Bagaimana Proses Terjadinya Petir?

Kamu sering merasa ngeri/takut nggak kalau lihat petir? Biasanya petir muncul dikala hujan. Sebelum kita mendengar bunyi gemuruh di langit, kita sekilas melihat cahaya kilat menyambar permukaan bumi. Cahaya kilat yg dibarengi suara mahabesar kadang-kadang membuat kita merinding ya guys! Bagaimana proses terjadinya petir itu? Mari kita kulik bareng !

Petir sering terjadi pada saat musim hujan. Walau ananda belum ngerti bagaimana proses terjadinya petir, niscaya ananda pernah menyaksikan sambaran petir kan? Pada dikala ekspresi dominan hujan, kondisi udara mengandung kadar air yg lebih tinggi yg dapat membuat daya isolasinya turun sehingga arus/muatan listrik lebih gampang untuk mengalir. Petir terjadi tatkala elektron di bawah awan terpesona oleh proton di daratan. Masih ingat nggak ananda perbedaan antara elektron & proton? Elektron ialah partikel subatom yg bermuatan negatif sedangkan proton adalah partikel subatom yg bermuatan nyata.

terjadinya petir menyambar

Petir menyambar. Sumber gambar: ucar.edu

Nah muatan listrik yg terakumulasi harus dlm jumlah yg cukup besar untuk mengisolasi udara. Tatkala petir terjadi, pedoman muatan negatif (elektron) mengalir menuju titik tertinggi dimana muatan positif (proton) sudah berkerumun karena adanya tarikan petir tersebut. Koneksi antara elektron & proton terjadi dgn begitu cepat sehingga menyebabkan sambaran petir.

Petir pula mampu terjadi diantara awan yg berlainan muatan loh! Awan yg bermuatan kasatmata akan berkumpul dgn awan muatan faktual yang lain sebab adanya angin. Muatan positif di awan bisa berada di belahan atas atau belahan bawah awan. Begitu sebaliknya jika muatan positf posisinya berada di atas, maka muatan negatifberada di bagain bawah awan.

Ketika awan menyetarakan muatan listrik dgn tanah, muatan mesti melalui berbagai lapisan udara. Udara bukanlah konduktor yg baik untuk listrik, sehingga sebagian energi hilang menjadi energi panas pada saat menjalar ke daratan.

proses terjadinya petir

Proses terjadinya petir. Sumber gambar: physicalgeography.net

Kamu semestinya menjauh dr kawasan yg sering menyambar petir guys! Karena petir itu mempunyai suhu & tegangan yg sangat tinggi serta dapat menimbulkan maut. Sambaran petir ini dapat memanaskan udara di sepanjang jalurnya, alasannya adalah adanya pemanasan di udara menjadikan petir menyebar dgn pesat. Sebuah petir tunggal dapat menaikkan suhu udara di sekitarnya hingga 50.000o Fahrenheit loh! Atau setara dgn 27760 o Celcius!

Nah sehabis petir menyambar, tak lama kemudian ada bunyi yg menyusul petir guys, namanya guntur. Suara gemuruh dr guntur tercipta tatkala petir melalui udara menyebabkan udara menjadi panas & masbodoh sehingga menghasilkan gelombang tekanan yg begitu besar. Semakin besar tekanan yg diberikan maka kian besar pula bunyi guntur yg kita dengar guys!

Makara, ananda perlu mengetahui bahwa petir & guntur yakni dua hal yg berlawanan ya!

Lalu kalau petir & guntur itu fenomena yg berlawanan, mana yg lebih dulu timbul ya? Cahaya apalagi dulu? Atau bunyi apalagi dahulu?

Seperti yg sudah diterangkan sebelumnya, petir meyebabkan guntur. Kaprikornus yg muncul apalagi dahulu ialah petir guys! Kenapa? Jawabannya ialah sebab adanya perbedaan kecepatan cahaya & bunyi. Kecepatan cahaya diperkirakan sebesar 190.000 mil/detik sedangkan kecepatan bunyi sebesar 1000 kaki/detik. Maka dr itu, sehabis proses terjadinya petir, baru deh kita menutup kuping dgn tangan sebab bunyi guntur yg besar! Walaupun dengan-cara teori ada kemungkinan kecil kita mendengar guntur terlebih dulu sebelum petir terjadi.

Makara, kesimpulan yg mampu diambil, proses terjadinya petir yaitu: Petir terjadi karena adanya perbedaan potensial yg tinggi pada awan. Awan yg mempunyai keunggulan elektron pada lapisan bawah permukaan awan akan di buang ke daratan untuk menyeimbangkan muatannya. Sedangkan di daratan terdapat proton, nah lalu pada proses pembuangan elektron itulah terjadinya petir guys! Semoga berfaedah yaa!

  Kenapa Bulan Februari Hanya Ada 28 Hari?

Artikel: Bagainana Proses Terjadinya Petir?

Kontributor: Ahmad Zubair

Alumni Geografi UI