Beri Jalan Orang Cina

Oleh: Abdurrahman Wahid

Kaprikornus orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah. Walaupun telah ganti nama, masih juga ditanyakan ‚nama asli‘nya bila mendaftarkan anak ke sekolah atau jika membuat paspor. Mungkin, alasannya memang nama yang dipakai terasa tidak pas bagi orang lain, mirip nama Nagaria. Biasanya naga menggambarkan kemarahan dan keganasan. Apakah si naga yang riang besar hati ini tertawa-tawa? Hartadinata, terasa lucu, sebab tidak klop antara kekayaan dan keanggunan jabatan, antara harta dan nata.

Ternyata bukan cuma sebab nama gres orang-orang Cina terasa tidak sreg di pendengaran orang lain. Tetapi sebab keputusan politik, untuk membedakan orang Cina dari pribumi. Memang tidak ada peraturan tertulis, melainkan dalam bentuk kesepakatan memperlakukan orang Cina tersendiri. Mengapa? Karena mereka kuat, punya kemampuan apalagi, sehingga dikhawatirkan akan meninggalkan suku-suku bangsa yang lain. Apalagi mereka terkenal dalam hal kewiraswastaan. Kombinasi kemampuan finansial yang besar lengan berkuasa, dan kemampuan lain yang juga tinggi, dikhawatirkan akan membuat mereka jauh melampaui orang lain dalam waktu singkat.

Secara terasa, ‚janji‘ meluas itu akhirnya mengambil bentuk pembatasan bagi ruang gerak orang Cina. Mau jadi serdadu? Boleh masuk AKABRI, lulus jadi perwira. Tetapi mesti siap mendapatkan kenyataan, tidak akan mampu naik pangkat lebih dari kolonel. Mau jadi dokter? Silakan, namun jangan mimpi mampu meniti karier hingga menjadi kepala rumah sakit biasa . Mau masuk dunia politik? Bagus, namun jangan menduduki jabatan kunci. Di birokrasi? Makara pejabat persoalan teknis sajalah, jangan jadi eselon satu. Apalagi jadi menteri.

Sialnya lagi, jalan buntu itu ternyata tidak membawakan alternatif yang memuaskan. Jalan terbuka satu-satunya ialah mencari duit. Dan itu sesuai pula dengan kecenderungan sosiologis mereka sejak era lampau, karena di masa kolonial pun mereka cuma boleh cari duit. Usaha berhasil, duit masuk berlimpah-limpah, kekayaan kian bertambah.

Celakanya, justru alasannya adalah itu mereka disalahkan pula: penyebab kesenjangan sosial. Akumulasi modal dan bertambahnya kekayaan ternyata tidak menenteng keberuntungan.
Cara mereka menggunakan duit dinilai selaku penyebab kecenderungan hedonistik di kelompok generasi muda kita, padahal permasalahannya sangat kompleks. Kekayaan mereka dianggap diperoleh lewat pengisapan si kecil, padahal orang Cina hanyalah satu saja dari sekian banyak faktor kemiskinan. Dengan kata lain, orang Cina dipersalahkan bagi kebanyakan hal yang dicicipi tidak benar dalam kehidupan kita.
Salah satu hukum kehidupan masyarakat adalah pentingnya kemampuan bertahan.

  Isi Tritura – Tokoh, Tujuan, Latar Belakang, Plopor

Potensi untuk survive ini dimiliki orang Cina, di manapun mereka berada dan peluangitu diwujudkan di negeri kita oleh mereka, dengan mempergunakan satu-satunya ‘jalur kolektif’ yang masih terbuka bidang ekonomi. Segala tenaga dan daya dicurahkan untuk mencari kekayaan. Perkecualiannya hanyalah sedikit orang Cina yang menjadi intelektual, akademisi, tenaga profesi, politisi dan sebagainya.

Kemampuan bertahan demikian tinggi kalau dimampatkan ke dalam suatu ‘sasaran kolektif‘ mencari kekayaan, sudah tentu sangat besar hasilnya.
Apa pula dibantu oleh kemudahan di segenap faktor produksi dan sektor perjuangan. Karenanya wajar-masuk akal saja jika mereka sukses, tidak perlu dikembalikan kepada sifat serakah, atau direferensikan terhadap rujukan akan licin dan sejenisnya. Bahwa banyak sekali orang Cina melakukan hal-hal mirip itu, namun pastinya tidak mampu dianggap selaku watak rasial atau sifat etnis dari orang Cina. Orang lain juga berbuat sama. Dengan demikian, persoalannya bukanlah bagaimana orang Cina itu bisa dibuktikan bersalah, melainkan bagaimana mereka mampu ditarik ke dalam alur biasa (mainstream) kehidupan bangsa. Bagaimana kepada mereka mampu diberikan perlakuan yang benar-benar sama di segala bidang kehidupan. Tanpa perlu ditakutkan bahwa sikap menyerupai itu akan memperkokoh‚ “posisi kolektif” mereka dalam kehidupan bangsa, karena hal-hal ibarat itu dalam jangka panjang ternyata hanyalah sesuatu yang berupa mitos belaka.

Keperkasaan orang putih ternyata mampu disaingi oleh ketangguhan orang hitam di Amerika Serikat. Orang Melayu di Singapura juga menyimpan kesanggupan sama maju dengan orang Cina, ibarat bertambah banyak terbukti ketika ini. Begitu pula bangsa-bangsa lain, baik yang menjadi minoritas maupun mayoritas. Tesis pokoknya di sini ialah: dapatkah kelebihan kekayaan orang Cina dimanfaatkan bagi perjuangan lebih memeratakan lagi tingkat pemasukan segala lapisan penduduk bangsa kita di era depan?
Jawabnya, berdasarkan penulis, ialah aktual. Orang Cina, sebagaimana orang-orang lain juga, sanggup diappeal untuk berkorban bagi kepentingan kurun depan bangsa dan negara. Tentu dengan tetap menghormati hal-hal fundamental yang mereka yakini, mirip kesucian hak-milik dari campur-tangan orang lain.

  Contoh Norma Kesopanan

Pemindahan kekayaan secara masif bukanlah barang gres bagi orang Cina, alasannya adalah mereka pun gres saja melaksanakan hal itu, dalam bentuk menyelesaikan upaya akumulasi modal yang bukan main besarnya.

Salah satu instink untuk tetap bertahan hidup bagi orang Cina yakni realisme sangat besar yang mereka miliki. Akal mereka akan mendiktekan keputusan pemindahan kekayaan secara masif terhadap mereka yang lebih lemah, dalam upaya mendukung pihak lemah itu agar juga menjadi kuat.

Tetapi itu semua mesti dikerjakan dengan menghormati kesucian hak-milik mereka, bukan dengan cara paksaan atau keroyokan.
Kalau begitu duduk perkaranya, terang jalan masuk orang Cina terhadap semua bidang kehidupan mesti dibuka, tanpa pembatasan apa pun. Kalau kini ada tiga orang Arab menjadi menteri, tanpa ada pertanyaan atau kaitan apa pun dengan asal-ajakan etnis atau rasial mereka, hal yang serupa juga harus diberlakukan bagi orang Cina terhadap semua bidang kehidupan mesti dibuka, tanpa pembatasan apa pun. Kalau prestasi para dokter orang Cina sama baiknya dengan yang lain-lain, mereka pun berhak menjadi kepala rumah sakit biasa . Begitu juga menjadi jenderal, dan demikian seterusnya.

Cerita gurau yang luas beredar menyebutkan perbedaan orang Jawa dari orang Cina. Orang Jawa, kata dongeng itu, akan senantiasa menanyakan kesehatan kita jikalau berjumpa : sampean waras? Bagi orang Jawa yang gampang masuk angin dan sebagainya, kesehatan yakni perhatian utama. Ini berbeda dengan orang Cina. Kalau berjumpa dengan orang lain, pertanyaan yang diajukan: sampean apa telah cia? alias apakah sudah makan atau belum. Mengapa? Karena mereka dulu datang kemari simpulan ancaman kelaparan di daratan Cina, negeri asal mereka.

“Keanehan“ menyerupai itu adalah karakteristik etnis, yang dihentikan mengganggu keserasiah hidup sebuah bangsa. Apalagi bagi bangsa yang intinya telah sangat heterogen, mirip bangsa kita. Kita telah mesti sanggup melihat karakteristik khusus orang Cina menyerupai juga ‚kecacatan‘ suku-suku bangsa kita lainnya. Ini mempunyai arti kita mesti mengganti cara pandang kita terhadap orang Cina. Mereka harus dipandang sebagai unit etnis. Bukan unit rasial.

  Passing Grade UI

Kalau kita mampu menerima kedatangan orang Flores, Maluku dan Irian sebagai satuan etnis – padahal mereka bukan dari stok Melayu (alasannya adalah stok mereka yaitu Astromelanesia), maka secara jujur kita harus melakukan hal yang serupa kepada stok Cina. Juga stok Arab.

Mereka bukan orang luar, melainkan kita-kita juga.

Praktis dibilang tetapi sukar dijalankan. Itulah reaksi pertama pada ajakan “menyatukan dengan orang Cina“. Akan banyak alasan dikemukakan dan argumentasi diajukan. Karena, memang, dalam diri kita sudah ada keengganan mendasar untuk mendapatkan kedatangan orang Cina selaku „orang sendiri“. Kita telah sudah biasa mau mendapatkan uang mereka tanpa merasakan kedatangan mereka. Boleh saja keengganan bahkan ketakutan menyerupai itu kita beri sofistikasi sungguh mutakhir. Tetapi, dia tetap saja merupakan keengganan dan cemas. Sesuatu yang irasional.

Justru itulah yang mesti kita perangi, kita jauhi sejauh mungkin. Mengapakah hal itu menjadi kewajiban? Karena cuma dengan perlakuan masuk akal, jujur dan fair dari kita sebagai bangsa terhadap orang Cina sajalah yang mampu mendorong timbulnya rasa berkewajiban membuatkan kekayaan dan nasib antara mereka dan pebisnis kecil kita. Ini jika kita betul-betul jujur, lain halnya jikalau tidak…

Sumber: Majalah Editor, 21 April 1990
Penulis ialah Ketua Dewan Syura PKB