Empat belas tahun beliau berdendam pada aku, Pak,” kata perempuan itu.
Mulanya wanita itu berwajah sedih. Tapi kemudian mukanya jadi merah padam dan sekilas saya menangkap kebencian seseorang di matanya,
Dan pada sebuah kali kedai makanan saya menerima kabar baru, sebab saya melihat perempuan itu tidak tiba sendiri, tetapi tiba berdua.
Saya lihat perempuan itu masuk dengan seorang laki-laki, dan lelaki itu bukanlah bekas mayor kawan saya itu. Agaknya dia seorang seniman juga, sebab berjanggut dan berkumis. Saya menyampaikan dia seniman, karena bagi aku tidak sukar untuk julukan itu, karena julukan itu sudah terlalu populer dengan tanda-tandanya yang abnormal, biarpun langganan saya juga ada beberapa orang yang perlente dan tetap seniman.
“Ini suami aku,” kata perempuan itu.
“Kau suka es kopyor?” tanya perempuan itu lagi. Lelaki itu mengangguk. Saya nervous sejak mereka datang. Saya nervous betul-betul alasannya adalah kabar ini akan menggoda bila aku kabarkan pada mitra saya itu.
Tapi apa yang terjadi saat isu itu saya sampaikan pada mitra saya bekas mayor itu, dia cuma menjawab dengan senyum mengejek, “Beberapa hari yang lalu dia minta permisi pada saya untuk kawin dengan seniman snobis itu. Empat belas tahun aku berjanji tidak akan mengucapkan sepatah kata, Bung kira saya ada menjawabnya? Sepatah kata pun tidak. Dan dia pergi tersedu-sedu dan beliau sekarang kawin dengan seniman picisan itu.”
“Bagaimana Bung pikir? Kalau saya kawin apa tidak menggelikan? Apa nanti ditertawakan?”
“Tidak,” jawab saya.
“Ada seorang janda yang menarik hati saya di Jalan Mataram. Tapi aku kira semestinya tidak kawin. Masa empat belas tahun akan terhapus oleh hujan sehari?” tanyanya terhadap saya.
Sungguh, selama aku jadi pemilik restoran, belum pernah aku melihat kejadian yang lebih mempesona dari ini. Sebab sebulan lalu saya menyaksikan kawan saya bekas mayor datang ke restoran aku membawa seorang perempuan berkebaya yang anggun sekali dan diperkenalkan kepada saya bahwa perempuan itu yakni istrinya.
Hari itu malam Minggu. Di Meja nomor 5 duduk sepasang suami-istri, yaitu perempuan dari medan dan suaminya, dan agak jauh sedikit di meja nomor 7 duduk sepasang suami-istri, yakni kawan aku pelukis dan bekas mayor, dan istrinya. Kawan saya itu mendekati aku dan bertanya,
“Apa yang mereka pesan?”
Lalu aku mengunjukkan apa yang dipesan oleh meja nomor 5. Lalu meja nomor 7 meminta supaya pesanan kuliner mereka dua kali lipat.
“Saya dan istri saya gres saja dari Kaliurang,” kata kawan saya. Suaranya agak keras sedikit dari biasa.
“Ya,” kata istrinya.
“Pameran di Jakarta hanya dapat seratus ribu. Bung,” katanya lagi, dengan bunyi agak keras.
“Cukup banyak,” kata aku.
“Saya kepingin beli sedan kalau ekspo laku lagi,” katanya.
Lalu aku berpikir, memang gila kehidupan ini, dan aku tidak ingin menyampaikan bahwa kehidupan ini memang asing juga. Saya tidak keberatan bila pengunjung-pengunjung kedai makanan saya bertarung dalam makan. Sebagai pemilik restoran yang baik, saya selalu berharap hadirin-pengunjung kedai makanan aku makan seenak mungkin dari makanan yang kami suguhkan. Lebih cepat tutup lebih baik, karena saya bisa pulang lekas-lekas, bertemu istri dan lima anak aku. Besoknya aku bangkit pagi-pagi dan berangkat ke sini lagi.
Cuma akhir-akhir ini saya ingin membeli radio pick-up barang suatu membikin kebun di samping itu dengan lampu-lampu merah biru, lalu memperbesar ruangannya. Kalau perlu saya akan mencari akal, bagaimana supaya pengunjung-hadirin lebih senang.
TAMAT