close

Belakang Layar Bank

PENDAHULUAN

Bank yaitu bab dari sistem keuangan dan tata cara pembayaran sebuah negara. Bahkan pada kurun globalisasi sekarang ini, bank juga telah menjadi bagian dari system keuangan dan system pembayaran dunia. Mengingat hal yang demikian itu, maka begitu sebuah bank telah menemukan izin bangun dan beroperasi dari otoritas moneter dari Negara yang bersangkutan, bank tersebut menjadi “milik” masyarakat. Oleh sebab itu eksistensinya bukan saja cuma mesti dijaga oleh para pemilik bank itu sendiri dan pengurusnya, tetapi juga oleh penduduk nasional dan global.
Kepentingan penduduk untuk mempertahankan eksistensi suatu bank menjadi sungguh penting, lebih-lebih jikalau dikenang bahwa ambruknya sebuah bank akan mempunyai akhir rantai atau domino effect, adalah menular kepada bank-bank yang lain, yang pada gilirannya tidak mustahil dapat sangat mengganggu fungsi sistem keuangan dan system pembayaran dari negara yang bersangkutan. Hal ini ialah mirip yang pernah terjadi ditahun 1929-1933 dikala kurang lebih 9000 bank di Amerika Serikat, atau kurang lebih setengah dari jumlah bank yang ada pada waktu itu gulung tikar.
Bank ialah suatu lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung mutlak pada doktrin dari para nasabahnya yang mempercayakan dana simpanan mereka pada bank. Oleh alasannya itu bank sangat berkepentingan agar kadar kepercayaan masyarakat, yang sudah maupun yang mau menyimpan dananya, terpelihara dengan baik dalam tingkat yang tinggi. Mengingat bank adalah bab dari sistem keuangan dan system pembayaran, yang penduduk luas berkepentingan atas kesehatan dari metode-metode tersebut, sedangkan iktikad masyarakat terhadap bank merupakan komponen paling pokok dari eksistensi suatu bank, maka terpeliharanya keyakinan penduduk kepada perbankan adalah juga kepentingan penduduk banyak. 
Ada beberapa faktor yang sungguh menghipnotis tingkat doktrin penduduk
terhadap suatu bank. Faktor-aspek tersebut adalah:
Integritas pengelola 
Pengetahuan dan Kemampuan pengurus baik berupa wawasan kesanggupan manajerial maupun pengetahuan dan kemampuan teknis perbankan 
Kesehatan bank yang bersangkutan 
Kepatuhan bank terhadap keharusan diam-diam bank. 
Sebagaimana dikemukakan di atas, salah satu faktor untuk dapat memelihara dan mengembangkan kadar keyakinan masyarakat kepada suatu bank pada utamanya dan perbankan kebanyakan yaitu kepatuhan bank terhadap keharusan rahasia bank. Maksudnya adalah menyangkut “dapat atau tidaknya bank dipercaya oleh nasabah yang menyimpan dananya pada bank tersebut untuk tidak mengungkapkan tabungan nasabah identitas nasabah tersebut kepada pihak lain”. Dengan kata lain, tergantung terhadap kesanggupan bank itu untuk menjunjung tinggi dan mematuhi dengan teguh “belakang layar bank”.
Rahasia bank akan mampu lebih dipegang teguh oleh bank apabila ditetapkan bukan sekedar hanya sebagai kewajiban kontraktual di antara bank dan nasabah, namun ditetapkan sebagai keharusan pidana. Bila cuma ditetapkan selaku keharusan kontraktual belaka, maka kewajiban bank itu menjadi kurang kuat karena kewajiban kontraktual secara gampang mampu disimpangi.
Hal itulah yang sudah melandasi ditetapkannya ketentuan rahasia bank dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 wacana Perbankan sebagaimana lalu sudah diubah dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 selaku tindak kriminal bagi pelanggarannya. Pasal-pasal yang mengontrol belakang layar bank dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 adalah Pasal 40, 41, 41A, 42, 42A, 43, 44, 44A, 45, 47, 47A, 50, 50A, 51, 52 dan 53.
I. SEJARAH MUNCULNYA KONSEP RAHASIA BANK
Konsep belakang layar bank bermula timbul dari tujuan untuk melindungi nasabah bank yang bersangkutan. Hal ini aktual terlihat saat Court of Appeal Inggris secara lingkaran menetapkan pendiriannya dalam kasus Tournier v. National Provincial and Union Bank of England tahun 1924, sebuah putusan pengadilan yang kemudian menjadi leading case law yang menyangkut ketentuan belakang layar bank di Inggris dan kemudian diacu oleh pengadilan- pengadilan negara-negara lain yang menganut common law system. Bahkan 60 tahun sebelum putusan Tournier tersebut, yaitu dalam kasus Foster v. The Bank of London tahun 1862, juri telah beropini bahwa terdapat keharusan bagi bank untuk tidak boleh mengungkapkan kondisi keuangan nasabah bank yang bersangkutan terhadap pihak lain. Namun pada waktu itu pendirian tersebut belum mendapatkan afirmasi dari putusan-putusan pengadilan selanjutnya.[1]
Timbulnya aliran untuk perlunya merahasiakan keadaan keuangan nasabah bank sehingga melahirkan ketentuan hukum tentang keharusan belakang layar bank, adalah semula bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah secara individual. Ketentuan rahasia bank di Swiss, ialah sebuah negara yang dikenal memiliki ketentuan belakang layar bank yang dahulunya paling ketat di dunia, yaitu juga semula bermaksud untuk melindungi kepentingan nasabah bank secara perorangan. Pada waktu itu ketentuan diam-diam bank bersifat mutlak; artinya tidak dapat dikecualikan sebab argumentasi apapun juga. Ketentuan diam-diam bank di Swiss lahir mula-mula sehubungan dengan kedudukan Swiss selaku negara yang netral secara tradisional. Alasan pertama, dalam era ke 17, ribuan kaum Huguenots dari Perancis melarikan diri ke Swiss oleh alasannya adalah mereka diburu-buru atau dijalankan penyiksaan-penyiksaan kepada mereka sehubungan dengan agama yang mereka anut. Diantara mereka itu lalu ada yang menjadi bankir, dan menghendaki agar semoga kerahasiaan dari nasabah-nasabah mereka untuk permasalahan-masalah keuangannya di Negara asalnya dirahasiakan. Alasan kedua ialah sehubungan dengan dikejar-kejarnya orang-orang Yahudi di waktu regime Nazi berkuasa di Jerman di tahun 1930-an dan 1940-an.[2]
Namun pertumbuhan sehubungan dengan kondisi politik dalam negeri, kondisi sosial, terutama yang menyangkut timbulnya kejahatan-kejahatan di bidang money laundering, dan keperluan akan adanya stabilitas ekonomi, terutama stabilitas moneter, sudah mengakibatkan keperluan akan perlunya pelonggaran kepada keharusan diam-diam bank yang mutlak itu. Artinya, jika kepentingan negara, bangsa dan penduduk umum harus didahulukan daripada kepentingan nasabah secara pribadi, maka keharusan bank untuk melindungi kepentingan nasabah secara perorangan itu (dalam arti tidak boleh mengungkapkan keadaan keuangan nasabah) harus mampu dikesampingkan. Contoh yang konkrit perihal hal ini yakni berhubungan dengan kepentingan negara untuk mengkalkulasikan memungut: 1) pajak nasabah yang bersangkutan, 2) penindakan korupsi, dan 3) pemberantasan money laundering.
Merupakan hal yang kontradiktif bahwa dalam hal-hal tertentu, justru demi kepentingan negara, bangsa dan masyarakat biasa , diharapkan agar kewajiban rahasia bank diperketat. Kepentingan negara yang dimaksud yakni pengerahan dana perbankan untuk keperluan pembangunan. Kepentingan negara, bangsa dan masyarakat lazim itu dilandasi oleh argumentasi bahwa dijunjung tingginya dan dipegang teguhnya kewajiban belakang layar bank ialah aspek terpenting bagi kesuksesan bank dalam upaya bank itu mengerahkan simpanan masyarakat. Selain itu terganggunya stabilitas moneter yakni antara lain mampu diakibatkan oleh runtuhnya akidah penduduk terhadap perbankan alasannya terlalu longgarnya diam-diam bank. Dalam kaitan itu, undang-undang yang menertibkan mengenai rahasia bank harus tidak memungkinkan keharusan belakang layar bank secara mudah dapat disingkirkan dengan dalih karena kepentingan umum menghendaki demikian.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa keharusan rahasia bank yang harus dipegang teguh oleh bank ialah bukan semata-mata bagi: (1) kepentingan nasabah sendiri, tetapi juga (2) bagi bank yang bersangkutan dan (3) bagi kepentingan penduduk umum sendiri.
II. RUMUSAN PENGERTIAN RAHASIA BANK DAN RUMUSAN TINDAK PIDANA RAHASIA BANK
Dasar aturan dari ketentuan belakang layar bank di Indonesia mula-mula adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 perihal Perbankan tetapi kemudian sudah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.
Pengertian belakang layar bank oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 diberikan oleh Pasal 1 angka 16 yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Rahasia bank yakni segala sesuatu yang berafiliasi dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang berdasarkan kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. [3]
Pengertian ini telah diubah dengan pemahaman yang gres oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Oleh Undang-Undang itu rumusan yang gres diberikan dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Rahasia bank yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah
Penyimpan dan Simpanannya.[4]
Selain dari memperlihatkan rumusan dari pengertiannya, Undang-Undang Perbankan juga memberikan rumusan perihal delik belakang layar bank. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 menawarkan rumusan delik rahasia bank sebagaimana diputuskan dalam Pasal 40 ayat (1). Bunyi lengkap dari rumusan delik belakang layar bank menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 yaitu:
Pasal 40
(1) Bank dilarang menunjukkan keterangan yang tercatat pada bank ihwal kondisi keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasl 41, 42, 43 dan 44[5]
Rumusan delik belakang layar bank tersebut di atas sudah diubah dengan rumusan yang baru, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dari Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Rumusan yang gres itu lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
(1) Bank wajib merahasiakan informasi perihal Nasabah Penyimpan dan Simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A.[6]
Kedua rumusan delik belakang layar bank itu sungguh berlawanan. Perbedaannya akan diuraikan dalam bab bab berikut dari makalah ini. Tindak pidana belakang layar bank berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Pasal 51 ialah kejahatan. Sanksi tindakan melawan hukum belakang layar bank ditentukan dalam Pasal 47 ayat (2), adalah pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda sedikitnya Rp. 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (dua milyar rupiah).
III. LINGKUP RAHASIA BANK
Pertanyaan sehubungan dengan ketentuan diam-diam bank adalah: Apakah yang harus dirahasiakan itu cuma terbatas terhadap keadaan keuangan nasabah penyimpan dana saja? Apakah juga menyangkut kondisi keuangan nasabah debitur? Dengan kata lain, apakah lingkup rahasia bank cuma menyangkut pasiva (liabilities) bank berbentukdana nasabah bank ataukah juga mencakup aktiva (assets) bank berupa kredit bank kepada nasabah.
Apakah juga menyangkut penggunaan jasa-jasa bank lainnya selain jasa penyimpanan dana dan jasa pertolongan kredit? Apakah keadaan keuangan dari nasabah yang hanya menggunakan jasa perbankan dari bank tersebut selain berupa jasa simpanan dan kredit, seperti pengiriman duit (transfer dana), pembukaan L/C, penerimaan L/C, harus pula dirahasiakan? Sehubungan dengan lingkup rahasia bank, juga ialah legal issue tentang apakah identitas nasabah ialah hal yang mesti dirahasiakan juga? Ketika meletus peristiwa kredit macet dari Golden Key Group atau Eddy Tansil yang diberikan oleh PT. Bank Pembangunan Indonesia (Persero) atau Bapindo, maka sudah muncul banyak sekali pertimbangan di golongan penduduk perihal: Apakah diam-diam bank itu juga berlaku bagi kondisi keuangan dari nasabah debitur, lebih-lebih lagi nasabah debitur yang telah macet kreditnya? Yang paling keras pendapatnya ialah Kwik Kian Gie yang beropini bahwa belakang layar bank cuma berlaku bagi nasabah penyimpan dana,
tidak berlaku bagi nasabah debitur. Pada waktu itu, rumusan belakang layar bank yang berlaku yaitu rumusan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 (sebelum diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998).
Dari penjelasan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 yang mengemukakan “Kerahasiaan itu diperlukan untuk kepentingan bank sendiri yang membutuhkan keyakinan penduduk yang menyimpan uangnya di bank” mampu disimpulkan bahwa lingkup diam-diam bank memang menyangkut tabungan nasabah. Namun kalau membaca kalimat selanjutnya dari penjelasan Pasal 40 ayat (1) itu yang berbunyi “masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya terhadap bank atau memanfaatkan jasa bank (telah barang pasti tergolong jasa bank berupa kredit, penulis) jika dari bank ada jaminan bahwa wawasan bank perihal tabungan dan kondisi keuangan nasabah (termasuk kredit yang diperolehnya, penulis) tidak akan disalahgunakan”, mampu disimpulkan bahwa bukan cuma kondisi keuangan dari nasabah yang menyimpan dana pada bank saja (pasiva bank), tetapi juga nasabah lain yang menggunakan jasa bank selain jasa penyimpanan dana. Dengan demikian belakang layar bank juga berlaku bagi nasabah debitur atau kredit bank (aktiva) maupun nasabah yang memakai jasa bank lain, mirip misalnya kiriman duit, pembukaan L/C, jaminan bank, dan lain-lain.
Bahwa ketentuan rahasia bank berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 berlaku bukan saja menyangkut kondisi keuangan dari nasabah penyimpan dana (pasiva bank), namun berlaku pula bagi kredit yang diperoleh oleh nasabah debitur dari bank tersebut (aktiva bank), adalah dapat pula ditarik kesimpulan dari klarifikasi Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) yang berhubungan dengan gosip antara bank tentang kredit.
Penafsiran perihal pengertian diam-diam bank seperti yang dikemukakan di atas adalah juga pendirian Bank Indonesia sebagaimana dikemukakan dalam Surat Direksi Bank Indonesia No. 2/377/UPPB/PbB tanggal 11 September 1969 kepada semua bank-bank di Indonesia wacana “Penafsiran tentang Pengertian Rahasia Bank”. Surat Bank Indonesia tersebut sekalipun berhubungan dengan penafsiran ihwal pemahaman rahasia bank berdasarkan Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-Undang No. 14 Tahun 1967, tetapi masih dianggap tetap berlaku berhubungan dengan ketentuan belakang layar bank berdasarkan Undang- Undang No. 7 Tahun 1992.
Masyarakat merasa sungguh tidak puas atas rumusan diam-diam bank sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Masyarakat beropini bahwa rumusan itu terlalu jauh, alasannya adalah hingga meliputi kredit bank yang diberikan terhadap nasabah. Masyarakat beropini bahwa seyogianya lingkup rahasia bank cuma mencakup dana simpanan nasabah saja (pasiva bank) dan keterangan yang menyangkut nasabah penyimpannya. Lingkup belakang layar bank yang hingga meliputi kredit yang diterima oleh nasabah (aktiva bank), dicicipi oleh masyarakat selaku memperkosa atau memasung hak masyarakat untuk mengetahui kredit-kredit macet perbankan yang sungguh mempengaruhi kesehatan perbankan. Sehubungan dengan itu, maka rumusan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) Undang- Undang No. 7 Tahun 1992 sudah diubah dengan rumusan yang gres sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 40 ayat (1) yang baru dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Menurut rumusan Pasal 40 ayat (1) tersebut, lingkup belakang layar bank ditegaskan cuma terbatas kepada tabungan nasabah (pasiva bank) saja.
Berkaitan dengan lingkup yang wajib dirahasiakan berkenaan dengan berlakunya ketentuan diam-diam bank itu yakni apakah indentititas nasabah bank harus pula dirahasiakan oleh bank. Dari rumusan Pasal 40 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, secara eksplisit disebutkan bahwa lingkup diam-diam bank ialah menyangkut bukan saja tabungan nasabah tetapi juga (identitas) Nasabah Penyimpan yang mempunyai simpanan itu. Bahkan dalam rumusan Pasal 40 itu, “Nasabah Penyimpan” disebut lebih dahulu ketimbang “Simpanannya”. Nampaknya dalam anggapan pembuat Undang-Undang, justru identitas Nasabah Penyimpannya lebih penting ketimbang Simpanannya. Atau mungkin pula dalam fikiran pembuat Undang-Undang, “Nasabah Penyimpan” sengaja disebut lebih dahulu dibandingkan dengan “Simpanannya”, untuk menekankan bahwa merahasiakan identitas Nasabah Penyimpannya sama pentingnya dengan merahasiakan Simpanannya.
Dibeberapa negara memang lingkup dari rahasia bank tidak diputuskan hanya terbatas kepada kondisi keuangan nasabah saja, tetapi meliputi pula identitas nasabah yang bersangkutan.[7]
Lingkup rahasia bank seharusnya meliputi hal-hal selaku berikut:
1. Menyangkut segi liabilities (pasiva) bank. Sisi asset (aktiva) bank tidak butuhdirahasiakan.
2. Keadaan keuangan nasabah bukan penyimpan dana yang memakai jasa bank sesaat (walk-in customer) yang jasa bank itu menimbulkan kewajiban bagi bank untuk membayarkan dana terhadap pihak tersebut atau pihak yang ditunjuk oleh yang bersangkutan (antara lain berupa pengiriman duit) yang dana itu berasal dari setoran nasabah.
3. Identitas nasabah.
IV. Dapatkah Pengadilan Menembus Rahasia Bank?
Mahkamah Agung dapat memperlihatkan usulandalam bidang hukum baik diminta maupun tidak terhadap Lembaga Tinggi Negara yang lain. Demikian suara Pasal 37 UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Ketentuan tersebut berganti dengan lahirnya UU No. 4 Tahun 2004 perihal Kekuasaan Kehakiman. Pasal 27 menyatakan Mahkamah Agung dapat memberi informasi, usulandan nasehat problem aturan kepada Lembaga Negara dan Lembaga Pemerintahan kalau diminta. Pansus DPR tentang Bank Century beberapa waktu yang kemudian meminta saran Mahkamah Agung untuk bagaimana dapat mengenali pedoman dana Bank Century. Mahkamah Agung memperkenankan Pansus DPR untuk minta izin Pengadilan Negeri. [8]
Pertanyaan yang utama yakni dapatkah Pengadilan Negeri menembus ketentuan belakang layar bank sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 6 Tahun 1954 ihwal Hak Angket dan UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 wacana Perbankan. 
Pasal 22 ayat (1) UU No. 6 Tahun 1954 menyatakan mereka yang alasannya kedudukannya, karena pekerjaannya ataupun sebab jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat membebaskan diri dari memperlihatkan penyaksian, akan namun semata-mata hanya tentang hal-hal yang dipercayakan kepadanya sebagai belakang layar dalam kedudukan, pekerjaan atau jabatan tersebut. Selanjutnya UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 menyebut secara limitatif orang-orang yang boleh mengenali kondisi keuangan nasabah. Mereka itu ialah pejabat pajak (Pasal 41), pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/PUPN (Pasal 41A). Begitu juga untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana Polisi, Jaksa, Hakim dapat memperoleh informasi dari Bank perihal simpanan tersangka atau terdakwa pada bank (Pasal 42). Pasal 42A menyatakan, bahwa Bank wajib menunjukkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42. 
Pengadilan lewat putusan atau penetapan dalam sebuah perkara dapat mengganti undang-undang. Bahkan Pasal 16 UU No. 4 Tahun 2004 perihal Kekuasaan Kehakiman, menyatakan, bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sebuah kasus yang diajukan dengan alasan bahwa aturan tidak ada atau kurang terang, melainkan wajib untuk menilik dan mengadilinya. Contohnya, meskipun tidak ada undang-undang penggantian kelamin, lewat persidangan Pengadilan Negeri spesial Jakarta (1972) mengabulkan permohonan Iwan Rubianto menjadi wanita Vivian Rubianti. Putusan ini dibarengi oleh Pengadilan Negeri Surabaya yang mengabulkan permohonan Soekoco menjadi perempuan dan berganti nama menjadi Henrriete Soekoco lewat persidangan (1975). 
Melalui putusan dalam suatu perkara hakim dapat pula merubah undang-undang. Mahkamah Agung R.I. dalam Tanco v. Wong A Kiong, No. 677 K/Sip/1972, mengubah undang-undang merek. Mereka yang berhak atas sebuah merek yakni perndaftar pertama. Melalui putusan ini, Mahkamah Agung R.I. merubahnya menjadi “… pendaftar pertama yang beritikad baik”. Bahwa Mahkamah Agung mampu pula merubah hukum, contohnya dalam putusan Ginting v. Sitepu, No. 179/Sip/1961 (1961) dan Inaq Rasini v. Amaq Atimah, No. 1589 K/Sip/1974 (1978), dimana perempuan yang sebelumnya tidak menjadi mahir waris di Batak Karo dan Lombok, dalam alam Indonesia merdeka, wanita sama dengan pria, sehingga perempuan dikedua daerah tersebut menjadi ahli waris. Pernah Mahkamah Agung atas ajakan Menteri Keuangan mengeluarkan pemikiran No. WKMA/Yud/20/VIII/2006. Mahkamah Agung menyatakan Pasal 2g Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 perihal Keuangan Negara tidak mempunyai kekuatan aturan. Namun sebab pedoman bukan sumber hukum, modal yang telah dipisahkan dari APBN tersebut oleh penegak aturan tetap dianggap Keuangan Negara.
Sebenarnya Pansus DPR mampu menerima keterangan dana nasabah melalui Pasal 44A UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dengan meminta kesepakatan atau kuasa tertulis dari nasabah. Bank wajib menunjukkan informasi kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah tersebut. Melalui pasal ini maka sanksi dalam Pasal 47 UU No. 10 Tahun 1998 wacana Perbankan dapat terhindarkan, yakni barangsiapa tanpa menjinjing perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara dan denda. Komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja menunjukkan informasi yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam juga dengan pidana penjara dan denda. Izin Pengadilan Negeri tersebut menurut ekonomis aku sudah merubah UU No. 6 Tahun 1954 perihal Hak Angket dan UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 ihwal Perbankan sepanjang tentang belakang layar bank. Penetapan ini yakni tidak pas alasannya bukan putusan dalam sebuah kasus sengketa antara para pihak atau permohonan yang disidangkan, antara lain dalam suatu judicial review. Mahkamah Agung cuma boleh menyelenggarakan judicial review peraturan dibawah undang-undang. Tampaknya kita perlu menciptakan UU Hak Angket yang gres menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengambil alih UU Hak Angket usang yang menurut UUDS 1950.
KESIMPULAN
Konsep diam-diam bank bermula timbul dari tujuan untuk melindungi nasabah bank yang bersangkutan. Timbulnya fatwa untuk perlunya merahasiakan kondisi keuangan nasabah bank sehingga melahirkan ketentuan hukum tentang keharusan diam-diam bank, yakni semula bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah secara individual.
Dari berbagai penjelasan diatas tentang diam-diam bank mampu kita tarik kesimpulan bahwa sanya dari klarifikasi Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 yang mengemukakan “Kerahasiaan itu diharapkan untuk kepentingan bank sendiri yang memerlukan doktrin masyarakat yang menyimpan uangnya di bank” dapat disimpulkan bahwa lingkup belakang layar bank memang menyangkut simpanan nasabah.
Berkaitan dengan lingkup yang wajib dirahasiakan berkenaan dengan berlakunya ketentuan diam-diam bank itu adalah apakah indentititas nasabah bank harus pula dirahasiakan oleh bank. Dari rumusan Pasal 40 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, secara eksplisit disebutkan bahwa lingkup belakang layar bank adalah menyangkut bukan saja simpanan nasabah tetapi juga (identitas) Nasabah Penyimpan yang mempunyai simpanan itu. Bahkan dalam rumusan Pasal 40 itu, “Nasabah Penyimpan” disebut lebih dulu daripada “Simpanannya”. 
Pengadilan lewat putusan atau penetapan dalam sebuah masalah dapat mengganti undang-undang. Bahkan Pasal 16 UU No. 4 Tahun 2004 perihal Kekuasaan Kehakiman, menyatakan, bahwa Pengadilan dihentikan menolak untuk menyelidiki, mengadili, dan memutus sebuah masalah yang diajukan dengan dalih bahwa aturan tidak ada atau kurang terperinci, melainkan wajib untuk menilik dan mengadilinya.
PENUTUP
Demikainlah yang dapat kami sampaikan. Sebagai insan biasa niscaya dari yang sudah kami sampaikan masih banyak kekurangan dan banyak kesalahan yang belum kami pahami. Karena itu kami berharap kepada sahabat-sahabat sekalian agar mampu membantu kami untuk perbaikan makalah-makalah kami yang berikutnya, alasannya adalah dari hal yang kecil lama kelamaan akan menjadi sesuatu yang besar.
Semoga makalah ini dapat sedikit menambah wawasan kita dan bermanfaat bagi kehidupan kita, saat ini, esok, dan selamanya. Amin…..
DAFTAR PUSTAKA
· Poernomo, Bambang, dan Sakidjo, Aruan, Hukum Pidana: Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
· Sholehuddin, M, Tindak Pidana Perbankan, Jakarta: Rajawali Press, 1997.
· Gazali, Djoni S. dan Usman, Rachmadi, Hukum Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
· Jurnal Nasional, 24 Februari 2010
· Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992
· Undang-Undang Perbankan No.10 Tahun 1998
· http://library.usu.ac.id/index.php?option=com_journal_review&id=5372&task=view
· http://kuliahade.wordpress.com/2010/06/27/hukum-perbankan-belakang layar-bank/
[1] Djoni S. Gazali, dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta: 2010
[2] http://kuliahade.wordpress.com/2010/06/27/aturan-perbankan-diam-diam-bank/
[3] M. Sholehuddin, Tindak Pidana Perbankan, Rajawali Press, Jakarta: 1997.
[4] Prof. Dr. Bambang Poernomo, dan Aruan Sakidjo, Hukum Pidana: Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta: 1990.
[5] Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992
[6] Undang-Undang Perbankan No.10 Tahun 1998
[7] http://library.usu.ac.id/index.php?option=com_journal_review&id=5372&task=view
[8] Jurnal Nasional, 24 Februari 2010