Suami wajib menawarkan nafkah pada istrinya. Bukan hanya nafkah bahan, namun pula nafkah biologis.
Lalu, berapa lama batas minimal suami memberi nafkah biologis pada istrinya?
Ibnu Hazm berkata: “Suami wajib menjimak istrinya sedikitnya satu kali dlm sebulan jikalau ia bisa, kalau tidak, mempunyai arti ia durhaka terhadap Allah.”
Pendapat Ibnu Hazm ini berdasarkan firman Allah
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
“..apabila mereka sudah suci, maka campurilah mereka itu di kawasan yg ditugaskan Allah kepadamu…” (QS. Al Baqarah: 222)
Sayyid Sabiq dlm Fiqih Sunnah menjelaskan, lebih banyak didominasi ulama sependapat dgn Ibnu Hazm perihal kewajiban suami menjima’ istrinya kalau ia tak memiliki halangan apa-apa.
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat batas minimal suami menunjukkan hak biologis yakni sekali dlm empat bulan. Hal ini menurut ketetapan Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu atas pasukan mujahidin. Mereka ditugaskan dlm rentang masa maksimal empat bulan supaya bisa kembali pada istrinya.
Keputusan itu diambil Umar setelah ia mendengar syair seorang perempuan muslimah yg mengeluhkan lamanya sang suami bertugas. Lalu Umar mengajukan pertanyaan pada anaknya, Hafshah, berapa usang seorang perempuan berpengaruh menahan gejolak hasratnya untuk bekerjasama dgn suami.
Pendapat sungguh bijak dikeluarkan oleh Imam Al Ghazali. Pengarang Ihya’ Ulumiddin itu menerangkan, “Sepatutnya suami menjimak istrinya pada setiap empat malam satu kali. Ini lebih baik karena batas poligami itu empat orang. Akan tetapi, boleh diundurkan dr waktu tersebut bahkan sangat bijaksana kalau lebih dr sekali dlm empat malam atau kurang dr itu, sesuai kebutuhan istri dlm menyanggupi keperluan seksualnya. Hal itu karena menjaga kebutuhan seks istri merupakan keharusan suami, sekalipun tak berarti harus minta jima’ alasannya adalah memang susah meminta demikian & memenuhinya.”
Sungguh Islam merupakan agama yg sangat indah. Ia mengatur segala bidang kehidupan termasuk korelasi suami istri. Kalaupun para ulama berlainan pertimbangan mengenai batas minimalnya, bahwasanya dlm perbedaan pendapat para ulama’ itu ada faedah bagi umat. Intinya dlm hal ini, suami istri perlu saling menyanggupi kewajibannya & menawarkan hak pasangan hidupnya. Berlandaskan sikap saling ridha & saling cinta, insya Allah keluarga sakinah mawaddah wa rahmah akan tercipta. [Muchlisin BK/wargamasyarakat]