Cara Orang Baduy Menanam Padi

kampung Baduy Dalam dimulai ketika puun sudah menanam padi Cara Orang Baduy Menanam Padi

Cara Orang Baduy Bercocok Tanam

Masa tanam padi di kampung-kampung Baduy Dalam dimulai dikala puun telah menanam padi. Setelah puun, warga mulai menanam. Beberapa warga memiliki hari baik yang mereka jadikan pegangan untuk mulai menanam padi. Mereka membersihkan ladang dari tanaman-tanaman yang mampu meminimalisir bikinan padi. Pengairan ladang dijalankan tanpa irigasi dan hanya mengandalkan hujan. Masa tanam padi sengaja dipilih pada awal isu terkini hujan atau sekitar bulan Oktober. Ladang tidak mendapatkan pengairan untuk mempertahankan kebersihan air.
Warga Baduy, apalagi Baduy Dalam, tidak memakai obat-obatan kimia selama berladang. Adapun Baduy Luar telah mengenal pestisida. Di Baduy Dalam, pemberantasan hama dikerjakan dengan membacakan mantra-mantra. Hama pun jarang menyerang ladang. Alat pertanian yang digunakan di Baduy tergolong sederhana. Koret (arit), kayu untuk membuat lubang daerah benih, serta etem (ani-ani) yakni alat-alat yang dipakai dalam perladangan masyarakat Baduy. Mereka dihentikan membajak tanah dengan binatang atau traktor dengan alasan akan merusak kesuburan tanah.
Baduy Dalam dan Baduy Luar memiliki areal tanah garapan masing-masing. Baduy Dalam dihentikan berladang di Baduy Luar, demikian pula Baduy Luar tidak diperkenankan memiliki ladang di Baduy Dalam. Tanah perladangan di Baduy Luar boleh diperjualbelikan di antara mereka. Untuk tanah yang berkualitas baik, harga jualnya mencapai Rp 10.000 per meter persegi. Tanah ini dihentikan dijual kepada orang yang bukan berasal dari suku Baduy. Sedangkan, Baduy Luar memiliki tanah di luar tanah Baduy. Berbeda dengan Baduy Luar, Baduy Dalam tidak memedulikan jual beli tanah. Tanah Baduy Dalam tidak diperjualbelikan, namun boleh dipakai secara bergantian oleh semua warga Baduy Dalam. Warga Baduy Dalam juga tidak diperkenankan berbelanja tanah di mana pun. Setiap kampung di Baduy Dalam mempunyai ladangnya masing-masing.Tanah yang dulu dijalankan oleh seorang warga boleh ditempati orang lain pada ekspresi dominan tanam berikutnya. Hanya saja, tumbuhan yang telah ditanam oleh penggarap ladang sebelumnya tetap menjadi milik penanam sebelumnya.
Setiap keluarga di Baduy Dalam memilih luas ladang yang mampu dilaksanakan keluarga itu. Bila ternyata keluarga itu tidak mampu melakukan ladangnya, beliau mampu meminta dukungan warga lain. Orang yang diminta membantu menjalankan ladang melakukan pekerjaan dari pukul 08.00 hingga 12.00. Penyewa tenaga ini harus membayar upah pekerja sebesar Rp 6.000 per hari. Suku Baduy mempunyai areal yang dijadikan hutan lindung. Hutan lindung berfungsi sebagai areal resapan air. Pepohonan di areal ini tidak boleh ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk untuk ladang. “Tidak. Tidak boleh ngapa-ngapain hutan. Ini sudah budbahasa kami,” ungkap Jakri. Hutan ini juga menolong mempertahankan keseimbangan air dan kejernihan air di Baduy, apalagi di Baduy Dalam.
Hasil panen ladang di Baduy terutama padi. Padi ini disimpan di lumbung-lumbung dan bisa bertahan sampai puluhan bahkan ratusan tahun! Setiap keluarga mempunyai lumbung masing-masing. Jumlah lumbung yang dimiliki tiap keluarga tidak sama. Ada yang cuma mempunyai satu lumbung, tetapi ada juga yang punya 10 lumbung. Padi dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan pangan warga Baduy. Adat juga mengatur bahwa padi yang dihasilkan suku Baduy dilarang diperjualbelikan, baik di dalam ataupun di luar Baduy. Padi hanya boleh diberikan secara gratis. Bila ada warga yang gagal panen atau kelemahan beras, warga lain menolong memadai kebutuhan beras mereka yang tertimpa bencana alam. Berkurangnya bikinan padi sejak sekitar empat tahun kemudian mendorong warga Baduy untuk membeli beras dari luar Baduy. Pembelian beras ini dilakukan untuk mencegah kelemahan stok beras mereka.
Selain menanam padi, lahan di ladang juga dimanfaatkan untuk menanam sayur atau buah, mirip kacang, durian, atau aren. Tanaman ini ditanam di antara padi. Lahan untuk menanam tanaman lain selain padi sering disebut kebon. Meskipun secara garis besar suku Baduy tidak memedulikan jual beli, pada kenyataannya perdagangan hasil kebon sudah terjadi di Baduy, terutama Baduy Luar. Di Baduy Dalam, budbahasa mereka melarang warganya memasarkan hasil kebon. Tetapi, bila ada orang yang tiba dan kepincut berbelanja hasil kebon, jual beli boleh dikerjakan langsung di daerah.
Untuk meneruskan tradisi berladang, setiap anak di Baduy selalu diajak ke ladang dan diperkenalkan cara berladang semenjak usia dini. Suku Baduy juga mempunyai kebiasaan, setiap anak yang sudah menikah dan membentuk keluarga gres mesti menjalankan ladang sendiri.Sebelum menikah, kandidat menantu pria mesti menolong keluarga perempuan di ladang. Tujuannya biar keluarga wanita mampu menilai sejauh mana calon suami yang dipilihkan untuk putri mereka bisa menghidupi keluarga barunya kelak dari berladang.
Suku Baduy mendirikan saung huma (gubuk) di ladang mereka. Saung ini digunakan selaku kawasan istirahat dan makan siang saat berladang.Di saung huma ini warga Baduy menyimpan perlengkapan memasak dan persediaan beras. Kira-kira pukul 10.00, ibu-ibu atau anak perempuan mulai memasak. Setelah matang, mereka makan bersama di saung.Hampir setiap hari warga Baduy pergi ke ladang. Mereka melakukan pekerjaan di ladang sejak pukul 07.00 sampai sekitar pukul 17.00. Saat itulah kampung-kampung di Baduy sepi.Tidak saban hari mereka melakukan pekerjaan di ladang.
Di Baduy Dalam, setiap tanggal 15 dan 30 menurut kalender mereka ada larangan bekerja di ladang. Sedangkan warga Baduy Luar mempunyai kebiasaan libur saban hari Minggu. Bagi beberapa keluarga, hari Jumat juga dijadikan sebagai hari libur.Tak jarang, warga Baduy-khususnya pria-meninggalkan ladangnya kalau pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak.Lewat tata cara keyakinan, akhlak, serta niat untuk menjaga keseimbangan alam, suku Baduy terbukti bisa menghidupi diri mereka sekaligus melestarikan alam. Semoga saja, budpekerti mereka tidak serta-merta berganti akhir imbas dari luar yang menyerbu suku Baduy dari aneka macam penjuru.
Pola bercocok tanam masyarakat Baduy sangat tradisional dan memegang budbahasa leluhur. Biasanya, selaku penghormatan, masyarakat Baduy melakukan ritual khusus kalau hendak memulai abad tanam. Upacara membersihkan lahan sebelum ditanami disebut dengan ungkapan nyacar. Membakar lahan semoga subur disebut ngaduruk. Sementara, upacara proses mulai menanam padi disebut dengan ngaseuk. Soal waktu tanam, mereka masih berpanduan pada letak bintang.
1. Jenis Padi

Ada berbagai jenis padi yang dimiliki masyarakat Baduy. Bahkan, diperkirakan terdapat 40 jenis padi yang ditanam dan berkembang di sekitar warga Baduy. Ada pun nama-namanya memanglah sangat kental dengan bahasa Sunda setempat, di antaranya pare koneng, pare salak, pare siang, dan pare ketan.

2. Perawatan Padi
Berbeda dengan petani kebanyakan yang melaksanakan perawatan padi dengan bahan kimia, suku Baduy tidaklah demikian. Mereka melaksanakan perawatan padi dengan cara yang sungguh tradisional.
Biasanya, petani Baduy menggunakan ramuan yang dihasilkan dari oplosan aneka tanaman; cangkudu, tamiang, gempol, pacing tawa, dan lajak. Semua tumbuhan ini dicampur rata dengan adonan air tuak lalu ditebarkan pada tumbuhan yang mulai berkembang dewasa. Ini umummereka sebut dengan pestisida alamiah.
3. Tempat Penyimpanan Padi
Gudang penyimpanan padi atau biasa diketahui dengan lumbung, dalam bahasa Baduy disebut dengan leuit. Bahan kerangka pokok bangunan itu dengan anyaman bambu yang dijadikan dindingnya. Sementara, bagian atapnya ditutup dengan hateup alias daun kelapa kering atau juga ijuk yang yang dibuat dari serabut pada pohon areng.
Jika kita teliti, maka akan ditemukan papan bulat sebagai alas kaki-kaki lumbung. Gunanya sebagai antihama, contohnya tikus. Meski rata-rata lumbung itu tidak terlalu besar, namun sekitar 3.000 ikat padi bisa dimasukkan ke dalamnya dan bisa bertahan. Konon, hingga ratusan tahun.