Setamatnya dari MULO, Aoh eksklusif bekerja sebagai employe (pekerja) di perkebunan Parakan Salak, Sukabumi, Jawa Barat. Bekerja di perkebunan banyak menyedot tenaga secara fisik sehingga menciptakan kecapekan Aoh. Ia terpaksa berhenti dari pekerjaannya itu dan beristirahat total di Sanatorium, Rumah Sakit Paru-paru Cisarua, Bogor, pada tahun 1939, dikala penyakit TBC menggerogoti tubuhnya. Sewaktu dalam perawatan penyakitnya di Sanatorium itu, Aoh mempunyai banyak peluang membaca buku-buku agama dan sastra, di antaranya buku-buku karya Hamka yang pada waktu itu telah banyak yang terbit di masyarakat.
Begitu akhir perawatan dari rumah sakit paru-paru Cisarua, Aoh secepatnya meninggalkan kota Bogor dan mencoba mengadu nasib di Jakarta. Ia mulai menulis sajak pada permulaan pemerintahan fasis Jepang berkuasa di Indonesia. Untuk menambah wawasannya di bidang kesusastraan, pada zaman Jepang itu Aoh bergabung dengan Pusat Kebudayaan yang ialah bentukan pemerintah fasis Jepang, di Jakarta. Di sini Aoh bekerja sebagai penerjemah kesusastraan Sunda Klasik ke dalam bahasa Indonesia. Di Pusat Kebudayaan ini pula Aoh mampu berkenalan dengan sesama sastrawan yang telah mengorbit terlebih dulu, seperti Sanusi Pane, Armijn Pane, Chairil Anwar, Usmar Ismail, dan Sutan Takdir Alisyahbana. Satu hal yang membuat hati Aoh berbahagia yakni pertemuannya dengan Hamka karena Aoh menilai Hamka sebagai guru dalam hal agama dan sastra.
Ketika Jepang kalah perang dan dipaksa meninggalkan Indonesia, Pusat Kebudayaan bentukan Jepang itu pun ikut bubar. Memasuki kurun Perang Revolusi Kemerdekaan R.I., Aoh pun ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi persada Indonesia. Ia harus keluar masuk hutan ikut bergerilya berperang melawan serdadu sekutu Belanda. Setelah perang kemerdekaan itu berlalu (1949–1952), Aoh melawat ke Sumatera untuk menilik kebudyaan daerah yang ada di pulau tersebut. Sepulangnya dari lawatan selama tiga tahun di Sumatera, Aoh sempat melakukan pekerjaan di Balai Pustaka beberapa bulan lamanya sebagai redaktur pernaskahan. Kesempatan melakukan pekerjaan di Balai Pustaka ini menciptakan Aoh dapat mempublikasikan beberapa karyanya menjadi buku, yakni Zahra (1950, kumpulan puisi dan karya drama), Pecahan Ratna(1952, kumpulan sajak), Manusia dan Tanahnya (1952, kumpulan kisah pendek), dan Beberapa Paham Angkatan 45 (1952, kumpulan esai sebagaieditor).
Pada selesai tahun 1952 Aoh menerima tawaran melakukan pekerjaan selaku penerjemah di Sticusa, Amsterdam, Negeri Belanda. Atas tawaran pekerjaan yang menantang itu memaksa Aoh meninggalkan tanah air dan mengembara beberapa tahun ke Eropa. Di benua bangsa kulit putih itu Aoh bekerja pula sebagai penyiar Radio Hilversum sampai tahun 1956. Setelah kontraknya selaku penyiar radio di Belanda itu habis, Aoh segera pulang ke tanah air. Namun, beliau cuma beberapa bulan saja tinggal di tanah air dan mesti berangkat lagi ke Eropa. Kali ini Aoh menerima ajuan sebagai wartawan majalah PIA dan Star Weekly. Sebagai pekerja pencari informasi, Aoh pun mendapat kesempatan meliput peringatan Kemerdekaan Malaysia di Kuala Lumpur pada tahun 1957.
Aoh ternyata senang bertualang, khususnya dalam hal memilih pekerjaan. Sepulangnya dari Malaysia, Aoh sempat kembali melakukan pekerjaan di perkebunan yang sudah dia tinggalkan selama dua puluh tahun. Kali ini Aoh memilih perkebunan karet, di kawasan Jasinga, Kabupaten Lebak, Banten. Ia menghindari keramaian kota Jakarta dan memilih menyepi di suatu perkebunan disebabkan oleh suasana politik yang berantakan-balau waktu itu. Di daerah penyepiannya ini Aoh sukses membuat dua kisah pendek yang masing-masing berjudul “Artis Yang Ulung” dan “Poligami”. Kedua dongeng pendek itu kemudian disatukan dengan sepuluh cerita pendek Aoh yang lainnya menjadi buku Poligami (1975).
Pekerjaan sebagai penyadap getah karet di perekebunan Jasinga itu secepatnya ia tinggalkan dikala pada pertengahan tahun 1959 Aoh menerima anjuran pergi ke Eropa lagi. Kali ini beliau mendapat potensi pergi ke London, Inggris, untuk bergabung dengan Radio BBC London sebagai penyiar Seksi Indonesia. Hiruk-pikuknya keadaan politik di tanah air selama tahun enam puluhan sama sekali tidak dinikmati oleh Aoh. Jauhnya daerah petualangan Aoh selaku pengarang hingga ke Eropa menimbulkan kerinduannya pada tanah air. Ia baru pulang ke tanah air pada tahun 1970 sehabis kontranya dengan BBC habis. Namun, dikala menjadi penyiar BBC London itu Aoh sempat mengadakan pertemuan dengan beberapa sastrawan Indonesia yang kebetulan melawat ke London, antara lain, Achdiat K. Mihardja, Siti Nuraini, Mochtar Lubis, dan Nugroho Notosusanto.
Selama menjadi penyiar BBC London, Aoh tidak merenggangkan bakat, minat, dan perhatiannya terhadap pertumbuhan sastra Indonesia modern. Sambil menjadi penyiar radio itu Aoh tetap terus menulis dongeng pendek dan esai. Dari London itu pula Aoh selalu mengantarkan karya-karyanya ke tanah air, mirip ke majalah Budaya Jaya, Basis, Horison, dan Indonesia Raya. Beberapa cerita pendek yang dihasilan ketika Aoh berada di London, seperti “Kemenangan di Jabal Nur”, “Tuan Miloszewski”, “Menuju Kemenangan”, dan “Menemukan Tujuannya” yang dimuat dalam beberapa majalah, sesudah ia meninggal dikumpulkan menjadi buku kumpulan cerpen Poligami (1975). Sementara esai-esai yang ditulis Aoh di London dan sempat disiarkan secara berkelanjutan di wajah corong BBC London, antara tahun 1968–1970, dikumpulkan menjadi buku Seni Mengarang. Sebelum akhir hayat tiba menjemput dan membawanya ke negeri keabadian, pada tahun 1972 Pemerintah Republik Indonesia, melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu, memberi Anugerah Seni kepada Aoh K. Hadimadja atas prestasinya menyebarkan seni sastra.
Sekembalinya petualangan dari Eropa, Aoh K. Hadimadja bekerja sebagai Kepala Redaksi Badan Penerbit Pustaka Jaya. Ketika menjadi kepala redaksi penerbitan Pustaka Jaya ini Aoh sempat mempublikasikan bukunya Pecahan Ratna (1971, kumpulan sajak), dua esainya pun dapat terbit menjadi buku, yaitu Seni Mengarang (1972) dan Aliran-Aliran Klasik, Romantik, dan Realisme dalam Kesusastraan: Dasar-Dasar Perkembangannya (1972). Setelah Aoh meninggal dunia, atas prakarsa Ajip Rosidi, dua buah buku fiksinya mampu terbit, yaitu Dan Terhamparlah Darat yang Kuning, Laut yang Biru….” (1975) dan Sepi Terasing (1977). Sebelumnya Aoh sudah mempublikasikan buku kumpulan cerpenManusia dan Tanahnya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, 1952. Sejumlah karya Aoh ada dalam antologi Gema Tanah Air (1948 susunan H.B, Jassin), Laut Biru Langit Biru (1977 susunan Ajip Rosidi), dan Tonggak 1 Antologi Puisi Indonesia Modern (1987 susunan Linus Suryadi A.G.). Beberapa karya Aoh yang sampai sekarang belum dapat terbit, antara lain, “Arus Perjuangan” (naskah drama), “Bumiku” (kumpulan sajak), “Bunga Merdeka” (naskah drama), “Kapten Sjaf” (naskah drama), dan “Pancaran di Balik Salaka” (naskah drama).
Sebenarnya Aoh K. Hadimadja telah menulis karya sastra berupa sajak dan naskah drama sejak zaman Jepang. Namun, tak satu pun kritikus sastra Indonesia yang menempatkan Aoh sebagai tokoh Angkatan 45. Padahal, beberapa sajak Aoh sudah dimuat dalam majalah Panji Pustaka (1942–1945) danPantja Raja (1946–1948), Pujangga Baru, Zenith, dan Indonesia Raya. Pada tahun 1947 sajak-sajak Aoh mendapat penghargaan dari penerbit Balai Pustaka sehingga pada tahun 1950 sajak-sajak itu diterbitkan oleh Balai Pustaka dengan judul Zahra. Peristiwa tersebut menghidupkan gairah mengarang Aoh untuk terus menulis. Semangat menulis Aoh itu kemudian ditularkan kepada adik kesayangannya, Ramadhan K.H. yang di kemudian hari menjadi penulis yang sungguh terkenal dengan novel-novelnya mirip Royan Revolusi (1968), Kemelut Hidup (1977), Keluarga Permana (1978), danLadang Perminus (1990).
Beberapa pengamat sastra Indonesia sudah menulis tentang biografi singkat Aoh K. Hadimadja dan mengulas karya-karyanya, antara lain, Boen S. Oemarjati (1971) dalam Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, Ajip Rosidi (1977) dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, A. Teeuw (1980) dalam Sastra Baru Indonesia I, Jakob Soemardjo (1982) dalam Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik, Pamusuk Eneste (1990) dalam Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern, Puji Santosa dkk. (1993) dalam Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern 1920–1960, dan Anita K. Rustapa dkk. (1997) dalam Antologi Biografi Pengarang Sastra Indonesia 1920–1950. Pada lazimnya mereka manyambut baik dan menghargai karya-karya Aoh K. Hadimadja selaku pengarang romantik yang memiliki keunikan tersendiri.