BAB I
IJARAH
A. Pengertian Ijarah Atau Sewa Menyewa
Sewa menyewa yakni aqad ( perikatan ) terhadap sesuatu yang sudah dimengerti memiliki kegunaan memiliki kegunaan ( faedah ) dengan memperlihatkan tukaran yang jug dimengerti berdasarkan syarat-syarat tertentu.
Rumusan ini mengandung makna bahwa terjadinya suatu insiden hukum sewa menyewa bila sebuah benda sebagai objek diharapkan oleh seseorang dalam sementara waktu untuk dipakai dan pemilik barang bersedia melepaskan kondisi sementara itu. Tetapi untuk menyebabkan adanya aqad sewa menyea atau ijarah dibutuhkan pemenuhan syarat-syarat tertentu sebagai ketentuan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya.
B. Rukun-rukun Dan Syarat Sewa Menyewa
Rukun-rukun sebagai sesuatu yang perlu dipenuhi lebih dulu oleh para pihak sebelum melakukan sewa menyewa atau ijarah akan memperlihatkan rincian syarat untuk mewujudkan minatnya. Adapun rukun-rukun dan syarat-syarat sewa menyewa itu sebagai berikut :
a. Penyewa Dan Yang Menyewakan
Pihak yang tertarikuntuk menyewa dan pihak yang bersedia menyewakan sesuatu harus menyanggupi syarat-syarat sama mirip yang disyarat kan dalam perdagangan, ialah :
1. Berakal
2. Atas hasratsendiri ( kehendak masing-masing pihak )
3. Bukan Pemboros ( mubazir )
4. Dewasa dalam arti baliq ( minimal berumur 15 tahun )
b. Barang Yang disewakan
Barang selaku obyek sewa menyewa mesti dikenali oleh penyewa secara nyata ihwal jenis, bentuk, jumlah, waktu sewa, sifat dan cacatnya barang. Hal ini dimaksudkan agar sebelum penyewa menikmati barang itu tidak dibebani perasaan kurang tentram, alasannya adalah adanya hal-hala kurang terang dikala terjadi perikatan. Dan selain itu dikala mengembalikan barang sewaan tidak terjadi kerugian penyewa yang seperti ditimbulkan olehnya ketikan era sewa berjalan.
Kaprikornus menghindarkan beban mengubah kerugian penyewa sebab tidak di pahami lebih dahulu barang sewaannya, maka insiden itu mesti dijauhkan.
Barang sewaan selain haru dimengerti lebih dulu juga tidak tidak boleh oleh agama. Bahkan ada sebagian ulama berpendapat bahwa pohon yang menciptakan dapat dijadikan dapat dijadikan objek sewa menyewa, alasannya adalah tidak tidak boleh oleh agama. Tetapi menyewa pohon itu cuma untuk diambil buahnya saja. Hal ini disamakan dengan menyewa domba untuk mengambil bulunya. Kedua insiden sewa menyewa (pohon dan domba ) ini sebagai qiyas atas firman Allah yang dicantumkan dalam surah Al talaq ayat 6.
c. Kegunaaan dan faedah barang
Barang yang hendak dsewakan harus mempunyai kegunaan ( Manfaat ) yang mampu di nikmati oleh penyewa. Karena itu para pihak harus mengenali bahwa barang yang disewakan memiliki kegunaan sesuai sifatnya.
Ada tiga syarat kegunaan ( faedah ) barang sewaan, adalah :
a. Kegunaan yang berharga
Setiap barang atau alat mempunyai sifat dalam kegunaan masing-masing. Pemakai akan mampu menikmati barang itu sesuai sifat manfaatnya. Dan menikmati barang sesuai sifatnya berati ialah kegunaan yang berharga.
Tidak dibenarkan dalam sewa menyewa kalau seseorang menyewa suatu barang yang digunakan tidak sesuai dengan sifat kegunaan bendanya. Misalnya menyewa pakaina untuk ditaruh dilemar, sedangkan sifat kegunaannya untuk digunakan. Dan tidak dibenarkan juga jikalau dipakai untuk kejahatan. Seperti menyewa kendaraan beroda empat untuk mencuri, merampok dan sebagainya.
b. Orang yang menyewakan harus memberi tahukan lebih dulu kegunaan dari barang yang hendak disewakan terhadap calon penyewa. Pemberitahuan itu dilaksanakan untuk menyingkir dari jangan hingga terjadi kesalahan dalam pemakaiannya. Dan kalau terjadi kesalahan menjadikan balasan penyewaan yang tidak berguna.
c. Barang yang disewakan mesti dikenali batas-batas kegunaannya. Hal ini dimaksudkan supaya tidak terjadi salah paham dari penyewa yang mau dapat mengakibatkan pertentangan. Seperti :
1. Penyewaan rentang waktu, contohnya menyewa rumah dalam waktu satu tahun, dua tahun dan seterusnya.
2. Penyewaan dalam daya kerja. Misalnya menyewa mobil yang hendak dipakai dari bandung sampai jakarta.
C. Berakhirnya sewa menyewa
Sewa menyewa sebagai janji akan berkhir sesuai kata sepakat dalam perjanjian. Dengan berakhirnya sebuah sewa menyewa ada keharusan bagi penyewa untuk menyerahkan barang yang disewanya. Tetapi bagi barang-barang tertentu seperti rumah, hewan, dan barang lainnyakarena petaka, maka akan berakhir era sewanyakalau terjadi kehancuran.
Rumah sewa akan selsai periode sewanya jika roboh. Hewan akan berakhir periode sewanya bila mati, demikian juga dengan kndaraan bila terjadi kecelakaan sampai tidak bermanfat lagi akan berkhir masa sewanya. Sedangkan bila cuma terjadi kerusakan kecil selama sewa menyewa berlangsung maka yang bertanggung jawab yang memperbaikia/mengganti yakni penyewa, dan dalam hal ini tidak mengurangi kurun sewa.
BAB II
IKRAR
A. Pengertian Ikrar
Ikrar menurut bahasa bermakna itsbat (menetapkan). Ini berasala dari kata “ qarra asy – syaia, yaqirru “. Menurut syara’ ikrar bearti pengakuan terhadapa apa yang di dakwakan. Ikrar merupakan dalil yang terkuat untuk memutuskan dakwaan si pendakwa. Oleh sebab itu mereka berkata : “ Ikrar yakni raja dari pembuktian “. Dan dinamakan pula kesaksisan diri.
B. Syarat dan Sahnya Ikrar
Disyaratkan untuk sahnya ikrar ada beberapa hal berikut;
Berakal, balig, ridha, dan boleh bertasharuf ( bertindak ); dan semoga orang – orang yang berikrar itu tidak main – main dan tidak mengikrarkan apa yang menurut logika dan akhlak kebiasaan mustahil.
Maka tidak sah suatu ikrar dari orang yang terkena penyakit aneh, anak kecil, orang yang dipaksa, orang yang dibatasi tindaknya, orang yang main – main, dan orang – orang yang mengikrar dengan apa yang mustahil berdasarkan logika dan etika kebiasaan alasannya kedustaannya dalam hal demikian ini jelas ; sedang hukum tidak halal bila di menetapkan berdasarkan kedustaan.
C. Pengakuan ( ikrar ) tentang Hutang
Apabila seserorang manusia berikrar kepada salahsatu dari hebat warisnya tentang hutang, maka kalau ia dalam kondisi sakit yang menyebabkan maut, tidak sah pengakuannya itu sehingga di benarkan oleh semua andal waris. Hal itu disebabkan keadaannya yang sakit memungkinkan pengakuannya ini menyebabkan andal waris lain tidak menerima bagian, disebabkan keadaannya diwaktu sakit. Adapun bila ikrarnya itu dalam keadaan sehat, maka ikrar itu diperbolehkan. Dan kemungkinan impian untuk menjauhkan hebat waris yang laindari warisan itu hanyalah semata – mata kemungkinan dan prasangka yang tidak membatasi kehujjahan pengukuhan itu.
Bagi mazhab Syafi’i, legalisasi dari orang yang sehat itu Syah, karena tidak ada hambatan bagi terwujudnya syarat – syarat kesehatan. Sedangkan ikrar dari orang yang sedang sakit yg menjadikan ajal, maka bila dia berikrar terhadap seorang abnormal, maka ikrarnya sah, baik yang di ikrar itu hutang ataupun barang. Dikatakan pula bahwa ikrar itu tidak lebih dari sepertiga.
Apabila ikrarnya itu terhadap hebat waris, maka berdasarkan pertimbangan yang besar lengan berkuasa diantara mereka ikrar itu sah; alasannya orang yang berikrar itu dalam keadaan dimana orang yang pendusta berbicara benar, dan orang yang berdosa bertaubat. Pada kenyataannya dalam kondisi mirip ini orang itu tidak berikrar kecuali untuk terwujudnya warisan dan bukannya untuk menjauhkannya. Dalam hal ini pula mereka memiliki usulan lain, yaitu tidak sah legalisasi, karena legalisasi itu mungkin untuk menjauhkan sebagian andal waris dari warisan. Bagi mereka, bila seorang berikrar tentang hutang yang ada waktu ia sehat, kemudian dia mengikrarkan yang lainnya diwaktu dalam keadaan sakit; maka ikrarnya itu berbagi dua. Dan ikrar yang pertama tidak di prioritaskan atas ikrar yang kedua. Ahmad berkata : “ orang yang sakit itu tidak boleh ikrar kepada hebat waris secar mutlak”. Dia berdalih bahwa tidak mampu dijamin setelah diharamkannya wasiat kepada ahliu waris, bila wasiat itu di jadikan sebagai ikrar.
Akan namun Al-Auzai’i dan sekumpulan para ulama memperbolehkan orang yang sakituntuk mengikrarkan sebagiandari hartanya bagi hebat waris, karena orang yang hampir mati itu dijauhkan dari tuduhan, dan bahwa perputaran aturan itu yakni berdasarkan zhahirnya; sehingga dia tidak akan membiarkan ikrarnya menjadi dugaan yang di perkirakan, dan bahwa urusannya itu kembali kepada Allah.
BAB I
MUSAQAH
A. Pengertian Musaqah
Secara etimologi, Musaqah berasal dari bahasa Arab, fi’il madli-nya ialah saqa yang artinya mengalirkan, alasannya adalah mengikuti wazan mufa’alah maka kalimat saqa juga menjelma musaqah. Secara terminologi, Fuqoha berbeda-beda dalam mengertikan musaqah. Perbedaan ini tidak hanya dalam hal redaksional mirip usulan mereka dalam mengartikan janji-komitmen lainnya, tetapi juga menyangkut masalah subtansial dari musaqah itu sendiri.
Wahbah Zuhaily yang tenar selaku Fuqoha kekinian mendefinisikan Musaqah sebagai berikut:
“Musaqah secara fiqh adalah suatu perumpamaan dari kesepakatan tentang pekerjaan yang berhubungan dengan pepohonan dengan sebgaian yang dihasilkan olehnya (buahnya), atau perikatan atas beberapa pohon terhadap orang yang yang menggarapnya dengan ketetapan buah itu milik keduanya. “
· Perbedaan Musaqah dan Muzara’ah.
Wahbah az-zuhaili merumuskan perbedaan antara Musaqah dan Muzaraah menjadi empat, adalah:
1. Dalam musaqah, apabila salah satu dari ‘aqidain tidak berkenan untuk meneruskan komitmen, maka beliau boleh dipaksa (untuk meneruskan komitmen-pen). sebab hal itu tidak akan membahayakan (terhadap kebun-pen) disisa akadnya. Berbeda dengan muzaraah, apabila pemilik biji memutuskan kesepakatan sebelum biji ditanam, maka beliau tidak boleh dipaksa meneruskan, alasannya adalah akan menjadikan dlarurat jika diteruskan. Lebih dari itu, akad musaqah ialah janji yang umum sedangkan muzaraah ialah kesepakatan ghairu lazim. Muzaraah tidak umum kecuali bijinya sudah ditanam.
2. Apabila kurun musaqah sudah habis, maka komitmen tetap berjalan tanpa upah, dan penggarap menunaikan pekerjaanya kepeda pemilik kebun tanpa upah. Sedangkan dalam muzaraah penggarap mesti meneruskan akadnya dengan ujrah mitsl, alasannya adalah bolehnya menyewakan tanah dan menggarapnya pada muzaraah.
3. Jika pohon diminta oleh selain pemilik tanah, penggarap diberi upah. Sedangkan dalam muzaraah, bila diminta sebelum menghasilkan sesuatu, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.
4. Dalam musaqah lebih baik (istihsan) bila tidak disebutkan periode akadnya, cukup hanya dengan mengenali waktunya (waktu berbuah-pen) berdasarkan budpekerti. Berbeda dengan menanam, sebab waktu panennya bisa lebih awal juga bisa terlambat dari asumsi. Sedangkan dalam muzaraah, hal itu justru disyaratkan berdasarkan asal madzhab hanafi. Ulama lain tidak mensyaraatkan hal ini.
Jumhur Ulama menetapkan bahwa rukun musyaqah ada lima, ialah berikut ini.
a) Dua orang yang akad (al-aqidani) Al-aqidani disyaratkan mesti baligh dan berilmu
b) Objek musyaqah
Objek musyaqah menurut ulama Hanafiyah adalah pohon-pohon yang berbuah, mirip kurma. Akan namun, menurut sebagian ulama Hanafiyah yang lain dibolehkan musyaqah atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek musyaqah ialah tumbuh-tanaman, seperti kacang, pohon yang berbuah dan mempunyai akar yang tetap di tanah, mirip anggur, kurma yang berbuah, dan lain-lain, dengan dua syarat:
a) Akad dilaksanakan sebelum buah terlihat dan mampu diperjualbelikan
b) Akad diputuskan dengan waktu tertentu
Ulama Hanabilah beropini bahwa musyaqah dimaksudkan pada pohon-pohon berbuah yang mampu dimakan. Ulama Syafi’iyah beropini bahwa musyaqah cuma dapat dikerjakan pada kurma dan anggur saja. Kurma didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw kepada orang Khaibar, sedangkan anggur nyaris sama hukumnya dengan kurma kalau ditinjau dari segi wajib zakatnya. Akan namun, madzhab qadim mengijinkan semua jenis pepohonan.
a) Buah
Disyaratkan memilih buah ketika akad untuk kedua pihak
b) Pekerjaan
Disyaratkan penggarap harus melakukan pekerjaan sendiri. Jika disyaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, kesepakatan menjadi tidak sah. Ulama mensyaratkan penggarap mesti mengenali deadline, ialah kapan optimal berbuah dan kapan minimal berbuah.Ulama Hanafiyah tidak memperlihatkan batasan waktu, baik dalam muzara’ah maupun musyaqah alasannya adalah Rasulullah saw pun tidak memberikan batas-batas dikala bermuamalah dengan orang khaibar.
1. Sighat
Menurut Ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad musyaqah sebab berbeda janji. Adapun Ulama Hanabilah membolehkannya sebab yang paling penting yaitu maksudnya.
A. Habis Waktu Musyaqah
Menurut Ulama Hanafiyah Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa musyaqah sebagaimana dalam mujara’ah dianggap tamat dengan adanya tiga perkara:
v Habis waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang akad.
Jika waktu sudah habis, tetapi belum menghasilkan apa-apa, penggarap boleh berhenti. Akan namun, kalau penggarap meneruskan melakukan pekerjaan diluar waktu yang telah disepakati, beliau tidak mendapatkan upah.
Jika penggarap menolak untuk bekerja, pemilik atau jago warisnya mampu melakukan tiga hal :
ü Membagi buah dengan memakai patokan tertentu
ü Penggarap menawarkan bagiannya terhadap pemilik
ü Membiayai sampai berbuah, lalu mengambil bab penggarap sekadar pengganti pembiayaan.
Ø Meninggalnya salah seorang yang komitmen
Jika penggarap meninggal, mahir warisnya berkewajiban meneruskan musyaqah, walaupun pemilik tanah tidak rela. Begitu pula jikalau pemilik meninggal, penggarap meneruskan pemeliharaanya meskipun andal waris pemilik tidak menghendakinya. Apabila kedua orang yang akad meninggal, yang paling berhak meneruskan yakni jago waris penggarap. Jika jago waris itu menolak, musyaqah diserahkan kepada pemilik tanah.
Ø Membatalkan, baik dengan ucapan secara terang atau adanya uzur
B. Relevansi Musaqah dalam Perekonomian Modern.
Musaqah seperti yang telah dibahas sebelumnya merupakan akad koordinasi dalam pembuatan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memperlihatkan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu berdasarkan nisbah yang disepakati dari hasil panen yang benihnya berasal dari pemilik lahan. Aplikasi dalam lembaga keuangan syariah, musaqah ialah produk khusus yang dikembangkan di sektor pertanian atau agribisnis dimana si penggarap cuma bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan.
Syafi’I Antonio dalam bukunya Bank Syariah dari Teori ke Praktik menuliskan, ada lima prinsip dasar dalam perbankan syariah. Yaitu: prinsip titipan atau simpanan (depeosito/ al-wadi’ah), jual beli (sale and purchase), sewa (operational lease and financial lease), jasa (fee-based services), dan bagi hasil (profit sharing).
Dalam prinsip dasar yang disebutkan terakhir (bagi hasil) ini, terdapat musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan yang terakhir adalah yang dibahas dalam makalah ini, yakni musaqah (plantantion management fee based on certaain portion of yield). Dalam konteks ini, lembaga keuangan islam mampu memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang plantation atas dasar prinsip bagi hasil dari hasil panen kebun. Dari semua pertimbangan ulama perihal objek musaqah, tentuna yang lebih berhubungan ialah pendapat yang mengizinkan musaqah untuk semua tumbuhan atau pepohonan baik yaang berbuah ataupun tidak seperti sayur-sayuran. Hal ini dikarenakan jika melihat pendapat ulama yang mengijinkan musaqah hanya sebatas pada kurma dan anggur, maka hal ini akan menyia-nyiakan tanaman lainnya yang juga mempunyai banyak faedah. Apalagi, tidak semua pemilik kebun yang mampu menggarap kebunnnya sendiri. Disamping itu, banyak juga orang yang mempunyai skill untuk merawat kebun akan tetapi tidak memilki kebun. Dari sinilah, relasi antara pemilik kebun dan tukang kebun saling melengkapi. Contoh konkritnya diperbankan ialah dikala seorang nasabah bekerja sama dengan bank yang berbagi dananya lewat sektor riil semacam agrobisnis dan perkebunan. Dalam hal ini, bank mencari seseorang atau beberapa pekerja yang dijadikan selaku tukang kebun yang bertugas merawat, mempertahankan, dan yang paling inti ialah menyirami kebun tersebut. Ketika kebun tersebut sudak berbuah, maka bank dan tukang kebun menyebarkan hasil sesuai dengan prosentase yang telah ditentukan pada awal janji.
BAB III
ARIYAH
A. Pengertian Ariyah
Pinjaman atau ‘ariyah berdasarkan bahasa adalah pemberian. Sedangkan menurut perumpamaan, ‘ariyah ada beberapa pendapat:
1. berdasarkan Hanafiyah, ariyah ialah:
“mempunyai faedah secara Cuma-Cuma”
2. berdasarkan malikiyah, ariyah ialah:
“Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.
3. Menurut syafiiyah, ariyah adalah:
“Kebolehan mengambil manfaat dari sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya agar dapat dikembalikan terhadap pemiliknya.”
4. menurut Hanbaliyah, Ariyah yakni:
“kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang yang lain.”
5. Ariyah ialah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di ganti
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ariyah yakni menunjukkan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila diganti dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak mampu disebut ariyah.
B. Dasar Hukum ‘Ariyah.
Menurut Sayyid Sabiq, tolong membantu (‘Ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutif oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Quran adalah:
“dan tolong-menolonglah kau untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu bantu-membantu untuk berbuat dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah:2)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kau semoga memberikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa:58)
Selain dari Al-Alquran, landasan aturan yang kedua adalah Al-Hadis, adalah:
“barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”(Riwayat Abu Daud)
“orang kaya yang memperlambat (melewatkan) keharusan membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya)” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
C. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah satu, yaitu ijiab dan Kabul, tidak wajib diucapkan namun cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijiab Kabul dengan ucapan.
Menurut Syafiiyah, rukun ariyah adalah selaku berikut:
1. Kalimat mengutangkan (lafazh), mirip seseorang berkata, “aku utangkan benda ini kepada kamu” dan yang mendapatkan berkata “ saya mengaku berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya yaitu sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2. Mu’ir adalah orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Mus’tair adalah orang yang mendapatkan utang. Syarat bagi mu’ir yaitu pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mus’tair adalah
· Baligh
· Berakal
· orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curatelle) atau orang yang berada dibawah sumbangan, seperti pemboros.
3. Benda yang diutangkan, pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, adalah:
· Materi yang dipinjamkan mampu dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah yang materinya tidak mampu digunakan, mirip meminjam karung yang telah hancur sehingga tidak mampu dipakai untuk menyimpan padi.
· Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang pengambilan faedah materinya dibatalkan oleh syara, seperti meminjam benda-benda najis.
BAB IV
WAQAF
A. Pengertian Waqaf
Dalam fiqh Islam, wakaf bekerjsama mampu mencakup aneka macam benda walaupun banyak sekali riwayat /hadits menceritakan duduk perkara wakaf ini yakni mengenai tanah, namun banyak sekali ulama memahami bahwa wakaf non tanah pun boleh saja asal bendanya tidak tidak langsung musnah/habis dikala diambil keuntungannya.
Menurut fiqh Islam yang meningkat dalam kalangan ahkus sunnah, dibilang “sah kita mewakafkan hewan”. Demikian juga pertimbangan Ahmad dan menurut satu riwayat, juga Imam Malik.
Wakaf sudah mengakar dan menjadi tradisi umat Islam dimanapun juga. Di Indonesia, lembaga ini sudah menjadi penunjang utama pertumbuhan masyarakat. Hampir semua rumah ibadah, sekolah tinggi Islam dan forum-forum keagamaan yang lain dibangun diatas tanah wakaf.
B. Unsur Beserta Syarat Wakaf
Ada empat unsur yang harus dipenuhi sebagai rukun dalam melaksanakan wakaf ialah:
1. Waqif
2. Benda yang diwakafkan
3. Penerima wakaf (mauquf ‘alaih)
4. Lafadz atau pernyataan penyerahan wakaf.
Wakif tidak selalu perorangan melainkan boleh juga berupa tubuh hokum, dalam hal tubuh hokum ini yang yang bertindak atas namanya adalah pengurusnya yang sah berdasarkan hukum.
Bagi orang yang berwakaf, disyaratkan bahwa dia yakni orang yang mahir berbuat kebaikan dan wakaf dilakukannya secara sukarela, tidak alasannya dipaksa. Ahli berbuat baik disini tujuannya ialah orang yang terpelajar (tidak gila juga tidak bodoh), tidak mubadzir (alasannya harta orang mubadzir di bawah walinya) dan baligh, demikian penjelasan Moh. Zain bin Haji Otsman sebagaimana dikutip oleh Adijani al-Alabij. Syarat tersebut di atas berlaku juga bagi mauquf ‘alaih. Selain syarat yang serupa dengan wakif, mauquf ‘alaih harus berdomisili dikecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
Untuk barang yang diwakafkan, diputuskan beberapa syarat selaku berikut:
1. Barang atau benda itu tidak rusak atau habis saat diambil manfaatnya.
2. Kepunyaan orang yang berwakaf. Benda yang bercampur haknya dengan orang lain pun boleh diwakafkan seperti halnya boleh dihibahkan atau pun disewakan.
3. Bukan barang haram atau pun najis.
Syarat-syarat biasa yang lain berkenaan denganwakaf:
1. Tujuan wakaf dihentikan berlawanan dengan kepentingan agama Islam
2. Tidak diperkenankan menawarkan batas waktu tertentu dalam perwakafan.
3. Tidak mewakafkan barang yang menjadi larangan Alah yang berakibat pula pada hadirnya fitnah.
4. Kalau wakaf diberikan lewat wasiat, maka jumlah atau nilai harta yang diwakafkan dilarang lebih dari 1/3 dari jumlah maksimal yang boleh diwasiatkan.
C. Perubahan Status dan Penggunaan Tanah Wakaf
Pada dasarnya tanah wakaf dihentikan dijual , diwarisi dan terhadap pihak lain. Tetapi seandainya barang wakaf itu rusak, tidak diambil lagi manfaatnya, maka boleh dipakai untuk kebutuhan yang lain yang sama, dijual dan dibelikan barang lain untuk meneruska wakaf tersebut.. hal ini didasarkan terhadap kemaslahatan. Pengecualian ini haris dengan persetujuan Menteri Agama, dengan alasan karena tidak cocok lagi dengan tujuan wakaf seperti dikrarkan oleh wakif dan sebab kepentingan umum.
Persetujuan maupun penolakan atas permohonan nadzir baik permintaan untuk mengalihkan penggunaan tanah wakaf maupun permintaan pergeseran status tanah wakaf oleh Kepala Kanwil Agama harus tertulis. Kemudia seperti diputuskan dalam pasal 11 ayat (3) PP No. 28 tahun 1977, pergantian status dan penggunaan tanah wakaf itu harus dilaporkan oleh nadzir terhadap Bupati atau walikota untuk diproses lebih lanjut.