Analisis Dampak Perdagangan Bebas kepada Kemiskinan dan Implikasinya bagi Pekerja Sosial Indonesia
Masalah kemiskinan sudah menjadi fenomena global dan menjadi agenda bareng di dunia untuk menekan secara signifikan angka kemiskinan di setiap negara. Millenium Development Goals (MDGs) dalam salah satu indikator capaiannya menunjukkan pemfokusan khusus pada penghematan angka kemiskinan secara signifikan di setiap negara. Ironisnya, ditengah upaya bersama penduduk dunia untuk memerangi dilema kemiskinan di semua negara, perdagangan bebas yang juga merupakan jadwal global diindikasikan mempunyai kontribusi dalam pemiskinan sebuah negara.
Selama 20 tahun terakhir, pemerintah Indonesia condong dibawah instruksi dan dikte IMF dan World Bank, hal ini semakin nampak dari kebijakan pangan yang mengadopsi ala neo – liberal dan sangat pro pasar bebas (Free Market). Kebijakan pemerintah terkait kepentingan global semakin jauh dari kepentingan rakyat terutama kelompok petani, kebijakan itu antara lain lewat :
- Penghapusan dan atau pengurangan subsidi
- Penurunan tariff impor komoditi pangan (beras, terigu, gula, kedelai, dsb),
Pengurangan peran pemerintah dalam jual beli pangan (teladan kelembagaan Bulog yang sebelumnya sebagai forum pemerintah non-departemen menjadi perusahaan biasa milik negara)
Akibatnya, petani kita mulai kehilangan pasar domestik alasannya tidak bisa bersaing dengan arus barang impor dari luar, baik pada mutu mapun pada harga. Produk luar menunjukkan harga yang lebih hemat biaya dengan mutu yang juga baik. Dengan demikian terjadi pemiskinan petani
Kemiskinan selaku pengaruh jual beli bebas ini perlu mendapat perhatian pekerja sosial di Indonesia. Dalam perspektif pekerjaan sosial, kemiskinan ialah pelanggaran HAM, khususnya HAM generasi ke dua. Sedangkan efek negatif jual beli bebas ialah pelanggaran HAM generasi ke tiga. Dalam analisis kemiskinan dan pemberdayaan untuk menangani persoalan tesebut dibutuhkan pendekatan yang berlainan, alasannya terdapat variabel globalisasi di dalamnya.
• Mempercepat penurunan angka kemiskinan
• Peningkatan perdagangan dan investasi memungkinkan negara berkembang mendapatkan penghasilan rata-rata seperti negara
Globalisasi dan Perdagangan Bebas
Globalisasi ialah fakta yang mesti dihadapi insan di seluruh serpihan dunia. Definisi globalisasi yakni: intensifikasi relasi ekonomi, politik, sosial dan budaya lintas batas Negara. Dengan demikian, seakan dunia ini menjadi satu kesatuan, yang tidak mempunyai batas. Terdapat pandangan yang aktual dan negatif kepada globalisasi:
Kelompok yang pro globalisasi menyatakan bahwa dengan globalisasi dan liberalisasi, sumber-sumber dapat dialokasikan lebih efisien dan mampu memperluas kesempatan kerja melalui industri padat karya, sehingga dapat mengembangkan pertumbuhan
Sedangkan kalangan yang kontra mengatakan bahwa globalisasi dapat meningkatkan kemiskinan:
• Di negara maju timbul pengangguran, penghasilan stagnan, dan ketimpangan meningkat.
• Di negara berkembang :
- Kekuatan ekonomi global dan restrukturisasi ekonomi merugikan rakyat.
- Intervensi International Monetary Fund (IMF) sudah menjadikan hasil yang tak dibutuhkan.
- Kebijakan pemerintah condong memihak pasar global dan tidak memberi cukup derma terhadap golongan miskin dan lingkungan.
• Kelompok miskin tidak bisa bersaing alasannya kurangnya kanal kepada pendidikan, teknologi, kredit, kepemilikan tanah, pasar dan ongkos transportasi yang tinggi.
Kemiskinan sudah usang menjadi problem bagi Indonesia, tetapi menjadi makin parah sehabis resesi ekonomi melanda Asia tahun 1997. Sejak krisis Asia itu, jumlah orang miskin berkembangdramatis. Dewasa ini kemiskinan dibagi dua klasifikasi, ialah kemiskinan kronis (kemiskinan struktural) yang telah sekian usang terjadi, dan kemiskinan sementara (transient poverty), yang timbul sebab ada penurunan income sementara sebagai balasan pergeseran dari keadaan normal ke kondisi krisis. Disamping itu, kini muncul aspek lain selaku penyebab kemiskinan, ialah kemiskinan balasan jual beli bebas. Menurut Oxfam International, pada banyak negara, rendahnya kanal golongan miskin ternyata mengakibatkan jual beli bebas malah membuat golongan miskin semakin tersudut, atau terjadi tata cara bikinan yang eksploitatif dan merusak lingkungan. Sementara negara sedang meningkat didesak untuk membebaskan impor, negara maju tetap melaksanakan proteksi terhadap produk mereka dan menghalangi impor. Oxfam International menciptakan pengukuran yang disebut Double Standard Index (DSI) untuk membandingkan tingkat perlindungan oleh negara maju terhadap impor dari negara sedang meningkat . Index ini memberikan bahwa negara maju menerapkan pajak 4 kali lebih tinggi terhadap impor dari negara sedang meningkat , dibanding impor dari negara maju sehingga dikala negara maju menjual barang impor dari negara meningkat maka harganya lebih mahal daripada impor dari negara meningkat . Sebaagi contoh, Amerika Serikat dan Eropa mensubsidi petani mereka $ 1 per petani per hari. Subsidi ini menciptakan petani dari negara sedang berkembang kalah bersaing. Berdasarkan DSI, yang menduduki peringkat teratas : Uni Eropa, lalu AS, disertai Kanada dan Jepang.
Dalam perspektif human rights, kemiskinan akibat perdagangan bebas ialah pelanggaran hak asasi manusia. Secara rinci, human rights (HAM) meningkat dalam 3 generasi, ialah:
1.Generasi pertama HAM: hak-hak sipil dan politik. Di sini tercakup hak untuk memilih, hak kebebasan berbicara, hak bebas berkumpul, hak untuk menerima perlakuan yang serupa di hadapan hukum, hak kewarganegaraan, hak langsung, hak untuk berpendapat, hak kebebasan beragama dan hak untuk berpartisipasi dalam masyarakat
Di sini termasuk juga hak untuk diperlakukan secara bermartabat, hak untuk menemukan keselamatan, bebas dari diskriminasi dan intimidasi serta peyiksaan dan pemaksaan.
2. Generasi ke dua HAM mencakup hak sosial, ekonomi dan budaya. Ini ialah hak-hak individu atau golongan untuk mendapatkan berbagai pelayanan sosial guna merealisasi seluruh kesempatanmereka selaku manusia. Hak tesebut contohnya: hak atas pekerjaan, hak atas upah yang memadai, hak atas daerah tinggal, hak atas sandang pangan yang mencukupi, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan yang memadai, hak atas jaminan sosial, dsb.
Dalam persepsi HAM generasi ke tiga, kemiskinan yakni pelanggaran HAM yang serius.
3. Generasi ke tiga HAM mencakup hak-hak yang gres bermakna ketika dikaitkan pada tingkat kolektif. Ini adalah hak-hak komunitas, populasi, penduduk atau bangsa, bukan individu, meskipun individu juga dapat menemukan faedah dari realisasi hak tersebut.
Hak tersebut mencakup hak atas pembangunan ekonomi, hak untuk menemukan faedah dari perdagangan dunia dan pertumbuhan ekonomi, hak untuk hidup dalam masyarakat yag kohesif dan harmonis, hak atas lingkungan (acuan: bernafas dengan udara tanpa polusi, hak atas air bersih, dsb).
Dengan demikian, dari perspekti HAM generasi ke tiga, terjadinya ketidakadilan dan kemiskinan akhir jual beli bebas yaitu HAM generasi ke tiga
Globalisasi memberi ruang subur bagi tumbuhnya neoliberalisme dan kapitalisme baru. Globalisasi dan neolibaralisme adalah seperti dua segi pada mata uang. Neoliberalisme bersifat eksploitatif, mementingkan laba individu dan mengabaikan kepentingan publik
Menurut pandangan Saksono: fakta di Indonesia memperlihatkan bahwa keikutsertaan bangsa Indonesia dalam globalisasi telah mengakibatkan:
1. Semakin meningkatnya beban hutang (konsekuensinya: BUMN mesti dijual untuk membayar hutang, jasa publik)
2. Sumber daya alam dijual terhadap korporasi domestik/aneh
3. Ekspor buruh namun impor tenaga mahir.
Neoliberalisme: negara tidak mencampuri dan mengawasi “pasar” alasannya pasarlah yang justeru menjadi prinsip yang mendasari negara dan masyarakat. Sehingga kalau sebuah kebijakan sosial mengganggu kinerja pasar, mereka sebaiknya dihapus, atau diubah sesuai prinsip pasar bebas
Dalam gagasan neoliberal, masyarakat merupakan kerumunan wirausahawan/ti yang otonom, baik buruh, petani, guru atau manajer. Masalah mirip pengangguran, kekurangan gizi, bukan lagi masalah negara. Masalah tersebut menjadi tanggung jawab masing-masing warga negara, sehingga yang dahulu merupakan persoalan sosial, lalu menjadi duduk perkara individual. Solusinya bukan lewat program sosial atau kebijakan sosial (welfare system), melainkan individual self-care (permasalahan langsung)
Para pendukung tata ekonomi neoliberal tidak hanya menerapkan pasar bebas untuk transaksi ekonomi. Prinsip pasar bebas juga digunakan sebagai standar berbagai bidang lain, baik pendidikan, kekerabatan antar langsung dan kesehatan masyarakat. Akibatnya kesenjangan yang kian tajam bukan saja dalam hal income, melainkan bidang-bidang lain, misalnya kesehatan.
Globalisasi dengan paradigma kedaulatan pasarnya tersebar lewat banyak sekali kanal dan cara. Pada tataran politik, bekerjanya pasar kerap dikaitkan dengan demokrasi. Kedatangan “pasar” dengan berbagai bentuknya dipandang sebagai awal datangnya demokrasi. Tanda kehadiran pasar terwujud dalam kedatangan modal-modal aneh yang besar. Paradigma pasar sendiri mengganti cara pandang penduduk . Masyarakat menjadi bagian dari pasar, bukan sebaliknya. Sehingga norma masyarakat ditantang dan ditekan oleh norma pasar
Paham neoliberalisme merupakan dasar desain dari perdagangan bebas. Secara garis besar Mansour Fakih (2003) menerangkan pendirian paham neoliberalisme selaku berikut :
1. Biarkan pasar melakukan pekerjaan tanpa distorsi,
2. Kurangi pemborosan seperti subsidi untuk pelayanan social,
3. Privatisasi, dan
4. Mengutamakan tanggungjawab individual
Dalam penduduk tampakbeberapa fenomena yang terjadi:
1. Masyarakat mengadopsi “bahasa pasar”. Penggunaan konsep efisiensi, cost-benefit analysis, untung rugi, return of investment menjadi percakapan sehari-hari, melalui iklan dan ekspansi akal pasar ke dalam aspek kehidupan yang lain. Contoh: sekolah bisnis menjamur
2. Proses komodifikasi. Jika sebelumnya “profitabilitas” menjadi monopoli transaksi hemat, kini mendominasi teladan pikir masyarakat. Profitabilitas menjadi patokan apakah sesuatu itu baik atau tidak. Modus pikir ekonomi secara bertahap menjadi prinsip kehidupan sosial, politik, kultural dan bahkan religius.
3. Privatisasi. Bersama dengan “Efisiensi” , “profitabilitas” menjadi tolok ukur untuk program-program privatisasi. Negara sama dengan tidak efisien, tidak efisien sama dengan rugi, memiliki arti tidak dapat dipertahankan. Maka perusahaan negara mesti di privatisasi
Sejauh ini sudah banyak dikerjakan privatisasi BUMN mirip: PT Pupuk Kaltim, PT Kimia Farma, PT Telkom, PT Indosat, PT Semen Gresik. Privatisasi ini selain erat terkait hutang mancanegara, untuk memperbaiki kinerja, juga akrab terkait agenda neolibaral. Privatisasi BUMN ditugaskan oleh IMF. Ditengah krisis, mampu ditafsirkan selaku upaya MNC (Multi National Corporation) di belakang IMF untuk menggantikan BUMN dengan harga ekonomis.
4. Konsumsi. Konsumsi sebetulnya adalah keperluan manusia. Ia bukan lagi hanya satu sisi dari bikinan-konsumsi, melainkan lokomotif kapitalisme. Penekanan berpengaruh pada konsumsi cemas kapitalisme pada underconsumption dan overproduction pada sisi kultural dan sosial mendorong tumbuhnya konsumerime, sehingga lahirlah industri kredit
Konsumerisme adalah contoh pikir dan tindakan sehingga orang membeli suatu barang bukan sebab keperluan , tetapi karena memberi kepuasan. Konsep “kebutuhan” sendiri didefinisikan oleh iklan.
Konsumerisme juga didasari fikiran semoga ekonomi bisa terus berlangsung, anggota penduduk harus terus membeli.
Karena daya beli terbatas, maka penciptaan kredit menimbulkan kenaikan konsumsi, namun jadinya terjerat hutang. Mentalitas yang meningkat ” makan dulu, kerja lalu”
5.Negasi terhadap Budaya Lokal. Hegemoni budaya global mendorong pendeskreditan dan peminggiran budaya setempat selaku budaya yang bersifat kedaerahan, antik dan ketinggalan jaman
Perdagangan bebas adalah suatu rancangan ekonomi yang mengacu terhadap Harmonized Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgium, dimana penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau kendala jual beli lainnya. Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan selaku tidak adanya hambatan buatan (kendala yang dipraktekkan pemerintah) dalam perdagangan antar perorangan-perorangan dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda
Perdagangan internasional sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya komplemen yang dipraktekkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor. Secara teoritis, semua hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan bebas
Dalam rangka memantapkan kebijakan neo-liberalisme, para pendukungnya secara gencar mengampanyekan mitos-mitos berhubungan dengan neo-liberalisme dan lebih lanjut tentang pasar bebas. Lebih lanjut diterangkan oleh Mansour Fakih (2003) bahwa mitos-mitos itu diantaranya yakni :
1. Perdagangan bebas akan menjamin pangan murah dan kelaparan tidak akan terjadi. Kenyataan yang terjadi bahwa jual beli bebas justru mengembangkan harga pangan.
2. WTO dan TNC akan memproduksi pangan yang aman. Kenyataannya dengan penggunaan pestisida secara berlebih dan pangan hasil rekayasa genetik justru membahayakan kesehatan manusia dan juga keseimbangan ekologis.
3. Kaum permpuan akan diuntungkan dengan pasar bebas pangan. Kenyataannya, perempuan petani makin tersingkir baik selaku produsen maupun pelanggan.
4. Hak paten dan hak kekayaan intelektual akan melindungi penemuan dan wawasan. Kenyataannya, paten justru memperlambat alih teknologi dan membuat teknologi menjadi mahal
5. Perdagangan bebas di bidang pangan akan menguntungkan konsumen alasannya adalah harga murah dan banyak pilihan. Kenyataannya justru hal itu mengancam ketahanan pangan di negara‐negara dunia ketiga.
kehidupan kelompok miskin di negara meningkat . Di negara Haiti contohnya. Sebelum krisis ekonomi tahun 1995 menjadi salah satu penghasil beras Kasus berikut ialah citra konkrit, betapa perdagangan bebas telah mempengaruhi dengan kesanggupan produksinya 170.000 ton beras per tahun dan memadai sampai 95 % kebutuhan domestik.
Krisis ekonomi tahun 1995 menyebabkan Haiti kehilangan semua prestasi gemilang dibidang pangan tersebut, bermula dari kondisi dalam negeri Haiti yang memaksa mereka untuk menerima derma dan SAP dari IMF. Hal ini menjadi awal dari bencana di negara itu, sebab forum keuangan internasional tersebut mensyaratkan pemangkasan tariff impor beras dari 35 % menjadi 3 %. Sebagaimana diketahui, perdagangan bebas mensyaratkan pembatasan tariff impor. Dampaknya beras Amerika leluasa masuk ke pasar domestik dan menghancurkan sektor pertanian Haiti dan ribuan petani kehilangan mata pencahariannya.
Keuangan internasional IMF dan World Bank, hal ini semakin Nampak dengan kebijakan pangan yang mengadopsi ala neo liberal dan sangat pro pasar bebas (Free – Market). Hal yang lain mampu dilihat pada kebijakan pemerintah yang makin tendensius untuk kepentingan global dan kian jauh dari kepentingan rakyat terutama golongan petani,
Kebijakan itu antara lain lewat :
• Penghapusan dan atau pengurangan subsidi
• Penurunan tariff impor komoditi pangan (beras, terigu, gula, kedelai, dll), bahkan dijadwalkan hingga pada angka nol bea masuk impor materi pangan. Beberapa waktu kemudian pemerintah memberlakukan tarif nol persen untuk 57 pos tarif BM impor produk pangan. Kebijakan ini dengan rasionalisasi untuk menekan harga pangan di dalam negeri yang tinggi.
• Pengurangan tugas pemerintah dalam jual beli pangan (pola kelembagaan Bulog yang sebelumnya selaku lembaga pemerintah non-departemen menjadi perusahaan biasa milik negara)
• Akibatnya, sama mirip yang terjadi di Haiti petani kita mulai kehilangan pasar domestic sebab tidak bisa bersaing dengan arus barang impor dari luar, baik pada mutu mapun pada harga. Produk luar memberikan harga yang lebih hemat biaya dengan mutu yang juga baik. Hal ini mampu terjadi karena kebijakan negara maju yang konsen dalam pengembangan daya saing sektor-sektor andalannya
Selain bantuan eksklusif tersebut, pemerintah Amerika Serikat memberikan derma lain dalam jumlah yang sungguh besar, mirip kredit ekspor terhadap petani yang bertujuan agar produk mereka mampu berkompetisi di pasar internasional. Dukungan ini juga ditambah dengan penawaran pinjaman kredit dari perbankan Amerika bagi importir-importir luar negeri yang berbelanja produk-produk pertanian Amerika Serikat. Jika importir tidak bisa mengembalikan kredit tersebut, negara turun tangan dan dengan demikian mengatasi resiko kerugian yang mungkin menimpa eksportir dalam negeri.
Berikut ini dihidangkan kasus di Indonesia untuk memperoleh citra imbas jual beli bebas.
• Cepi Supriatna salah satu petani kentang asal Sukamanah, Pangalengan, Kabupetan Bandung, Jawa Barat mengeluh kecewa dengan membanjirnya produk impor di pasar local ketika ini. Dari satu hectare dia hanya mendapat untung Rp 4 juta. Padahal biasanya, dari satu hektare tumbuhan kentang, Cepi bisa meraup keuntungan hingga Rp 15 juta. Merosotnya laba Cepi ini sebab satu hal: banjir kentang di pasar. Kentang impor menciptakan pasokan kentang meluap, harga menjadi “hancur”.
• Sebelum kentang impor membanjiri pasar, kentang setempat dihargai Rp 6.000 hingga Rp 7.000 per kilogram. Pada ketika ini, para tengkulak membanderol kentang petani Rp 3.500-Rp 4.000 per kilogram. Adapun harga kentang impor cuma di kisaran Rp 2.500 perkilogram. Beberapa petani bahkan ketika ini telah beralih menjadi pedagang sebab keuntungannya lebih menggiurkan.
Bagimana peran pekerja sosial?
Pekerja sosial yaitu profesi dukungan dan pemberdayaan (Dubois and Miley, 1992). Secara tradisional. penduduk Indonesia sudah mempraktekkan tradisi bantuan yang dikenal selaku “tolong-menolong”. Secara lazim, keluara luas juga banyak berperan dalam mengatasi persoalan yang dihadapi individu maupun keluarga
Pekerja social di Indonesia mengikuti pendidikan tingkat sarjana atau diploma 4 dalam bidang pekerjaan social /kemakmuran social. Dengan latar belakang pendidikan demikian diharapkn pekerja social dapat menanggulangi dilema social dengan mencukupi. Agar pekerja social mampu mengerti pengaruh social globalisasi dan jual beli bebas, dalam kurikulum selayaknya mahasiswa relajar wacana aspek tersebut, sehingga ketika mereka lulus, mereka dapat menanggulangi problem kemiskinan dengan perspektif yang lebih luas; bukan saja faktor individual, local dan nasional , namur juga global.
Masalah kemiskinan yang terjadi di golongan petani ialah sebab ketidakmampuan berkompetisi dengan produk impor yang lebih baik kualitasnya dan harga lebih murah. Karena itu, pekerja social perlu melaksanakan dua hal: pada eksternal petani dan internal petani. Secara eksternal, dikerjakan advokasi kepada Pemerintah dan DP)R biar mempunyai perilaku keberpihakan yang serupa terhadap petani, dan dihasilkan kebijakan yang pro-poor dan pro-petani. Sedangkan kepada petani, perlu diadakan strategi pemberdayaan agar bisa menghasilkan produk yang berkualitas dan dalam sisi harga kompetitif. Disamping itu, petani perlu ditingkatkan kesanggupan dan keterampilannya dalam e-commerce, memperluas penjualan serta memahami jalur jalur distribusi