Seorang manusia benar-benar tak mengenali di mana lokasi rezeki yg akan diberikan kepadanya, berapa jumlahnya, & bagaimana proses diberikannya. Akan tetapi, yakinilah satu hal, rezeki niscaya mengenali di mana posisi tuannya, berapa jumlahnya, & bagaimana cara yg harus ditempuh dlm mendatangi tuannya.
Kadang, jalannya berliku & berat. Bahkan, ianya sama sekali tak pernah terpikirkan oleh akal manusia yg amat terbatas. Bagi orang yg beriman, proses-proses mirip ini akan membuat dirinya semakin yakin pada Allah Ta’ala. Namun, orang-orang kafir hanya menganggapnya sebagai proses alami yg layak ia terima.
Laki-laki ini menempuh perjalanan ratusan kilometer dr salah satu kota di provinsi Banten. Setelah melewati DKI Jakarta & sebagian kota Jawa Barat, sampailah ia di pinggiran pantai utara yg sudah masuk ke kawasan Jawa Tengah.
Tunai menikmati perjalanan malam di sebuah bus cepat, sampailah ia di kotanya, sempurna pada dini hari. Ia pun melanjutkan perjalanan sekitar sepuluh kilometer hingga mendarat dgn selamat di kampungnya tatkala mentari sudah mulai bertugas.
Tak usang kemudian, dgn motor bututnya, ia yg belum rehat sepenuhnya itu mempunyai ide mengirimkan salah satu adiknya yg bersekolah di tingkat menengah atas. Berdua menikmati pagi di kampung yg higienis & segar udaranya, abang beradik itu terlihat mesra. Melepas rindu lantaran usang tak bersua.
Sampai di sekolah si adik, si abang pun bergegas pulang melalui jalan lain. Nostalgia, pikirnya kala itu. Dengan siulan sarat syukur, pria yg belum genap tiga puluh tahun ini memacu kendaraannya. Pelan.
Berselang sepuluh menit dr sekolah adiknya, tatkala jarak yg ditempuh hampir lima kilometer, motor pun berhenti. Mendadak. Si perjaka pun turun. Memeriksa. Instingnya pun tertuju pada pengukur materi bakar kendaraan. Angka nol. Bensin habis.
Guna memutuskan, ia pun membuka jok, lalu memutar tutup tangki bahan bakar. Kering. Dengan senyum getir, cowok pun melirik ke arah langit. Bisiknya, “Allah Ta’ala niscaya punya maksud.”
Motor pun didorong dgn sesekali bertanya pada penduduk & orang yg lewat, “Pak, Bu, penjual bensin di mana ya?” Yang ditanya pun menunjuk ke satu arah sembari berkata, “Sekitar lima ratus meter dr sini.”
Bersimbah keringat sehat di pagi itu, sang perjaka pun tiba di depan gubuk penjual bensin. Sempat berteriak memanggil, ibu-ibu pedagang pun bergegas dgn tanya bergairah, “Pinten liter, Mas?” Berapa liter, Mas? Demikian makna tanya yg disampaikan dgn Bahasa Jawa itu.
Si cowok pun menyebut angka yg ia hajatkan. Segera diisi. Lalu pembayaran. Tunai. Selesai.
Bagi sebagian kita, insiden ini tampakbiasa-umumsaja. Padahal, Allah Ta’ala Berkehendak menunjukkan rezeki pada ibu-ibu pedagang bensin itu dgn cara yg unik & perjuangan pelik sang rezeki. Meski jumlahnya tak lebih dr dua puluh ribu rupiah, rezeki itu harus menempuh ratusan kilometer dgn bus cepat, puluhan kilometer lewat sepeda motor, & ratusan meter dgn jalan kaki. Sebuah perjalanan amat panjang nan berliku, jika dilihat dr kaca mata orang yg beriman.
Jika tak percaya, coba pikirkan masak-masak, “Cabai yg dipakai oleh istri Anda untuk mengolah makanan siang tadi, asalnya dr mana?” Apakah kita tak berpikir & enggan bersyukur? [Pirman/wargamasyarakat]