close

Cerpen Dewa Dengan Suatu Malam

“Maukah kau kawin dengan saya?”
“Kenapa?”
“Aku mau kawin,”
Perempuan ini ketawa sambil menuangkan teh ke cangkir.
Lelaki itu pergi.
“Maukah kamu kawin dengan aku?”
“Edan!”
“Edan? Apa kau kira aku ini edan? Aku mengajak kau sungguh-sungguh!”
Dan ketika lelaki itu pergi dari warung itu, diikuti oleh mata wanita itu sampai di balik penjual-penjual barang lowak, dan wanita itu berkata kepada perempuan di sebelahnya bahwa lelaki itu telah gila barangkali.
“Mau kamu kawin dengan aku?”
“Tidak!”
Lelaki itu bengong. Ia benar-benar melamun mendengarnya. Dipandangnya wanita itu. Perempuan itu membelah manggis dengan telapak tangannya dan menawarkannya kepadanya. Ia menolak.
“Aku tidak mau manggis. Aku mau kawin,” katanya.
“Makanlah manggis ini dulu. Nanti kita kawin,” jawab wanita itu.
Dijamahnya manggis itu satu, namun ia belum memakannya,
“Minum?” tanya perempuan itu.
“Tidak. Mau kau kubawa jalan-jalan? Aku punya duit banyak kini. Kemarin saya terima honor.”
“Ke mana kita jalan-jalan?”
“Ke mana saja kau suka. Asal jangan ke neraka, “ kata lelaki itu.
Perempuan itu ketawa dengan riahnya, kemudian meladeni seorang lagi dan kemudian menilik tas hijaunya, kemudian menepuk pundak lelaki itu, lalu keluar dari warung itu.
“Naik becak?” tanya perempuan itu.
“Tidak usah. Jalan saja dahulu. Kalau kamu kelelahan kita naik becak.”
Lalu mereka jalan.
“Aku pernah melihatmu dahulu sering menyanyi di rel-rel kereta api,” kata lelaki itu.
“Ya, bersahabat Jembatan Kewek,” jawab wanita itu sambil tertawa dan membetulkan selendangnya,
“Siapa namamu?”
“Maria,” jawab perempuan itu.
“Kau Kristen,” kata laki-laki itu.
“Ya. Aku masih mampu sembahyang dan hafal lagu-lagu gereja. Kau mau mendengar saya menyanyikan lagu gereja?”
Lelaki itu termenung. Dan wanita itu berpikir sebentar kemudian bertanya, “Kau juga Kristen, Mas?”
“Ya.”
“Siapa nama baptismu?” tanya wanita itu.
“Ignatius,” jawab laki-laki itu.
“Di mana kau tinggal?”
“Dekat palang sepur sana di utara,” jawab laki-laki itu. Dan wanita itu merasa riang.
“Barangkali namaku yang tepat Maria Magdalena. Aku ingat romo pastor menceritakan hal itu.
Waktu itu aku menyanyi gereja erat gereja. Aku habis ditipu oleh lelaki yang tak maubayar. Lalu aku duka. Aku pikir Tuhan tidak kasihan denganku lagi. Sehingga saya merasa ditipu, ditipu, ditipu oleh orang-orang. Lalu aku menyanyi. Nyanyi itu nyanyi missa,” perempuan itu ketawa serak, lalu menepuk punggung laki-laki itu, bertanya, “Kita ke mana?”
“Ke mana saja kau suka,” kata laki-laki itu.
“Tapi semua tempat-kawasan itu telah tutup. Kita mampu ditangkap polisi,” kata wanita itu.
“Besok-besokkan mampu. Jadi gimana kata pastor itu. Maukah pastor itu menegurmu?” tanya lelaki itu lagi.
“Heran! Heran sekali! Pastor itu mau menegurku dan menanyakan di mana aku mencar ilmu lagu itu. Aku menjawab, lagu itu kupelajari di gereja. Aku ikut ibu ke gereja dan tiap missa menyanyi hingga arif.”
“Rupa-rupanya,” kemudian wanita itu ketawa geli, “rupa-rupanya pastor itu heran kalau ada wanita macamku ini mampu menyanyi. Tapi lalu pastor itu bertanya, siapa namaku. Dan kujawab bahwa namaku Maria. Dan pastor itu menyuruhku insaf.
Aku bilang saya tidak bisa mampu pekerjaan. Dan pastor itu bercerita ihwal Maria Magdalena. Kau kan tahu kisah itu bukan?
“Berapa umurmu?”
Lelaki itu menjawab, “Empat puluh lima.”
“Sudah renta juga kau ini,” kata perempuan itu.
“Memang,” jawab lelaki itu.
“Kau kira saya mampu dimaafkan Yesus seperti Maria Magdalena’?” tanya perempuan itu.
“Maria Magdalena! Itu dongeng kudapatkan dari seorang kawanku yang juga Kristen. Dongeng itu akan kuingat senantiasa. Ya, kisah. di mana seorang pelacur akan dilempari watu oleh siapa pun dan Yesus melarangnya,” kata laki-laki itu.
Lalu orang-orang itu berkata, “Bunuhlah wanita jalang itu. Ia wanita berdosa. Lempari dengan watu-kerikil,” sambung perempuan itu menyambungi cerita laki-laki itu.
“Tapi Yesus mengajukan pertanyaan: ‘Apa kalian telah higienis dari dosa? Benarkah begitu ceritanya?” tanya lelaki itu.
“Ya, ya. Kira-kira begitu. Lalu orang-orang itu menyadari, bahwa mereka pun orang-orang yang berdosa dan sesudah dijelaskan Yesus mereka tak jadi melemparinya,” kata perempuan itu.
Kemudian wanita itu mengajukan pertanyaan, “Ke mana kita kini. Aku capek.”
“Kita naik becak.”
“Biarlah kita jalan saja,” kata perempuan itu lagi.
“Kau ini siapa?” tanya wanita itu.
“Aku?”
“Ya. Kau!”
“Aku orang yang berdosa!” jawab lelaki itu.
“Aku cemas tadi,” kata perempuan itu.
“Kenapa?”
Perempuan itu melepaskan nafasnya sambil ketawa dan mengebut-ngebut selendangnya. Kemudian berkata, “Kaukira kau ini Yesus.”
Laki-laki itu ketawa. Tiba-tiba dia merasa sungguh-sungguh bahagia dengan wanita itu.
“Kamu berasal dari mana? “tanya lelaki itu,
“Dari Muntilan,” jawab perempuan itu. “Di Muntilan ada gereja!”
“Aku barusan saja membunuh,” kata laki-laki itu tiba. “Tapi bukan saya yang berbunuh-bunuhan. Tapi aku percaya, rohku sudah membunuh mereka. Atau Tuhan telah membunuh mereka,” kata laki-laki itu.
Perempuan itu terdiam. Lelaki itu termenung pula. Kedua-duanya makin terdiam. Tiba-tiba kedua-duanya sama mengingat Tuhan. Bila kedua-duanya sama mengingat Tuhan, kedua-duanya ingat pada abad kecilnya.
“Kamu mendongeng atau benar-benar?” tanya wanita itu.
“Sungguh-sungguh,” kata lelaki itu.
“Nanti kau mampu ditangkap polisi. Apa polisi tidak tahu insiden itu?” tanya perempuan itu.
“Barangkali besok polisi tahu.”
“Besok kau dicari polisi dan ditangkap,” kata wanita itu.
Perempuan itu termenung, Dalam terdiam beliau ingat ayahnya.
“Ayahku setelah membunuh ibuku kemudian tertangkap. Biarpun ayah kejam dan aku sayang padanya. Ayahku sayang padaku. Ibu yang jahat,” kata wanita itu.
“Ayah dieksekusi sepuluh tahun. Mati di dalam penjara,” kata wanita itu.
“Kenapa ibumu dibunuhnya?” tanya lelaki itu.
“Ibu berdosa,” kata perempuan itu.
“Kenapa?”
“Main-main dengan laki-laki,” kata perempuan itu.
“Istriku juga demikian. Rumah itu erat jembatan bersahabat palang sepur. Aku selama ini bekerja sebagai tukang palang sepur. Sampai sore tadi saya masih malang sepur. Aku melakukan pekerjaan hingga pagi. Aku telah tahu bahwa istriku main-main. Sudah tiga kali saya diamkan. Akhirnya hilang kesabaranku. Aku tahu laki-laki itu masuk jam delapan dan pulang jam dua belas. Dan tadi, saya telah tidak tabah lagi. Aku batuk-batuk keliling rumah dikala mereka berada di rumahku. Laki-laki itu rupanya tidak berani ke luar, Aku batuk-batuk kecil, Dekat sumur. Lalu saya batuk-batuk besar erat pintu. Aku berkata keras-keras mirip bercakap-cakap dengan seseorang. Dan saya sendiri yang menjawabnya dengan suaraku: ‘Kepung saja rumah ini’, kataku seperti bercakap-mahir dengan seseorang. Lalu kukecilkan suaraku dan berkata mirip menjawab: ‘Kamu bawa pisau?’ Dan aku menjawab: ‘Si Paidin bawa golok’. Dan akrab pohon-pohon pisang aku berseru: ‘Masuk dari kakus, Paidin’, Dan saya lari ke akrab pohon pisang, menjawab suaraku sendiri: ‘Biar dulu. Kalau ia berani ke luar pintu kita bunuh saja’. Lalu aku lari ke dekat kamarku. Aku mendengar istriku dan pria itu berantem. ‘Kau larilah ke luar!’ kata istriku. Laki-laki itu tidak berani ‘Jangan ribut-ribut. Aku membawa pisau. Bisa kubunuh kau!’ dan istriku menjawab: ‘Coba jikalau kamu berani bunuh aku. Kau tak punya tanggung jawab selaku laki-laki’. Lelaki itu mengancam lagi: ‘Jangan berisik. Kucekik kamu nanti’. Dan istriku berkata; ‘Coba jikalau berani. Kau yang kucekik’. istriku rupanya pintar tubruk. Mereka bergulat. Akhirnya, balasannya, kudengar dua-duanya merintih. Mereka dua-duanya rupa-rupanya saling bunuh-membunuh,” laki-laki itu letih bercerita dan menawan nafas.
“Kedua-duanya mati?” tanya wanita itu.
“Mati. Betul-betul mati.”
Perempuan itu lalu berkata, “Kenapa kau lari?”
“Aku tidak lari. Aku jijik menginjak rumah itu. Sebab itu aku jalan-jalan. Aku mau menghirup udara. Sekarang giliran kawanku jaga palang sepur,” kata lelaki itu.
“Kau tidak murung istrimu mati?”
‘Tidak.”
“Aku memang pernah lihat kau jaga palang. Waktu itu kau lama-lamakan, sehingga orang-orang menggerutu menunggu palang terbuka,” kata perempuan itu.
“Aku suka sekali bikin lucu,” kata perempuan itu lagi.
Mereka kini telah berada di depan Gereja Bintaran.
“Tahu-tahu kita sudah sampai di Gereja Bintaran,” kata lelaki itu.
“Ke mana kita sekarang?” tanya wanita itu.
“Masuk ke gereja. Sembahyang. Kau mau?”
“Aku aib. Pastor sedang tidur barangkali,” kata perempuan itu.
“Kita ketuk saja pintunya. Kita katakan kita mau sembahyang,”
“Tapi aku wanita jalang. Gereja akan kotor.”
“Ah, tak apa.”
Perempuan itu berdiri saja. Tapi tangannya lalu menekan-nekan manggis.
“Kau mau manggis?” kata perempuan itu.
“Aku mau sembahyang,” kata lelaki itu.
“Sudah dua puluh tahun aku tidak masuk-masuk gereja,” kata laki-laki itu.
“Aku mau pulang,” kata perempuan itu. “Kau punya duit buat becak aku ke pasar? Aku tadi ada kesepakatan sama seorang laki-laki,” kata wanita itu lagi.
“Marilah masuk. Yesus sudah memaafkan Maria Magdalena. Kenapa kamu takut masuk?”
Perempuan itu kemudian berkata, “Sekarang tidak ada lagi orang yang seperti Yesus yang mau memaafkan Maria Magdalena.”
“Ada!” kata lelaki itu.
“Siapa?” tanya wanita itu.
“Aku!” teriak laki-laki itu.
Perempuan itu kagetamat sungguh. Dipandangnya laki-laki tinggi itu. Lelaki itu berjanggut seperti Yesus dan dengan gemetar beliau menangkap sekilas-sekilas kisah-kisah masa kecil dan gambar-gambar Yesus yang pernah dilihatnya. Lalu perempuan itu sangat menggigil, tidak dapat berkata, dan lari, dia lari sekuat-kuatnya melewati jalan-jalan Bintaran, Sayidan dan lalu masuk pasar. Di warung dengan nafas; mendegap-degap beliau berkata, “Aku ketemu Tuhan Yesus. Laki-laki tadi!”
Orang-orang di warung semua heran, namun mereka kemudian ketawa. Perempuan itu murka-murka.
Lalu dia bercerita.
Ketika wanita itu bercerita di warung itu, dalam sebuah gereja, seorang laki-laki berjanggut sedang berlutut berdoa, minta ampun atas segala dosa-dosanya.
Ketika itu dia sendiri. Sangat sendiri.
Ia yaitu seorang manusia.
TAMAT