close

Cara Keluarga Kami Memandang Nilai Akademis

“Abi… gue nggak mau remidi,” Miqdad merajuk. Meskipun dapat nilai 100 untuk lima pelajaran, PKN tema 3 cuma mampu nilai 71.

Anak kedua kami ini tak ingin masuk sekolah untuk remidi di ketika banyak temannya libur.

Segera kami ajak obrolan. Saya & istri berupaya menenangkannya, bahwa remidi itu biasa. Masuknya pula cuma sebentar. Malah asyik bisa bertemu teman-sahabat di sekolah.

“Miqdad tak perlu remidi alasannya adalah nilainya telah di atas 70,” kabar dr sekolah itu menjadikannya tersenyum. Ia pun bebas beraktifitas di rumah sejak Sabtu kemudian.

***

“Abi… hafalanku kurang cepat. Teman-teman sangat cepat,” Nida, anak pertama kami, melaporkan kemajuan tahfizh-nya.

Saya & istri memahamkan bahwa menghafal tak harus cepat-cepat. Yang penting berusaha & berdoa. Allah yg akan menawarkan tunjangan-Nya. Padahal hafalan saya pula tak sebanyak Nida yg telah 20 juz.

“Juara 1 dr banat, Nida’us Salma kelas 7B,” pengumuman dr atas panggung Ajang Kreasi & Apresiasi Siswa SMPIT Al Ibrah itu mengejutkan saya. Nida sukses meraih juara 1 Musabaqah Hifzhil Alquran dr banat.

“Kemarin Nida sempat tidak yakin, alhamdulillah ternyata juara. Hafalan Nida bahu-membahu sungguh cepat tetapi kadang kurang fokus,” kata Ustazah menjelaskan saat saya mengambil raport Nida.

***

Alhamdulillah… kami tak pernah khawatir dgn prestasi akademis anak-anak. Kami pun tak pernah menuntut mereka menjadi juara kelas di bidang akademik.

Sewaktu sekolah, saya hampir senantiasa menjadi juara kelas, bahkan sekolah. SD & SMP senantiasa ranking satu. Mewakili Sekolah Dasar di ajang siswa contoh di tingkat kecamatan & mewakili Sekolah Menengah Pertama di ajang siswa contoh tingkat kabupaten. Juga menerima beberapa beasiswa.

  10 Sunnah Idul Fitri

Saat Sekolah Menengan Atas, mungkin mulai menjadi titik balik. Berprestasi di bidang akademis ternyata menyisihkan kebingungan. Saya mendapat nilai-nilai anggun dlm teori, namun skill saya rendah.

Ketika di perguruan tinggi, pertanyaan serupa pula membayangi. Apa yg bisa saya lakukan dgn nilai cantik? Alhamdulillah kemudian saya mulai fokus ke skill. Dengan landasan aksara yg timbuh di atas iman, pastinya.

SMA, saya mulai mendalami agama. Lalu berkembang cukup baik saat kuliah dgn masuk ma’had. Mungkin itu cara Allah menanamkan karakter berbasis keyakinan.

Skill sosial banyak saya dapatkan tatkala aktif di sejumlah organisasi di kampus. Sedangkan skill profesi banyak saya peroleh -di samping yg basic di perkuliahan- melalui membaca, pembinaan & eksperimen. Alhamdulillah Allah membuat lebih mudah mencar ilmu cepat.

Belajar dr pengalaman itu, kami tak pernah menuntut belum dewasa menjadi juara akademis. Kami lebih senang belum dewasa belajar dgn enjoy. Menikmati setiap proses pertumbuhan & pertumbuhan.

Bukan berarti nilai akademis tak penting. Namun kami menanamkan bahwa nilai akademis bukan segala-galanya. [Muchlisin BK/Wargamasyarakat]