Aturan Memakai Mukena Berwarna-Warni

Saat ini banyak kita jumpai kaum Muslimah yang mengenakan mukena sebagai perlengkapan shalat dengan banyak sekali warna yang menonjol . Bagaimana Islam memandang duduk perkara ini?
Dalam suatu hadits, Rasulullah bersabda,
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang memakai busana syuhrah di dunia, maka Allah akan memberinya busana hina pada hari akhir zaman.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan An Nasai dalam Sunan Al Kubra, hasan)
Dalam Jilbab Mar’ah Muslimah, dijelaskan bahwa busana syuhrah ialah setiap busana yang dipakai dengan tujuan menjangkau popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik busana itu harganya mahal yang digunakan oleh seseorang untuk berbangga dengan harta dan perhiasannya, maupun pakaian murahan yang dipakai oleh seseorang untuk menampakkan kezuhudannya dan dengan tujuan riya’.
Asy Syaukani di dalam kitab Nail Al Authar (II: 94) berkata: “Ibnul Atsir berkata, ‘Syuhrah artinya ternampakkannya sesuatu. Makara maksudnya yakni, pakaiannya gampang dimengerti di tengah-tengah banyak orang alasannya adalah perbedaan warnanya dari warna-warna pada umumnya orang, sehingga mereka mendongakkan persepsi kepadanya, dan beliau pun bersikap angkuh dan sombong kepada mereka.’”
Imam As Sarkhasi dalam Al Mabsuth menyampaikan, “Maksud hadits tersebut, seseorang dilarang memakai busana yang sungguh elok dan indah, sampai mengundang perhatian banyak orang. Atau memakai pakaian yang sungguh buruk -lusuh-, hingga memanggil perhatian banyak orang. Yang pertama, sebabnya alasannya adalah berlebihan sementara yang kedua sebab menawarkan sikap terlalu pelit. Yang terbaik yakni pertengahan.”
Shalat dengan Pakaian Syuhrah
Meskipun ada ancaman bagi seseorang yang mengenakan pakaian syuhrah, akan tetapi shalat tetap sah selama pakaian tersebut menutup aurat dan suci, serta terpenuhinya syarat dan rukun shalat yang lain.
Hal ini dikarenakan syarat sah shalat berhubungan dengan pakaian cukup dengan tertutupnya aurat dan sucinya busana tersebut. Sedangkan mengenai warna, materi, versi, dan jenis busana bukan ialah syarat sah shalat. Sehingga intinya seorang Muslimah tetap sah shalatnya kalau shalat tanpa mukena, asalkan pakaiannya sudah menutupi aurat.
Mukena Warna-warni di Indonesia
Berkaitan dengan hadits pakain syuhrah tersebut, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan tentang hukumnya.
1. Niat
Pakaian syuhrah digunakan sebab memang oleh pemakainya diniatkan untuk mencari popularitas di antara orang lain. Sehingga seseorang yang mengenakan busana yang wajar, namun diniatkan untuk pakaian syuhrah, maka dia juga dikenai ancaman sesuai hadits di atas.
2. Tradisi (‘Urf)
Jenis dan versi busana ialah produk budaya dimana di satu kawasan berlawanan dengan di tempat lain. Sehingga, dalam pakaian laki-laki, kita melihat banyak perbedaan model busana yang digunakan oleh kaum Muslimin dari banyak sekali potongan dunia.
3. Warna
Berdasarkan penjelasan tentang tradisi atau ‘urf, pakaian syuhrah juga mampu berlawanan-beda hukumnya berdasarkan kebiasaan setempat. Sebagai contoh, Muslimah di kawasan Afrika Tengah pada umumnya mengenakan pakaian shalat berwarna-warna, Muslimah di Timur Tengah pada umumnya mengenakan pakaian shalat berwarna hitam, dan Muslimah di Asia Tenggara pada umumnya mengenakan pakaian shalat berwarna putih.
Hal ini dikuatkan dengan beberapa hadits perihal warna pakaian berikut berikut:
Dalam Shahih Al Bukhari, nomor 5375 disebutkan:
أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثِيَابٍ فِيهَا خَمِيصَةٌ سَوْدَاءُ صَغِيرَةٌ فَقَالَ مَنْ تَرَوْنَ أَنْ نَكْسُوَ هَذِهِ فَسَكَتَ الْقَوْمُ قَالَ ائْتُونِي بِأُمِّ خَالِدٍ فَأُتِيَ بِهَا تُحْمَلُ فَأَخَذَ الْخَمِيصَةَ بِيَدِهِ فَأَلْبَسَهَا وَقَالَ أَبْلِي وَأَخْلِقِي وَكَانَ فِيهَا عَلَمٌ أَخْضَرُ أَوْ أَصْفَرُ فَقَالَ يَا أُمَّ خَالِدٍ هَذَا سَنَاهْ وَسَنَاهْ بِالْحَبَشِيَّةِ حَسَنٌ
Dibawakan terhadap Nabi suatu kain yang di dalamnya ada busana kecil yang berwarna hitam. Maka ia bersabda, “Menurut kalian siapa yang layak kita pakaikan baju ini?” Maka para sahabat diam. Beliau bersabda, “Bawa Ummu Khalid ke sini,” maka Ummu Khalid pun dibawa kepada dia, kemudian dia mengambil baju tersebut dan memakaikannya. Lalu beliau bersabda, “Semoga tahan usang sampai Allah mengubahnya dengan yang gres.” Pada busana tersebut ada corak yang berwarna hijau atau kuning, dan dia bersabda: “Wahai Ummu Khalid, ini sanah, sanah.” Sanah yaitu perkataan bahasa Habasyah yang bermakna manis.”
Masih dari Shahih Al Bukhari, dari Atha’ beliau berkata:
وَكُنْتُ آتِي عَائِشَةَ أَنَا وَعُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ وَهِيَ مُجَاوِرَةٌ فِي جَوْفِ ثَبِيرٍ قُلْتُ وَمَا حِجَابُهَا قَالَ هِيَ فِي قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ لَهَا غِشَاءٌ وَمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَهَا غَيْرُ ذَلِكَ وَرَأَيْتُ عَلَيْهَا دِرْعًا مُوَرَّدًا
“Dan saya bersama ‘Ubaid bin ‘Umair pernah menemui ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha yang sedang berada di sisi Gunung Tsabir. Aku (Ibnu Juraij) mengajukan pertanyaan: “Hijabnya apa?” Ia menjawab: “Dia berada di dalam suatu tenda kecil. Tenda itu mempunyai penutup dan tidak ada pembatas antara kami dan dia selain epilog itu, dan aku menyaksikan ia mengenakan gamis berwarna mawar.”
Dari ’Ikrimah, disebutkan,
أن رفاعة طلق امرأته فتزوجها عبد الرحمن بن الزبير القرظي قالت عائشة وعليها خمار أخضر فشكت إليها وأرتها خضرة بجلدها فلما جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم والنساء ينصر بعضهن بعضا قالت عائشة ما رأيت مثل ما يلقى المؤمنات لجلدها أشد خضرة من ثوبها
Bahwasanya Rifa’ah menceraikan istrinya yang kemudian dinikahi oleh ’Abdurrahman bin Az Zubair Al Quradhi. ’Aisyah berkata: ”Dia menggunakan khimar yang berwarna hijau, akan tetapi ia mengeluh sambil menawarkan warna hijau pada kulitnya”. Ketika Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam tiba – dan para perempuan membantu satu kepada yang lainnya – maka ’Aisyah berkata: ”Aku tidak pernah menyaksikan keadaan yang terjadi pada wanita-wanita beriman, warna kulit mereka lebih hijau ketimbang bajunya (sebab kelunturan).” (HR Al Bukhari no. 5487)
Dalam riwayat Bukhari secara mu’allaq,
ولبست عائشة رضى الله تعالى عنها الثياب المعصفرة وهي محرمة
“Aisyah Radhiyallahu ’Anha menggunakan pakaian yang berwarna kuning ketika sedang ihram.”
Dalam Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah,
عن إبراهيم وهوالنخعي أنه كان يدخل مع علقمة والأسود على أزواج النبي صلى الله عليه وسلم فيراهن في اللحف الحمر
“Dari Ibrahim (An Nakha’i) bahwasannya dia bersama ’Alqamah dan Al Aswad masuk menemui istri-istri Nabi Shalallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka dia menyaksikan mereka mengenakan mantel berwarna merah.”
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha dia berkata,
عن أم سلمة قالت : لما نزلت يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ خرج نساء الأنصار كأن على رؤوسهن الغربان من الأكسية
Ketika turun ayat “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh badan mereka” (QS Al Ahzaab: 59), maka keluarlah perempuan-perempuan Anshar (dari rumah mereka) dimana seperti di atas kepala mereka terdapat burung gagak dari pakaian (warna hitam) yang mereka kenakan.” (HR Abu Dawud, nomor 4101, shahih)
Berdasarkan dalil-dalil yang kami nukilkan, intinya mengenakan pakaian dengan berbagai macam warna hukumnya boleh. Akan namun busana-pakaian tertentu mampu menjadi pakaian syuhrah bila bertentangan dengan ‘urf di daerah tersebut.
Maka, bagi Muslimah di Indonesia, mencukupkan diri dengan mukena berwarna putih lebih utama, sebab lebih terhindar dari busana syuhrah.
Sumber : https://priyayimuslim.wordpress.com/2012/08/15/hukum-menggunakan-mukena-berwarna-warni/