Inilah Wajah-Wajah Bintang yang mesti Anak Astronomi Ketahui – Ketika kita memandang langit penuh bintang, kita memperhatikan hanya beberapa fakta yang berhubungan dengan bintang-bintang, mirip variasi dalam kecemerlangan dan warna, dan beberapa pengelompokan dalam gugus dan Bima Sakti. Untuk itu, kini kita mesti menambah banyak penelisikan detail dengan teleskop, fotografi, spektroskop, dan banyak peralatan lain yang dipakai oleh astronom modern, termasuk gugusan instrument radio yang dikembangkan belakangan, kini memberi donasi sangat mengejutkan terhadap wawasan kita tentang alam semesta yang akrab maupun jauh. Bersama penelisikan ini kini muncul, secara luas dan meningkat tetapi jauh dari lengkap, suatu gambaran fakta-fakta ihwal semesta bintang, yang bagaimanapun kita mesti menjelaskannya.
Astronom Yunani Hipparchus pada periode ke 25 SM, mungkin yang pertama kali menerapkan sebuah skala kecemerlangan bintang. Yang paling cemerlang ia sebut Magnitudo Pertama (First Magnitude), untuk alasan yang sama kita menyebutnya “kelas pertama (first class)”. Kemudian beliau menunjuk bintang-bintang sungguh redup yang masih mampu dilihat oleh mata selaku Magnitudo Keenam (Sixth Magnitude), dan seterusnya dengan magnitudo-magnitudo lanjutan. Sayangnya ini merupakan skala terbalik magnitudo-rendah lebih terang dan magnitude-tinggi lebih redup, yang tentu membinggungkan. Suatau skala yang lebih baik akan menolong menggangkat kecemerlangan yang berhubungan.
Disamping itu perbedaan-perbedaan dalam kecemerlangan menurut penglihatan (memakai skala) semacam ini, yaitu memperdayakan karena perbedaan dalam jarak-jarak bintang. Kita semua menyadari bahwa semakin jauh makin redup, dan kita tidak akan dapat memperoleh gagasan sempurna ihwal kecemerlangan, kecuali kita mengukur tentang jarak-jarak bintang dan menghitung kecemerlangannya. Tapi hingga ketika ini kita bisa mengukur jarak-jarak dengan tepat cuma untuk beberapa bintang yang berdekatan. Namun, beberapa yang berdekatan ini menyediakna suatu sampel karakteristik bintang yang memiliki kegunaan dan menawarkan dasar, yang dengannya kita dapat memperkirakan jarak-jarak yang lebih besar. Hasilnya, kita kini benar-benar memiliki daftar bintang, luminositas aktual dengannya kita bisa memperkirakan lebih bersahabat, dari super raksasa puluhan ribu kali lebih terperinci dari Matahari, sampai bintang kerdil merah yang sedikit saja berpijar dan sulit terlihat sama sekali.
Warna Bintang
Perbedaan warna, kita akan menerimanya, juga sungguh berarti dalam kisah kita. Tapi mata telanjang cuma bisa melihat perbedaan-perbedaan warna yang faktual. Beberapa bintang mirip Antares, Betelgeuse, dan Aldebaran, yakni corak-corak terang merah atau oranye. Yang lain mirip Capella, ialah terperinci kuning. Beberapa adalah putih, atau biru-putih, seperti Sirius dan Rigel yang populer. Beberapa bintang teleskopik yakni berwarna hijau dengan indahnya, namun cuma satu Zubeneschamali, paling terang di gugus redup Libra, adalah hijau bagi mata telanjang, paling manis dilihat di langit tengah malam permulaan trend panas.
Namun spektroskop mengecek dan memisahkan perbedaan-perbedaan warna lebih efektif, dan ternyata telah mengantar kita pada klasisfikasi bintang secara mendasar. Setelah beberapa usaha pada pendahuluan klasifikasi spektrum yang didasarkan pada pengamatan visual, sebuah program sistematik fotografi untuk merekam spektrum bintang dimulai pada tahun 1885, mencapai puncaknya pada metode klasifikasi Havard. Mula-mula menyusun bintang-bintang ke dalam kelas-kelas yang ditunjukkan dengan abjad A hingga Q dalam urutan alfabetis. Tapi untuk beragam argumentasi yang baik, semenjak itu telah dimodifikasi dengan menetralisir beberapa huruf, memperbesar sepasang, dan menyusun kembali urutannya, dan susunan yang sekarang menjadi O,B,A,F,G, K,M,R,N, dan S. Karena ini agak susah dikenang, para astronom selaku insan biasa, membuat kalimat untuk menolong ingatan, “Oh be a fine girl, kiss me right now, sweatheart,” dengan sedikit argument kata terakhir tidak sebaiknya ”smooch (berciuman), ”smack” (pukulan), “ atau mungkin “slap (tempelengan).”
Sekarang pekerjaan yang besar sekalia mengenai pengumpulan dan penjabaran spectra mirip ini telah dilakukan. Ini dibentuk lebih mudah sebab ia mampu dilakukan secara besar-besaran. Dengan meletakkan prisma besar (namun berkekuatan rendah) di depan teleskop-kamera masing-masing menunjukkan cahaya dengan tepat dari sebuah bintang yang tersebar dalam jalur titik-titik. Ini lalu dapat difoto selaku garis bersilangan dengan menggerakkan teleskop perlahan secara berpotongan selama pencahayaan. Hasilnya adalah sebuah pelat dengan spectrum bintang dengan sedikit kerja dan kesalahan. Yang modern, lebih dari 400.000 spektrum bintang telah difoto, diklasifikasi, dan dikatalogkan.
Tentu saja spektrum ini hanya bercerita terhadap kita ihwal keadaan bintang dan permukaan kimiawinnya, tak pribadi tentang keadaan interior mereka. Sehingga mereka kurang membantu secara pribadi dari yang kita harapkan, tapi alasannya adalah mereka ialah yang terbaik yang kita punya, kita mesti melaksanakan apa yang bisa kita lakukan dengannya. Itu mungkin suatu langkah baik.
Sehingga satu hal penting yang bisa kita simpulkan dari suatu spectrum bintang yakni temperatur permukaan yang semestinya. Temperatur Mutlak khusus untuk beberapa kelas ialah: O, 30.000º; B, 20.000º, A, 11.000º; F, 8000º; ,G, 6000º; K, 4000; dan M, 3000º. Temperatur-temperatur ini pastinya bertanggung jawab atas warna-warna dari putih-biru-panas turun sampai merah-panas seperti yang kita lihat. Juga mereka bertanggung jawab atas kecemerlangan per satuan luas permukaan bintang, yang lebih panas akan lebih cemerlang, yang lebih hambar akan lebih redup. Dari sini kita mampu menyimpulkan bahwa luminositas total sebuah bintang harus bergantung pada satuan kecemerlangan demikian, dikalikan dengan luas permukaannya.
Sumber : Broms, Allan. 2010. Riwayat Alam Semesta. Yogyakarta : Penerbit Lukita.