Arti Bahasa Sunda Balubur



Lumbung padi di kampung budbahasa Sunda Ciptagelar Sukabumi
Balubur … Mungkin, anda pernah mendengar tukang bubur mengucapkan kata mirip itu. Lagi pula, dalam bahasa Sunda, memang dimungkinkan sisipan beraksara “l” membikin kata bentukan, contohnya dari bener jadi balener. Yang pasti, dalam problem balubur, saya sendiri senyum-senyum saja seraya mencari cara yang baik buat menyanggah prasangka sang sahabat. 


Setahu aku, kata balubur punya kaitan dengan bidang arsitektur. Kamus Basa Sunda (2006) dari R.A. Danadibrata, contohnya, menunjukan balubur selaku “tempat nu dihateupan pikeun nyimpen béas atawa paré beunang ngumpulkeun pikeun saheulaanan; leuit gedé (daerah yang diberi atap buat menyimpan beras atau padi yang telah dikumpulkan, untuk beberapa waktu; lumbung besar)”.

Jurnalis dan sastrawan Sjarif Amin juga menggunakan kata ini dalam bukunya, Keur Kuring di Bandung (Sewaktu Saya Tinggal di Bandung; 1982), saat dia membahas atap ilalang yang dulu umum menaungi rumah penduduk. Ia menulis, “Awét kapakéna balubur mah, aya nu tahan puluhan taun. Geus mupugan ogé alus baé. Malah beuki rékép dina nadah cihujan mah (Balubur tahan usang, mampu bertahan puluhan tahun. Sudah mengering pun tetap elok. Malahan kian rapat buat menahan curahan hujan).”

Dari kedua materi bacaan itu, kita dapat mengatakan bahwa kata balubur digunakan buat mengacu terhadap bangunan lumbung, juga kepada atap ilalang.

Ada pula arti lain yang mampu kita pertimbangkan, utamanya dari pengalaman kolektif dalam sejarah. Jika kita membaca lagi Koloniaal Profijt van Onvrije Arbeid (Laba Kolonial dari Kerja Paksa; 2010) karya Jan Breman, adalah studi mengenai sejarah kelam tata cara tanam paksa di Priangan, kita mampu memikirkan kandungan arti lain lagi dari kata balubur. Dengan kata yang satu ini, kita mampu membayangkan sebidang lahan di sekeliling pusat kekuasaan yang diatur langsung oleh bupati dan digarap oleh buruh tani.

  √ Nama Arah Mata Angin dalam Bahasa Sunda

“…Had de heer in de onmiddelijke nabijheid van zijn woning de beschikking over velden —baloeboer geheten— die hij liet aanleggen en bewerken door van zijn ondergeschikten herediensten te voerderen (Sang juragan, di sekeliling bangunan tempat tinggalnya, punya sebidang lahan —yang disebut balubur— yang beliau persilakan buat digarap oleh para bawahannya sebagai sumber pendapatan),” tulis Jan Breman saat menyinggung-nyinggung kuasa para juragan atas lahan.

Sampai di situ kita bersinggungan dengan penderitaan. Dari sejarah “Sistem Priangan” alias Preanger Stelsel, kita mewarisi kenangan kolektif perihal pemiskinan kaum tani. Kaum yang satu ini tadinya mungkin berdaulat atas lahan garapan. Kolonialisme, dengan pemberian para darah biru pribumi, memaksa mereka untuk merelakan lahan buat ditanami pepohonan yang hasilnya laris dijual ke pasar Eropa, mirip kopi dan teh. Karena itu, kaum tani tidak lagi berdaulat atas lahan mereka. Timbullah buruh tani. Di atas lahan yang disebut balubur tadi, kaum buruh memang masih mampu menggarap tanah, namun tanahnya bukan lagi milik mereka.

Patut pula dicatat kandungan arti lain lagi dari perumpamaan balubur yang, menurut Danadibrata, mengacu terhadap “sagala pagawéan nu digarap di unggal distrik (segala pekerjaan yang digarap di setiap distrik)”. Dalam kaitan ini, kita kenal dengan istilah “buku balubur” yang diartikan sebagai “sagala catetan laporan di distrik anu unggal bulan kudu dilaporkeun ka kabupaten (segala catatan laporan di distrik yang setiap bulan mesti disampaikan ke kabupaten)”.

Semua itu sering terlintas dalam benak aku setiap kali aku lewat ke Jalan Balubur. Di situ kota berkembang begitu cepat, dan bangunan-bangunan berkembang bagai tumor. Di antara bangunan kolonial yang jadi kantor rektor ITB dan bangunan mal yang namanya seakan hendak mengubur perumpamaan balubur dalam singkatan “Baltos”, kenangan akan lumbung padi dan atap ilalang terasa jadi ironi. Di tengah hutan beton itu, bahkan rangkaian gambar mural karya Irwan Bagja Darmawan pun tak lagi hadir.

  Imah Panggung Khas Sunda

Singkatnya, buat menyanggah dugaan sobat aku yang doyan makan bubur, aku merasa perlu menulis semacam “buku balubur”. Oleh : Hawé Setiawan, kolomnis Pikiran Rakyat