Aliran Sufistik Syekh Abdul Wahab Rokan

PEMIKIRAN SUFISTIK SYEKH ABDUL WAHAB ROKAN[1]
Manusia dilahirkan dengan kemampuan untuk mengenal Tuhan. Kemampuan ini ada sebagai sebuah kesempatanyang sama pada seluruh insan alasannya adalah adanya “ruh” Tuhan pada dirinya. Potensi inilah yang disebut oleh Islam dengan fitrah.[3] Oleh alasannya adalah merupakan pembawaan secara intrinsik, maka kecenderungan berketuhanan ini tidak mampu dielakkan oleh siapapun. [4]

Kecenderungan terhadap Tuhan sebagai Realitas Mutlak dan Absolut ini, diekspresikan oleh sebagian orang dengan melakukan tindakan dalam bentuk ibadah formal mirip doa, shalat, puasa, haji dan ibadah syariah lainnya. Ekspresi ini lebih dikenal dengan fiqh. Sementara sebagian lainnya melaksanakan lebih dari sekedar ibadah formal yaitu menghampiri Tuhan sedekat-dekatnya bahkan bersatu dengan-Nya. Ekspresi yang kedua inilah yang kemudian disebut dengan tasawuf (mistisisme / mistyc). Dengan demikian tampakbahwa objek kajian tasawuf lebih mengarah pada kajian yang bersifat batin (esoteris), sedangkan fiqh lebih menekankan pada aspek-aspek luar (eksoteris). Keunikan tasawuf yang bersifat esoteris ini menjadikan ia lebih bersifat universal, luas, lentur dan inklusif.
Esoterisme tasawuf terlihat aktual karena perbincangan yang timbul di dalamnya selalu mengarah pada aspek ruhani ialah penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs) untuk berikutnya melaksanakan perjalanan menuju Tuhan. Pengalaman kerohanian ini biasanya di ukur dengan rasa (dzawq) yang tentu saja sungguh bersifat personal sebab setiap individu mencicipi pengalaman yang ditentukan tidak akan pernah sama dengan lainnya. Pengalaman ini juga meniscayakan keanekaragaman yang tak mungkin disatukan alasannya adalah hal ini terkait bersahabat dengan kondisi kejiwaan seseorang, tingkat pengertian, dogma, penghayatan dan perolehannya dari sumbangan (mauhibah, jamaknya mawahib) Tuhan yang dituju.
Mauhibah Tuhan kepada seseorang yang meniti jalan tasawuf umumnya diketahui dengan penyingkapan atau terbukanya tirai-tirai alam ghaib (kasyf al-hijab) yang sungguh banyak jumlahnya.[5] Penyingkapan ini akan mencapai titik puncaknya sebuah dikala, dimana seseorang akan merasakan tajalli-nya Tuhan Yang Maha Indah dan Sempurna. [6]
Pengalaman dalam merasakan tajalli-nya Tuhan ini, ialah sesuatu yang merepotkan diungkapkan oleh bahasa biasa (sehari-hari). Alih-alih memberikan perasaan ini kepada orang lain, seorang sufi terkadang lebih memilih menutup mulutnya rapat-rapat, berdiam diri dan merahasiakannya dari orang lain. Hal ini biasanya dikerjakan untuk terus menjaga kesucian diri, menghalangi munculnya sifat-sifat kedirian (nafs) dalam bentuk ‘ujub, riya, sum’ah dan takabbur. Di samping itu, “gerakan tutup ekspresi” ini juga disebabkan alasannya adalah adanya kegelisahan jikalau apa yang mereka rasakan akan disalahpahami serta disalahmaknakan oleh orang lain.
Namun demikian, pengungkapan dari penyingkapan tajalli Tuhan tersebut ternyata juga merupakan sesuatu yang diharapkan terlebih untuk pendidikan dan pembelajaran bagi yang lain. Hanya saja, umumnya pengungkapan ini memakai media tersendiri mirip seni, baik seni tari maupun bahasa sastra, dalam menyampaikan pengalaman yang tak terkatakan itu. [7]
Dalam sejarah, ternyata banyak sufi yang menyampaikan pengalaman kerohanian dan pengajaran (lebih tepatnya aliran sufistik) mereka terhadap orang lain dalam bahasa sastra yakni puisi, syair dan sejenisnya. Penyampaian dengan sistem ini sepertinya karena ada jembatan penghubung antara tasawuf itu sendiri dengan seni yaitu rasa (dzawq).
Rabi’ah al-Adawiyah contohnya, dikenal dengan syair mahabbah-nya yang cukup masyhur. Ada juga Shana’i al-Ghaznawi, seorang pujangga sufi Persia pertama yang sungguh produktif dalam memaparkan kepercayaan-doktrin tasawufnya lewat media syair [8] sejak paruh pertama era ke-6 H. Enam puluh tahun sehabis Shana’i, ada Fariduddin al-‘Aththar (w.626 H), penyair yang juga sangat produktif. Karya-karyanya berbentuk prosa dan puisi. Ia menulis risalah Tadzkirah al-Auliya’, yang berisi riwayat hidup dan karaktek para sufi. Kitabnya Mantiq at-Thayr juga ialah maha karya dalam bidang tasawuf. Ibn Faridh al-Mishri (w.632 H) merupakan sufi yang sajak-sajak tasawufnya sungguh menakjubkan. Ia populer dengan Diwan (himpunan sajak puitis)nya. Seorang penyair sufi Iran yang juga terkemuka ialah Jalaluddin Muhammad ar-Rumi (w.672 H) yang terkenal dengan Matsnawi-nya. Karyanya ini merupakan samudera ‘irfani yang penuhdengan visi spiritual dan sosial yang unik dan istimewa. Selain mereka juga ada Nizami, seorang sufi penyair persia yang cukup terkenal. Salah satu syair dari lima naratif (khamsah) yang digubahnya berjudul Makhazan al-Asrar (Khazanah Rahasia-Rahasia).[9]
Di Indonesia, ada Hamzah Fansuri yang diketahui dengan berbagai syair-syairnya tergolong syair bahtera. Sufi lain yang juga cukup populer adalah Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi al-Naqsyabandi al-Syazali (1230-1345 H/1811-1926M) yang lebih bersahabat disebut dengan nama “Tuan Guru Babussalam” (Besilam). Kepiawaiannya dalam tulis menulis tergolong syair-syairnya, diakui oleh Martin van Bruinessen yang menyebutkan bahwa Syekh Abdul Wahab pastilah merupakan salah seorang tokoh Naqsyabandiyah yang paling produktif diantara para penulis di golongan tarekat Naqsyabandiyah yang pernah ada.[10]
Syekh Abdul Wahab dikenal tidak hanya di kawasan Babussalam, Langkat [11] sebagai kawasan pengembangan pemikiran sekaligus daerah pemakamannya yang cukup ramai dikunjungi -khususnya pada haul yang dikerjakan setiap tanggal 21 Jumadil Awal- namun juga nyaris di seluruh Sumatera Utara utamanya di tempat pesisir Timur, Riau serta di Asia Tenggara seperti Malaysia terutama di daerah Johor, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam dan beberapa negara Asia yang lain.[12]
Makalah ini akan menyoroti beberapa percikan pedoman sufistik Syekh Abdul Wahab yang terbatas pada zuhud, tarekat dan suluk dalam syair-syair, wasiat dan khutbah-khutbahnya.
B. Riwayat Singkat Syekh Abdul Wahab Rokan
Syekh Abdul Wahab dilahirkan dan dibesarkan dikalangan keluarga ningrat yang taat beragama, berpendidikan dan sangat dihormati. Ia lahir pada tanggal 19 Rabiul Akhir 1230 H[13] di Kampung Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Negeri Tinggi, Rokan Tengah, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau dan diberi nama Abu Qosim. Ayahnya bernama Abdul Manaf bin Muhammad Yasin bin Maulana Tuanku Haji Abdullah Tambusei, seorang ulama besar yang ‘abid dan cukup ternama pada dikala itu.[14] Sedangkan ibunya berjulukan Arbaiyah binti Datuk Dagi bin Tengku Perdana Menteri bin Sultan Ibrahim yang mempunyai pertalian darah dengan Sultan Langkat.[15] Syekh Abdul Wahab meninggal pada usia 115 tahun pada 21 Jumadil Awal 1345 H atau 27 Desember 1926 M.
Masa sampaumur Syekh Abdul Wahab, lebih banyak dipenuhi dengan mencari dan memperbesar ilmu pengetahuan. Pada awalnya beliau belajar dengan Tuan Baqi di tanah kelahirannya Kampung Danau Runda, Kampar, Riau. Kemudian ia menamatkan pelajaran Quran pada H.M. Sholeh, seorang ulama besar yang berasal dari Minangkabau.
Setelah menamatkan pelajarannya dalam bidang al-Alquran, Syekh Abdul Wahab melanjutkan studinya ke daerah Tambusei dan berguru pada Maulana Syekh Abdullah Halim serta Syekh Muhammad Shaleh Tembusei. Dari kedua Syekh inilah, dia mempelajari aneka macam ilmu seperti tauhid, tafsir dan fiqh. Disamping itu ia juga mempelajari “ilmu alat” seperti nahwu, sharaf, balaghah, manthiq dan ‘arudh. Diantara Kitab yang menjadi rujukan yaitu Fathul Qorib, Minhaj al-Thalibin dan Iqna’. Karena kepiawaiannya dalam menyerap serta penguasaannya dalam ilmu-ilmu yang disampaikan oleh guru-gurunya, ia lalu diberi gelar “Faqih Muhammad”, orang yang andal dalam bidang ilmu fiqh
Syekh Abdul Wahab kemudian melanjutkan pelajarannya ke Semenanjung Melayu dan belajar pada Syekh Muhammad Yusuf Minangkabau. Ia menyerap ilmu pengetahuan dari Syekh Muhammad Yusuf selama kira-kita dua tahun, sambil tetap berdagang di Malaka.[16]
Hasrat belajarnya yang tinggi, menciptakan ia tidak puas cuma berguru sampai di Malaka. Ia seterusnya menempuh perjalanan panjang ke Mekah dan menimba ilmu wawasan selama enam tahun pada guru-guru terkemuka pada ketika itu. Di sini pulalah beliau memperdalam ilmu tasawuf dan tarekat pada Syekh Sulaiman Zuhdi hingga alhasil beliau mendapatkan ijazah selaku “Khalifah Besar Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah”.[17]
Syekh Abdul Wahab dalam pencarian awal yang penulis lakukan, juga memperdalam Tarekat Syaziliyah. Hal ini terbukti dari pencantuman namanya sendiri dikala beliau menulis buku 44 Wasiat yakni “Wasiat Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi Naqsyabandi as-Syazali…”. Selain itu, pada butir kedua dari 44 Wasiat, ia mengatakan “jika kamu sudah baligh pintar hendaklah mendapatkan Thariqat Syazaliyah atau Thariqat Naqsyabandiyah semoga sejalan kamu dengan aku”.[18] Hanya saja hingga dikala ini, penulis belum mendapatkan data kapan, dimana dan pada siapa Syekh Abdul Wahab mempelajari Tarekat Syaziliyah ini.
Pada ketika belajar di Mekah, Syekh Abdul Wahab dan murid-murid yang lain pernah diminta untuk membersihkan wc dan kamar mandi guru mereka. Saat itu, kebanyakan dari kawan-kawan seperguruannya melakukan tugas ini dengan ketidakseriusan bahkan ada yang enggan. Lain halnya dengan Syekh Abdul Wahab. Ia melakukan perintah gurunya dengan sepenuh hati. Setelah semua selsai, Sang Guru lalu menghimpun semua murid-muridnya dan menunjukkan pujian kepada Syekh Abdul Wahab sambil mendoakan, gampang-mudahan tangan yang sudah membersihkan kotoran ini akan dicium dan dihormati oleh termasuk para raja.[19]
Salah satu kekhasan Syekh Abdul Wahab dibanding dengan sufi-sufi lainnya yaitu bahwa dia telah meninggalkan lokasi perkampungan bagi anak cucu dan murid-muridnya. Daerah yang bernama “Babussalam” ini di bangun pada 12 Syawal 1300 H (1883 M) yang ialah wakaf muridnya sendiri Sultan Musa al-Muazzamsyah, Raja Langkat pada era itu. Disinilah beliau menetap, mengajarkan Tarekat Naqsyabandiyah sampai tamat hayatnya.
Di sela-sela kesibukannya sebagai pimpinan Tarekat Naqsyabandiyah, Syekh Abdul Wahab masih menyempatkan diri untuk menuliskan pemikiran sufistiknya, baik dalam bentuk khutbah-khutbah, wasiat, maupun syair-syair yang ditulis dalam abjad Arab Melayu. Tercatat ada dua belas khutbah yang dia tulis dan masih terus diajarkan pada jamaah di Babussalam. Sebagian khutbah-khutbah tersebut -enam buah diantaranya- diberi judul dengan nama-nama bulan dalam tahun Hijriyah yakni Khutbah Muharram, Khutbah Rajab, Khutbah Sya’ban, Khutbah Ramadhan, Khutbah Syawal, dan Khutbah Dzulqa’dah. Dua khutbah lain perihal dua hari raya yakni Khutbah Idul Fitri dan Khutbah Idul Adha. Sedangkan empat khutbah lagi masing-masing berjudul Khutbah Kelebihan Jumat, Khutbah Nabi Sulaiman, Khutbah Ular Hitam, dan Khutbah Dosa Sosial.
Wasiat atau yang lebih dikenal dengan nama “44 Wasiat Tuan Guru” ialah kumpulan pesan-pesan Syekh Abdul Wahab kepada seluruh jamaah tarekat, utamanya terhadap anak cucu / dzuriyat-nya. Wasiat ini ditulisnya pada hari Jumat tanggal 13 Muharram 1300 H pukul 02.00 WIB [20] kira-kira sepuluh bulan sebelum dibangunnya Kampung Babussalam
Karya tulis Syekh Abdul Wahab dalam bentuk syair, terbagi pada tiga bagian ialah Munajat, Syair Burung Garuda dan Syair Sindiran. Syair Munajat yang berisi kebanggaan dan doa kepada Allah, sampai hari ini masih terus dilantunkan di Madrasah Besar Babussalam oleh setiap muazzin sebelum azan dikumandangkan. Dalam Munajat ini, terlihat bagaimana keindahan syair Syekh Abdul Wahab dalam menyusun secara lengkap silsilah Tarekat Naqsyabandiyah yang diterimanya secara turun temurun yang terus bersambung terhadap Rasulullah Saw. Sedangkan Syair Burung Garuda berisi kumpulan petuah dan nasehat yang didedikasikan khusus bagi anak dan akil balig cukup akal. Sayangnya, sampai saat ini Syair Burung Garuda tidak diperoleh naskahnya lagi. Sementara itu, naskah asli Syair Sindiran telah diedit dan dicetak ulang dalam Aksara Melayu (Indonesia) oleh Syekh Haji Tajudin bin Syekh Muhammad Daud al-Wahab Rokan pada tahun 1986
Selain khutbah-khutbah, wasiat maupun syair-syair, Syekh Abdul Wahab juga meninggalkan berbait-bait pantun rekomendasi. Pantun-pantun ini memang tidak satu baitpun tertulis namun sebagian diantaranya masih dihafal oleh sebagian kecil anak cucunya secara turun temurun. Menurut Mualim Said, -salah seorang cucu Syekh Abdul Wahab yang menetap di Babussalam dikala ini- dia sendiri masih hafal beberapa bait pantun tersebut, mirip halnya dengan Syekh H. Hasyim el-Syarwani, Tuan Guru Babussalam sekarang.[21] Dalam karya-karya tulisnya inilah, akan terlihat aliran-pemikiran sufistik Syekh Abdul Wahab seperti yang akan dijelaskan lebih lanjut.
Martin van Bruinessen menggambarkan sosok Syekh Abdul Wahab sebagai khalifahnya Sulaiman Zuhdi yang paling mencolokdi Sumatera, seorang Melayu dari Pantai Timur… Ia mengangkat seratus dua puluh khalifah di Sumatera dan delapan orang di Semenanjung Malaya. Syekh Melayu ini memiliki efek yang demikian luas di daerah Sumatera dan Malaya sepadan dengan apa yang dicapai para Syekh Minangkabau semuanya…”. .[22]
Bahkan berdasarkan Zikmal Fuad, mengutip pernyataan Nur A.Fadhil Lubis dalam suatu seminar “Perbandingan Pendidikan Indonesia Amerika” di Aula 17 Agustus, Pesantren Darul Arafah Medan, tahun 1992 nama Syekh Abdul Wahab sungguh diketahui dan diperhitungkan dikalangan Misionaris dan Orientalis di Amerika.[23]
C. Pemikiran Sufistik Syekh Abdul Wahab Rokan
Syekh Abdul Wahab menulis Syair Sindiran dalam tiga bab yang berlainan. Meskipun demikian tidak ada penjelasan mengapa hal ini dilakukakannya. Bagian pertama memuat lima puluh tiga (53) bait, bagian kedua menampung dua puluh lima (25) bait, sedangkan bab ketiga berisi enam belas (16) bait yang setiap baitnya terdiri dari empat baris.
Menurut Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran ini ditulisnya dikala sedang berada di Malaysia, tepatnya di daerah Batu Pahat, Rantau Panjang.
Awal menyurat di Batu Pahat
Rantau Panjang namanya tempat
Dibuat syair akan usulan
Hendaklah dibaca kuat-kuat [24]
Syair Sindiran ditulis untuk seluruh murid-muridnya sebagai suatu anjuran berharga dari seorang guru. Syair ini ditulis dengan cara sindiran (kinayah) untuk menjadi menyerupai (pelajaran) sehingga membuat orang merasa tenteram, tidak merasa tersinggung atau terlecehkan. Syair Sindiran ini dapat dituntaskan -diungkapkan oleh Syekh Abdul Wahab dengan kerendahan hati- cuma dengan tunjangan Allah yang Rahman.
Faqir menciptakan akan sindiran
Dengan pemberian Tuhan Rahman
Siapa-siapa membaca ingatlah tuan
Janganlah ceroboh sekalian ikhwan [25]
Nasehat dalam bentuk syair ini bukan sekedar untuk diketahui, tetapi diharapkan menjadi sebuah amalan tersendiri sebagai bekal hidup di dunia yang menjadi kawasan tanggal sementara. Pernyataan “hendaklah dibaca kuat-berpengaruh” dan “janganlah teledor sekalian ikhwan” menunjukkan supaya syair dibaca, diketahui, diperdengarkan (diajarkan) terhadap orang lain serta pastinya diamalkan. Namun demikian, Syekh Abdul Wahab menggarisbawahi bahwa kalau rekomendasi yang diberikannya tidak semua bisa dilaksanakan, maka amalkan sebatas apa yang dapat diamalkan sesuai dengan kesanggupan dan usaha yang sudah diupayakan.
Tamatlah telah syair nasehat
Hendaklah ikhwan sekalian ingat
Serta faham segala mirip
Serta amalkan mana-mana yang dapat [26]
Syair Sindiran yang diawali dengan menyebut asma Allah seraya mengharap ampunan-Nya ditujukan selaku rekomendasi mengenang mati (zikr al-maut), karena diri akan berpindah ke alam barzakh.
Dimulai syair dengan bismillah
Memohonkan ampun kepada Allah
Faqir mengarang berbuat letih
Diperbuat sindiran ibarat berpindah [27]
Inilah sindiran usang bertambah
Mengarang syair mirip berpindah
Syair ibarat yang amat indah
Ingatlah diri akan berpindah [28]
Kematian, berdasarkan Syekh Abdul Wahab bekerjsama yaitu hal yang pasti akan menjumpai siapapun yang hidup. Karenanya saran ini yakni salah satu cara untuk mengingatkan orang akan hidup yang tidak awet dan pasti berakhir.
Wahai sekalian adik dan abang 
Ingat-ingat janganlah tidak
Mati itu tak boleh tidak
Pikirlah tuan adik dan kakak [29]
Berbeda dengan Syair Sindiran, dalam 44 Wasiat, Syekh Abdul Wahab menawarkan pemfokusan kepada anak cucunya untuk mengamalkan pesan dan nasehatnya. Ia mengingatkan : 
“Hendaklah simpan surat wasiat ini satu surat satu orang. Bacalah sejum’at sekali atau sebulan sekali, sekurang-kurangnya setahun sekali. Amalkan apa-apa yang tertulis di dalam wasiat ini supaya kau dapat martabat yang tinggi dan kemuliaan yang besar dan kaya dunia alam baka”.[30] 
Penekanan ini bahkan dia tegaskan lagi dengan menyatakan :
“Wahai anak cucuku, jangan sekali-kali engkau permudah dan jangan kamu ringan-ringankan wasiatku ini, sebab wasiatku ini datang dari pada Allah dan Rasul dan daripada Guru-Guru yang opsi, dan telah kuterima kebajikan wasiat ini”.[31]
Beberapa pemikiran sufistik Syekh Abdul Wahab antara lain sebagai berikut:
1. Zuhud
Zuhud yakni sebuah perilaku memalingkan diri dari dunia[32] atau melepaskan diri dari rasa ketergantungan kepada kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Keberpalingan ini karena menganggap dunia hina atau menjauhinya alasannya dosa. Pada tingkat yang tinggi, seorang zahid akan memandang segala sesuatu kecuali Allah, tidak berguna. Karena itu ia akan menjaga hatinya dari segala yang mampu memalingkannya dari Allah. Sejalan dengan ini, Abu Usman menyatakan bahwa zuhud adalah engkau lewati dunia, lalu kau tidak perduli siapapun yang mengambilnya.[33]
Syekh Abdul Wahab mengingatkan murid-muridnya agar “jangan bermegah-megah dengan dunia dan kebesarannya…jangan menghimpun harta benda banyak-banyak dan jangan dibanyakkan menggunakan pakaian yang halus.[34] Harta yang banyak, melebihi keperluan yang dibutuhkan hanya akan menghadirkan kelalaian hati dari berzikir kepada Allah. 
Kesenangan dunia ini hakikatnya hanyalah sebentar, sekejap mata. Tempat yang abadi itu ialah alam baka.[35] Karena itu hendaklah kita banyak-banyak membawa bekal pulang ke darul baka, jangan sampai terpedaya dengan hawa nafsu yang mengajak pada kejelekan dan kejahatan. Ingatlah cerita-kisah orang yang memperturutkan hawa nafsunya, karenanya mereka rugi dunia dan alam baka [36] Selagi masih hidup, lebih baik berbuat bakti kepada Tuhan dan terhadap hamba-hamba-Nya. Hidup bukan sekedar mencari harta untuk pengisi peti (keranda jenazah).
Negeri akhirat tempat menunggu
Baiklah kita berbuat bakti
Sementara hidup sebelum mati
Jangan mencari harta pengisi peti [37]
Mengenai kezuhudan Syekh Abdul Wahab, H.A Fuad Said menceritakan, suatu kali Abdul Wahab berlayar menuju Siak Indra Pura, Riau. Di sini ia dan rombongan dijamu –sebagaimana akhlak Melayu- oleh Sultan Kasim Abdul Jalil Saifuddin Ba’alawi dengan tepak sirih yang yang dibuat dari emas. Ulama-Ulama lain yang berasal dari Hadhramaut dengan bahagia hati mencicipi sirih yang dihidangkan oleh Sultan. Lain halnya dengan Syekh Abdul Wahab. Ia dengan rendah hati menolak sambil menyampaikan bahwa mereka (para ulama tersebut) mungkin telah mendapatkan alasan dan dalil yang mengijinkan, namun aku belum menerimanya. Ia baru merasakan sirih tersebut setelah tepak diganti dengan tepak lazimyang terbuat dari kayu. Selanjutnya ia dengan penuh kesantunan memperlihatkan anjuran –pada dasarnya ihwal zuhud- kepada Sultan dan pengunjung lainnya. Sultan Kasim Abdul Jalil sedikitpun tidak menyangkal apa yang disampaikan, bahkan membenarkannya, cuma menurutnya ketika ini hal itu belum mampu dia kerjakan, masih sibuk dan belum ada kelapangan waktu. Syekh Abdul Wahab dengan mengutip al-Quran Surat At-Takatsur kemudian menerangkan bahwa harta yang banyak memang dapat melupakan orang dari mengingat ajal dan alam kubur. [38]
Syekh Abdul Wahab -dalam mempraktekkan kezuhudan ini- telah membuat peraturan untuk seluruh masyarakatyang tinggal menetap di Babussalam saat itu. Seluruh penduduk dilarang merokok di daerah lazim, tidak memakai tempat tidur yang yang dibuat dari besi dan tidak boleh mengutamakan kemewahan dunia sebab semua harta ini akan ditinggalkan apabila akhir hayat menjemput. Demikian pula kaum perempuan dihentikan memakai pelengkap yang menonjol dan dihentikan bertindik (menggunakan embel-embel anting-anting di telinga). Ia sendiri, makan dalam piring kayu atau upih (daun yang berasal dari pohon pinang), serta minum dalam tempurung. Para pembesar dan Sultan yang tiba mengunjunginya juga disuguhinya makanan dan minuman dalam wadah yang serupa.[39]
Dalam hal tata busana, Syekh Abdul Wahab mengingatkan untuk berpakaian sederhana, tidak menonjol , yang penting higienis dan suci serta tidak merasa tinggi hati (takabbur) dengan pakaian yang dikenakan. Karena itu jikalau berpakaian lengkap, jangan lupa untuk mengenakan pakaian jelek (jelek) bersamanya.
“Jika memakai pakaian yang lengkap, maka pakailah busana yang buruk di dalamnya, yang antaranya yang jelek itu sebelah atas.” [40]
Zuhud yang ialah sikap memalingkan diri dari dunia atau menghilangkan dunia dari dalam hati bermakna menetralisir kecintaan pada dunia dan segala perhiasannya. Cinta pada dunia (hubb ad-dunya) bergotong-royong ialah hijab yang menjauhkan seseorang dari Tuhan. Rasulullah Saw. bahkan menegaskan bahwa hubb ad-dunya yakni salah satu dari dua penyakit hati[41] yang mampu melemahkan jiwa dan semangat umat untuk berjuang di jalan Allah. Penyakit ini dilarang didiamkan apalagi bersarang terlalu usang dalam diri seseorang. Agar tidak menenteng pada kerusakan yang besar, mesti secepatnya dicari obat untuk kesembuhannya. Kesembuhan penyakit ini, berdasarkan Syekh Abdul Wahab, membutuhkan penanganan yang intensif dari seorang ‘pandai bi Allah, “thabib yang maqbul doanya” biar penyakit ini mampu teratasi dan “sembuh dengan segeranya”.
Tipu dunia terlalu besarnya
Tiadalah ingat pula kenanya
Cari thabib yang maqbul doanya
Supaya sembuh dengan segeranya [42]
Namun demikian, bagi Abdul Wahab, zuhud itu bukan berarti tidak mempunyai penghidupan di dunia. Mencari nafkah yang halal dengan usaha sendiri ialah hal yang penting dan sangat dianjurkannya. Apabila sudah memiliki harta dan kemuliaan, diingatkan untuk berbagi dengan sesama.
“Hai sekalian orang yang kaya-kaya yang mampu pangkat dan kemuliaan. Hendaklah kuat beramal dan beribadah serta banyakkan bederma dan berwakaf semoga infinit kayanya itu dari dunia sampai ke akhirat.” [43]
Anjuran mencari nafkah penghidupan ditegaskannya dengan cara yang sungguh umum dilakukan saat itu adalah bertani, berladang dan menjadi ‘amil. Bahkan bagi yang ingin menerima laba yang lebih besar beliau mengusulkan untuk berniaga (berdagang/berdagang) dengan melaksanakan syarikat (perkongsian/kerjasama) dengan orang lain.
“Jangan kamu berniaga sendiri, tetapi hendaklah bersyarikat. Dalam mencari nafkah hendaklah bertani, berladang, menjadi ‘amil dan sebagainya…” [44]
Mencari harta benda bukanlah ialah hal yang terlarang dalam agama, bahkan disarankan mirip yang dijelaskan Alquran dalam al-Qashash ayat 77.
“Carilah pada apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri alam baka, dan janganlah kamu melalaikan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi. Dan berbuat ihsan-lah sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu dan janganlah kau berbuat kerusakan di muka bumi karena bahu-membahu Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” [45].
Karena itu, mencari dan menerima kekayaan dunia tidak tidak boleh oleh Syekh Abdul Wahab. Ia tetap mengingatkan biar kekhusyu’an hati dan amal ibadah dilarang terusik cuma sebab kemewahan duniawi. Mereka yang hidup dengan harta yang berlimpah sementara amal ibadah menyusut, bekerjsama sedang mengikuti jalan syaitan dan iblis, jalan yang semestinya ditinggalkan. Dengan nada setengah bertanya dia menasehatkan, “apa faedahnya harta bertambah sementara umur menyusut dan dekat terhadap maut”.
“Janganlah kamu suka dengan hartamu yang semakin banyak sedangkan amal ibadahmu menyusut, sebab itu keinginansyaitan dan iblis. Apa faedahnya harta bertambah, umur menyusut, dekat terhadap mati.”[46]
Meskipun tidak dilarangnya orang mencari kekayaan yang banyak, tetapi Syekh Abdul Wahab mengingatkan bahwa orang yang memiliki harta kekayaan akan diminati oleh pengintai yang ingin mengambil hartanya. Akibat dari semua ini, hidup akan merasa terbelenggu dengan kekayaan dan kemewahan alasannya waktu tersita untuk menjaga dan merawatnya. Kondisi ini bergotong-royong berawal dari diri yang tidak dapat menertibkan keinginan hawa nafsu. Dingatkannya, bila tidak bersungguh-sungguh melawan dan menolak cita-cita hawa nafsu, maka bersiaplah untuk “menyesal di lalu harinya”.
Jikalau peti banyak isinya
Banyak pencuri ingin mengambilnya
Bersungguh-sangat kita melawannya
Jangan menyesal kemudian harinya [47]
Menurut Syekh Abdul Wahab, tidak gampang memalingkan diri dari kemewahan dunia apalagi bagi mereka yang tidak mengetahui apa dan bagaimana dunia itu bergotong-royong. Namun bagi mereka yang sudah mengikuti serta mengamalkan tarekat dengan benar, beribadah (suluk) dengan lurus, maka dia akan mengetahui bahaya dan kerugian dunia. Orang yang mirip ini akan tahu bahwa dunia “tidaklah boleh dibuat sahabat”.
Siapa orang andal thariqat
Serta amalkan ibadahnya kuat
Tahulah dia dunia banyak mudharat
Tidaklah boleh dibentuk sobat [48]
Zuhud yang dinyatakan oleh Syekh Abdul Wahab ini, sepertinya sejalan dengan apa yang disebutkan oleh Ibn Qudamah al-Maqdisi dalam kitab Mukhtashar Minhaj al-Qashidin. Menurutnya, zuhud adalah gambaran wacana menghindari dari mengasihi sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik darinya. Dengan kata lain, zuhud yakni menyingkir dari dunia karena tahu akan kehinaannya jikalau ketimbang kehidupan akhirat.[49]
Syekh Abdul Qadir al-Jailani, mirip yang dikutip oleh Said bin Musfir Al-Qahthani menegaskan “tidaklah hingga orang-orang yang sudah sampai (terhadap Allah) itu kecuali dengan ilmu dan kezuhudan terhadap dunia serta berpaling darinya dengan hati dan rasa.” [50]
Seseorang yang telah “mengenali rasanya”, membersihkan niat dan tujuannya dari kepentingan duniawi apapun maka akan berubahlah “segala thabi’at-nya” (kebiasaan-kebiasaan buruknya), sehingga seluruh gerak kehidupannya menjadi amal shalih dengan niat dan tujuan yang baik. 
Barangsiapa mengetahui rasanya
Niscaya berganti segala thabi’atnya
Sedikit tak mengambil akan dunianya
Ke akhirat juga banyak tuntutannya [51]
Seorang mukmin bekerjsama memiliki tujuan yang bagus di semua perilakunya. Ia bekerja di dunia bukan untuk dunia, melainkan membangun dunia untuk akhirat. Jika ia melakukan yang lain, maksudnya ialah untuk keluarga, fakir miskin dan apa yang sebaiknya dia perlukan dalam kehidupan. Dia melaksanakan semua itu agar kelak diberikan ganjaran di alam baka. Dia tidak menuntut apapun di dunia, “ke akhirat juga banyak tuntutannya”.
2. Tarekat.
Tarekat (thariqah) mempunyai hubungan yang bersahabat dengan tasawuf. Jika tasawuf merupakan usaha untuk mendekatkan kepada Allah, maka tarekat yaitu cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan kata lain, tarekat bekerjsama ialah jalan yang mesti ditempuh untuk dapat sedekat mungkin dengan Tuhan. Namun dalam perkembangannya, tarekat kemudian mengandung arti golongan atau asosiasi yang menjadi forum dan mengikat sejumlah pengikutnya dengan aneka macam peraturan. Makara, tarekat yakni tasawuf yang melembaga, dimana tiap tarekat memiliki syekh, upacara ritual dan zikir tersendiri.[52]
Tarekat pada tataran mudah, yakni suatu sistem untuk menuntun (membimbing) seorang murid secara berniat dengan jalan anggapan, perasaan dan tindakan, terkendali terus menerus kepada suatu rangkaian dari tingkatan-tingkatan (maqamat) untuk mampu mencicipi hakikat yang sesungguhnya.[53]
Memasuki dunia tarekat yang demikian penting, Syekh Abdul Wahab mengingatkan bahwa sebelum mempelajarinya, seseorang harus terlebih dulu mendalami Quran dan Hadis. Ia menyatakan “hendaklah kau bersungguh-sungguh belajar Quran dan kitab-kitab terhadap Guru-Guru yang Mursyid…”.[54] Sejalan dengan ini, Syekh Abdul Qadir Jailani menasehatkan supaya menyaksikan diri dengan persepsi yang sarat kasih dan cinta. Jadikan al-Kitab dan Sunnah di depan mata, lihatlah keduanya kemudian amalkan. Jangan menentang sehingga tidak melaksanakan apa yang dibawanya.[55] Ia menambahkan “ambillah usulan dari Quran dengan mengamalkannya, bukan dengan jalan menentangnya. Keyakinan adalah kata yang pendek, namun jikalau dijalankan beliau menjadi panjang. Berimanlah pada Alquran, percayalah dengan hati, serta amalkan dengan anggota badan.” [56] Syekh
Abdul Wahab mengingatkan biar berpengaruh-kuat berguru Alquran, hilangkan rasa malas, rajin dan tekun dalam mempelajarinya serta “melancar (mengulang kembali pelajaran sambil terus memahaminya dengan baik) itu janganlah segan”.
Wahai anak muda bangsawan
Kuat-kuat engkau mencar ilmu Quran
Melancar itu janganlah segan
Supaya menjadi Qari opsi [57]
Amal ibadah insan sebetulnya tergantung pada pemahamannya kepada pekerjaan yang sedang dilakukannya yaitu dia mesti betul-betul memahami apa yang beliau amalkan karena ilmu ialah dasar utama suatu amal. Tanpa ilmu dan pengertian yang benar, dikhawatirkan seseorang akan cenderung pada kesesatan dan hawa nafsu. Karena itu, ilmu-ilmu syariat yang lain mirip ilmu fiqh, ushul al-fiqh, bahasa Arab, nahwu dan sharf mesti tetap dipelajari. Ilmu-ilmu akan menjadi dasar berpijak serta menjadi syarat untuk memasuki dunia tarekat.
Apabila sempurna kaji Quran
Ushul dan fiqh pula dipelajarkan
Serta ibadat berhari-harian
Faqih dan Qari orang panggilkan [58]
Menurut Syekh Abdul Wahab, mempelajari Quran dan Hadis bermakna juga mempelajari syariat secara utuh, tergolong persoalan halal-haram, dosa dan fahala. Persoalan rukun, syarat dan adat dalam ibadah syariat tidaklah dapat dipisahkan untuk meraih kesempurnaan. Kelak jika semua ini mampu dikerjakan, serempak dengan perjalanan spiritual dalam tarekat, “baharulah (barulah) ikhlas amal ibadatnya”. 
Dalil dan Hadis diperbaikinya
Halal dan haram dosa fahalanya
Apabila tepat akhlak syaratnya
Baharulah ikhlas amal ibadatnya [59]
Setelah ilmu-ilmu tersebut dipelajari dengan baik, Syekh Abdul Wahab kemudian memperkenankan seseorang untuk mempelajari tarekat dan berguru “kepada khalifah yang tinggi pangkat”, guru yang mursyid, mereka yang betul-betul faham tentang perjalanan ruhani supaya “ilmu yang jauh menjadi rapat”.
Ambillah pula ilmu thariqat
Kepada khalifah yang tinggi pangkat
Ilmu yang jauh menjadi rapat
Tetapi ratib hendaklah berpengaruh [60]
Meskipun demikian, Syekh Abdul Wahab hanya menghalangi tarekat pada dua pilihan ialah tarekat Syaziliyah dan Naqsyabandiyah. Pembatasan ini sepertinya alasannya beliau sendiri telah sungguh mendalami kedua tarekat tersebut. “Apabila kamu telah baligh cerdik hendaklah mendapatkan Thariqat Syazaliyah atau Thariqat Naqsyabandiyah biar sejalan kau dengan saya”.[61]
Seseorang yang sudah mempelajari tarekat, terutama Naqsyabandiyah, harus melepaskan diri dari hawa nafsu dan ikatan-ikatan keduniawian mirip status sosial yang mampu membawa pada kebanggaan. Hawa nafsu dan ikatan duniawi adalah hijab yang harus dilepaskan agar tercapai keseimbangan dan kesempurnaan ruhani. Syekh Abdul Wahab menggambarkan status sosial dan ikatan duniawi ini dengan kata “tengkuluk” yaitu topi yang digunakan para aristokrat dalam busana adab Melayu sebab dia ialah gambaran dari kebesaran seseorang.
Disamping itu, seorang murid harus meninggalkan semua tindakan maksiat baik lahir maupun batin yang pernah dilakukannya selama ini alasannya maksiat akan menjauhkan dirinya dari Tuhan. Melepaskan diri dari maksiat bermakna berusaha terus menerus untuk mengekalkan ingat terhadap Allah.
Apabila dipakai thariqat Naqsyabandiyah
Dibuang tengkuluk digunakan kopiah
Perbuatan yang haram ditinggalkanlah
Dikekalkan ingat kepada Allah [62]
Kaum sufi tergolong Syekh Abdul Wahab, meyakini bahwa segi batiniah dari syariat Islam yaitu tarekat yang merupakan jalan menuju kebenaran hakiki (haqiqah) adalah tauhid, mengesakan Allah. Karena itu mereka mempercayai tiga hal yang mempunyai relasi antara satu dengan yang lain yakni syariat, tarekat dan hakikat. Syariat adalah sarana untuk mencapai tarekat dan tarekat merupakan fasilitas untuk mencapai hakikat. Dari sinilah akan terjadi pengenalan yang baik dan benar tentang Tuhan (ma’rifah).
Jikalau tuan memalai ilmu thariqat
Dibetul dahulu bicara i’tiqat
Serta dikenal dalil haqiqat
Baharulah tepat pula makrifat [63]
Murid yang meniti jalan tarekat di bawah panduan khalifah mumpuni, beribadah dengan tekun, akan mengenali bahwa dunia ini sarat dengan hal yang mampu menghadirkan mudharat. Karena itu, dunia “tidaklah boleh dibentuk teman”
Siapa orang andal thariqat
Serta amalkan ibadahnya besar lengan berkuasa
Tahulah ia dunia banyak mudharat
Tidaklah boleh dibuat sahabat [64]
Setelah berusaha melepaskan diri dari hawa nafsu dan keakuan diri, maka perjalanan menuju Allah (suluk) dilanjutkan dibawah tutorial guru yang mursyid. Perjalanan ini pada puncaknya akan sampai pada titik pengenalan kepada terhadap Allah (ma’rifah). Namun seperti halnya al-Ghazali, Syekh Abdul Wahab menerangkan bahwa puncak ma’rifah bukanlah bersatu dengan Tuhan (ittihad), melainkan justru mengetahui dengan kasatmata perbedaan yang jelas antara makhluk dengan Sang Khaliq.
Apabila sempurna thariqatmu tuan
Shalawat dan suluk pula kerjakan
Barulah putus makrifatmu tuan
Membezakan hamba dengannya Tuhan [65]
3. Suluk
Suluk memiliki keterkaitan yang dekat dengan tarekat. Orang yang melakukan tarekat disebut salik dan perbuatannya di sebut suluk yang berarti perjalanan seseorang menuju Allah.[66] Simuh, dengan bahasa yang sedikit panjang menerangkan bahwa kaum sufi yang sedang merasakan kerinduan kepada Tuhan lalu berupaya mencari dan mendekatiNya menyebut dirinya sebagai pengembara (salik). Mereka melangkah maju dari satu tingkat (maqam) ke tingkat yang lebih tinggi. Jalan yang mereka tempuh ini dinamakan tarekat sedangkan tujuan simpulan perjalanannya adalah mencapai penghayatan fana fi Allah adalah kesadaran leburnya diri dalam samudera kemahabesaran Ilahi. Jalan tasawuf ini sering dinamakan suluk. [67]
Suluk atau khalwat (dalam bahasa Parsi disebut cilla yang berarti empat puluh) ialah kegiatan mengasingkan diri ke sebuah daerah tertentu (rumah suluk) dari aktivitas duniawi untuk beberapa waktu di bawah pimpinan seorang mursyid semoga mampu beribadah lebih khusyu’ dan sempurna. Dalam prakteknya, suluk dapat dijalankan selama 3, 7, 10, 20 dan 40 hari. Jumlah yang terakhir ini ialah abad yang terbaik dalam pelaksanaan suluk.[68] Meskipun demikian, suluk ini tidak diwajibkan, namun dalam tarekat Naqsyabandiyah terutama di tempat Sumatera dan sebagian Jawa, hal ini sangat direkomendasikan.[69]
Mengerjakan suluk janganlah jemu
Dari kecil hingga besarmu
Pengajaran ini daripada hamba
Kepada adik dan kakak bantu-membantu [70]
Sebelum membangun Babussalam, Syekh Abdul Wahab lebih dulu membangun rumah suluk di daerah Batubara [71] (Kabupaten Asahan Sumatera Utara). Disinilah dia mengajar murid-muridnya selama sementara waktu sampai hadirnya undangan untuk ‘mengaji’ dari Sultan Musa al-Muazzamsyah, Raja Langkat di Tanjung Pura.
Mendirikan suluk di Batubara
Karena berhajat sanak saudara
Datanglah faqir dengannya secepatnya
Dari negeri Langkat si Tanjung Pura [72]
Suluk, pada hakikatnya ialah mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk (as-shifat al-madzmumat) dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (as-shifat al-mahmudah).[73] Ia merupakan perjalanan hati menuju kelurusan budbahasa dan keimanan serta pen-tahqiq-an peringkat iman kepada-Nya. Perjalanan hati ini mesti mendaki dari satu maqam ke maqam yang lain yang lebih tinggi secara terus menerus tanpa henti. Inilah perjalanan batin di atas perjalanan batin.[74] Makara, suluk merupakan perjuangan seorang hamba untuk dapat memperoleh hakikat dogma yang tidak mampu dicapai kecuali dengan membersihkan hati, yang merupakan daerah iman dan daerah evaluasi Tuhan kepada amal hambaNya. FirmanNya dalam QS an-Nahl 69:
“Maka berjalanlah diatas jalan-jalan Tuhanmu dengan patuh”.[75]
Pelaksanaan suluk akan mendatangkan banyak manfaat bagi salik antara lain menerima lezat dunia dan darul baka serta menemukan limpahan kurnia dan cahaya Nur Ilahi.[76] Suluk akan mengangkat derajat seseorang kepada tingkatan yang lebih tinggi bila menyanggupi aneka macam standar yang telah telah ditentukan antara lain niat yang tulus cuma alasannya adalah Allah dan taubat dari segala maksiat lahir dan batin. Disamping itu, suluk harus di bawah panduan seorang guru yang mursyid yang ahli ma’rifah,[77] “thabib yang arif obat” semoga tidak menyimpang dari jalan menuju Tuhan sehingga mendatangkan mudharat / kerusakan atau kehancuran.
Maka bersuluk alasannya derajat
Karena jalan mengampuni taubat
Dicarilah thabib yang cerdik obat
Supaya jangan menjadi mudharat [78]
Dalam mengerjakan suluk, diharapkan perilaku aktif seorang salik serta penolakan terhadap apa saja yang dapat menghambat aktifitas suluk. Sikap-sikap ini akan menumbuhkan semangat yang kuat sekaligus menghilangkan kemalasan dan keengganan dalam bersuluk supaya tasbih yang dipegang, tidak dilepaskan.
Jikalau tiada berpengaruh bertanya
Mana yang dapat segera hilangnya
Datanglah segan mengerjakannya
Tasbih dipegang dilepaskannya [79]
Rasa malas, segan dan letih mampu mendera seorang salik dalam perjalanan spiritualnya menuju kedekatan terhadap Allah (taqarrub). Karena itu Syekh Abdul Wahab memperlihatkan tiga resep kunci adalah, memperbanyak zikir terhadap Allah, sabar atas cobaan yang diberikan-Nya serta men-dawam-kan istighfar, memohon ampunan kepada-Nya.
Jikalau tiba segan dan letih
Dibanyakkan kenangan kepada Allah
Datang cobaan disabarkanlah
Meminta ampun barang yang salah [80]
Dalam pelaksanaan suluk, seorang murid berada di bawah bimbingan guru yang mursyid secara sarat untuk sampai kepada Allah. Mursyid akan menawarkan isyarat dan aturan yang harus dilaksanakan. Murid dihentikan menyembunyikan dari mursyid sesuatu yang dirasakannya, seperti getaran kalbu, lintasan hati, kejadian-peristiwa abnormal, maupun tersingkapnya hijab.[81] Apabila seorang murid memperoleh keajaiban dalam amalannya, hendaklah diberitahukan kepada mursyid dengan sebetulnya. Seluruh perjalanan yang dilihat dan dicicipi mesti disampaikannya terhadap mursyid secara utuh. Murid dalam hal ini, dilarang menyembunyikan sedikitpun atau sebaliknya, menambahi pandangan atau perasaannya .
Jikalau guru tiba mengajukan pertanyaan
Hendaklah dikhabarkan dengan bergotong-royong
Jangan dikurangi jangan dilebihinya
Sebanyak yang dilihat dikhabarkannya [82] 
Bagi seorang murid, mursyid merupakan wasilah untuk sampai kepada Tuhan. Ia tidak hanya sekedar membutuhkan bimbingan mursyid-nya namun lebih dari itu memerlukan campur tangan aktifnya sebagai pembimbing spiritual dan para pendahulu sang pembimbing tergolong yang paling utama, Rasulullah Saw. Silsilah ini memberikan rantai bersambung yang menghubungkan seseorang dengan Nabi dan lewat beliau sampai kepada Tuhan. Pemahaman terhadap silsilah ini dalam tarekat Naqsyabandiyah, membawa pada teknik rabithah mursyid yang bermakna menyelenggarakan kekerabatan batin dengan sang pembimbing sebagai pendahuluan zikir dalam suluk. Rabithah ini dilakukan lewat penghadiran mursyid, membayangkan hubungan yang sedang dijalin yang seringkali dalam bentuk seberkas cahaya yang memancar dari sang mursyid. [83] 
Barangsiapa banyak was-wasnya
Dihadirkan rabithah rupa gurunya
Jikalau tidak sempurna datangnya
Tiadalah manfaat menolaknya [84]
Me-rabithah adalah mendatangkan wajah (rupa/gambar) mursyid bagi seorang murid sangat direkomendasikan terutama bagi mereka yang senantiasa dihinggapi was-was (keragu-raguan yang senantiasa muncul di dalam hati) dalam perjalanan suluknya. Dalam khayalan murid, hatinya dan hati mursyid saling berhadapan. Murid mesti membayangkan bahwa hati sang mursyid bagaikan samudera karunia spiritual yang mau melimpah ke hatinya sehingga menjinjing pada pencerahan.[85] Apabila murid membiasakan fana pada mursyid yang menjadi rabithah-nya, maka beliau akan sampai pada tingkatan muqobalah ialah taraf ruhani dimana seorang salik berhadap-hadapan dengan Sang Khaliq yang wajib al-wujud. [86]
Menghadirkan rabithah itu banyak faedah
Ialah menenteng kepada limpah
Melazimkan fana kepada rabithah
Itulah membawa terhadap muqobalah [87]
Orang yang selalu menjalankan suluk akan menemukan faedah. Pertama, mempunyai pengalaman yang banyak dan pandangan yang jauh. Kedua, mempunyai pengertian yang fundamental dan akhlak yang baik. Ketiga, mempunyai jiwa yang rela dan logika yang higienis. [88]
Ayuhal ikhwan hendaklah tilik
Inilah kesudahan perjalanan suluk
Perjalanan laju tidak bertuluk
Karena Allah Tuhan yang Kholiq [89]
Akhir perjalanan suluk adalah penyaksian akan kebesaran dan kekuasaan Allah yang Maha Agung dan Sempurna yang ialah dukungan (mauhibah) dari DIA sendiri. Hati yang putih higienis dan dipenuhi dengan cahaya Ilahy akan mencicipi musyahadah ialah melihat dan melihat Allah dengan mata hari (sir) tanpa terhalang dengan apapun. Musyahadah ini dapat terjadi dalam waktu yang sebentar tetapi mampu pula berkepanjangan secara terus menerus sepanjang hayat. Inilah yang menjadi idaman dari seorang salik.
Kurnia Allah Tuhan yang baqi
Kepada hamba-Nya yang putih hati
Tafakur musyahadah tiada berhenti
Daripada hidup sampai ke mati [90]
D. Penutup
Menelusuri aliran sufistik Syekh Abdul Wahab Rokan dalam seluruh karya tulisnya, tampaknya membutuhkan waktu yang cukup panjang. Makalah ini tentu saja belum dapat menggali seluruh pemikiran sufistiknya dalam waktu terbatas, namun paling tidak ini mampu menjadi awal untuk pencarian yang lebih jauh pada era-periode mendatang.
Penelusuran yang penulis kerjakan dan lalu diuraikan dalam makalah ini tampaknya menuju pada satu kesimpulan bahwa fatwa sufistik Syekh Abdul Wahab Rokan mampu dikelompokkan dalam tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan pementingan pada faktor moralitas. Wa Allahu a’lam bi as-shawab
DAFTAR KEPUSTAKAAN;
  • Abdullah, H.W Muhd. Shaghir, Syekh Ismail al-Minangkabawi Penyiar Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, (Solo: CV. Ramadhani, 1985).
  • Al-Haddad, Syekh Abdullah b. Alwi, Diwan ad-Durr al-Manzhum Li Dzawi al-‘Uqul wa al-Fuhum, (Mesir: Mathba’ah Isa al-Babi al-Halabi wa Syarikuhu, tt).
  • Al-Kaf, Idrus Abdullah, Bisikan-Bisikan Ilahi : Pemikiran Sufistik Imam al-Haddad dalam Diwan ad-Durr al-Manzhum (Bandung : Pustaka Hidayah, 2003).
  • Al-Kurdi, Muhammad Amin, Al-Mawahib as-Sarmadiyah fi Manaqib an-Naqsyabandiyah (Kairo: ttp, tt).
  • Al-Maqdisi, Ibn Qudamah, Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, (Kairo: Mathba’ah al-Halabi Syirkahu, 1413 H).
  • Al-Qahthani, Said bin Musfir, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, (Jakarta: Darul Falah, 1425 H).
  • As. Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGraindo, 1996).
  • Berry, A.J., Pasang Surut Aliran Tasawuf, diterjemahkan oleh Bambang herawan, (Bandung: Mizan, 1993).
  • Bruinessen, Martin van, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992).
  • Clark, Walter Huston, The Psychology of Religion, (New York: McMillan, 1967).
  • Effendi, Mochtar, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Buku I Entri A-B, (Universitas Sriwijaya: PT.Widyadara, 2000).
  • Fuad, Zikmal, Sejarah dan Metode Dakwah Syekh Abdul Wahab Rokan, (Jakarta: tp, 2002).
  • Musa, Muhammad Yusuf, Falsafah al-Akhlaqi fi al-Islam, (Kairo: Muassasah al-Khaniji, 1963).
  • Muslim, Abi Al-Husain, Shahih Muslim, juz III, (Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby wa Auladih, 1377 H).
  • Muslim, Abi Al-Husain, Shahih Muslim, juz III, (Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby wa Auladih, 1377 H).
  • Muthahhari, Murtadha, Mengenal ‘Irfan: Meniti Maqam-Maqam Kearifan, diterjemahkan oleh C.Ramli Bihar Anwar, (Jakarta: IIMAN & Hikmah, 2002).
  • Nasution, Harun, Islam di Tinjau Dari Beberapa Aspeknya (Jakarta, UI Press, 1986).
  • Nur, KH. Djamaan, Tasawuf dan Tarekat Naqsyabandiyah, (Medan: USU Press, 2004).
  • Republik Indonesia, Departemen Agama Al-Quran dan Terjemahnya, (Surabaya: CV. Aisyiah, tt).
  • Said, H.A Fuad, Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah, (Jakarta: Pustaka Alhusna Baru, 2005). 
  • ——————-, Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam (Medan: Pustaka Babussalam, 2001).
  • Said, Mualim, Wawancara, (Babussalam, Langkat, Minggu, 30 April 2006)
  • Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997).
  • Smith, Muhammad b. Zein, Ghayah al-Qashd wa al-Murad (Beirut: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabi, tt.).
  • Sumatera Utara, IAIN, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, 1981).
  • ——————-, Majelis Ulama, Sejarah Ulama-Ulama Terkemuka di Sumatera Utara, (Medan: Institut Agama Islam Negeri Aljami’ah Sumatera Utara, 1983).
  • Trimingham, J. Spencer, The Sufi orders in Islam, (London: Oxford University Press, 1971).
  • Wahab, Syekh Abdul, 44 Wasiat, (tp., ttp., tt).
  • ———, Syekh Abdul, Khutbah Ular Hitam, dalam Kumpulan Khutbah Jumat, diedit oleh Khalifah H.Abdul Malik Said, (tp: Babussalam, tt).
  • ——–, Syekh Abdul, Syair Sindiran, diedit oleh Syekh Haji Tajudin (tp, Babussalam Langkat:, 1986).
  • Yahya, H.Imanuddin, Bercerita (Pesantren Islam Al-Anshar : Tanjung Pura Langkat, 1982).
  Konsep Dasar Filsafat Pendidikan
[1] Disampaikan pada Annual Conference, Grand Hotel, Lembang, Bandung, 26-30 Nopember 2006
[2] PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[3] Lihat Q.S al-Rum : 30. Juga dipertegas dengan sabda Nabi Muhammad SAW bahwa setiap insan dilahirkan dalam kondisi fitrah; orang tuanyalah yang mengarahkan menjadi Yahudi, Kristen atau Majusi. Lihat, Abi Al-Husain Muslim, Shahih Muslim, juz III, (Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby wa Auladih, 1377 H), h. 216
[4] Rudolf Otto menyatakan “… they born with an innate capacity of sensing God and can not help themselves”. Lihat, Walter Huston Clark, The Psychology of Religion, (New York: McMillan, 1967), h. 80.
[5] Satu usulan mengatakan bahwa hijab (tirai-tirai pembatas alam ghaib) itu berjumlah tujuh puluh ribu.
[6] Penyingkapan yang terjadi pada Muhammad SAW. yang menjadi panutan dan acuan siapa saja yang ingin mendekat terhadap-Nya, sudah diabadikan oleh Allah SWT “hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya…Dan bekerjsama Myhammad sudah melihat-Nya pada waktu lainnya, (adalah) di Sidrah al-Muntaha”. (QS. An-Najm : 11,13-14).
[7] Bandingkan dengan Idrus Abdullah Al-Kaf, Bisikan-Bisikan Ilahi : Pemikiran Sufistik Imam al-Haddad dalam Diwan ad-Durr al-Manzhum (Bandung : Pustaka Hidayah, 2003), h. 9.
[8] A.J. berry, Pasang Surut Aliran Tasawuf, diterjemahkan oleh Bambang herawan, (Bandung: Mizan, 1993), h. 139-143.
[9] Murtadha Muthahhari, Mengenal ‘Irfan: Meniti Maqam-Maqam Kearifan, diterjemahkan oleh C.Ramli Bihar Anwar, (Jakarta: IIMAN & Hikmah, 2002), h. 50-52. Lihat juga dalam Idrus Abdullah Al-Kaf, op.cit, h. 16.
[10] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992), h. 108.
[11] Babussalam terletak di Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, yang berjarak kira-kira 6 km dari Tanjung Pura, pusat kekuasaan Kerajaan Langkat kala dahulu dimana Sultan Abdul Aziz anak Sultan Musa, mendirikan Mesjid Azizi, salah satu mesjid yang terindah dan bersejarah di Indonesia, terutama di Sumatera Utara.
[12] H.W Muhd. Shaghir Abdullah, Syekh Ismail al-Minangkabawi Penyiar Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, (Solo: CV. Ramadhani, 1985), cet. I, h. 62. 
[13] Selain tanggal di atas, terdapat perbedaan usulan perihal tanggal kelahiran Syekh Abdul Wahab, tidak perihal tanggal wafatnya. Satu pendapat menyatakan tanggal 10 Rabiul Akhir 1246 H atau 28 September 1830 M. Riwayat lain menuliskan tanggal dan bulan yang sama dengan tahun yang berbeda ialah 1242 H bertepatan dengan 1817 H. Lihat Majelis Ulama Sumatera Utara, Sejarah Ulama-Ulama Terkemuka di Sumatera Utara, (Medan: Institut Agama Islam Negeri Aljami’ah Sumatera Utara, 1983), h.27. Sedangkan usulan ketiga menyebutkan bahwa ia dilahirkan 1234 H / 1837 M. Lihat, DR. Mochtar Effendi, SE., Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Buku I Entri A-B, (Universitas Sriwijaya: PT.Widyadara, 2000), cet. ke-9, h. 12.
[14] Selain sebagai seorang ulama yang ternama pada ketika itu, memiliki ribuan murid yang belajar padannya, Tuanku Haji Abdullah Tambusei juga diketahui sebagai seorang petani yang gemar memberi dan tawadhu’ (rendah hati). Ia sering menolong fakir miskin dan anak yatim. Tak heran jikalau ia dengan bahagia hati menanggung kehidupan sebagian kecil murid yang tinggal dan berkhidmat di rumahnya. Pada kurun simpulan hayatnya, ribuan orang melayat jenazahnya di Tanah Putih. Lihat H.A. Fuad Said, Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam (Medan: Pustaka Babussalam, 2001), cet. ke-9, h. 15-17.
[15] Mochtar Effendi, op.cit., h. 12
[16] Ibid.
[17] H.W Muhd. Shaghir Abdullah, op.cit, h. 62
[18] Syekh Abdul Wahab Rokan, 44 Wasiat, (tp., ttp., tt), h. 1.
[19] Riwayat ini penulis dapatkan dari al-Ustadz H.Imanuddin Yahya (1930-2002 M.) pada mata pelajaran “Bercerita” saban hari Kamis, di Madrasah Diniyah Pesantren Islam al-Anshar Tanjung Pura Langkat sekitar tahun 1982.
[20] Syekh Abdul Wahab, 44 Wasiat, h. 1
[21] Wawancara penulis dengan Mualim Said di kediamannya di Babussalam, Langkat, Minggu, 30 April 2006
[22] Martin van Bruinessen, op.cit., h. 108 dan 135
[23] Lihat, Zikmal Fuad, Sejarah dan Metode Dakwah Syekh Abdul Wahab Rokan, (Jakarta: tp, 2002), h. 9.
[24] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, diedit oleh Syekh Haji Tajudin (tp, Babussalam Langkat:, 1986), h. 10.
[25] Ibid., h. 7.
[26] Ibid., h. 6.
[27] Ibid., h. 1
[28] Ibid., h. 8
[29] Ibid, h. 10
[30] Syekh Abdul Wahab, 44 Wasiat, h.1
[31] Ibid. 
[32] Murtadha Muthahhari, op.cit., h. 71.
[33] Dikutip dari Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), h. 57
[34] Syekh Abdul Wahab, 44 Wasiat, h. 2.
[35] Lihat QS. An-Nisa : 77.
[36] Syekh Abdul Wahab, Khutbah Ular Hitam, dalam Kumpulan Khutbah Jumat, diedit oleh Khalifah H.Abdul Malik Said, (tp: Babussalam, tt), h. 31
[37] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h.5.
[38] Lihat H.A. Fuad Said, Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam, h. 51-52.
[39] Ibid., h. 74
[40] Syekh Abdul Wahab, 44 Wasiat, h. 2.
[41] Penyakit lainnya yakni karahiyat al-maut ialah takut akan akhir hayat.
[42] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h.2.
[43] Syekh Abdul Wahab, Khutbah Ular Hitam, h. 34.
[44] Syekh Abdul Wahab, 44 Wasiat, h. 1
[45] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Alquran dan Terjemahnya, (Surabaya: CV. Aisyiah, tt), h. 623.
[46] Syekh Abdul Wahab, 44 Wasiat, h. 4
[47] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h. 3.
[48] Ibid., h. 12.
[49] Ibn Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, (Kairo: Mathba’ah al-Halabi Syirkahu, 1413 H), h. 324.
[50] Said bin Musfir Al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, (Jakarta: Darul Falah, 1425 H), cet. ke-2, h. 490.
[51] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h.6
[52] Harun Nasution, Islam di Tinjau Dari Beberapa Aspeknya (Jakarta, UI Press, 1986), jilid 2, h. 89. Lihat juga Muhammad Yusuf Musa, Falsafah al-Akhlaqi fi al-Islam, (Kairo: Muassasah al-Khaniji, 1963), h. 252.
[53] J. Spencer Trimingham, The Sufi orders in Islam, (London: Oxford University Press, 1971), h. 3-4
[54] Syekh Abdul Wahab, 44 Wasiat, h. 1
[55] Said bin Musfir Al-Qahthani, op.cit., h. 417
[56] Ibid.
[57] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h. 12
[58] Ibid.
[59] Ibid.
[60] Ibid.
[61] Syekh Abdul Wahab, 44 Wasiat, h. 1
[62] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h. 3
[63] Ibid., h. 3
[64] Ibid., h. 12 
[65] Ibid., h. 13
[66] IAIN-SU, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, 1981), h. 269.
[67] Simuh, op.cit., h. 197.
[68] H.A Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah, (Jakarta: Pustaka Alhusna Baru, 2005), cet. Ke-6, h. 79.
[69] Martin van Bruinessen, op.cit., h. 88.
[70] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h.10
[71] Menurut sebuah riwayat, Syekh Abdul Wahab tiba ke Batubara, Asahan, sekitar tahun 1270-an H. Ia bertemu dengan Panglima Itam (ayah Panglima Itam, Bilal Yasin ialah saudaranya sebapa) yang diketahui selaku satria yang sangat sakti, kebal dan tahan api. Kekuatannya diakui secara luas di Tanah Melayu. Syekh Abdul Wahab mengajaknya untuk kembali ke jalan yang benar. Tawaran ini tentu saja ditolak oleh Panglima Itam sebab ia juga merasa mempunyai ilmu kesaktian. Dengan karomah-nya, Abdul Wahab sukses menundukkan kemenakannya ini -sesudah terjadi berkelahi kesaktian- sampai akibatnya menjadi seorang khalifah dalam tarekat Naqsyabandiyah. Lihat, H.A Fuad Said, Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam, h. 42.
[72] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h. 1
[73] Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGraindo, 1996), h. 353.
[74] Muhammad b. Zein b. Smith, Ghayah al-Qashd wa al-Murad (Beirut: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabi, tt.), juz I, h.123
[75] Depag RI , ibid, h. 412
[76] Muhammad b. Zein b. Smith, op.cit., h. 354.
[77] Syekh al-Haddad, Diwan ad-Durr al-Manzhum Li Dzawi al-‘Uqul wa al-Fuhum, (Mesir: Mathba’ah Isa al-Babi al-Halabi wa Syarikuhu, tt), h. 57 yang dikutip oleh Idrus Abdullah Al-Kaf, Bisikan-Bisikan Ilahi,  h.181
[78] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h. 2.
[79] Ibid., h. 4.
[80] Ibid., h. 4
[81] H.A Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah, h. 1
[82] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h. 4.
[83] Martin van Bruinessen, ibid., h. 82-83
[84] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h. 4.
[85] Bandingkan dengan Muhammad Amin al-Kurdi, Al-Mawahib as-Sarmadiyah fi Manaqib an-Naqsyabandiyah (Kairo: ttp, tt), h. 512
[86] Lihat dalam KH. Djamaan Nur, Tasawuf dan Tarekat Naqsyabandiyah, (Medan: USU Press, 2004), cet. Ke-3, h. 283
[87] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h.4
[88] IAIN-SU, Pengantar Ilmu Tasawuf, h. 269
[89] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h.4
[90] Ibid.