عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.
“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada iman datangnya sial dari bulan Shafar. Tidak ada iman bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang melayang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Bulan Shafar ialah bulan kedua dari penanggalan Hijriyah. Oleh sebagian ulama, bulan Shafar ini diberi julukan Shafarul Khair, artinya Shafar yang penuh kebaikan. Kenapa dinamakan demikian? Karena biasanya orang awam menyangka bahwa bulan Shafar ialah bulan sial atau penuh dengan bala (tragedi). Sehingga untuk membuat rasa optimis umat Islam maka dinamakanlah Shafarul Khair. Sehingga bulan Shafar tidak terkesan angker apalagi diandalkan selaku bulan kesialan. Padahal setiap bulan-bulan Islam itu memiliki kekhususan dan keutamaan sendiri-sendiri, demikian pula bulan Safar.
Setiap Rabu terakhir bulan Shafar, sebagian besar kaum Muslimin melakukan shalat sunnah memohon kepada Allah SWT agar dijauhkan dari berbagai bencana.
“Pada dasarnya hari dan bulan dalam satu tahun adalah sama. Tidak ada hari atau bulan tertentu yang membahayakan atau membawa kesialan. Keselamatan dan kesialan pada hakikatnya hanya kembali pada ketentuan takdir Ilahi.”
Pada periode jahiliyah, orang Arab berpendapat bahwa bulan Shafar ialah bulan yang tidak baik. Bulan yang banyak bencana dan musibah, sehingga orang Arab pada masa itu menangguhkan segala aktivitas pada bulan Shafar alasannya adalah takut tertimpa tragedi. Begitu juga dalam tradisi kejawen, banyak hitungan-hitungan yang dipakai untuk memilih hari baik dan hari tidak baik, hari keberuntungan dan hari kesialan. Lalu bagaimana berdasarkan syariah Islam?
Dalam hadits riwayat Bukhari Muslim, Rosulullah SAW meluruskan dan menjelaskan tentang hal-hal yang merupakan penyimpangan doktrin itu. Rasulullah bersabda:
“Tidak ada penularan penyakit, tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal jelek, dilarang berprasangka buruk, dan tidak ada keburukan dalam bulan Shafar.”
Menganggap sial bulan Shafar tergolong kebiasaan jahiliyyah. Perbuatan itu dilarang. Bulan (Shafar) tersebut seperti keadaan bulan-bulan lainnya. Padanya ada kebaikan, ada juga kejelekan. Kebaikan yang ada datangnya dari Allah, sedangkan kejelekan yang ada terjadi dengan taqdir-Nya. Telah sah riwayat dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa dia telah membatalkan iktikad sialnya bulan Shafar tersebut.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya sebagai berikut ini:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.
“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya sial dari bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang melayang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Safar yaitu nama bulan kedua dalam kalender Islam atau kalender Hijriyah yang berdasarkan tahun Qomariyah (asumsi bulan mengelilingi bumi). Safar berada diurutan kedua sesudah bulan Muharram. Asal kata Safar dari Shafar. Yang menurut bahasa (linguistik) memiliki arti kosong, ada pula yang mengartikannya kuning. Sebab dinamakan Safar, alasannya kebiasaan orang-orang Arab zaman dahulu sering meninggalkan daerah kediaman atau rumah mereka sehingga kosong untuk berperang menuntut pembalasan atas lawan-musuh mereka. Ada pula yang menyatakan, nama Safar diambil nama sebuah jenis penyakit sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Arab jahiliyah pada kala dahulu, adalah penyakit Safar yang bersarang di dalam perut, akibat dari adanya sejenis ulat besar yang sangat berbahaya. Kita kenal penyakit itu kini dengan nama penyakit Kusta. Ada pula yang menyatakan, Safar adalah sejenis angin berhawa panas yang menyerang bagian perut dan menyebabkan orang yang terkenanya menjadi sakit.
Menurut Islam, semua bulan dan hari itu baik, masing-masing memiliki sejarah, keistimewaandan peristiwa sendiri-sendiri. Jika bulan tertentu memiliki segi nilai keistimewaan yang lebih, bukan mempunyai arti bualn lainnya merupakan bulan yang jelek. Misalnya, dalam bulan Romadlon ada kejadian Nuzul al Qur’an dan Lailat al Qadar, dalam bulan Rajab ada Isra’ dan Mi’raj dan dalam bulan Rabi’ul Awwal ada insiden Maulid atau kelahiran Rasulullah SAW dan lain-lain.
Jikalau ada insiden tragis atau peristiwa yang memilukan dalam suatu bulan, itu bukan memiliki arti bulan tersebut ialah bulan musibah atau bulan yang penuh kesialan. Namun kita harus akil-cerdik mencari pesan yang tersirat di balik kejadian itu, dan amaliah apa yang mesti dikerjakan sehingga terhindar dan selamat dari banyak sekali petaka.
Imam Ibn Hajar Al Haitami tentang Hari Nahas
Al Imam Ibn Hajar al Haitami pernah ditanya wacana bagaimana status adanya hari nahas yang oleh sebagian orang dipercaya, sehingga mereka berpaling dari hari itu atau menghindarkan suatu pekerjaannya sebab dianggap hari itu penuh kesialan.
Beliau menjawab bahwa kalau ada orang mempercayai adanya hari nahas (sial) dengan tujuan mewajibkan untuk berpaling darinya atau menghindarkan sebuah pekerjaan pada hari tersebut dan menganggapnya terdapat kesialan, maka bahwasanya yang demikian ini tergolong tradisi kaum Yahudi dan bukan sunnah kaum muslimin yang senantiasa tawakkal kepada Allah dan tidak berprasangka buruk kepada Allah.
Sedangkan kalau ada riwayat yang menyebutkan wacana hari yang mesti dikesampingkan alasannya mengandung kesialan, maka riwayat tersebut adalah bathil, tidak benar, mengandung kebohongan dan tidak mempunyai sandaran dalil yang jelans, untuk itu jauhilah riwayat mirip ini. (Fatawa Al Haditsiyah).
Kita semua percaya bahwa terjadinya musibah atau tanda-tanda alam yang menimpa insan, bukan karena adanya hari nahas atau alasannya adanya binatang tertentu atau sebab adanya akhir hayat seseorang. Yang kita yakini adalah semua yang terjadi di alam ini ialah dengan takdir dan hasratAllah.
Hari-hari, bulan, matahari, bintang dan makhluk lainnya tidak bisa memperlihatkan faedah atau madlarat (bahaya), namun yang memberi manfaat dan madlarat yakni Allah semata. Maka meyakini ada hari nahas atau hari sial yang menyebabkan seorang muslim menjadi pesimis, tentunya itu bukan fatwa Islam yang dibawa oleh Rasulullah.
Semua hari adalah baik, dan masing-masing ada keistimewaan tersendiri. Hari dimana kita menjaganya dan mengisinya dengan kebaikan dan ketaatan, itulah hari yang sungguh menyenangkan dan hari raya buat kita. Seperti dibilang oleh ulama Salaf, hari rayaku adalah setiap hari dimana saya tidak bermaksiat terhadap Allah pada hari itu, dan tidak tertentu pada sebuah hari saja.
Sholat Lidaf’il Bala’
Hari Rabu yang disebutkan dalam keterangan di atas disebut dengan Rebo Wekasan. Persoalannya, sejauh manakah legitimasi agama, atau pengukuhan agama Islam kepada Rebo Wekasan mirip dalam informasi Kitab Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas? Menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang perlu kita bahasa.
Pertama, pernyataan sebagian orang-orang yang ma’rifat tersebut, atau dalam kata lain sebagian waliyullah (kekasih Allah), dalam kacamata agama disebut dengan ilham. Para ulama ushul fiqih mendefinisikan ide dengan, asumsi hati yang datang dari Allah. Berkaitan dengan hal ini, Syaikh Ibnu Taimiyah Rohimahulloh berkata dalam al-‘Aqidah al-Wasithiyyah:
ومن أصول أهل السنة : التصديق بكرامات الأولياء وما يجري الله على أيديهم من خوارق العادات في أنواع العلوم والمكاشفات
“Di antara prinsip Ahlussunnah adalah mempercayai karamah para wali dan apa yang dijalankan oleh Allah lewat tangan-tangan mereka berupa perkara yang menyalahi adab dalam aneka macam macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah.”
Pernyataan Syaikh Ibnu Taimiyah di atas, mengharuskan kita mengakui adanya aneka macam macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah yang diberikan oleh Allah terhadap para wali. Dengan demikian, dalam perspektif agama,ilham maupun mukasyafah sebagian wali Allah di atas ihwal aneka macam macam malapetaka yang diturunkan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, mendapatkan legitimasinya dalam iktikad Islam.
Kedua, lebih banyak didominasi ulama beropini bahwa ide tidak mampu menjadi dasar hukum Islam (wajib, sunnah, makruh, mubah dan haram). Ilham yang dikemukakan dalam Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas, tidak dalam rangka menghukumi sesuatu dalam perspektif Islam. Ilham di atas cuma info perkara ghaib tentang turunnya malapetaka pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar. Dengan demikian, ide tersebut tidak berkaitan dengan aturan, tetapi berhubungan dengan berita masalah ghaib yang umum terjadi terhadap para wali Allah, seperti dikemukakan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah di atas.
Ketiga, dalam ilmu tashawuf, inspirasi maupun mukasyafah seorang wali dihentikan diandalkan dan diamalkan, sebelum dikomparasikan dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah. Apabila inspirasi dan mukasyafah tersebut sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka ditentukan benar. Akan namun apabila wangsit dan mukasyafah tersebut bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka itu jelas salah dan harus ditinggalkan jauh-jauh. Kaitannya dengan ide atau mukasyafah yang diterangkan dalam Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir, ada dasar yang menguatkannya.
Rasulullah saw bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي. (الإمام الحافظ جلال الدين السيوطي، الجامع الصغير في أحاديث البشير النذير، ١/٤، والحافظ أحمد بن الصديق الغماري، المداوي لعلل الجامع الصغير وشرحي المناوي، ١/۲٣).
“Dari Ibn Abbas RA, Nabi SAW bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan yakni hari terjadinya sial terus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsir dan al-Khathib al-Baghdadi. (Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).
Hadits di atas kedudukannya dha’if (lemah). Tetapi meskipun hadits tersebut lemah, posisinya tidak dalam menerangkan sebuah hukum, namun berkaitan dengan bab targhib dan tarhib (usulan dan perayaan), yang disepakati otoritasnya di kalangan andal hadits sejak generasi salaf. Ingat, bahwa yang menolak otoritas hadits dha’if secara mutlak, bukan ulama mahir hadits, akan tetapi kaum abad terbaru yang dipelopori oleh Syaikh al-Albani.
Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa hari Rabu terakhir dalam setiap bulan adalah hari hadirnya sial terus.
Keempat, berkaitan dengan bulan Shafar, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya sebagai berikut ini:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.
“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada akidah datangnya sial dari bulan Shafar. Tidak ada dogma bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang melayang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam menafsirkan kalimat “walaa shafar” dalam hadits di atas, al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Ibn Rajab al-Hanbali, ulama salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata sebagai berikut:
أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوْا يَسْتَشْئِمُوْنَ بِصَفَر وَيَقُوْلُوْنَ: إِنَّهُ شَهْرٌ مَشْئُوْمٌ، فَأَبْطَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَلِكَ، وَهَذَا حَكَاهُ أَبُوْ دَاوُودَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُوْلِيِّ عَمَّنْ سَمِعَهُ يَقُوْلُ ذَلِكَ، وَلَعَلَّ هَذَا الْقَوْلَ أَشْبَهُ اْلأَقْوَالِ، وَ كَثِيْرٌ مِنَ الْجُهَّالِ يَتَشَاءَمُ بِصَفَر، وَ رُبَّمَا يَنْهَى عَنِ السَّفَرِ فِيْهِ، وَ التَّشَاؤُمُ بِصَفَر هُوَ مِنْ جِنْسِ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٨).
“Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini hadirnya sial dengan bulan Shafar. Mereka berkata, Shafar yaitu bulan sial. Maka Nabi SAW membatalkan hal tersebut. Pendapat ini diceritakan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya berpendapat demikian. Barangkali pertimbangan ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini adanya menerangkan buruk) yang dilarang.” (Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’terpelajar, hal. 148).
Kelima, dalam hadits sebelumnya dinyatakan bahwa, Rabu terakhir setiap bulan adalah hari hadirnya sial. Sementara dalam hadits selanjutnya, membatalkan tradisi Jahiliyah yang merasa menemukan ketidakberuntungan pada bulan Shafar. Dari sini, Rabu terakhir di bulan Shafar disebut dengan Rebo Wekasan. Hal ini agaknya melegitimasi ide atau mukasyafah sebagian wali Allah di atas wacana turunnya berbagai malapetaka di bulan Shafar.
Keenam, terkait dengan amaliah shalat 4 rakaat di atas bagaimana posisi hukumnya? Secara fiqih, shalat tersebut mustahil dikatakan sebagai Shalat Sunnat Rebo Wekasan, alasannya adalah dalilnya tidak ada. Tetapi melakukan shalat Sunah mutlak tersebut, pastinya boleh-boleh saja, dengan impian terhindari dari banyak sekali malapetaka. Dalam konteks ini al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali, ulama salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitabnya, Lathaif al-Ma’pintar:
وَالْبَحْثُ عَنْ أَسْبَابِ الشَّرِّ مِنَ النَّظَرِ فِي النُّجُوْمِ وَنَحْوِهَا مِنَ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا، وَالْبَاحِثُوْنَ عَنْ ذَلِكَ غَالِبًا لَا يَشْتَغِلُوْنَ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلَاءَ مِنَ الطَّاعَاتِ، بَلْ يَأْمُرُوْنَ بِلُزُوْمِ الْمَنْزِلِ وَتَرْكِ الْحَرَكَةِ، وَهَذَا لاَ يَمْنَعُ نُفُوْذَ الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَشْتَغِلُ بِالْمَعَاصِيْ، وَهَذَا مِمَّا يُقَوِّيْ وُقُوْعَ الْبَلاَءِ وَنُفُوْذَهُ، وَالَّذِيْ جَاءَتْ بِهِ الشَّرِيْعَةُ هُوَ تَرْكُ الْبَحْثِ عَنْ ذَلِكَ وَاْلإِعْرَاضُ عَنْهُ وَاْلإِشْتِغَالُ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلاَءَ مِنَ الدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ وَالصَّدَقَةِ وَتَحْقِيْقِ التَّوَكُّلِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاْلإِيْمَانِ بِقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٣).
“Meneliti sebab-alasannya adalah kejelekan mirip menyaksikan perbintangan dan semacamnya termasuk thiyarah yang tidak boleh. Orang-orang yang meneliti hal tersebut umumnya tidak menyibukkan diri dengan amal-amal baik yang mampu menolak balak, bahkan mereka memerintahkan semoga tidak meninggalkan rumah dan tidak bekerja. Ini jelas tidak menghalangi terjadinya keputusan dan ketentuan Allah. Di antara mereka ada yang menyibukkan dirinya dengan perbuatan maksiat. Hal ini jelas memperkuat terjadinya bencana. Ajaran yang dibawa oleh syari’at ialah tidak meneliti hal tersebut, berpaling darinya, dan menyibukkan diri dengan amal-amal yang mampu menolak balak mirip berdoa, berdzikir, berinfak, memantapkan tawakal kepada Allah SWT dan beriman kepada keputusan dan ketentuan Allah SWT.” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’cerdik, hal. 143).
Shalat sunnah lidaf’il bala’ (tolak bala’) merupakan shalat sunnah hajat yang dilakukan pada malam atau hari rabu akhir bulan Safar, tepatnya pada hari rabu pada pekan keempat. Shalat sunnah ini dilaksanakan empat rakaat dua salam dan dijalankan secara berjamaah.
Shalat sunnah ini dilaksanakan dalam rangka memperingati sekaligus menenangkan umat dalam rangka berlindung terhadap Allah akan datangnya bala’ dan bencana yang terjadi pada bulan Safar. Awal mula munculnya ibadah ini ialah menurut ide dan ijtihad para ulama’ salaf maupun ulama’ sufiyah terdahulu yang teringat bahwa bulan safar adalah bulan yang penuh dengan kesialan dan malapetaka, dan hari rabu pekan keempat ialah hari yang paling na’as pada bulan itu. Seorang sufi asal India, Ibnu Khothiruddin Al-Atthor (w. th 970 H/1562 M), dalam kitab “Jawahir Al-Khomsi” menyebutkan, Syekh Al-Kamil Farid-Din Sakarjanj sudah berkata bahwa dia melihat dalam “Al-Awrad Al-Khawarija” nya Syekh Mu’inuddin selaku berikut:
أَنَّهُ يَنْزِلُ فِيْ كُلِّ سَنَةٍ ثَلاَثُمِائَةِ اَلْفٍ وَعِشْرِيْنَ أَلَفًا مِنَ الْبَلِيَّاتِ وَكُلُّهَا فَيْ يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ الْأَخِرَةِ مِنْ شَهْرِ صَفَرِ فَيَكُوْنُ ذَلِكَ الْيَوْمُ أَصْعَبُ أَيِّمِ تِلْكَ السَّنَةِ، فَمَنْ صَلَّى فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَقْرُأُ فِيْ كُلِّ مِنْهَا بَعْدَ الْفَاتِحَةِ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ سَبْعَةَ عَشَرَ وَالْإِخْلاَصَ خَمْسَ مَرَّاتٍ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ مَرَّاةً وِيَدْعُوْ بِهَذَا الدُّعَاءِ حَفَظَهُ االلهُ تَعَالَى بِكَرَمِهِ مِنْ جَمِيْعِ الْبَلاَيَا الَّتِيْ تَنْزِلُ فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَمْ تُحْمَ حَوْلَهُ بَلِيَّةٌ مِنْ تِلْكَ الْبَلاَيَا إِلَى تَمَام السَّنَةِ.
Artinya: “Sesungguhnya dalam setiap tahun diturunkan sekitar 320.000 macam bala’ yang semuanya ditimpakan pada hari rabu final bulan Safar. Maka hari itu yakni hari tersulit dalam tahun itu. Barang siapa shalat empat rakaat pada hari itu, dengan membaca di masing-masing rakaatnya sesudah Al-Fatihah adalah surat Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, mu’awwidzatain masing-masing satu kali dan berdoa –do’anya Insya Allah akan disebutkan sesudah ini–, maka dengan sifat karomnya Allah, Allah akan menjaganya dari semua bala’ yang turun pada hari itu dan di sekelilingnya akan terhindar dari bala’ tersebut sampai genap setahun” .
Adapun cara pelaksanaan shalat sunnah ini sama dengan shalat-shalat sunnah kebanyakan. Namun yang membedakannya yaitu, setiap habis membaca surat Al-Fatihah pada masing-masing rakaatnya membaca: Surat Al-Kautsar 17 kali, Surat Al-Ikhlas 5 kali, Surat Al-Falaq dan surat An-Naas masing-masing satu kali.
Adapun doa yang dibaca setelah tamat shalat lidaf’il bala’ seperti berikut:
بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا محمَّدٍ وَّ عَلَى ألهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. نَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لاَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ القَيُّوْمُ وَنَتُوْبُ إلَيْهِ تَوْبَةَ عَبْدٍ ظَالِمٍ لاَيَمْلِكُ لِنَفْسِهِ ضَرًا وَلاَ نَفْعًا وَلاَ حَيَاةً وَلاَ مَوْتًا وَلاَ نُشُوْرًا. اللَّهُمَّ صَلِّيْ عَلَى سَيِّدِنَا محمَّدٍ. وَادْفَعْنَا مِنَ الْبَلاَءِ الْمُبْرَامِ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْدُ بِكَلِمَاتِ التَّآمَّاتِ كُلِّهَا مِنَ الرَّيْحِ الْأَحْمَرِ وَمِنَ الدَّآءِ الْأَكْبَرِ فِيْ نَفْسِنَا وَدَمِّنَا وِلحمِنَا وَعَظْمِنَا وَجُلُوْدِنَا وَعُرُوْقِنَا. سُبْحَانَكَ إِذَا قَضَيْتَ مَرًّا أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ. الله أَكْبَرُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ ٣X.
اللَّهُمَّ يَا شَدِيْدَ الْقَوِيَّ وَيَا شَدِيْدَ الْمَحَالِ يَا عَزِيْزُ يَا مَنْ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جمِيْعَ خَلْقِكَ يَا مُحِسِنُ يَا مُجْمِلُ يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْعِمُ يَا مُكْرِمُ يَا مَنْ لآاِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ ارْحَمْنَا بِرَحْمًتِكَ يَا أرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اللَّهُمَّ بِسِرِّ الْحَسَنِ وَاَخِيْهَا وَجَدِّهَا وَاَبِيْهِ وَاُمِّهِ وَبَنِيْهِ اكْفِنَا شَرَّ هَذَا الْيَوْمِ وَمَا يَنْزِلُ فِيْهِ يَاكَافِيَ الْمُهِمَّاتِ يَادَافِعَ الْبَلِيَّاتِ فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ وَحَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِا اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ. وَ صَلَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَّ عَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ. آمين.
Setelah pelaksanaan shalat berakhir, umumnya diadakan shodaqohan sekadarnya mirip halnya kenduri yang diawali dengan membaca doa tahlil, kemudian dilanjutkan dengan ceramah atau mauidhah hasanah seperlunya, yang selanjutnya acara tersebut diakhiri dengan makan bersama. Setelah itu, para jamaah dipersilakan mengambil air barokah yang sudah disediakan oleh panitia sebelumnya. Para jamaah pun bisa langsung meminumnya di kawasan, atau boleh juga dibawa pulang untuk diminum bareng keluarga di rumah.
Status Hukum Shalat Sunnah Lidaf’il Bala’
Walaupun ibadah ini oleh sebagian kalangan dikategorikan selaku amalan yang tidak diajarkan oleh Rasulullah saw dan bahkan menganggapnya sebagai bid’ah, namun oleh para ulama’ sufiyah dan tarekat, amalan shalat lidaf’il bala’ ini tetap boleh dilaksanakan asalkan tidak menganggapnya sebagai kewajiban yang mesti dikerjakan. Keeksistensian ibadah ini pula jangan sampai dijadikan barang perselisihan sehingga timbul kontradiksi di golongan internal umat muslim. Akan tetapi justru amalan ini dijadikan saat-saat peningkatan mutu ibadah terhadap Allah swt serta suatu fasilitas agar dapat berlindung terhadap-Nya dari segala jenis peristiwa dan mara ancaman yang hendak menimpanya.
Allah swt berfirman:
وَ اسْتَعِيْنُوْا بِا الصَّبْرِ وَالصَّلَوةِ (البقرة: 45)
“Carilah tunjangan (Allah) dengan tabah dan shalat” (QS. Al-Baqarah: 45).
Ayat diatas diperkuat dengan hadirnya sunnah Rasulullah saw:
عن حذيفة رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم إذا حزبه أمر فزع إلى الصّلاة (رواه أحمد و أبو داود)
Dari Hudzaifah ra berkata: “Apabila Rasulullah saw menemui sebuah kesulitan, maka dia segera menunaikan shalat” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Apalagi semua shalat –baik shalat wajib maupun shalat sunnah– merupakan sebuah ibadah yang ditekankan untuk dikerjakan oleh setiap muslim. Rasulullah saw sudah bersabda:
الصّلاة خير موضوع
“Shalat ialah sebaik-baik amal yang ditetapkan (Allah untuk hamba-Nya)”
Ditambah lagi, sehabis akhir shalat dilanjutkan dengan mauidhoh hasanah dan diikuti dengan shadaqahan ala kadarnya. Inipun juga direkomendasikan oleh Nabi saw dalam sabda ia:
بَكِرٌوْا بِا الصَّدَقَةِ فَإِنَّ الْبَلاَءَ لاَ يَتَخَطَّاهَا (رواه الطبراني)
“Segeralah bershadaqah, alasannya bala’ bencana tidak akan melangkahinya” (HR. Thabrani).
Yang menjadi masalah disini ialah, banyak di golongan umat Islam meyakini bahwa amalan-amalan yang tidak ada tuntunannya secara langsung dari Rasulullah saw – seperti halnya shalat lidaf’il bala’ ini – dianggapnya sebagai keharusan yang harus dilaksanakan, akan namun ibadah-ibadah yang terang-terperinci ada tuntunannya dari Rasulullah saw, oleh masyarakat tidak dianggap selaku keharusan –mirip shalat berjamaah, shadaqah dan semacamnya–bahkan terasa malas untuk mengerjakannya. Pandangan mirip inilah yang sangat keliru, dan perkara ini amat erat dengan bid’ah. Padahal, perkara yang sifatnya qath’i (terperinci dalil dan misalnya) mesti didahulukan untuk diamalkan dibandingkan dengan perkara yang tidak eksklusif dicontohkan oleh Rasulullah saw, atau terakulturasi oleh budaya-budaya tertentu. Namun yang terperinci, bentuk ibadah mirip di atas, bukan berniat untuk mengubah-ubah syari’at, namun selaku bentuk taktik dalam rangka meningkatkan mutu ibadah terhadap Allah, dengan catatan tidak menafikkan perkara-kasus yang jelas dalilnya.
Jadi tidak benar bila shalat ini dianggap sebagai bid’ah, Khurofat dan statusnya haram dilakukan oleh umat Islam.
Ada baiknya bila ingin melakukan ibadah Sholat Sunah tersebut hanya untuk memperbesar nilai ibadah kita dan tidak dengan menyakini wacana kesialan Bulan Shofar. Kita harus lebih mengedepankan Sabda Nabi tentang Bulan Shofar
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.
“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada doktrin hadirnya sial dari bulan Shafar. Tidak ada akidah bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang melayang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Demi untuk mempertahankan Keimanan dan ketauhidan kita Pada Alloh Subhanahu Wata’ala.
HUKUM SHALAT RABU WEKASAN MENURUT KH. HASYIM ASY’ARI
Pertanyaan: “Shalat rebo wekasan dan rangkainnya, bagaimana hukumnya menurut fuqoha dan menurut ulama sufi?”
Jawaban: Menurut fatwa Rais Akbar Almarhum Asyaikh Hasim Asy’ari dilarang. Shalat rebo wekasan alasannya tidak masyru’ahdalam syara’ dan tidak ada dalil syar’i. adapun pedoman tersebut sabagaimana dokumen asli yang ada pada cabang NU Sidoarjo berikut ini.
Kados pundi hukumipun ngelampai solat rebo wulan shofar, kasebat wonten ing kitab mujarobat lan ingkang kasebat wontening akir bagian 18;
فائدة اخرى : ذكر بعض العارفين من اهل الكشف والتمكين أنه ينزل كل سنة ثلاثمائة وعشرون ألفا من البليات وكل ذلك فى يوم الأربعاء الآخير من شهر صفر فيكون فى ذلك اليوم أصعب ايام السنة كلها فمن صلى فى ذلك اليوم اربع ركعات ….. الخ.
فونافا ساهى فونافا أوون؟ يعنى سنة فونافا حرام؟ أفتونا اثابكم الله؟
Sebagian orang yang makrifat dari mahir al-kasyafi dan tamkin menyebutkan: setiap tahun, turun 320.000 cobaan. Semuannya itu pada hari rabu akhir bulan shafar. Maka pada hari itu menjadi sukar-sulitnya hari di tahun tersebut. Barang siapa shalat di hari itu 4 rokaat dst.
Kados pundi hukumipun ngelampai shalat hadiyah ingkang kasebat wonten ing kitab:
حاشية المهى على الستين مسئلة وونتن آخريفون باب يلامتى ميت وَنَصَّهُ: فَائِدَةٌ : ذَكَرَ فىِ نَزْهَةِ الْمَجاَلِسِ عَنْ كِتَابِ الْمُخْتاَرِ وَمَطَالِعِ الاَنْواَرِ عَنْ النَّبِى صلى الله عليه وسلم لا يَاْتِى عَلَى الْمَيَّتِ أَشَدُّ مِنَ اللَّيْلَةِ الأُلَى فَارْحَمُواْ مَوْتَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ يَقْرَأُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ فِيْهِمَا فَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَآيَةِ الْكُرْسِيِّ وَإِلَهُكُمْ … وَقُلْ هُوَاللهُ أَحَدْ اِحْدَى عَشْرَةَ مَرَّةً وَيَقُولُ : الّلهُمَّ إِنِّى صَلَّيْتُ هَذِهِ الصَّلاةَ وَتَعْلَمُ مَااُرِيْدُ. اللهم ابْعَثْ ثَواَبَها اِلَى قَبْرِ فُلان فَيَبْعَثُ الله مِنْ سَاعَتِهِ اَلَى قَبْرِهِ اَلْفَ مَلِكِ مَعَ كُلِّ مَلِكِ نُوْرٌ هَدِيَّةً يُؤَنِّسُوْنَةُ فِى قَبْرِهِ اِلَى اَنْ يُنْفَخَ فِى الصُّوْرِ وَيُعْطِىْ اللهُ المُصَلَّى بِعَددِ مَاطَلَعَتْ عَلَيهِ الشَّمْسُ أَلْفَ شَهِيْدٍ وَيُكْسِى أَلْفَ حُلَّةٍ. اِنْتَهَى وَقَدْ ذَكَرَنَا هَذِهِ الْفَائِدَةُ لِعُظْمِ نَفْعِهَا وَخَوْفاً مَنْ ضِيَاعِهاَ، فَيَنْبَغِى لِكُلِّ مُسْلِمٍ اَنْ يُصَلِّيْهَا كُلِّ لَيْلَةٍ لأَمْواَتِ الْمُسْلِمِيْنَ.
جواب:
بسم الله الرحمن الرحيم وبه نستعين على امور الدنيا والدين وصلى الله على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم.
أورا وناع فيتواه, اجاء-اجاء لن علاكونى صلاة ربو وكاسان لن صلاة هدية كاع كاسبوت اع سوال, كرنا صلاة لورو ايكو ماهو دودو صلاة مشروعة فى الشرع لن اور انا اصلى فى الشرع. والدليل على ذلك خلو الكتب المعتمدة عن ذكرها كيا كتاب تقريب, المنهاج القويم, فتح المعين, التحرير لن سأفندوكور. كيا كتاب النهاية, المهذب لن إحياء علوم الدين, كابيه ماهو اورا انا كع نوتور صلاة كع كاسبوت.
ومن المعلوم انه لوكان لها أصل لبادروا إلى ذكرها وذكر فضلها, والعادة تحيل ان يكون مثل هذه السنة, وتغيب عن هؤلاء وهم أعلم الدين وقدوة المؤمنين. لن اورا وناع اويه قيتواه أتوا عافيك حكوم ساكا كتاب مجربات لن كتاب نزهة المجالس. كتراعان سكع حواشى الأشباه والنظائر للإمام الحمدى قال : ولا يجوز الإفتاء من الكتب الغير المعتبرة, لن كتراعان سكع كتاب تذكرة الموضوعات للملا على القارى : لا يجوز نقل الأحاديث النبوية والمسائل الفقهية والتفاسير القرانية إلا من الكتب المداولة ( المشهورة) لعدم الإعتماد على غيرها من ودع الزنادقة وإلحاد الملاحدة بخلاف الكتب المحفوظة. انتهى لن كتراعان سكع كتاب تنقيح الفتوى الحميدية : ولا يحل الإفتاء من الكتب الغريبة. وقد عرفت ان نقل المجربات الديربية وحاشية الستين لاستحباب هذه الصلاة المذكورة يخالف كتب الفروع الفقهية فلا يصح ولا يجوز الإفتاء بها. لن ماليه حديث كع كاسبات وونتن كتاب حاشية الستين فونيكا حديث موضوع. كتراعان سكع كتاب القسطلانى على البخارى : ويسمى المختلف الموضوع ويحرم روايته مع العلم به مبينا والعمل به مطلقا. انتهى
قال فى نيل الأمانى : ويحرم روايته أى على من علم او ظن انه موضوع سواء كان فى الأحكام أو فى غيرها كالمواعظ القصص والترغيب إلا مع بيان وضعه لقوله صلى الله عليه وسلم : من حدث عنى يرى انه كذب فهو أحد الكذابين وهو من الكبائر حتى قال الجوينى عن أئمة أصحابنا يكفر معتمده ويراق دمه. والجمهور انه لا يكفر إلا إن ستحله وانما يضعف وترد روايته أبدا, بل يختم ….. انتهى. وليس لأحد أن يستبدل بما صح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم انه قال : الصلاة خير موضوع فمن شاء فليستكثر ومن شاء فليستقلل, فان ذلك مختص بصلاة مشروعية سكيرا اورا بيصا تتف كسنتانى صلاة هدية كلوان دليل حديث موضوع, موعكا اورا بيصا تتف كسنتانى صلاة ربو وكاسان كلوان دليل داووهى ستعاهى علماء العارفين, مالاه بيصا حرام, سباب ايكى بيصا تلبس بعبادة فاسدة. والله سبحانه وتعالى أعلم.
(هذا جواب الفقير اليه تعالى محمد هاشم أشعارى جومباع)
Bagi para sobat yang mampu membaca arab jawa pegon, pasti tidak akan kesusahan membaca balasan Syaikh Hasyim Asy’ari di atas. Semoga jawaban beliau itu mencerahkan buat kita. Untuk itu, karwna shalat rabu wekasan tidak masyruah, bisa diganti dengan shalat hajat 4 rakaat ataupun shalat sunnah mutlak, atau shalat sunnah yang lain.
Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq