Di dalam Buku II dan Buku III KUHP Indonesia terdapat aneka macam cara atau teknik perumusan delik, yang menguraikan tindakan melawan aturan yang dihentikan atau yang ditugaskan untuk dikerjakan, dan kepada barangsiapa yang melanggarnya atau tidak mentaatinya diancam dengan pidana maksimum. Selaian komponen-bagian tindakan yang dihentikan dan yang ditugaskan untuk dikerjakan dicantumkan juga sikap batin yang harus dipunya oleh pembuat delik supaya dia dapat dipidana, dengan kata lain kitab undang-undang hukum pidana menurut pandangan monistis terhadap delik.
Dalam merumuskan Delik ada tiga dasar pembedaan cara dalam merumuskan KUHP:
-
Cara Pencatuman Unsur-Unsur dan Kualifikasi Delik
-
Dari Sudut Titik Beratnya Larangan
-
Dari Sudut Pembedaan Delik Antara Bentuk Pokok, Bentuk yang Lebih Berat dan Bentuk yang Lebih Ringan
1. Cara Pencatuman Unsur-Unsur dan Kualifikasi Delik
Dengan cara ini maka ada 3 cara rumusan:
-
dengan mencatumkan semua unsur pokok, kualifikasi dan bahaya pidana;
-
dengan mencatumkan semua komponen pokok tanpa kualifikasi dan mencatumkan ancaman pidana;
-
sekedar mencatumkan kualifikasinya saja tanpa komponen-bagian dan mencatumkan ancaman pidana.
Dari ketiga cara tersebut ada delik yang dirumuskan tanpa menyebut unsur-komponen dan banyak yang tidak menyebut kualifikasi. Ancaman pidana dan kualifikasi memang bukan komponen delik. Kualifikasi dicantumkan sekedar untuk menggampangkan penyebutan kepada pengertian delik yang dimaksudkan, sementara itu tentang selalu dicantumkan bahaya dalam rumusan delik alasannya adalah bahaya pidana ini merupakan ciri mutlak dari suatau larangan tindakan sebagai delik.
a. Mencatumkan semua komponen pokok, kualifikasi dan ancaman pidana;
Cara yang pertama ini merupakan cara yang paling tepat. Cara ini digunakan khususnya dalam hal merumuskan delik dalam bentuk pokok/patokan, dengan mencatumkan komponen objektif maupun subjektif, contohnya Pasal 338 (pembunuhan), 362 (pencurian), 368 (pengancaman), 369 (pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipuan), 406 (pengrusakan),
Unsur pokok atau komponen esensial adalah unsur yang membentuk pengertian yuridis dari delik tertentu itu. Unsur-bagian ini dapat dirinci secara terang, dan untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan delik tersebut dan menjatuhkan pidana, semua komponen itu mesti dibuktikan dalam persidangan.
Contohnya Pasal 368:
Unsur Objektif, berisikan :
-
memaksa (tingkah laku);
-
seseorang (yang dipaksa);
-
dengan : (1) kekerasan; (2) bahaya kekerasan
-
supaya orang: (1) menyerahkan benda; (2) memberi utang; (3) menghapuskan piutang.
Unsur Subjektif, berupa :
-
dengan maksud untuk menguntungkan: (1) diri sendiri; (2) orang lain.
-
dengan melawan hukum.
Kekerasan dan bahaya kekerasan yakni cara atau upaya dalam perbuatan memaksa. Sementara itu menyerahkan benda, memberi utang, menghapuskan piutang merupakan komponen akhir (akhir konstitutif) yang dituju tindakan atau yang dikehendaki pembuat, yang mesti terwujud untuk terjadinya pemerasan secara tepat.
b. Mencatumkan semua bagian pokok tanpa kualifikasi dan mencatumkan bahaya pidana;
Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan delik dalam kitab undang-undang hukum pidana. Delik yang menyebutkan unsur-komponen pokok tanpa menyebut kualifikasi dalam praktik adakala kepada sebuah rumusan diberi kualifikasi tertentu, misalnya kepada delik pada pasal 242 diberi kualifikasi sumpah artifisial, penghasutan (160), laporan imitasi (220), membuang anak (305), pembunuhan anak (341), penggelapan oleh pegawai negeri (415).
c. Mencatumkan kualifikasi dan ancaman pidana;
Delik yang dirumuskan dengan cara ini ialah yang paling sedikit. Hanya ditemui pada pasal tertentu saja. Model perumusan ini mampu dianggap selaku perkecualian. Delik yang dirumuskan dengan cara yang sungguh singkat ini dilatarbelakangi oleh sebuah rasio tertentu, contohnya pada kehajatahn penganiayaan (351 ayat 1), adalah penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama………….
Alasan rumusan penganiayaan dengan hanya menyebut kualifikasi ini mampu diketahui dari sejarah dibentuknya kejahatan itu dalam WvS Belanda. Penganiayaan disini dapat diartikan “menjadikan derita atau nestapa atau rasa sakit pada orang lain”. Sedangkan dalam ayat (4) penganiayaan dianalogikan oleh pembuat kitab undang-undang hukum pidana “dengan sengaja menghancurkan kesehatan”.
2. Dari Sudut Titik Beratnya Larangan
a. Dengan Cara Formil
Disebut dengan cara formil sebab dalam rumusan dicantumkan secara tegas perihal larangan melakukan tindakan tertentu. Makara yang menjadi pokok larangan dalam rumusan ini yakni melakukan tindakan tertentu. Dalam keterkaitannya dengan selesainya delik, jikalau tindakan yang menjadi larangan itu tamat dikerjakan, delik itu selesai pula tanpa bergantung pada balasan yang timbul dari tindakan. Misalnya 362, jikalau tindakan mengambil tamat, maka pencurian selesai, atau jikalau menciptakan imitasi (surat) dan memalsu (surat) akhir dilakukan, kejahatan itu selesai (263).
Pada pasal 362 KUHP merumuskan kelakuan yang tidak boleh adalah mengambil barang yang semuanya atau sebagiannya kepunyaan orang lain. Namun kelakuan mengambil saja tidak cukup untuk memidana seseorang, diharapkan pula keadaan yang menyertai pengambilan itu “adanya maksud pengambil untuk memilikinya dengan melawan aturan”. Unsur delik ini dinamakan bagian melawan aturan yang subjektif, yakni kesengajaan pengambil barang itu diarahkan ke tindakan melawan aturan, sehingga menjadi komponen objektif bagi yang berpadangan monistis atau merupakan komponen actus reus bagi yang berpandangan dualistis kepada delik.
b. Dengan Cara Materiil
Perumusan dengan cara materiil tujuannya yakni yang menjadi pokok larangan delik yang dirumuskan itu adalah pada mengakibatkan akibat tertentu, disebut dengan akibat yang dilarang atau akibat konstituif. Titik beratnya larangan yaitu pada menimbulkan balasan, sedangkan wujud tindakan apa yang menjadikan akibat itu tidak menjadi persoalan. Misalnya 338 (pembunuhan) yang menjadi larangan adalah menjadikan akibat hilangnya nyawa orang lain, sedangkan wujud apa dari perbuatan menghilangkan nyawa itu tidaklah menjadi soal, apakah dengan menembak, meracun dan sebagainya.
Dalam keterkaitannya dengan selesainya delik, maka untuk selesainya delik bukan bergantung pada selesainya wujud perbuatan, tetapi bergantung pada apakah dari wujud perbuatan itu akibat yang dihentikan telah timbul atau belum. Jika wujud perbuatan sudah selesai, namun akibat belum timbul maka delik itu belum tamat yang terjadi ialah percobaan.
3. Dari Sudut Pembedaan Delik Antara Bentuk Pokok, Bentuk yang Lebih Berat dan Bentuk yang Lebih Ringan
a. Perumusan dalam bentuk pokok
Bentuk pokok pembuat UU senantiasa merumuskan secara sempurna yaitu dengan mencatumkan semua bagian-usnurnya secara lengkap. Dengan demikian rumusan pokomk ini merupakan pengertian yuridis dari delik itu, misalnya Pasal 338, 362, 372, 378, 369, 406.
b. Perumusan dalam bentuk yang diperingan dan yang diperberat
Rumusan dalam bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari delik yang bersangkutan, bagian-bagian bentuk pokoknya tidak diulang kembali atau dirumuskan kembali, melainkan menyebut saja pada bentuk pokok (contohnya 364, 373, 379) atau kualifikasi bentuk pokok misalnyua (339, 363, 365). Kemudian menyebutkan komponen-komponen diperingan atau diperberatnya delik.
S.Maronie / 13 Januari 2011 / @K10CyberHouse