Alun-Alun Ciri Kota Tradisional

alun merupakan halaman depan rumah namun dalam ukuran yang lebih besar Alun-Alun Ciri Kota Tradisional
Alun-Alun Banjaran 1880’an

Alun-Alun Ciri Kota Tradisional

Menurut Prof. van Romondt (1962), pada dasarnya alun-alun merupakan halaman depan rumah namun dalam ukuran yang lebih besar. Dalam susunan stelsel penduduk feodal, cuma para penguasa, raja, bupati, wedana dan camat, yang memiliki halaman yang paling luas di depan istana atau pendopo kawasan kediamannya.
Sedangkan sentra aktivitas penduduk sehari-hari dalam ikhwal pemerintahan, militer, jual beli, kerajinan dan pendidikan, semua terselenggara di seputar istana sang penguasa (Lewis Mumford,”The City in History”,1961).
Pada hakikatnya, fungsi kota bandar-pelabuhan (harbour principality), kawasan acara perdagangan dan niaga, lebih mewarnai kehidupan kota (Dr.W.F.Wertheim, Indonesia Society in Transition”, 1956).
Oleh karena itu, hanya di kota-kota administratif di pedalaman saja, alun – alun depan istana Sultan atau pendopo Kabupaten, menjadi jantung kehidupan kota.
Namun pada jaman Hindu itu, baru ada tiga unsur yang melengkapi alun-alun. Yaitu, istana Raja/Bupati, Rumah Patih disisi lain alun-alun, dan pasar yang letaknya saling berdekatan.
Baru, Islam masuk menyebar ke Nusantara, bangunan mesjid selaku komponen ke-4, tegak bangkit menghiasi alun-alun.
Kehadiran kekuasaan Kompeni Belanda di Nusantara, sedikit ikut memberi warna bentuk, corak baru dalam tatakota. Pengaruh kolonial tampakbekas – bekasnya di sekeliling alun-alun.
Warna kolonial, mulai merasuki kota-kota pedalaman di Jawa, tatkala Herman Willem Daendels, mengawali pembangunan metode jaringan Jalan Raya Pos (Grote Postweg).
Sumber : Semerbak Bunga di Bandung Raya – 1986 Oleh : Haryoto Kunto
  Mengapa New Zealand Menyatakan Diri Keluar Dari Anzus Tahun 1985?