Ekonomi Indonesia | |
---|---|
Jakarta, ibukota ekonomi dan politik Indonesia.
|
|
Peringkat | 16 (nominal)/ 7 (Paritas daya beli) |
Mata duit | Rupiah (IDR) |
Tahun fiskal | Tahun kalender |
Organisasi jual beli | APEC, ASEAN, D-8, G-20, IORA, MIKTA, OPEC, RCEP, WTO |
Statistik | |
PDB | ▲ Rp 14.837,4 Triliun (2018) [1] |
Pertumbuhan PDB | ▲ 5,27% (2018) [2] |
PDB per kapita | ▲ $3.927/Rp 56 Juta (2018)[3] |
PDB per sektor | Pertanian: 13,7%, Industri: 40,3%, Jasa: 46% (perkiraan 2016)[4] |
Inflasi (IHK) | ▼ 2,57% (2019)[5] |
Penduduk di bawah garis kemiskinan |
▼ 9,66% (2018)[6] |
Koefisien gini | ▼ 0,39 (2016)[7] |
Angkatan kerja | ▲ 125,44 juta (2016)[8] |
Angkatan kerja berdasarkan sektor |
Pertanian: 38,3%, Industri: 12,8%, Layanan: 48,9% (2010 est.) |
Pengangguran | ▼ 5,61% (2016)[9] |
Industri utama | Minyak dan gas alam, tekstil, pakaian, sepatu, pertambangan, semen, pupuk kimia, kayu lapis, karet, kuliner, pariwisata |
Peringkat kemudahan melakukan bisnis | ▲ 91 [10] |
Eksternal | |
Ekspor | ▼ $144,43 miliar (2016)[11] |
Komoditas ekspor | minyak dan gas, alat listrik, kayu lapis, tekstil, karet |
Tujuan ekspor utama | (2016)[12]
|
Impor | ▼ $135,65 miliar (2016) [13] |
Komoditas impor | mesin dan peralatan, materi kimia, bahan bakar, materi masakan |
Negara asal impor utama | (2016)[13] |
Modal investasi pribadi asing | $292.8 Miliar [14] |
Utang kotor mancanegara | ▼Rp 3.466,96 (2016)[15] |
Pembiayaan publik | |
Utang publik | 27,9% dari PDB (2016)[16] |
Defisit anggaran | ▼US$ 16,8 Miliar (1,8% PDB)[17] |
Pendapatan | $119,5 miliar (perk. 2011) |
Beban | $132,9 miliar (perk. 2011) |
Peringkat utang | Standard & Poor’s:[18] BBB- (Domestic) BBB- (Foreign) BBB- (T&C Assessment) Outlook: Stable Moody’s:[19] Baa3 Outlook: Stable Fitch:[19] BBB- Outlook: Positive |
Cadangan mata duit abnormal | ▲ $116,4 miliar (2016)[20] |
Ekonomi Indonesia ialah salah satu kekuatan ekonomi meningkat utama dunia yang paling besar di Asia Tenggara dan terbesar di Asia ketiga setelah China dan India. Ekonomi negara ini menempatkan Indonesia selaku kekuatan ekonomi paling besar ke-16 dunia yang artinya Indonesia juga merupakan anggota G-20. Setelah mengalami gejolak politik dan sosial yang jago pada pertengahan 1960an di bawah Presiden Soekarno, Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soeharto secepatnya melaksanakan restrukturisasi tata kelola fiskal yang tercerai berai akhir berbagai kebijakan ekonomi yang memberatkan perimbangan neraca APBN yang ada dengan banyak sekali cara, dari mengadakan renegosiasi terkait pembayaran utang jatuh tempo sampai meminta IMF untuk mengasistensi pengelolaan fskal Indonesia yang masih ringkih. Selama 2 dekade Indonesia membangkitan kembali ekonomi, ekonomi Indonesia yang ditopang dari acara Industri dan perdagangan berbasis ekspor menggerakkan ekonomi Indonesia masuk sebagai salah satu The East Asia Miracle pada tahun 1990an, di mana Indonesia bisa menciptakan stabilitas politik, sosial dan pertahanan-keamanan yang menjadi fondasi ekonomi yang besar lengan berkuasa untuk menciptakan pembangunan dan kemajuan ekonomi yang tinggi dengan ditopang dari sektor industri manufaktur berbasis ekspor dan industri pengolahan sumber daya alam.
Alhasil, ekonomi Indonesia menjadi salah satu ekonomi yang terindustrialisasi mirip Jepang, Korea Selatan dan Thailand. Meski Indonesia sukses meraih stabilitas polsoshankam dan industri manufaktur dan pembuatan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, ternyata eksistensi infrastruktur transportasi seperti jalan tol, pelabuhan, kereta api dan bandara yang ada di Indonesia tidak bisa mengejar-ngejar pertumbuhan kebutuhan pasar yang ada dan perlahan, hal ini menimbulkan hadirnya kesenjangan ekonomi di antara Pulau Jawa dan Pulau di luar Jawa balasan minimnya pembangunan infrastruktur transportasi di luar pulau Jawa, menyebabkan terjadi maraknya urbanisasi massal warga luar Pulau Jawa yang menuju Pulau Jawa memunculkan kesimpulan bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia cuma didedikasikan untuk Pulau Jawa sendiri. Tidak cuma itu saja, pengelolaan fiskal APBN yang mulai menawarkan perimbangan neraca yang tidak sehat dan penegakan regulasi dan pengawasan acara sektor finansial yang lemah sebab minimnya kecakapan instansi untuk mengatur aktivitas sektor jasa keuangan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan bantuan tidak bergerak (non-performing loan) yang tidak terkendali, hal ini tidak lepas juga dari peran regulator finansial yang gagal untuk menegakkan peraturan untuk menunjukkan pertanggungjawaban sosial perusahaan berupa edukasi keuangan kepada rakyat.
Hal tersebut meraih titik klimaksnya ketika Krisis Moneter 1998 merebak keberbagai negara di Asia, saat jaring pengaman metode keuangan gagal menahan epidemi krisis moneter tersebut masuk ke Indonesia, maka merebaklah krisis tersebut kesemua sektor perekonomian dan menjangkiti industri keuangan Indonesia yang balasannya menjadi permulaan kejatuhan ekonomi dan segala pencapaian yang Indonesia raih yang diawali dengan terjadinya pemutusan korelasi kerja massal yang rampung dengan berbagai kerusuhan yang menuntut mundurnya Soeharto selaku Presiden Indonesia, membuat Indonesia mau tidak mau harus meminta IMF untuk mengajukan bantuan untuk melakukan normalisasi ekonomi Indonesia yang telah sakit akhir mesti menanggung ongkos yang sungguh berat akhir kegagalan jaringan metode penjagaan keuangan Indonesia saat itu untuk mendeteksi adanya kejatuhan sistem keuangan secara sistemik dan mengantisipasi terjadinya kenaikan beban yang luar biasa, hal ini tidak lepas dari ketidakmampuan rezim Soeharto yang tidak bisa menciptakan ekonomi yang berpondasi besar lengan berkuasa untuk mengantisipasi dan menghadapi ancaman ekonomi, ditambah lagi dengan kurang cakapnya pejabat dan sistem yang terkait untuk mengantisipasi adanya krisis moneter tersebut.