Asas Legalitas

A. ASAS LEGALITAS DAN ASPEK-ASPEKNYA

Menurut Jan Remmelink, biar dipenuhinya hak negara untuk menegakkan ketentuan pidana (jus puniendi), diperlukan lebih dari sekadar realita bahwa tindakan yang dilakukan sudah menyanggupi perumusan delik. Tetapi diperlukan lagi norma lain yang mesti dipenuhi, yakni norma perihal berlakunya hukum pidana. Di antaranya, berlakunya aturan pidana berdasarkan waktu (tempus) – di samping berdasarkan tempat (locus). Norma ini sungguh penting untuk memutuskan tanggung jawab pidana.

Bila suatu langkah-langkah sudah memenuhi bagian delik yang dihentikan, tetapi ternyata dijalankan sebelum berlakunya ketentuan tersebut, tindakan itu bukan saja tidak dapat dituntut ke muka persidangan, tetapi juga pihak yang terkait tidak mampu dimintai pertanggungjawabannya. Harus ada ketentuannya apalagi dahulu yang menentukan bahwa langkah-langkah tersebut mampu dipidana. Norma mirip inilah yang disebut selaku asas legalitas atau legaliteitbeginsel atau Principle of Legality.

Ajaran asas legalitas ini tercantum dalam Pasal 1 (1) kitab undang-undang hukum pidana, yang dalam bahasa latinnya disebut selaku nullum delictum, nulla poena sine praevialege poenali, artinya: tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-permintaan. Walaupun menggunakan bahasa Latin, menurut Jan Remmelink, asal-muasal adagium di atas bukanlah berasal dari hukum Romawi Kuno. Akan namun dikembangkan oleh juris dari Jerman yang berjulukan von Feuerbach, yang memiliki arti dikembangkan pada abad ke-19 dan oleh alhasil mesti dipandang selaku aliran klasik.

Jauh sebelum asas ini timbul, seorang filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1626) telah memperkenalkan adagium ‘moneat lex, priusquam feriat’, artinya: undang-undang harus memperlihatkan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan bahaya yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, asas legalitas mengharapkan bahwa ketentuan yang memuat perbuatan tidak boleh harus dituliskan apalagi dahulu.

Dalam tradisi metode civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, adalah: Peraturan perundang-usul (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan analogi.

1. Lex Scripta

Dalam tradisi civil law, faktor pertama yakni penghukuman harus didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain menurut aturan yang tertulis. Undang-undang (statutory, law) harus mengontrol tentang tingkah laku (perbuatan) yang dianggap selaku tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengontrol tentang tindakan yang dihentikan, maka tindakan tersebut tidak mampu dikatakan selaku tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang.

Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar penghukuman bukan bermakna kebiasaan tersebut tidak memiliki tugas dalam aturan pidana. Ia menjadi penting dalam menafsirkan element of crimes yang terkandung dalam tindak pidana yang dirumuskan oleh undang-undang tersebut.

2. Lex Certa

Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara terang dan rinci tentang perbuatan yang disebut dengan tindakan melawan hukum (kejahatan, crimes). Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa atau bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu perihal perbuatan yang tidak boleh dan diberikan hukuman. Perumusan yang tidak terperinci atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian aturan dan menghalangi kesuksesan upaya penuntutan (pidana) sebab warga selalu akan mampu membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berkhasiat selaku pedoman perilaku.

Namun demikian, dalam prakteknya tidak selamanya pembuat undang-undang mampu memenuhi kriteria di atas. Tidak jarang perumusan undang-undang diterjemahkan lebih lanjut oleh kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat apabila norma tersebut secara aktual dipermasalahkan

3. Non-retroaktif

Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang merumuskan tindakan melawan hukum tidak mampu diberlakukan secara surut (retroaktif). Pemberlakuan secara surut merupakan suatu kesewenang-wenangan, yang mempunyai arti pelanggaran hak asasi manusia. Seseorang tidak mampu dituntut atas dasar undang-undang yang berlaku surut. Namun demikian, dalam prakteknya penerapan asas legalitas ini terdapat penyimpangan-penyimpangan. Sebagai teladan, perkara Bom Bali, perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor-Timur, dan perkara Tanjung Priok. Dalam kasus-perkara tersebut, asas legalitas disimpangi dengan memberlakukan asas retroaktif.

  Tanggung Jawab Adalah Kesadaran Manusia Akan Tingkah Laku Atau Perbuatannya Yang Disengaja Maupun Yang Tidak Disengaja Tanggung Jawab Juga Berarti Berbuat Sebagai Wujud Kesadaran Akan Kewajibannya Tanggung Jawab Warga Negara Berhubungan Dengan Perannya Di Dalam Masyarakat Setiap Manusia Adalah Warga Negara Suatu Negara Dalam Berpikir Berbuat Bertindak Bertingkah Laku Manusia Tidak Dapat Berbuat Semaunya Sendiri Bila Perbuatan Itu Salah Maka Ia Harus Bertanggung Jawab Kepada Negara Dalam Bermasyarakat Untuk Mencapai Tujuan Kesejahteraan Bersama Maka Diadakan Kegiatan Berbangsa Dan Bernegara Di Mana Masing-masing Dari Kita Memiliki Tanggung Jawab Yang Sama Untuk Negara Yakni Menjaga Persatuan Dan Kesatuan Negara Dengan Mengikuti Hukum Dan Tata Tertib Berbangsa Dan Bernegara Yang Diterapkan Di Negara Tersebut Apa Kesimpulan Yang Kamu Peroleh Teks Di Atas Adalah?​

Jika ditinjau lebih jauh, penerapan asas retroaktif ini dikarenakan karakteristik kejahatan-kejahatan dalam masalah tersebut yang sangat berbeda dengan jenis kejahatan biasa. Sejalan dengan itu, berdasarkan Prof. Dr. Romli Atmasasmita, prinsip aturan nonretroaktif tersebut berlaku untuk pelanggaran pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak asasi manusia bukan pelanggaran biasa, oleh karenannya prinsip non-retroaktif tidak bisa dipergunakan.

4. Analogi

Seperti disebutkan di wajah, asas legalitas menghalangi secara rinci dan cermat tindakan apa saja yang mampu dipidana. Namun demikian, dalam penerapannya, ilmu aturan memberi peluang untuk dijalankan interpretasi terhadap rumusan-rumusan tindakan yang dihentikan tersebut. Dalam ilmu aturan pidana diketahui beberapa tata cara atau cara penafsiran, ialah: penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafsiran historis, penafsiran teleologis atau sosiologis, penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran memperluas, dan penafsiran analogi.

Dari sekian banyak metode penafsiran tersebut, penafsiran analogi telah menimbulkan perdebatan di antara para yuris yang terbagi ke dalam dua kubu, mendapatkan dan menentang penafsiran analogi. Secara ringkas, penafsiran analogi yaitu bila terhadap sebuah tindakan yang pada dikala dilakukannya tidak merupakan tindakan melawan hukum, dipraktekkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk tindakan melawan hukum lain yang memiliki sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut, sehingga kedua tindakan tersebut dipandang analog satu dengan lainnya. Menurut Prof. Andi Hamzah, ada dua macam analogi, yaitu: gesetz analogi dan recht analogi. Gesetz analogi ialah analogi kepada perbuatan yang serupa sekali tidak terdapat dalam ketentuan pidana. Sementara recht analogi yakni analogi terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan tindakan yang dilarang dalam ketentuan hukum pidana.

Beberapa argumentasi yang menyepakati dipakainya analogi, di antaranya ialah sebab perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga aturan pidana harus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu. Sementara yang menentang menyampaikan bahwa penerapan analogi dianggap berbahaya karena mampu menimbulkan ketidakpastian aturan dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, pembatasan dan penggunaan analogi ini tergantung pada sistem hukum yang dianut sebuah negara. Menurut Jan Remmelink, inti dari penafsiran analogis, singkatnya, bagi penunjang pendekatan ini tidak membatasi pemahaman sebuah aturan hanya dalam batas-batas polyseem kata-kata. Bila dibutuhkan, mereka akan siap sedia membuatkan dan merumuskan hukum gres (aturan gres), pasti tidak dengan sembarang melainkan dalam kerangka aliran, rasio ketentuan yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, karena stress berat pada dikala pemerintahan Nazi, timbul keengganan yang besar kepada penggunaan tata cara ini di seluruh Eropa dan Belanda.

B. PENGATURAN ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas ini diatur dengan jelas dalam kitab undang-undang hukum pidana yang berlaku sekarang (Wetboek van Straftrecht) maupun dalam Rancangan kitab undang-undang hukum pidana (selanjutnya disingkat RKUHP). Pasal 1 ayat (1) kitab undang-undang hukum pidana yang menyatakan bahwa tiada sebuah tindakan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-usul yang telah ada, sebelum perbuatan dilaksanakan. Bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP ini, secara rinci, berisi dua hal penting, ialah: (i) sebuah tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-seruan; (ii) peraturan perundang-seruan mesti ada sebelum terjadinya tindak pidana (tidak berlaku surut).

Asas legalitas mengharapkan bahwa sebuah tindakan mampu dinyatakan sebagai tindak pidana jika apalagi dahulu ada undang-undang yang menyatakan bahwa perbuatan itu sebagai tindak kriminal. Oleh kesannya, asas legalitas melarang penerapan hukum pidana secara surut (retroaktif). Pasal 1 ayat (1) KUHP inilah yang menjadi landasan penegakan aturan pidana di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan kepastian aturan.

  Ilmu Politik, Ekonomi Politik, Dan Budaya Di Kalimantan 1999

Asas legalitas ini diatur pula dalam UU No. 48 Tahun 2009 ihwal Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain dibandingkan dengan yang ditentukan oleh undang-undang. Bunyi pasal ini memperkuatkan kembali hasratasas legalitas kepada aturan pidana yang dibentuk secara tertulis. Begitu juga dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen II Pasal 28 I ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, … dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi insan yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun.” Begitu pula dalam Amandemen IV disebutkan bahwa “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi insan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi insan dijamin, dikelola dan dituangkan dalam perundangundangan.

C. PENERAPAN ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Perlu disadari bahwa Wet Boek van Strafrecht (WvS) ialah peninggalan kolonial Belanda. Sehingga dalam pelaksanaannya membutuhkan beberapa pembiasaan dalam konteks Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan diamandemen dengan memperbesar pasal-pasal yang dianggap masih kurang. Dalam perkembangannya, kebijakan mengamandemen pasal-pasal kitab undang-undang hukum pidana ini ditinggalkan dengan membentuk undang-undang gres. Sehingga muncul apa yang disebut dengan tindak pidana di luar kitab undang-undang hukum pidana. Tetapi ternyata pengaturan tindak pidana di luar kitab undang-undang hukum pidana ini membentuk tata cara tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum aturan pidana sebagaimana dikelola dalam buku I KUHP. Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan pemidanaannya.

Sebagai peraturan peninggalan Belanda (seperti kita ketahui, metode aturan Belanda adalah metode hukum Eropa Kontinental yang diwariskan ke Indonesia. Beberapa andal memandang bahwa tata cara ini kurang cocok untuk masyarakat Indonesia yang heterogen) berdasarkan Mudzakkir, asas legalitas kemudian menjadi persoalan dalam penerapannya. Asas legalitas dihadapkan pada realitas penduduk Indonesia yang heterogen. kitab undang-undang hukum pidana maupun ketentuan pidana di luarnya masih menyisakan bidang perbuatan yang oleh penduduk dianggap selaku tindakan yang dilarang, sementara undang-undang tertulis tidak mengatur larangan itu. Menurut Mudzakkir, ini ialah sebuah kondisi kekurangan hukum tertulis yang selalu tidak mampu menciptakan rumusan aturan yang tepat yang sesuai dengan nilai kehidupan masyarakat yang dinamik, terlebih dalam penduduk Indonesia yang heterogen.

Tetapi, dalam sejarah aturan pidana Indonesia, eksistensi pengadilan budbahasa memungkinkan diterapkannya pidana akhlak dan aturan yang hidup dalam penduduk (living law) walaupun tindakan melawan hukum akhlak itu tidak diatur dalam KUHP. Oleh karena itu, asas legalitas dalam praktek di Indonesia tidak dipraktekkan secara murni seperti yang diinginkan Pasal 1 KUHP.

Jauh sebelum Indonesia merdeka, keberadaan peradilan budpekerti sudah diakui dikala pendudukan Belanda. Pengakuan peradilan adab ini dituangkan dalam aneka macam peraturan yang dikeluarkan pemerintah pendudukan Belanda. Di permulaan-permulaan kemerdekaan, peradilan-peradilan etika masih tetap eksis, sementara KUHP (Wetboek van Strafrecht) diberlakukan untuk mengisi kekosongan aturan. UUDS 1950 dan UU Nomor 1 Tahun 1951 dianggap mengukuhkan keberadaan peradilan budbahasa tersebut. Namun, semenjak diberlakukannya UU Nomor 14 Tahun 1970 ihwal Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, peradilan budpekerti dihapuskan. Akibatnya simpel, keberadaan peradilan etika telah berakhir melalui UU Nomor 14 Tahun 1970 perihal Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini dengan tegas menyebutkan, bahwa peradilan adat dihapuskan. Hanya empat peradilan di Indonesia yang diakui sebagai pengadilan resmi, yaitu: pengadilan biasa , pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara dan pengadilan militer.

  Kajian Sosilogi Hukum

Dalam prakteknya, peradilan akhlak ini menyebabkan aturan budpekerti dan hukum yang hidup dalam masyarakat selaku dasar untuk menuntut dan menghukum seseorang. Dengan kata lain, seseorang yang dianggap melanggar hukum budbahasa (pidana etika) mampu diajukan ke pengadilan dan diberi eksekusi. Karena praktek inilah, berdasarkan Mudzakkir, yang menjadikan, RKUHP mencantumkan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’sebagai penyimpangan asas legalitas.

Hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam literatur dapat dipersamakan dengan The Living Law yang cakupannya begitu luas. Di antaranya tercakup hukum kebiasaan, hukum akhlak, hukum setempat, hukum asli, hukum pribumi dan sebagainya. Pada dasarnya, aturan-hukum yang tersebut itu mempunyai abjad yang sama, yakni tidak tertulis. Yang menjadi pertanyaan berikutnya, apakah aturan yang ‘hidup dalam masyarakat’ ini tercakup juga aturan agama, contohnya hukum Islam (yang berlaku di NAD) yang berlainan alasannya tertulis dalam Kitab dan Hadist.

Hukum hidup dalam penduduk ini dicantumkan dalam RKUHP pada Pasal 1 ayat (3). Otomatis yang dimaksud dalam RKUHP adalah ‘aturan yang hidup dalam penduduk ’yang berhubungan dengan aturan pidana, misalnya pidana budpekerti dan hukum pidana Islam. Tentu saja pencantuman itu mengakibatkan kontroversi di golongan yuris, termasuk di antaranya yuris luar negeri, Prof. Schaffmeister yang menyebutkan pasal tersebut sebagai pasal akrobatik.

Kontroversi itu timbul tidak lain karena aksara hukum yang hidup dalam penduduk yang sungguh berbeda dengan karakter aturan pidana. Melalui asas legalitas, aturan pidana menghendaki hukum yang tertulis dan cermat. Sementara aturan yang hidup dalam masyarakat tidak tertulis. Pada dasarnya, munculnya terminologi aturan yang hidup dalam masyarakat dalam RKUHP tidak lain yakni untuk menunjuk aturan selain aturan yang dibuat oleh negara. Dengan demikian, secara kasat mata RKUHP ini seolah membuka kesempatan pluralisme hukum walaupun mekanisme penyelesaiannya tetap menggunakan peradilan pidana. Asas legalitas dihadapkan dengan pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Di Indonesia, dapat dibilang hukum yang tidak tertulis itu kebanyakan yaitu aturan budpekerti. Dalam konteks RKUHP tergolong di situ tujuannya yaitu delik budpekerti. Menurut I Gede A.B. Wiranata, penyebutan delik budbahasa atau perbuatan pidana budpekerti ialah kurang sempurna, melainkan pelanggaran akhlak. Oleh alasannya bantu-membantu yang dimaksud adalah penyelewengan dari banyak sekali ketentuan hukum etika, berupa perilaku tindak yang mengusik kedamaian hidup yang juga meliputi lingkup laku kebiasaan-kebiasaan yang hidup berupa kepatutan dalam penduduk .

Delik adat atau pelanggaran budbahasa berasal dari perumpamaan Belanda budpekerti delicten recht. Istilah ini tidak dikenal dalam aneka macam masyarakat adab di Indonesia. Lagi pula, hukum akhlak tidak membedakan antara aturan pidana dan hukum akhlak. Hukum pelanggaran akhlak dimaknai selaku hukum-hukum aturan budpekerti yang mengatur insiden atau tindakan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan penduduk , sehingga perlu diselesaikan (dieksekusi) semoga keseimbangan penduduk tidak terusik.

Dalam bukunya yang berjudul Hukum Adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke Masa (2005), I Gede A.B. Wiranata menyimpulkan pelanggaran akhlak ialah, (i) sebuah kejadian agresi dari pihak dalam penduduk ; (ii) agresi itu mengakibatkan adanya gangguan keseimbangan; (iii) gangguan kesimbangan itu menyebabkan reaksi; dan (iv) reaksi yang timbul menjadikan terpeliharanya kembali gangguan keseimbangan kepada kondisi semula. Sementara tugas penegakan hukum dan pelanggarannya ada pada kepala komplotan hukum budpekerti tersebut. Berbeda dengan pengaturan RKUHP yang menginginkan penegakannya tetap lewat aparat penegak aturan yang dibentuk oleh negara. Di antaranya tetap lewat polisi, jaksa, dan diperiksa melalui pengadilan. Hal ini tersirat dalam bunyi Pasal 100 ayat (1) RKUHP yang menyebutkan “Dengan mengamati ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim mampu memutuskan pemenuhan keharusan budpekerti lokal dan/atau keharusan berdasarkan aturan yang hidup.”

*sebagai bahan kuliah

S.Maronie / 9 Desember 2010 / @K10CyberHouse