Berkawan Dengan Stres

“BERKAWAN DENGAN STRES”
Oleh : Adjie Silarus dalam buku “Sadar,Penuh,Hadir,Utuh”
Kemacetan kemudian lintas. Tumpukan pekerjaan.Problem keuangan. Masalah kesehatan.Konflik dengan sobat. Konflik dengan saudara. Konflik dengan pasangan. Atau malah konflik dengan diri sendiri? Daftar peristiwa sehari-hari yang bisa menimbulkan stres memang tidak terhitung banyaknya.

Namun jika kamu cermati, berapa banyak dari sumber stres kamu yang tergolongkan ke dalam bahaya atau tantangan yang bersifat fisik?
Berbeda dengan nenek moyang kita yang mesti bertarung melawan binatang buas untuk mempertahankan nyawa mereka,pada umumnya penyebab tekanan dalam kehidupan insan terbaru yakni hal-hal yang sifatnya psikologis.
Kemajuan sains dan teknologi memang telah menghemat jumlah insiden yang menyangkut problem hidup dan mati. Walaupun begitu, reaksi otomatis yang dihasilkan badan kita di bawah kondisi stres masih serupa betul dengan respons yang ditampilkan para leluhur kita di saat diburuharimau kelaparan.
Respons “gempur-atau kabur” (fight-or-flight) yang ditandai adanya peningkatan ketegangan otot, debaran jantung, gemeretak gigi dan keringatan hambar inilah yang membuat mereka bisa bertahan hidup di tengah belantara.
Respons seperti ini pastinya menjadi tidak efektif lagi, dan bahkan membuang banyak energi untuk lawan yang tidak seimbang dengan seekor macan yang siap menerkam.
Kecenderungan tubuh kita untuk siap menggempur-atau-kabur dari orang atau peristiwa yang memicu stres diiringi pula dengan meningkatnya emosi negatif yang kita alami.
Saat sedang frustasi, kita menjadi lebih mudah galau,murung,tersinggung, dan marah. Kita kehilangan minat terhadap hal-hal yang tadinya kita sukai. Sulit rasanya untuk berfikir jernih, atau mengambil keputusan secara rasional.
Meskipun tidak menyenangkan, kegundahan yang kita rasakan ini sebetulnya bukan tanpa fungsi.Sebagaimana halnya reaksi fisiologis tubuh kita,rasa gundah yaitu “sinyal” yang menandakan bahwa saat ini tengah berjalan sebuah insiden yang menggangu stabilitas kehidupan kita.
Makara, tidak perlu buru-buru berusaha untuk menyingkirkan perasaan ini. Tidak perlu juga memaksa fikiran kita bekerja lebih keras dengan mengajukan rentetan pertanyaan mirip, “Mengapa saya resah?” ini salah siapa?”, Akibatnya apa?”, Adakah makna terselubung di balik kejadian ini.
Analisis seperti ini lazimnya malah menciptakan kita menjadi semakin stres dan menggalau. Yang perlu kita lakukan yaitu justru mempertajam kemampuan kita dalam menangkap sinyal-sinyal stres.
Latihan ‘body-scan’ yang dipandu oleh Profesor Mark Williams dari University of Oxford ini pada prinsipnya mempersiapkan kita untuk berguru mengenali badan kita sendiri, bagaimana emosi kita muncul dan kemudian hilang,juga mengendalikan bagaimana segi rasional bisa diposisikan.
Tidak mirip latihan relaksasi yang mana kita secara sengaja “memanggil” otot-otot kita untuk menegang dan mengendur, di dalam body-scan  kita tidak melakukan upaya apa pun untuk mendatangkan atau menghalau sensasi fisik, emosi, dan fikiran yang muncul.
Setelah mengikuti latihan yang merupakan bagian dari program MBSR (mindfulness-bases frustasi reduction) ini, para karyawan perusahaan bioteknologi di Wisconsin memperlihatkan kenaikan kegiatan otak yang terkait dengan emosi faktual, sekaligus peningkatan kekebalan tubuh terhadap virus influenza.
Saat kita mampu menyapa kegelisahan kita sesuai dengan sifat-sifat dasarnya, kita menjadi lebih terampil melaksanakan pembiasaan semoga kehidupan kita stabil kembali.
Simaklah pribahasa berikut ini :
Never trouble trouble until trouble troubles you”
jangan pernah meributkan sebuah duduk perkara sebelum problem itu datang dan menjadi dilema. Jangan terlalu khawatir akan hal-hal yang mungkin terjadi alasannya adalah belum tentu hal-hal itu akan betul-betul terjadi.