Para hebat tafsir dr kalangan sahabat & tabi’in sudah menerangkan bahwa makna atsaris sujud pada surat Al Fath ayat 29 sebagaimana dikutip Ibnu Katsir dlm Tafsir Qur’anil Adhim.
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
“Muhammad itu ialah utusan Allah & orang-orang yg bersama dgn ia adalah keras kepada orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ & sujud mencari karunia Allah & keridhaan-Nya, gejala mereka terlihat pada wajah mereka dr bekas sujud…” (QS. Al Fath: 29)
Ibnu Abbas menyampaikan maksud gejala itu adalah tanda baik yg ada pada wajah mereka. Mujahid & mufassir yang lain menerangkan atsaris sujud itu merupakan khusyu’ & tawadhu’.
As Saddi mengatakan bahwa shalat menyebabkan wajah seseorang menjadi lebih indah. Lebih jauh Ibnu Katsir menuturkan bahwa sebagian ulama salaf menyampaikan bahwa “siapa yg banyak shalat di malam harinya maka wajahnya kelihatan indah di siang harinya.”
Umar bin Khattab & Utsman bin Affan pula menyampaikan hal senada.
“Siapa yg memperbaiki hatinya, maka Allah akan memperbaiki tampilan lahiriahnya,” kata Umar.
“Sesuatu yg terpendam dlm jiwa akan terpancar lewat roman tampang,” kata Ustman.
Sayyid Qutub dlm tafsir Fi Zhilalil Qur’an memastikan bahwa “min atsaris sujud” bukanlah tanda hitam di jidat sebagaimana banyak diketahui.
“Siimaahum fii wujuuhihim min atsaris sujuud (tanda-tanda mereka terlihat pada tampang mereka dr bekas sujud). Tanda yg terlihat pada wajah mereka yaitu keelokan, cahaya, kecerahan & keramahan,” kata Sayyid Qutub. “Dari sumbu ibadah teranglah kehidupan, keayuan & kelembutan. Tanda ini bukanlah berupa tanda hitam di jidat sebagaimana yg secepatnya diketahui ketika mendengar firman Allah min atsaris sujud. Yang dimaksud atsaris sujud ialah dampak dr ibadah.”
Lalu bagaimana jikalau terlanjur mempunyai tanda hitam di jidat?
Pertama, yg penting ialah tak disengaja. Yakni tak dgn sengaja menekan-nekan jidat lebih keras tatkala sujud biar timbul tanda hitam.
Kedua, jika memungkinkan, yaitu menghilangkan tanda hitam itu sehingga tak timbul godaan untuk riya’. Karena ujian terberat pemilik jidat hitam adalah dianggap shalatnya lebih banyak dibandingkan dengan orang lain sehingga bisa memunculkan riya’ tatkala mendapat kebanggaan itu atau dengan-cara sengaja ingin mendapatkannya.
Ketika Ibnu Umar berjumpa dgn seseorang yg mempunyai tanda hitam di dahi, ia pun mengingakan. “Bekas apa yg ada di dahimu? Sungguh gue telah usang dekat dgn Rasulullah, Abu Bakar, Umar & Utsman. Apakah kamu lihat ada bekas tersebut pada dahiku?”
Abu Darda pula demikian. Saat berjumpa dgn orang yg memiliki tanda hitam di dahi, ia mengingatkan. “Seandainya bekas itu tak ada pada dirimu tentu lebih baik.”
Ketiga, banyak berdoa pada Allah agar diselamatkan dr riya’.
Karena berdasarkan banyak orang sulit menghilangkan tanda yg muncul dengan-cara tak disengaja itu, yg perlu dikerjakan hanya menjaga efeknya. Agar tak terjangkiti riya’. [Muchlisin BK/wargamasyarakat]