Cerpen Amini

Setelah diketahui, dia itu janda, haruslah dikenali pula bahwa ia seorang janda baik-baik. Sebenarnya tiap-tiap orang boleh senang padanya, atau, bila ada waktu, tiap-tiap orang boleh merelakan dirinya untuk menghiburnya saban hari atau barang sejam dalam sehari. Celakanya, tak seorang pun mau menghiburnya. Juga pada umumnya dari mereka membencinya. Tapi sebaliknya, janda itu tidak murka pada mereka atau menyimpan dendam kesumat pun tidak.
Tiap-tiap orang sebetulnya sungguh bahagia menceritakan tentang orang lain kalau tidak perihal diri sendiri. Tapi janda itu tak punya kecakapan demikian, jadi, dia tak punya kedua talenta- talenta itu.
Memang tak ada seseorang yang jadi tukang hiburnya, atau setidak-tidaknya bisa mengisi kesepiannya yang mendalam, Anehnya, janda itu sendiri memang tidak membutuhkan seorang tukang hibur atau seorang yang hendak mengisi kesepiannya.
Janda itu janda baik-baik dan belum pernah ternoda sedetik pun oleh kejahatan yang dinamakan oleh orang-orang beradab yaitu dosa. Suatu dosa yang dikhususkan dan ditujukan terhadap janda-janda. sehingga dengan gampang saja diduga, bahwa sebetulnya janda-janda itu bagi mereka yakni berbahaya. Dan mereka itu, bawah umur muda yang bayar makan di rumah janda itu, dan juga orang-orang yang tinggal di luar pekarangan rumah itu, sering-sering melintaskan pikirannya dengan sangkaan umumyang diwariskan nenek moyangnya kepada janda.
Perempuan-perempuan di sebelah menyebelah rumah itu saban pagi jikalau menjemur pakaian suaminya atau popok-popok anaknya atau celananya atau kain-kain pakaiannya sendiri, setidak- tidaknya memerlukan sedetik pagi-pagi dan sedetik sore hari untuk mengamati perut janda itu, bila-jika ada pergantian.
Atau, diamati mereka pada pagi hari, apakah janda itu mengeramas rambutnya berair-lembap. Atau, mengamati sinar wajah anak-anak lelaki yang bayar makan itu, kalau-jikalau ada sinar kelainan dari hari kemarinnya. Apakah ini gunanya Tuhan membuat mata bagi insan, aku selaku pengarang yang belum banyak pengalaman, tidak butuhmenerangkannya, dan kukira tidak banyak keperluannya bagi kemajuan kesusastraan era ini.
Pagi ini pun, perempuan yang sedang menjemur popok-popok anaknya itu menggunakan matanya sekejap untuk menyaksikan perut janda itu. Kemudian, entah kenapa, dia merasa kecewa. Ketika itu janda itu sedang bangun dan menyandarkan punggungnya yang empuk di tiang mirip biasanya tiap pagi.
Dia menanti seorang yang bersepeda.
Sebuah sepeda lewat. Hatinya khawatir, dan kemudian kecewa jikalau dilihatnya sepeda itu dikendarai oleh polisi atau seorang berkopiah atau seorang gadis sampaumur. Yang ditunggunya ialah sepeda yang dikendarai oleh seorang lelaki baya bertopi bambu, warna topinya coklat, dengan sepedanya berwarna bubuk-abu dan pada batang sepedanya ada kantong surat yang yang dibuat dari terpal yang warnanya coklat juga. Tapi coklatnya sudah agak luntur, mungkin sering digeser oleh dengkul tukang pos itu saat mengayuh sepedanya.
Oh, ini dia.
Laki-laki itu bersepeda, warna sepedanya hijau. Lelaki itu bertopi bambu juga, warnanya coklat juga, namun tidak agresi kelihatannya, karena topi bambu itu dibenamnya sampai ke kupingnya. Kaprikornus laki-laki ini bukan orang yang dinantikannya. Ia kecewa lagi. Tapi, sekarang telah jam setengah sepuluh lewat lima. Seharusnya orang itu sudah melalui. Benar, itu, laki-laki yang berkumis itulah penduduknya. Sepedanya masuk ke pekarangannya. Orang itu tukang pos.
“Ada surat?” tanyanya. Seperti umumnya saban pagi beliau mengajukan pertanyaan dengan kalimat itu, walau, anehnya, tukang pos itu tidak selalu masuk pekarangannya dan cuma melalui saja. Tukang pos itu tidak menjawabnya. Memang ia tak menjawab. Sebab, pertanyaan itu mesti diladeninya saban pagi, kecuali pada hari Minggu, 17 Agustus, atau hari-hari besar lazim yang lain. Pagi itu dia memberikan enam buah surat, lalu janda itu melepaskan senyum.
Lalu tukang pos itu pergi. Senyum yang dilepaskannya yakni senyum baik-baik dan bukan senyum yang hebat atau mengandung kehendak yang bukan-bukan.
Tapi bagi tukang pos itu, baru pada pagi itulah dia berpikir, kenapa janda itu melepaskan senyum padanya. Dan terus mengajukan pertanyaan dengan kalimat sama, ada surat? Walaupun ia niscaya bahwa surat-surat yang diantarkannya tidak dialamatkan untuk janda itu, Tidak sebuah pun! Dan tiap-tiap pagi beliau bersandar di siang beranda rumahnya. Dan waktunya adalah jam setengah sepuluh kurang lebih.
Tukang pos itu hampir hafal nama-nama yang umum dapat surat di rumah itu. Dan bahkan ia tahu, Kamalsyah ialah seorang penghuni rumah itu yang paling banyak mendapatkan pos wesel yang tiba dari Jambi, tiap-tiap bulan 900 rupiah, dan poswesel itu selalu diantarkannya sebelum tanggal sepuluh. Tukang pos itu belum kenal siapa Kamalsyah itu, namun heran, ia tahu tiap-tiap anak laki-laki yang tinggal di rumah itu, kenal namanya, kenal rupanya, tapi tidak mampu memastikan satu per satu siapa yang berjulukan Kamalsyah, siapa yang bernama Salaman. Di alamat-alamat lain memang dia pernah mengantarkan sejumlah pos wesel dan ada yang poswesel ditutup, tanda jumlahnya seribu rupiah atau lebih.
Kamalsyah sendiri tidak hebat bahwasanya. Bahkan sebetulnya, dengan mendapatkan 900 rupiah, jumlah itu tidak terlampau banyak. Ia tinggal bayar makan di rumah janda itu. Ia punya seorang gadis. Gadis itu sering-sering datang ke rumahnya, untuk menengoknya, namun bekerjsama masih ada kebutuhan lain yang lebih dari menengok saja. Anak-anak muda mempunyai siasat yang dikiranya fantastis, padahal itu hanya ulangan dari pengalaman orang-orang tua kita di masa mudanya.
Kamalsyah, seperti juga anak-anak muda yang bayar makan di situ, senantiasa mengamati kelakuan janda itu dan kemudian mempercakapkannya. Janda itu umumnya meneliti surat-surat yang datang, sesungguhnya tidak ada maksud apa-apa selain meneliti dan ia pun tidak pernah sekali dalam hidupnya membuka-buka surat orang lain, untuk mengenali rahasianya.
Salaman pagi itu mengira dia pasti menerima surat. Ia mau meloncat ke luar kamarnya, tapi beliau ditahan oleh Kamalsyah.
“Biarkan saja pesuruh kita itu memanggil,” kata Kamalsyah, dan memang betul, sebentar kemudian Salaman terang mendengar bunyi dari dalam rumah, “Rukmiati”. Dengan sebutan itu berarti Salamanlah yang wajib datang.
Salaman masuk rumah, mengambil suratnya, kemudian masuk ke kamarnya, dan sambil memeluk bantal guling dibacanya surat itu. Ia tertawa-tawa sendiri tersenyum-senyum sendiri, lalu masuk lagi ke dalam rumah, Ia bercerita bahwa Rukmiati sungguh kangen dengan dia, kangen dengan ciuman mesra saat mereka berpisah enam bulan yang lalu. Sambil mengamati pergantian-pergeseran pada wajah janda itu, ia berkata, “Memang lezat punya kekasih. Mbak.” Kemudian beliau kembali masuk ke kamarnya dan melepaskan kecewanya di hadapan dua mitra-kawannya.
“Aku membohongi dia. Dia duka rupanya dan mungkin sekarang sedang menangis,” kata Salaman.
“Mahmud Syarnubi,” bunyi dari dalam rumah kedengaran oleh Kamalsyah dan dia melompat masuk rumah. Diterima surat itu, dan dibukanya sekali, dia tersenyum-senyum di paras janda itu, kemudian pura-pura heran dan lalu berkata, “Ibuku melahirkan lagi,” bantu-membantu ibunya tidak melahirkan. “Dan ayahku naik pangkat,” bahu-membahu tidak ada hal itu dituliskan di surat.
Setelah diperhatikannya wajah janda itu sebentar, ia cepat-cepat pergi menerima kawan-kawannya dan dibagi-bagikannya surat-surat lainnya yang diberikan janda induk semang tadi. Dan dia lalu menceritakan pada Salaman bahwa janda itu mengeluarkan air mata. lari ke kamar dan menghempaskan tubuhnya di tempat tidur.
Memang perempuan itu kini berada di kamar, tetapi tidak menghempaskan tubuhnya. Dibaringkannya badannya di kawasan tidurnya yang putih rapi dan berenda itu, diperbaikinya rambutnya. Rambutnya tebal ikal dan elok berurai beradaptasi dengan kondisi kamar yang bersih senantiasa itu.
“Alangkah bahagianya mereka,” pikirnya dalam hati dan sekaligus mampu dibayangkannya ibu Kamalsyah ketika itu sedang menyusui bayinya. Dan bulan depan, gaji yang diterima suami dan istri yang menyusui itu lebih banyak dari bulan sekarang. Dan perihal Salaman, beliau pasti semalaman nanti akan berkhayal dengan Rukmiati. Alangkah bahagianya mereka, pikirnya. Dan dikala ia memikir itu sama sekali tidak bersedih hati, tetapi malah dengan segala bahagia hati. Ia merasa ikut berbahagia dengan orang lain yang mengecap senang dan tidak lebih dari itu.
Siang hari sebelum jam dua ditaruhnya kuliner untuk makan siang bawah umur yang bayar makan itu dan beliau berada di kamar.
Anak-anak itu bila makan bercakap-cakap atau tertawa-tawa dan kali ini mereka agaknya jauh hebat bahagianya. Percakapan-percakapan mereka yang keras, gurau mereka yang menyenangkan dan ketawa-ketawa mereka yaitu menunjukan dari senang-senang yang sedang dialami. Itu didengarnya karena dia mempunyai indera pendengaran belaka.
Ketika ia duduk-duduk merenda sore hari, seorang gadis masuk pekarangan rumahnya dan beliau tahu, gadis itu yaitu gadisnya Kamalsyah.
“Kamal ada di belakang,” kata janda itu.
Gadis itu pergi ke belakang menemui Kamalsyah dan ketika makan malam hari Kamalsyah tidak dilihatnya di meja, mungkin mereka berdua masih membicarakan sesuatu. Ia masuk ke kamarnya untuk membangkitkan lampu dan saat dia ke luar untuk ke dapur dilihatnya di gang yang agak gelap Kamalsyah dan gadisnya berada di situ. Kepala Kamalsyah akrab benar dengan leher gadis itu sehingga ia membungkuk. Ketika ia keluar dari dapur untuk masuk ke ruang tengah, dilihatnya Kamalsyah sedang menjurai rambut gadis itu.
Dan malam pun tiba.
Dan pagi pun tiba.
Kembali dia bangun menyandarkan punggungnya yang empuk di tiang beranda, menanti, jikalau-katau ada surat.
Kali ini sudah melalui jam sepuluh dan betapa heran ia, tukang pos bertopi coklat bsrsepeda bubuk-abu belum kelihatan. Memang tukang pos itu belum tiba. Ketika itu tukang pos sedang menuntun sepedanya, karena ban sepedanya meletus. Tapi lebih dari itu pikirannya kacau, geli, menyesal atau apa saja namanya.
Ia lebih gugup dari umumnya, mukanya lebih pucat dari umumnya. Ketika ia memasuki pekarangan rumah janda itu, janda itu cepat-cepat mendekatinya, bertanya mirip biasa, “Ada surat?”
“Ada,” jawab tukang pos itu.
Dan diberikannyalah sebuah surat, kemudian dengan tak sadar dinaikinya sepedanya, dan, ketika ia sadar bahwa sepedanya kempis, masih dinaikinya sepedanya yang debu-abu itu untuk beberapa puluh meter.
Ketika itu, janda itu tak habis-habis herannya, karena surat itu tertuju kepadanya. Ia heran. Sangat heran sekali ia. Tapi, betapa, surat itu belum dibukanya. Ia tidak kenal pada seseorang yang berjulukan Bakri, si pengantarsurat itu. Aku tidak mempunyai kawan semasa sekolah yang bemama Bakri. Aku tidak punya seorang sanak famili berjulukan Bakri. Juga saya tak punya seorang laki-laki yang jadi teman tetangga yang berjulukan Bakri. Kalau begitu, siapakah laki-laki ini. Apakah dia tidak salah alamat, atau, beliau cuma seorang yang iseng. Tapi tidak, kita dilarang berprasangka.
Kemudian, dibukanya surat itu. Dan betapa heran hatinya.
Surat itu sederhana, menanyakan apakah dia ada dalam sehat-sehat saja. Pada baris lain surat itu menanyakan kenapa saban pagi beliau menunggu surat, sedangkan satu pun surat tak bakal diterimanya.
“Kenapa pada tiap-tiap jam setengah sepuluh nyonya telah bangun di beranda, menanyakan apakah ada surat untuk nyonya, padahal nyonya niscaya, tidak ada sepucuk surat pun untuk nyonya,”
Dibacanya kalimat itu sekali lagi, sekali lagi, dan entah bagaimana, air matanya titik. Ia tidak merasa air matanya itu titik, dan air mata itu menggelinding dari pelupuknya lewat pipinya dan singgah di tepi-tepi bibirnya.
“Tapi hari ini nyonya sudah mendapatkan surat dari aku. Ini yaitu satu-satunya surat yang nyonya terima. Tujuan aku menulis surat ini ialah alasannya simpati saya yang mendalam pada perilaku nyonya yang setia menunggu tukang pos. Semoga simpati yang saya sisipkan ini dapat nyonya terima dengan simpati yang mendalam pula,” begitu surat itu berakhir.
Aku tidak memerlukan simpati siapa pun, pikirnya. Tapi siapakah Bakri ini. Mesti ia laki-laki yang iseng. Tiba-datang saat air mata itu kering, hatinya merasa dihina. Hati yang baik tidak selamanya akan senantiasa baik. Dirobeknya surat itu empat kali sobekan dan ia menangis tersedu-sedu.
Ketika itu Salaman dan Kamalsyah datang dan didengar mereka ada tangisan di kamar. Kamalsyah berkata pada Salaman, “Nah, betul nggak kataku. Ia mati kesepian,” dan mereka tertawa mendengar tangisan itu.
Tukang pos yang mengirimkan surat itu sudah melalui jalan terakhir menuju ke rumahnya. Sebenarnya dia harus kembali ke kantor, namun kali ini ia terus saja menuju ke rumahnya. Ia mengundang-manggil nama seseorang. Dan seorang itu ialah seorang lelaki tetangga di sebelah rumahnya.
“Telah aku sampaikan,” kata tukang pos itu.
“Bagaimana. Tidak kau tunggu dulu?” tanya lelaki itu.
“Badan aku panas-masbodoh dikala menyampaikannya,” kata tukang pos itu. Lelaki tetangganya itu ketawa, namun tukang pos itu pucat.
“Saya takut dia jangan-jangan murka,” kata tukang pos itu.
“Jangan cemas. Saya sudah menulisnya dengan kata-kata bermutu,” kata laki-laki sahabatnya, tapi heran, tukang pos itu tetap merasa khawatir. Ia masuk ke dalam kamarnya. Duduk beliau di meja.
Diisapnya rokok sebatang, kecemasan itu belum juga terbunuh.
Betapa tidak. Memang, tiap-tiap hari ia mengirim surat ke tiap-tiap alamat. Mungkin di antara surat-surat yang diantarkannya ada juga berbentuksurat-surat asmara. Tapi, beliau, ia sendiri, belum pernah sekali dalam hidupnya menulis surat. Sungguh belum pernah. Juga dalam hidupnya belum pernah mengalami percintaan mirip yang pernah ditontonnya di film-film, yang pernah dibacanya dalam buku-buku yang dipinjamkan oleh sahabat tetangganya. Adakah, dengan cara ini, sahabatnya itu akan menjerumuskan ia terhadap bencana. Dan perempuan itu kemudian mengadukan hal itu kepada polisi, dan dia ditangkap, dibawa ke pengadilan, dihukum dan lalu dipecat dari jabatan selaku pengirim surat? Aku jadi malu, betapa maluku pada mitra-mitra sekantor, pada tukang-tukang telegram, pada tukang cap.
Tiba-datang dia ke luar dan menemui sahabatnya.
“Aku takut, Ting,” katanya.
“Kenapa?” tanya kawannya itu dengan geli melihat perubahan-pergantian pada wajah tukang pos. Tapi, sesudah dilihatnya tukang pos itu benar-benar takut, dihiburnya, “Aku jamin ia mau menerimanya. Aku seorang pengarang, Pengarang-pengarang ialah mahir dalam percintaan. Tapi kamu harus tekun. Kau sudah mau, to, kawin dengan janda?” kata sahabatnya itu.
“Mau. Biarpun beliau janda. Aku telah jenuh hidup sendiri.”
“Makanya, tunggu besok,” kata sahabatnya itu.
“Dia amat anggun, Ting,” kata tukang pos itu.
“Nah, terlebih,” kata sahabatnya itu besar hati dan ditepuknya punggung tukang pos itu. Lalu, pesan tersirat terakhir dari sahabatnya itu ialah, “Kri! Besok, lihat perubahan mukanya. Dia pasti bertanya padamu, apakah kau mengenal siapa Bakri. Dan kaujawablah: ‘Saya Bakri’.
Sampai jauh malam tukang pos itu tidak tidur.
Tapi bergotong-royong juga janda itu sampai jauh malam tidak bisa tidur. Ketika jam tangsi kedengaran berbunyi sebelas, datang-tiba janda itu tersentak, dipungutnya kembali surat yang disobeknya itu, disusunnya, dilimnya baik-baik, dibacanya. Dibacanya sekali lagi. Dua kali. Tiga dan empat. Tapi beliau kesengsem pada kalimat terakhir, “Semoga, simpati yang aku sisipkan ini, dapat nyonya terima dengan simpati yang mendalam pula”. Kalimat itu diulang-ulangnya membacanya, hingga kemudian, dia merasa seolah-olah ditengkuknya ada suatu rabaan yang menyenangkannya. Ia merasa bahagia, tetapi dia tidak tahu kenapa dia merasa begitu senang. Dadanya juga dirasanya sejuk, kepalanya cuek, dan air mata hambar menggeliat dari pelupuk, menggelinding ke pipi, meresap ke bantal. Siapakah orang ini, lelaki yang bersimpati kepadaku? Siapakah? Siapakah?
Tiba-tiba beliau terkejut. Pintu kamarnya tersingkap dan lelaki itu tiba. O, bukan, laki-laki itu. Seekor kucing hitam kesayangannya. Juga kucing hitam kesayangan suaminya yang meninggal. Kucing itu dipeluknya, diciumnya dan beliau tertidur. Kucing itu ikut tertidur di sampingnya.
Pagi sekali beliau berdiri. Ia menyapu kamar. Ia menyanyi “Kalau bunga anggrek mulai timbul”. Ia pergi mandi. Ia menyanyi di kamar mandi, bila bunga anggrek mulai muncul. Ia mengolah masakan, ia menyanyi di dapur, jikalau bunga anggrek mulai timbul. Dan ditambahnya. Aku cinta padamu. Kalau bunga anggrek mulai timbul, saya cinta padamu. Dan bawah umur itu makan. Ia berada di kamarnya, dan bernyanyi kalau bunga anggrek mulai muncul.
“Ia sudah asing,” kata Kamalsyah sambil menyeka mulutnya, kemudian pergi ke gudang dan mengacak bromfietsnya. Dan kemudian, lalu sekali, rumah itu telah sunyi sesunyinya, bawah umur telah pergi sekolah dan kuliah, tinggal ia sendiri. la di beranda. Ia menyanyi, jika bunga anggrek mulai timbul. Nyanyi itu didengar tetangga yang menjemur popok, dan mata tetangga itu mengamati perut janda itu. Ketika janda itu berdiri, dilihatnya perut janda itu kempis, ia kecewa. Tapi kesangsian masih ada, alasannya adalah rambut janda itu basah berjurai.
Janda itu tidak tahu ada seseorang memperhatikannya. Ia masuk. Direbahkannya tubuhnya di tempat tidur.
Jam sepuluh melalui lima, tukang pos itu masuk pekarangan. Dilihatnya janda itu tidak ada. Hatinya kecut. Dibunyikannya bel sepedanya. Janda itu tidak ke luar. Hatinya kecut. Dan ia berteriak, “Surat. Surat,” juga tak kedengaran sahutan. Hatinya kecut. Tapi betapa lega hatinya, dilihatnya janda itu timbul di jendela, memperbaiki rambutnya. Betapa manisnya ia. Betapa bagusnya rambut yang hitam itu.
“Adakah surat buat aku?” tanya janda itu. Hati tukang pos itu kecut. Dia terpaksa menggelengkan kepala. Tapi diberikannya surat yang lain terhadap janda itu. Muka janda itu dilihatnya jadi kecewa. Hatinya kecut, dia akan pergi.
“Kemarin saya terima surat,” kata janda itu. Tukang pos itu termenung.
“Dari seorang bernama Bakri.” kata janda itu. Hati tukang pos itu tambah kecut, tapi kesenangan bergendang di sana.
“Tapi orang itu, orang yang berjulukan Bakri itu, tidak menyebut alamatnya,” kata janda itu, dan tiba-tiba hati tukang pos itu jadi kerdil.
“Kenalkah, ya, kenalkah kira-kira Pak Pos dengan orang yang berjulukan Bakri,” tanya janda itu.
Tukang pos itu membisu sebentar. Kakinya pada pedal sepeda. Dan kemudian dijawabnya dengan nervous, “Tidak. Tidak. Saya tidak kenal sama Bakri.” Kata tukang pos itu dengan nervous sekali. Cepat-cepat sepeda dinaikinya. Bakri. tukang pos itu, merasa lepas dari siksaan yang menyiksanya sehari semalam, saat dia telah menaiki sadel sepedanya. Sepedanya warna debu-debu bau tanah. Kemudian memasuki rumah-rumah lain, mengantarkan surat-surat ke alamat- alamat yang harus disampaikannya. Tiap-tiap hari beliau mesti melaksanakan tugas itu, kecuali pada hari Minggu, 17 Agustus dan hari-hari besar lazim lainnya, tanpa melanggar sumpah jabatan. Sebenarnya, tukang-tukang pos di dunia macam Bakri ini, sebagian besar bisa termasuk orang yang jujur di dunia.
Janda itu masih tetap janda baik-baik. Memang seorang janda senantiasa jadi sasaran curiga, atau, impian jelek bagi orang lain.
Jandaku ini janda baik-baik. Janganlah dicurigai. Ia bernama Amini.
TAMAT