Apakah Taat Harus Didahului Faham?

Usianya baru 13 tahun. Namun ia dihadapkan pada ujian pengorbanan & taat maha berat. Bukan sekedar mengorbankan harta terbaik miliknya atau berperang melawan musuh hingga terbunuh. Ia dihadapkan pada perintah mengorbankan nyawanya; disembelih oleh sang ayah.

“Hai anakku sesungguhnya gue melihat dlm mimpi bahwa gue menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu,” kata Ibrahim sebagaimana diabadikan Allah dlm Surat Ash Shaafat ayat 102.

Ismail tak mengajukan pertanyaan kenapa dirinya mesti disembelih & untuk apa. Jawabannya mencerminkan ketaatan tertinggi & keteguhan yg luar biasa.

“Wahai ayahku, kerjakanlah apa yg ditugaskan kepadamu; insya Allah kau-sekalian akan mendapatiku termasuk orang-orang yg tabah” (QS. Ash Shafat: 102)

Ismail taat tanpa tapi. Bahkan tanpa pertanyaan. Saat membaca tafsir ayat ini, kita tak akan mendapati Ismail mempertanyakan alasannya, maksudnya, atau pertanyaan lain yg lebih detil. Bagi Ismail, pengertian fundamental telah cukup menjadi panduan; bahwa perintah itu dr Allah. Tak ada opsi lain kecuali mentaatinya.

Dan kita semua jadinya mengetahui ending kisah mendebarkan itu. Allah memuji Nabi Ibrahim & Nabi Ismail yg lulus dlm menghadapi ujian ketaatan itu. Dan ia menebus Ismail dgn domba. Napak tilas pengorbanan keduanya kini mewujud dlm ibadah qurban; kita menyembelih binatang qurban pada setiap idul adha.

Ujian Ketaatan

Awalnya, cukup banyak pria yg bergabung menjadi pasukan Thalut. Sebab sebelumnya mereka memang meminta pada Sang Nabi untuk mengangkat pemimpin agar bisa berperang di bawah kepemimpinannya.

Thalut yakni pemimpin sah, mandatnya sesuai mekanisme yg mereka inginkan. Namun mereka ragu & mempertanyakan kapasitasnya. Hingga Allah pun menawarkan tanda; kembalinya Tabut sebagai bukti kepemimpinan Thalut.

Pasukan pun berangkat menuju medan jihad. Cukup banyak yg berpartisipasi, namun ujian berbentukperintah pimpinan menjadi seleksi ketaatan & kesetiaan.

Dalam kondisi haus, pasukan itu mendapat intruksi dr Thalut:

إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ

“Sesungguhnya Allah akan menguji ananda dgn suatu sungai. Maka siapa di antara ananda meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia ialah pengikutku” (QS. Al Baqarah: 249)

Benar! Mereka kemudian melalui sungai Jordan. Dan terbagilan pasukan menjadi tiga pecahan; orang-orang yg minum sepuasnya, orang-orang yg minum seceduk tangan, & orang-orang yg tak minum sedikitpun.

  Hakikat dan Keutamaan Sabar

“Inilah satu perintah harian yg mengandung ujian. Barangsiapa yg tak minum sama sekali, itulah yg dipandang prajurit setia, termasuk golongan yg dipercaya Raja Thalut. Siapa yg minum dipandang bukanlah pengikut setia kecuali yg meminum cuma seceduk telapak tangan. Yang meminum seceduk telapak tangan ini boleh pula dimasukkan pengikut, tetapi mutu kedudukannya tentu tak sama dgn yg tak minum sama sekali,” tulis Buya Hamka saat menjelaskan ayat ini.

Pasukan yg tak minum & yg hanya meminum seceduk tangan tak mempertanyakan kenapa saat kehausan mereka tak boleh meminum air sungai yg berlimpah itu. Bagi mereka, pemahaman fundamental sudah cukup menjadi panduan; bahwa instruksi itu dr pemimpin. Selama tak mengandung kemaksiatan, tak ada opsi lain kecuali mentaatinya.

“Kalau orang setia pada pimpinan,” tegas Buya Hamka, “perintah itulah yg akan dilaksanakannya walaupun haus ditahannya.”

Terkadang pemimpin (qiyadah) perlu mengambil ilham dr Thalut untuk mengenali kesiapan pasukan menghadapi medan usaha.

“Perlu dikerjakan percobaan yg bersifat mudah, dlm bentuk langkah-langkah aktual, & menghadapi peristiwa-kejadian di jalan menuju peperangan sebelum terjun ke kancah. Pengalaman ini pula memperlihatkan ketegaran hati sang pemimpin terpilih itu yg tak bergoncang hatinya walaupun sebagian besar tentaranya surut ke belakang pada percobaan yg pertama. Bahkan, ia terus melanjutkan perjalanannya,” kata Sayyid Quthb dlm Tafsir Fi Zhilalil Quran.

Baca juga: Sholat Tahajud

Taat Meskipun Belum Tahu Hikmahnya

Setelah menyeberangi sungai & melihat begitu banyaknya Pasukan Jalut, terungkaplah pesan tersirat di balik perintah Thalut. Mereka yg tak bisa menahan haus lantas minum sepuasnya, dihinggapi kepayahan & kekurangan. Tak bisa melawan musuh meskipun sempat menyusul pasukan. Jadilah mereka orang-orang yg kalah sebelum berperang.

Sedangkan mereka yg tak minum atau minum cuma seceduk tangan, kekokohan imannya memberi kekuatan & ketaatan pada pemimpin mendatangkan keberkahan. Maka dgn penuh keyakinan, mereka menyampaikan:

كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ

“Berapa banyak terjadi kelompok yg sedikit mampu mengalahkan kalangan yg banyak dgn izin Allah” (QS. Al Baqarah: 249)

Kisah Perjanjian Hudaibiyah pula begitu. Meskipun sempat dongkol alasannya adalah tak mengetahui apa sesungguhnya yg dilihat oleh Rasulullah di balik kontrakitu, para sobat tetap taat.

Sejak saat penulisan perjanjian, para teman sudah kecewa. Bagaimana tidak, duta kafir Quraisy Suhail bin Amr mengharapkan Bismillaahirrahmaanirrahiim diganti Bismikallaahumma. Rasulullah menurutinya. Suhail pula tak baiklah dgn perumpamaan Rasulullah dlm kontrakitu & minta diganti dgn Muhammad bin Abdullah. Rasulullah pula menyetujuinya.

Lalu isi kontrakitu? Para sobat merasa sungguh dirugikan. Bayangkan, Rasulullah & kaum muslimin tak boleh memasuki Makkah tahun tersebut. Orang Quraiys yg datang ke Madinah sehabis perjanjajian itu ditulis, mesti dikembalikan ke Makkah. Namun pengikut Muhammad yg membelot ke Makkah tak boleh dikembalikan ke Madinah.

Para sobat dongkol. Bahkan tatkala Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menyembelih hewan qurban, Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury menggambarkan tak ada satu orang pun yg berdiri. Diulangi tiga kali perintah itu, “Bangkitlah & sembelihlah binatang qurban,” mereka tak pula bangun.

Rasulullah masuk ke tenda menemui Ummu Salamah & menceritakan keadaan itu. Atas permintaan Ummu Salamah, Rasulullah kemudian keluar & tak bicara dgn siapapun sampai ia memangkas hewan qurban & memanggil tukang cukur untuk tahalul. Melihat itu, para sobat pun mentaati Rasulullah meskipun mereka belum pula mengerti apa pesan tersirat Perjanjian Hudaibiyah.

Umar tergolong yg paling kecewa. Ia mengungkapkan perasaannya pada Abu Bakar.

“Taatlah pada perintah & larangan dia sampai kau-sekalian meninggal dunia. Demi Allah, ia berada di atas kebenaran,” tegas Abu Bakar pada Umar.

Bagi Abu Bakar, pengertian mendasar telah cukup menjadi bimbingan; bahwa perintah itu dr Rasulullah. Tak ada opsi lain kecuali mentaatinya, meskipun belum memahami hikmahnya.

Beberapa waktu kemudian Allah menurunkan surat Al Fath. Menyebut persetujuanHudaibiyah itu selaku “fathan mubina” kemenangan yg konkret. Para sobat pun kemudian mengetahui pesan tersirat kesepakatanitu; kaum muslimin bebas berdakwah keluar Madinah tanpa direpotkan dgn serangan kafir Quraisy, hanya orang Makkah yg benar-benar beriman yg masuk Islam, & Madinah terbersihkan dr pengkhianatan orang-orang yg membelot.

Baca juga: Sholat Dhuha

Bukankah Al Fahm Lebih Dulu?

Ya, Hasan Al Banna menaruh Al Fahm selaku rukun pertama dlm arkanul baiat & menempatkan Ath Tha’ah sebagai rukun keenam. Urutannya sudah benar, bahkan Yusuf Qardhawi menilai urutan itu sudah disesuaikan menurut fiqih aulawiyat (prioritas).

Namun yg perlu digarisbawahi, untuk melaksanakan rukun selanjutnya tak mesti menunggu rukun sebelumnya sempurna. Bukankah di lapangan dgn mudah kita temukan, kader dakwah yg pengorbanannya belum tepat. Lalu apakah ia tak boleh mengimplementasikan ukhuwah yg urutannya lebih tamat?

Saya pernah bertanya pada puluhan kader dakwah, berdoa pada Allah dibarengi tawassul dgn salah satu makhluk-Nya, apakah itu termasuk khilafiyah dlm persoalan furu’ atau justru merupakan problem aqidah? Banyak yg tak bisa menjawab padahal itu ada dlm ushul isyrin yg merupakan potongan dr Al Fahm yg disusun Hasan Al Banna. Tentu ini pula menjadi penilaian bagi kader-kader dakwah yg terinspirasi dr Hasan Al Banna tetapi masih jauh pemahamannya dr ushul isyrin. Tapi apakah lantas mereka mesti menunggu sempurna memahami ushul isyrin baru boleh berzakat? Tentu tidak.

  Hadza Min Fadli Rabbi, Catatan Sukses Muswil dan Musda PKS

Sekali lagi, al fahm memang urutannya lebih dulu dr rukun yg lain termasuk ath tha’ah. Namun bukan bermakna untuk taat harus faham betul alasan suatu perintah, hikmahnya, & hal-hal mendetil wacana perintah atau aba-aba itu. Terlebih dlm jihad siyasi yg sifatnya dinamis.

Justru orang yg mensyaratkan taat harus didahului dgn faham betul argumentasi sebuah perintah, hikmahnya, & hal-hal mendetil wacana perintah atau aba-aba tersebut, itu tak sejalan dgn taujih Rabbani & sabda Rasul-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yg beriman, taatilah Allah & taatilah Rasul (Nya), & ulil amri di antara kamu” (QS. An Nisa’: 59)

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ

“Tidak ada ketaatan dlm bermaksiat pada Allah” (HR. Muslim)

Inilah pengertian mendasar yg kita butuhkan. Bahwa kita wajib taat pada ulil amri, tergolong para pimpinan dakwah menurut DR Amir Faishol Fath, hebat tafsir Al Quran di Indonesia. Dan inilah batasannya; tak bermaksiat pada Allah. Jika ulil amri atau pemimpin menyuruh bermaksiat pada Allah, tak ada kewajiban taat pada perintah itu.

Sayyid Quthb tatkala menafsirkan ayat ini membawakan sabda Rasulullah:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Wajib atas orang muslim untuk mendengar & taat terhadap apa yg ia senangi atau tak ia sukai, asalkan tak ditugaskan pada maksiat. Apabila ditugaskan pada maksiat, maka tak boleh mendengar & taat” (HR. Bukhari & Muslim)

Pemahaham ketaatan mirip inilah yg membuat pasukan Thalut taat walaupun kehausan. Para teman tetap taat meskipun merasa dirugikan dgn kontrakhudaibiyah. Khalid bin Walid tak mempertanyakan dikala menerima surat pergantian panglima perang dr Umar. Abu Dzar Al Ghifari tidak ingin menjelekkan Utsman walaupun gerakan dakwah zuhud-nya tak disetujui & ia diminta menghentikannya. Akhirnya ia memilih uzlah, hidup sendirian.

Namun pada balasannya semua ketaatan itu berbuah keberkahan. Pasukan Thalut memperoleh kemenangan. Perjanjian Hudaibiyah menjadi fathan mubina. Khalid namanya mengabadi selaku pedang Allah & menemukan pahala syahid meski tak terbunuh di medan perang. Abu Dzar pun menemukan husnul khatimah & masuk surga. [Muchlisin BK/Wargamasyarakat]