Lee Gang Ok (Hwang Jung Min) sang musisi terjebak, Ia memasuki wilayah pulau kecil bernama Hashima. Ia tak sendiri, ia bersama 400an orang Korea yg ditawan & diminta kerja paksa. Putri kecilnya Sohee (Kim Suan) pula ikut terseret di tempat yg sama.
Di pulau kecil yg terletak di pesisir Nagasaki itu, ia beserta pria Korea yang lain hidup sangat mengenaskan di bawah kekejaman tentara Jepang. Kerja paksa di bawah tanah, menambang. Tanpa pakaian bermakna hanya kancut di badan. Tak jarang gas secara tiba-tiba muncrat & menimbulkan kebakaran serta ledakan, ada beberapa orang Korea yg meninggal bahkan kaki hilang alasannya terlindas troli. Upah yg mereka terima sekian persen, karena sisanya untuk kepentingan Jepang. Tatkala jam makan, mereka makan makanan yg bau bahkan ada belatung & kecoanya.
Sementara para perempuannya, tergolong Sohee & Mallyon (Lee Jung Hyun) sang perempuan pemberani, dirias sedemikian rupa dijadikan budak seks yg melayani tentara Jepang. Jika mereka hamil balasan melayani tentara Jepang, maka jabang bayi itu harus segera dikeluarkan. Aborsi.
Sohee, Mallyoon serta dua perempuan lain permulaan malam diminta melayani tentara. Musik dr gramofon pun diputar. Sohee terhenyak, kemudian berbisik ke Mallyon. “Itu lagu saya,” kata Sohee sembari menangis. Mallyon menghalangi agar tak bersuara. Tapi Sohee nekat, & lari ke atas dingklik di samping. Ia bernyanyi & menari sesuai lagu tersebut. Tentara lain terhenyak. Sohee tak peduli, ia menerangkan bahwa itu suaranya & ia yg menyanyi. Itu dijalankan semoga ia tak dijadikan wanita penghibur.
Laki-laki Korea lain, Choi Chil Sung (So Ji Sub) seorang gangster dr Seoul, Park Mu Young (Song Joong Ki) sang serdadu rahasia yg paling menonjol. Park Mu sukses membuka belakang layar yg lebih kelam perihal pulau Hashima terungkap & para orang Korea mesti keluar dr pulau tersebut.
Ketika sukses mengirimkan telegraf dgn membuka pintu melalui kunci duplikat yg dikopi dr rol film, Park Mu Young berhasil mengantarkan pesan. Tak usang kemudian, di hari yg berlawanan, ada serangan ledakan dr langit. Pesawat asing. Beberapa orang Korea terkapar tak berdaya & berujung mati.
Battleship Island & Genosida Rohingya
Film Battleship Island sekilas mengingatkan kita perihal penderitaan saudara kita di Rohingya. Kekerasan terutama. Pada adegan di mana orang Korea meninggal kemudian ditumpuk mengunggun kemudian dibakar mirip api anggun. Orang-orang Korea berang. Lalu ada satu putri Jepang yg tewas. Namun orang Jepang begitu ribut & berang. Mereka murka luar biasa & menuduh orang Korea yg menjadi penyebab kematiannya. Padahal orang Korea kehilangan puluhan warganya yg tewas & dibakar, sementara Jepang cuma satu.
Itu sedikit persamaan tentang kebengisan teroris & perlakuan semena-mena. Ratusan warga Rohingnya dibantai tetapi dunia sepi & bisu. Sementara dunia begitu ramai tatkala kejadian Paris & London sampai ada “save-savean”.
“Dunia membiarkan pembantaian pada Rohingya. Nanti jika mereka terdesak, melawan, & teradikalisasi, baru dunia datang. Lalu, tinggal menyalahkan “radikalisme”,” kata pengamat politik internasional yg pula dosen Universitas Indonesia Shofwan Al Banna,
Jika film tersebut berdasarkan true event di penghujung Perang Dunia kedua, maka Rohingya yaitu ‘film’ bekerjsama tanpa menanti Perang Ketiga. Di Battle Island, pekerja Korea untuk merdeka mereka harus melarikan diri melalui segara yg luas. Dengan segala seni manajemen hingga selsai pada pertumpahan darah. Di Rohingnya? [@paramuda/Wargamasyarakat]