Itikaf merupakan salah satu ibadah yg istimewa.
Terlebih pada 10 hari terakhir Ramadhan. Apa pemahaman i’tikaf, bagaimana
cara, niat, waktu, keistimewaan & syaratnya? Berikut ini pembahasannya.
Daftar Isi
Pengertian Itikaf
I’tikaf (إعتكاف) berasal dr kata ‘akafa (عكف) yg mempunyai arti al habsu (الحبس) yaitu mengurung diri atau menetap. Menurut Sayyid Sabiq dlm Fiqih Sunnah, pengertian i’tikaf dengan-cara bahasa adalah berada di sebuah tempat & mengikat diri kepadanya.
Sedangkan berdasarkan Syaikh Wahbah Az Zuhaili dlm Fiqih Islam wa Adillatuhu, pengertian i’tikaf dengan-cara bahasa adalah berdiam & bertaut pada sesuatu, baik maupun jelek dengan-cara terus menerus. Penggunaan kata tersebut untuk sesuatu yg buruk contohnya kita dapati dlm Surat Al A’raf ayat 138.
Secara perumpamaan, pemahaman itikaf yaitu berdiam diri & menetap di masjid dgn tujuan mendekatkan diri pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
…Dan janganlah kalian mencampuri mereka (istri) dlm keadaan kalian sedang melaksanakan i’tikaf di masjid… (QS. Al Baqarah: 187)
Hukum I’tikaf
Sayyid Sabiq menerangkan, i’tikaf ada dua macam. Yaitu
wajib & sunnah.
Itikaf wajib ialah i’tikaf lantaran nadzar. Misalnya ia mengatakan, “Jika gue sembuh dr penyakit ini, gue bernadzar akan beri’tikaf selama tiga hari.” Maka beri’tikaf tiga hari itu menjadi wajib baginya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ
“Barangsiapa yg sudah bernazar akan melakukan sebuah kebaikan pada Allah, hendaklah dipenuhi nazar itu.” (HR. Bukhari)
Bahkan walaupun nadzarnya itu terjadi pada masa jahiliyah. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah mengalaminya.
أَنَّ عُمَرَ سَأَلَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه
وسلم – قَالَ كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، قَالَ فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
Umar bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, dulu gue di masa jahiliyah pernah bernadzar untuk beritikaf satu malam di masjidil haram.” Rasulullah lantas bersabda, “Maka penuhilah nadzarmu itu.” (HR. Bukhari)
Itikaf sunnah yaitu itikaf dengan-cara suka rela untuk mendekatkan diri pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Termasuk beri’tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan adalah termasuk yg sunnah ini. Namun hukumnya sunnah muakkadah, yakni sunnah yg sungguh diusulkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tak pernah
meninggalkan itikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan ini.
عَنْ
عَائِشَةَ – رضى الله عنها – زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ
النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ
رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa i’tikaf sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau diwafatkan Allah. Kemudian istri-istri ia beri’tikaf sehabis dia wafat.” (HR. Bukhari)
Baca juga: Sholat Tahajud
Niat Itikaf
Itikaf harus diikuti niat. Niat itulah yg membedakan seseorang beri’tikaf atau tidak, meskipun sama-sama berada di masjid.
Para ulama setuju bahwa tempat niat adalah di dlm hati. Sehingga tak mesti melafadzkan niat.
Namun Syaikh Wahbah Az Zuhaili menyebutkan, jumhur ulama
selain mazhab Maliki berpendapat melafadzkan niat hukumnya sunnah dlm rangka
membantu hati mendatangkan niat. Sedangkan menurut mazhab Maliki, yg terbaik
ialah tak melafadzkan niat lantaran tak ada contohnya dr Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bagi yg melafadzkan niat, berikut ini yakni lafadz
niat itikaf:
نَوَيْتُ
الْإِعْتِكَافَ سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى
(Nawaitul i’tikaafa sunnatal lillaahi ta’aalaa)
Artinya: Aku berencana itikaf, sunnah karena Allah Ta’ala
Sedangkan untuk i’tikaf wajib (tersebab nadzar), lafadz
niat itikaf sebagai berikut:
نَوَيْتُ
الْإِعْتِكَافَ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى
(Nawaitul i’tikaafa fardlol lillaahi ta’aalaa)
Artinya: Aku berniat itikaf, fardlu lantaran Allah Ta’ala
Baca juga: Shalat Istikharah
Keutamaan Itikaf
Keutamaan itikaf antara lain yakni selaku berikut:
1. Setiap dikala mendapat pahala
Tujuannya di masjid dlm rangka mendekatkan diri pada Allah. Saat tersadar, ia mengisi waktunya dgn shalat, tilawah, dzikir, berdoa, bermunajat, tadabbur, tafakkur atau mengkaji ilmu.
Bahkan dlm keadaan tidur pun, orang yg beritikaf mendapatkan pahala yg besarnya tak bisa didapatkan oleh orang yg tidur di rumahnya. Sebab tidurnya itu tergolong rangkaian i’tikaf.
2. Sunnah Rasul
Itikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan ialah sunnah
Rasulullah. Beliau tak pernah meninggalkannya. Bahkan di Ramadhan terakhir
sebelum wafat, Rasulullah beri’tikaf selama 20 hari.
Demikian pula istri beliau & para sahabat Nabi. Mereka beritikaf 10 hari terakhir Ramadhan ini. Bahkan sepeninggal Rasulullah, istri-istri ia pula beritikaf 10 hari terakhir Ramadhan. Sebagaimana hadits di atas.
3. Dapat lailatul qadar
Orang yg itikaf 10 hari terakhir Ramadhan, insya Allah ia akan mendapatkan lailatul qadar. Bagaimana tidak, menurut hadits-hadits shahih, lailatul qadar turun pada malam ganjil pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Bukankah saat itu orang yg beritikaf sedang beribadah pada Allah?
Bahkan seandainya orang yg beritikaf itu sedang tidur & hanya bangun sebentar pada malam lailatul qadar, insya Allah ia tetap mendapat lailatul qadar lantaran tidurnya merupakan rangkaian itikaf & berpahala.
Waktu Itikaf
Itikaf wajib harus dijalankan sesuai dgn kewajibannya.
Jika ia bernadzar beritikaf semalam, maka waktu itikafnya yakni semalam. Jika
ia bernadzar beriktikaf tiga hari tiga malam, maka waktu itikaf baginya yaitu
tiga hari tiga malam.
Itikaf sepuluh hari terakhir Ramadhan cuma berlaku pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Yakni mulai tatkala matahari terbenam pada malam ke-21 (atau ke-20 kalau Ramadhannya 29 hari) hingga habisnya Ramadhan, yakni dikala matahari terbenam malam hari raya Idul Fitri. Lebih afdhal (utama) jikalau ia meneruskan hingga shalat idul fitri & baru meninggalkan masjid setelah shalat idul fitri.
Adapun waktu itikaf sunnah yg suka rela, ia tak dibatasi. Menurut mazhab Hanafi & Hanbali, meskipun waktunya singkat, seseorang yg berdiam diri di masjid dgn niat itikaf maka itu tergolong itikaf. Namun berdasarkan mazhab Maliki, waktu beritikaf minimal ialah sehari semalam.
Menurut mazhab Syafi’i, waktu itikaf minimal adalah mampu
disebut menetap atau berdiam diri di masjid. Yaitu lebih panjang dr ukuran
waktu tuma’ninah saat ruku’ atau sujud.
Jadi menurut mazhab Syafii, Hanafi & Hanbali, seseorang
yang itikaf satu jam atau bahkan cuma setengah jam pun boleh.
Sehingga bagi yg tak mampu beritikaf penuh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, ia mampu beritikaf sebagiannya. Misalnya tiba ke masjid menjelang shalat isya’ & beritikaf hingga Subuh. Atau bahkan tiba ke masjid beberapa jam sebelum shalat Subuh & beritikaf hingga Subuh atau pagi hari.
Tempat Itikaf
Seluruh ulama sepakat bahwa tempat itikaf adalah di masjid. Sehingga tak boleh beritikaf di mushala di dlm rumahnya sendiri, kecuali wanita berdasarkan mazhab Hanafi. Yang menjadi perbedaan usulan adalah, masjid mana yg boleh menjadi tempat itikaf.
Menurut mazhab Hanafi & Hambali, tempat i’tikaf adalah
masjid jamaah. Yaitu masjid yg di dalamnya didirikan shalat berjamaah.
Menurut mazhab Maliki, tempat i’tikaf ialah semua masjid. Tidak boleh beri’tikaf di masjid rumah yg tertutup untuk orang lazim. Demikian pula menurut mazhab Syafi’i, tempat itikaf ialah seluruh masjid. Dan lebih utama masjid jami’, yakni masjid yg digunakan untuk Sholat Jumat.
Namun dlm keadaan pandemi, jika sebuah tempat tingkat penyebaran wabah covid-19 masih tinggi sehingga masjid tak menyelenggarakan i’tikaf, boleh melaksanakan i’tikaf di mushala rumah.
Sebagaimana pertimbangan Madzhab Hanafi yg mengijinkan wanita i’tikaf di mushala rumahnya & usulan sebagian kalangan Maliki & Syafi’i yg mengizinkan i’tikaf di mushala rumah sebagaimana diterangkan dlm Syarh az Zurqani ‘alal Muwaththa’. Meskipun dlm kondisi normal, usulan itu merupakan pendapat yg lemah.
مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلاَّ أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا ، مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا ، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ
Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dihadapkan pada dua pilihan melainkan ia akan memilih paling ringan di antara keduanya, selama itu tak berdosa. Jika itu berdosa, maka ia yakni manusia yg paling menjauh darinya. (HR. Bukhari)
Syarat & Rukun
Untuk sahnya i’tikaf disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
- Islam. I’tikaf tak sah jikalau dilaksanakan oleh orang kafir.
- Berakal sehat atau tamyiz. I’tikaf orang ajaib hukumnya tak sah. Itikaf anak kecil yg belum mumayyiz pula tak sah.
- Bertempat di masjid. Tidak sah itikaf di rumah. Kecuali berdasarkan mazhab Hanafi yg mengizinkan perempuan beri’tikaf di mushala rumahnya.
- Suci dr hadats besar. I’tikaf orang yg sedang junub, haid atau nifas tak sah. Bahkan mereka dilarang berada di dlm masjid.
- Izin suami bagi istri. Menurut mazhab Hanafi, Syafii & Hambali, seorang istri tak sah beri’tikaf tanpa izin dr suaminya.
Rukun i’tikaf cuma ada dua. Yakni niat itikaf & tinggal (berdiam diri) di masjid.
Jika tak berniat beri’tikaf, maka walaupun ia berada di masjid, keberadaannya bukanlah i’tikaf. Demikian pula sebaliknya. Seseorang yg berencana beri’tikaf tapi ia tak berada di masjid, maka itu bukan i’tikaf.
Ibnu Jazi Al Maliki menyampaikan, seseorang yg sedang beri’tikaf mesti merepotkan diri dgn ibadah sebisa mungkin, siang & malam. Berupa sholat, dzikir, tilawah & ibadah-ibadah yang lain.
Baca juga: Kiat agar Sholat Khusyu’
Agar Mendapat Pahala I’tikaf di Rumah
Agar mendapat pahala i’tikaf di rumah, berikut ini hal yg harus diamati sebagaimana kami kutip dr Bayan Dewan Syariah Pusat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ramadhan 1441 H:
- Memasang niat i’tikaf sebagaimana tahun-tahun sebelumnya
- Membuat atau memutuskan satu lokasi khusus di dlm rumah selaku tempat untuk melaksanakan ibadah sampai simpulan Ramadhan (mushala)
- Mengisi waktu di tempat tersebut khususnya di sepuluh hari terakhir Ramadhan dgn memperbanyak sholat, tilawah, dzikir, doa & munajat.
Perbanyak pula membaca doa lailatul qadar pada malam hari tatkala i’tikaf.
Yang Membatalkan Itikaf
Ada 5 hal yg membatalkan itikaf, yakni:
- Murtad.
- Sengaja keluar dr masjid (tempat i’tikaf) walaupun sebentar, tanpa adanya udzur syar’i.
- Hilang nalar lantaran ajaib atau mabuk.
- Datangnya haid atau nifas.
- Jima’ meskipun karena lupa atau dipaksa.
- Keluar mani baik lantaran mimpi atau disengaja.
- Melakukan dosa besar.
Demikian pembahasan tentang itikaf. Mulai dr pengertian, hukum, niat, keutamaan, waktu, tempat, syarat, rukun & hal-hal yg membatalkannya. Wallaahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/Wargamasyarakat]