BAB I
A. PENDAHULUAN
Agama Islam yakni agama yang sempurna. Islam sebagaimana dimengerti merupakan agama (al-din), dengan sistemnya yang utuh. Allah sudah menjadikan Islam sebagai ajaran hidup umat insan biar manusia juga menjadi insan yang sempurna. Manusia yang tidak hanya memiliki kekerabatan vertikal yang bagus namun juga menjadi manusia yang mempunyai korelasi horizontal yang baik pula. Bahkan manusia dibutuhkan mampu menjadi khalifatul fil ardl, yang mampu mengorganisir bumi sesuai dengan apa yang diharapkan oleh khalik-Nya. Karena itu, agama bukan cuma sekedar lambang kesalehan umat atau topik pembahasan dalam kitab suci umat beragama.
Secara konsepsional kedatangan agama semakin dituntut aktif untuk memperlihatkan cara-cara paling efektif dalam memecahkan berbagai duduk perkara yang dihadapi umat insan, baik problem-duduk perkara keagamaan itu sendiri, problem sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Tuntutan kehidupan yang makin komplek dan rumit itu, menuntut kearifan umat Islam dalam menyikapinya. Tuntutan yang demikian itu akan gampang dijawab oleh seorang muslim tatkala beliau mengerti “agamanya sendiri” secara mendalam. Bagi seorang muslim, pemahaman yang mendalam dan kaffah akan agama Islam sungguh dibutuhkan biar beliau mampu menjadi insan yang berpandangan luas, bijaksana dan dapat menyaksikan perbedaan-perbedaan yang timbul dalam menanggapi problem-permasalah dalam kehidupan dunia.
Untuk mengarah pada pengertian yang holistik itu, diketahui berbagai macam pendekatan. Atas dasar itulah berbagai pendekatan dalam mengetahui agama mampu diungkapkan, alasannya adalah lewat pendekatan tersebut kedatangan agama secara fungsional mampu dinikmati oleh penganutnya. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan yakni pendekatan teologis. Dalam makalah ini, penulis mengangkat “pendekatan teologis” dalam studi agama. Namun, cuma memfokuskan pada “pendekatan teologis dalam studi agama Islam”. Karena pendekatan teologis ialah pendekatan yang paling esensial dalam mendekati agama. Bahkan, dengan tegas Thomas Aquinas pernah berujar bahwa teologi ialah queen of science.
B. Topik Pembahasan
Pada makalah yang sederhana ini akan dibahas mengenai :
- Apakah definisi teologi?
- Bagaimana sejarah periodesasi teologi?
- Bagaimana pendekatan-pendekatan teologi?
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan penulisan makalah ini ialah :
- Mengetahui definisi teologi
- Mengetahui sejarah periodesasi teologi
- Mengetahui pendekatan-pendekatan teologi
Bab II
PEMBAHASAN
A. Definisi Teologi
Istilah teologi, dalam bahasa Yunani adalah “theologia”. Istilah yang berasal dari adonan dua kata “theos, Allah” dan “logos, nalar”. Arti dasarnya ialah sebuah catatan atau ihwal perihal para yang kuasa atau Allah. Bagi beberapa orang Yunani, syair-syair seperti karya Homer dan Hesiod disebut “theologoi”. Syair mereka yang menceritakan ihwal para yang kuasa yang dikategorikan oleh para penulis aliran Stoa (Stoic) ke dalam “teologi mistis”. Aliran anutan Stois yang diresmikan oleh Zeno (kira-kira 335-263 sM.) mempunyai persepsi “teologi natural atau rasional”, yang disebut oleh Aristoteles, dengan istilah “filsafat teologi”, istilah yang merujuk kepada filsafat teologi secara biasa atau metafisika. Dalam Islam pembahasan teologi haruslah dikembalikan kepada al-Qur’an. Dalam perspektif al-Qur’an, berteologi dipandang selaku “sumber wangsit” dalam mempergunakan nalar untuk meneropong firman Tuhan dalam rangka menjawab bermacam-macam duduk perkara simpel yang dihadapi komunitas islam.
Teologi dalam islam disebut juga ‘ilm al-tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu atau esa dan keesaan dalam pandangan islam, selaku agama monteisme, merupakan sifat yang terpenting di antara sifat-sifat Tuhan. Selanjutnya Teologi Islam disebut juga ‘ilm al-kalam’. Kalam yaitu kata-kata. Teologi Islam yang di ajarkan di Indonesia biasanya, ialah Teologi dalam bentuk Ilmu Tauhid. Ilmu Tauhid biasanya pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pertimbangan dan paham dari ajaran-pemikiran atau kalangan-kelompok lain yang ada dalam Teologi Islam.
Teologi berasal dari kata “ology” dan “theos” dan dijadikan Bahasa Indonesia maka menjadi teologi. “ology” berakar dari kata Greek yang lalu menjadi “logos” mempunyai arti “percakapan”, “pengkajian” dan “observasi”. Tujuan yang terpenting observasi yakni logos itu sendiri dari pada benda-benda yang menjadi subjeknya. Sedangkan theos dalam bahasa greek berarti “Tuhan” dan atau sesuatu yang berkenaan dengan Tuhan. Kaprikornus Teologi dalam bahasa greek adalah observasi secara rasional segala sesuatu yang berkenaan dengan ke-Tuhanan. Makara, Teologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempelajari wawasan tentang hakekat Tuhan serta eksistensi-Nya.
Oleh alasannya adalah itu berbicara perihal teologi, maka dengan sendirinya kita membahas perihal Tuhan yang dari dahulu sampai kini selalu positif untuk dibicarakan. Hal ini menunjukkan bahwa insan membutuhkan Tuhan dalam menjawab dan memaknai segala aspek kehidupannya, khususnya sekali yang bekerjasama dengan etika dan ilmu wawasan. Ketika kita memasuki kawasan agama, kita berhadapan dengan sebuah fenomena yang muncul karena penerapan nilai-nilai, akidah-iktikad dan perasaan-perasaan. Maka pendekatan teologi yakni pembahasan keberadaan Tuhan dan Tuhan-yang kuasa dalam desain nilai-nilai keTuhanan yang terkonstruksi dengan baik, sehingga pada akibatnya menjadi suatu agama atau pedoman iktikad. Harun mengharapkan terus adanya pengembangan pemikiran dari setiap intelektual dan cendikiawan.
B. Sejarah Teologi
Para filosof islam terdahulu menjadikan Tuhan, alam, dan manusia (Theo, chosmes, and antrophos) selaku alat untuk menganalisa dirinya sendiri yang tidak dimiliki pada makhluk yang lain. Sebab dengan tata cara ini para jago teologi tidak cuma membahas bagaimana bahu-membahu insan berbicara perihal Tuhan; teologi juga mengatakan lebih jauh tentang bentuk-bentuk ekspresi yang lebih baik dan lisan yang lebih buruk serta mencari definisi yang berimbang mengenai pembicaraan khusus ihwal Tuhan. Jan Hendrik Rapar mengungkapkan bahwa, “teologi merupakan salah satu cabang filsafat dan mencari hakekat, makna, dan eksistensi Tuhannya, oleh alasannya adalah itu obrolan perihal Tuhan menjadi tetap nyata setiap waktu yang tak lesu.”
Menurut Juhaya S. Praja bahwa sejarah teologi terbagi tiga abad. Berdasarkan tiga orde periodesasi sejarah perkembangan ilmu teologi ini, mencakup tiga bagian pokok : Tuhan, manusia, dan alam. Dimana ketiga bagian ini saling keterkaitan tidak mampu dipisahkan meskipun mempunyai bagian-bagian yang berbeda.
1).Periode Pertama
Pada kala ini para hebat teologi cuma menggambarkan hakekat ketiga komponen diatas (Tuhan, insan, dan alam) apa adanya.
- Tuhan
Pengenalan insan dengan Tuhan lewat banyak sekali cara, ada yang pribadi bertemu dengan Tuhannya dan ada yang melalui penggambaran batin. Maka dalam penggambaran dan pertemuan tersebut, insan mengenal Tuhannya lewat dualisme teologi: monotheisme dan polytheisme. Monotheisme ialah paham bahwa Tuhan itu satu, Polytheisme adalah paham bahwa Tuhan itu banyak.
- Manusia
Kajian ilmu ihwal manusia disebut antropologi, yang berasal dari Yunani mempunyai arti orang, sedangkan logos memiliki arti ilmu. Jadi antropologi adalah kajian membahas tentang manusia serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Oleh alasannya itu kajian ihwal hakekat manusia itu sendiri ternyata dari dulu hingga kini belum habis-habisnya untuk di diskusikan.ini menunjukan bahwa manusia yaitu salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang misterius.
- Alam
Ilmu tentang alam dikenal kosmologi yang membicarakan tentang hakekat alam semesta serta menyikap tentang ekstensinya yang tersembunyi dibalik bentuk fisiknya. Sesuatu yang berhubungan dengan eksistensi alam, asalnya, tujuannya dan bagaimana beliau terjadi dan berevolusi. Kehadiran alam semesta didunia ini menawarkan ilham bagi manusia itu sendiri ihwal hakekat kebenaran Tuhannya.
2). Periode Kedua
Pada era ini Teologi berupa mencari jawaban atas orientasi dalam kehidupan, bagaimana insan menghadapi keperluan dalam menghadapi kehidupan.
3). Periode Ketiga
Periode ini mendirikan bangunan yang dibuat dengan hati-hati dalam upaya melayani kebutuhan insan kekinian.
C. Pendekatan Teologis
Pendekatan teologis sering disebut juga sebagai perspektif timur, pendekatan teologis bermakna pendekatan kewahyuan atau pendekatan iman peneliti itu sendiri. Dimana agama tidak lain merupakan hak prerogatif Tuhan. Realitas sejati dari agama ialah sebagaimana yang dibilang oleh masing-masing agama. Pendekatan seperti ini biasanya dikerjakan dalam penelitian sebuah agama untuk kepentingan agama yang diyakini peneliti tersebut untuk memperbesar pembenaran akidah terhadap agama yang dipeluknya itu. Yang tergolong kedalam observasi teologi ini ialah observasi-penelitian yang dilakukan oleh ulama-ulama, pendeta, rahib terhadap sebuah subjek dilema dalam agama yang menjadi tanggung jawab mereka, baik disebabkan oleh adanya pertanyaan dari jamaah maupun dalam rangka penguatan dan mencari landasan yang akurat bagi suatu mazhab yang sudah ada.
Pendekatan teologis mengetahui agama secara harfiah atau pengertian yang memakai kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu iman bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap selaku yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.
Amin Abdullah dalam bukunya metodologi study islam mengatakan, bahwa teologi, sebagaimana kita pahami, tidak bisa tidak, niscaya mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap golongan sendiri, komitmen, dan pengabdian yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa selaku pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran-teologis.
Pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang yang lain selaku salah. Aliran teologi yang satu begitu percaya dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun menuduh terhadap lawannya selaku yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling meng-kafir-kafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu ajaran dan fatwa lainnya tidak terbuka obrolan atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi yaitu pemisahan dan terkotak-kotak.
Berdasarkan uraian diatas mampu dikatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan duduk perkara esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih-lebih lagi kenya¬taan demikian harus ditambahkan bahwa iman teologi, pada dasarnya memang tidak pernah bangkit sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan selalu menyertai pedoman teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas penduduk tertentu. Bercampur aduknya akidah teologi dengan historisitas institusi sosial kemasyarakatan yang menyertai dan mendukungnya memperbesar peliknya dilema yang dihadapi umat beragama.
Uraian di atas bukan memiliki arti kita tidak memerlukan pendekatan teologi dalam mengerti agama, sebab tanpa adanya pendekatan teologis, keagamaan seseorang akan gampang cair dan tidak jelas identitas dan pelambagaannya. Proses pelembagaan perilaku keagamaan lewat mazhab-mazhab sebagaimana halnya yang terdapat dalam teologi jelas dibutuhkan. Antara lain berfungsi untuk mengawetkan aliran agama dan juga berfungsi selaku pembentukan aksara pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama. Tetapi, saat tradisi agama secara sosiologis mengalami reifikasi atau pengentalan, maka mampu jadi spirit agama yang paling hanif lalu terkubur oleh simbol-simbol yang diciptakan dan dibakukan oleh para pemeluk agama itu sendiri. Pada taraf ini sangat mungkin orang kemudian tergelincir menganut dan meyakini agama yang mereka buat sendiri, bukan lagi agama yang asli, meskipun yang bersangkutan tidak menyadari.
Sikap eksklusifisme (ketertutupan) teologis dalam menatap perbedaan dan pluralitas agama sebagaimana tersebut di atas tidak saja merugikan bagi agama lain, tetapi juga merugikan diri sendiri alasannya perilaku semacam itu bahwasanya mempersempit masuknya kebenaran-kebenaran baru yang mampu menciptakan hidup ini lebih lapang dan lebih kaya dengan nuansa.
Tiga Macam Pendekatan dalam Memahami Agama
- 1). Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama, pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan, yang masing-masing mengklaim dirinya paling benar, sedangkan lainnya yaitu salah. Model pendekatan ini, oleh Muh. Natsir Mahmud, disebut sebagai pendekatan teologis-apologis. Sebab condong mengklaim diri selaku yang paling benar, dan memandang yang berada di luar dirinya selaku sesuatu yang salah, atau sekurang-kurangnyakeliru.
Menurut Amin Abdullah, teologi tidak mampu tidak, pasti mengacu pada agama tertentu. Loyalitas kepada kalangan sendiri, akad dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yaitu bahasa selaku pelaku, bukan selaku pengamat ialah ialah ciri yang melekat pada bentuk pedoman teologis.
Dari pedoman tersebut di atas, dapat dikenali bahwa pendekatan teologis normatif dalam pemahaman keagamaan yaitu pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing dari bentuk forma simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu percaya dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar, sedangkan paham lainnya ialah salah.
Penelitian terhadap agama tertentu dengan menggunakan pendekatan teologi normatif banyak didapatkan dalam karya-karya orientalis Katolik, yang condong mendiskreditkan Islam. Mc.Donal contohnya, seperti yang dikutip oleh M. Natsir Mahmud mengatakan bahwa Islam pada mulanya yakni aliran Nasrani yang diselewengkan oleh keadaan patologis (penyakit jiwa) Muhammad, Islam menurutnya yakni bagian pedoman ketimuran. Karakteristik fatwa ketimuran menurutnya, ada dua :
- Menghargai fakta dan diikuti oleh fantasi yang bebas, tetapi di segi lain terkungkung.
- Tidak menghargai keleluasaan berpikir dan keleluasaan intelektual.
Contoh tersebut hanyalah pola kecil dari sederetan persepsi subjektif Islamolog Kristen dalam menatap Islam. Pandangan mirip itu, didasarkan pada persepsi subjektivitas perihal kebenaran agama tertentu yang dianutnya.
Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologi normatif semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama dikala ini. Terlebih-lebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa dogma teologi intinya tidak pernah bangkit sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan senantiasa menyertai anutan teologis yang telah mengelompok dan mengkristal dalam suatu komunitas penduduk tertentu.
Jadi pendekatan teologis normatif dalam agama yakni melihat agama sebagai sebuah kebenaran yang mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikit pun dan nampak bersifat ideal. Dalam kaitan ini, agama tampil sungguh prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam contohnya, secara normatif niscaya benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, gotong royong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ekonomi, agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran dan saling menguntungkan.
Demikianlah agama tampil sangat ideal dan ada yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.
Ciri-Ciri Pendekatan Teologis Normatif
Sebagai sebuah bentuk pendekatan, Pendekatan teologis normatif mempunyai ciri- ciri yang malekat, adalah:
- Loyalitas kepada diri sendiri
Yang dimaksud loyalitas kepada diri sendiri yakni bahwa kebenaran keagaaman dimaknai dengan kebenaran sebagaimana diketahui oleh dirinya sendiri. Kebenaran sebagaimana diyakni oleh seseorang merupakan kebenaran yang tidak bisa lagi di ungkit-ungkit dan konsekuensinya kebenaran yang ditunjukkan orang lain dianggap kurang benar atau salah sama sekali.
- Komitmen
Pendekatan teologis normatif menciptakan orang-orang yang berkomitment tinggi terhadap iman. Seseorang yang telah meyakini kebenaran yang diyakini siap “berjuang” mempertahankan keyakinannya itu, siap berkorban, siap menghadapi tantangan dari pihak-pihak lain yang menjajal menyerang kebenaran yang sudah mereka yakini secara mutlak.
- Dedikasi
Hasil dari loyalitas dan akad yang tinggi tersebut akan menghasilkan pengabdian yang tinggi dari penganut agama sesuai dengan kebenaran yang diyakini. Dedikasi itu diwujudkan dalam bentuk ketaatan terhadap ritual keagamaan, antusiasme melakukan iman dan menyebarkannya, kerelaan untuk berkorban demi pengembangan keyakinannya dan sebagainya.
Secara umum, pendekatan teologis normatif memakai cara berpikir deduktif ialah cara berpikir yang berawal dari doktrin yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena pedoman yang berasal dari tuhan telah niscaya benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dulu melainkan dimulai dari dogma yang berikutnya diperkuat dengan dalil- dalil dan alasan.
Kelebihan dan Kekurangan
Sebagai suatu sistem, pendekatan teologis normative tentunya mempunyai keunggulan dan kelemahan, ialah:
1). Kelebihan
Kelebihan dari pendekatan teologis normatif yaitu melalui pendekatan ini seorang akan memiliki sikap mengasihi dalam beragama ialah berpegang teguh kepada agama yang diyakininya selaku yang bnar tanpa menatap dan meremehkan agama lain. Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap agama yang dianutnya
2). Kekurangan
a. Bersifat langsung
Ketika seseorang meyakini sesuatu dengan kebenaran yang mutlak dan meyakini orang lain salah, maka beliau akan menjadi pribadi yang tertutup, tidak mau menerima pendapat dan pemahaman orang lain, dan seterusnya. Dengan demikian, orang-orang yang mengerti Islam dengan pendekatan teologis normatif akan “menutup” dirinya dari kebenaran yang dibawa orang lain. Namun demikian kalau sikap ekskusif itu hanya berhubungan dengan persoalan ke-tauhidan, maka hal itu bukan lagi menjadi suatu kelemahan.
b. Dogmatis
Pengertian keyakinan yaitu pokok pemikiran yang mesti diterima sebagai hal yang bagus dan benar, tidak perlu dipertanyakan lagi, dilarang dibantah dan diragukan. Orang-orang yang memahami Islam dengan pendekatan teologis normatif cenderung menilai ajarannya sebagai aliran yang dihentikan dipertanyakan lagi kebenarannya, dilarang dikritisi dan dipertanyakan lagi.
c. Tidak mengakui kebenaran orang lain
Pendekatan teologis normatif menghasilkan orang-orang yang tidak mengakui kebenaran orang lain, karena menurut mereka yang mereka yakini yaitu benar dan yang tidak sama dengan yang mereka yakini yaitu salah.
- 2). Pendekatan Teologis–Dialogis
Pendekatan teologis–dialogis seperti yang telah diterangkan ialah mengkaji agama tertentu dengan memanfaatkan perspektif agama lain. Model pendekatan ini, banyak digunakan oleh orientalis dalam mengkaji Islam.
Seorang Islamolog Barat, Hans Kung, mirip yang disinyalir oleh Dr. M. Natsir Mahmud, dalam banyak sekali tulisannya dalam pengkajian Islam memakai pendekatan teologis-dialogis, adalah bertolak dari perspektif teologi Nasrani. Kung menghidangkan pandangan-pandangan teologi Nasrani dalam melihat eksistensi Islam, mulai dari pandangan teologis yang intern hingga pandangan yang toleran, yang saling mengakui keberadaan agama masing-masing agama.
Dalam melengkapi komentarnya, pertanyaan teologis yang diajukan Kung ialah, bahwa apakah Islam merupakan jalan keamanan ? pertanyaan ini menjadi titik tolak untuk menyaksikan apakah Islam sebuah agama yang menyelematkan penganutnya jika dilihat dari teologi Katolik. Kung mengemukakan pandangan beberapa teolog Kristen, contohnya, Origan, yang mengeluarkan pernyataan yang terkenal dengan Ekstra Gelesiam Nulla Sulus, artinya tidak ada keselamatan di luar gereja.
Selain itu, pendekatan teologis dialogis juga dipakai oleh W. Montgomery Watt. Hakikat dialog berdasarkan Watt, sebagai upaya untuk saling mengganti persepsi antar penganut agama dan saling terbuka dalam belajar satu sama lain. Dalam hal ini Watt bermaksud menghilangkan sikap merendahkan agama seseorang oleh penganut agama lainnya serta menetralisir pedoman yang bersifar apologis dari masing-masing agama.
C.W. Trell mengomentari klarifikasi Watt tersebut dalam tiga hal: (1) masing-masing penganut agama saling mengakui bahwa mereka yakni pengikut Tuhan yang beriman, (2) selaku konsekwensi dari yang pertama, perlu merevisi akidah masing-masing agama untuk mampu menenteng pada keimanan terhadap Tuhan secara damai, (3) melaksanakan kritik-kritik yang menciptakan visi baru. Watt dalam hal ini berusaha melaksanakan reinterpretasi kepada pedoman agama yang mengandung nada apologis terhadap agama lain.
- 3). Pendekatan Teologis-Konvergensi
Pendekatan teologi konvergensi” adalah merupakan sistem pendekatan kepada agama dengan melihat unsur-unsur persamaan dari masing-masing agama atau ajaran. Maksudnya dari pendekatan ini adalah ingin mempersatukan unsur-komponen esensial dalam agama-agama, sehingga tidak nampak perbedaan yang esensial. Dalam kondisi demikian, agama dan penganutnya mampu disatukan dalam satu rancangan teologi universal dan umatnya disatukan selaku satu umat beragama.
Dalam hal pendekatan teologi konvergensi ini, Wilfred Contwell Smith selaku penganut pendekatan ini menghendaki agar penganut agama-agama mampu menyatu, bukan hanya dalam dunia mudah namun juga dalam pandangan teologis. Sehubungan dengan hal tersebut, Smith mencoba membuat pertanyaan di mana letak titik temu doktrin agama-agama itu untuk meraih suatu konvergensi agama ? Dalam hal ini Smith apalagi dahulu membedakan antara faith (akidah) dengan belief (dogma). Di dalam faith agama-agama dapat disatukan, sedang dalam belief tidak mampu menyatu. Belief kadang-kadang normatif dan intoleran. Belief bersifat histotik yang mungkin secara konseptual berlawanan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dari masalah belief itulah penganut agama berlainan-beda, dan dari perbedaan itu akan menghasilkan pertentangan. Sebaliknya dalam faith umat beragama mampu menyatu. Makara orang mampu berlawanan dalam kepercayaan (belief), namun menyatu dalam faith. Sebagai acuan, dalam masyarakat Islam terdapat banyak sekali aliran teologis maupun anutan fiqih. Mereka mungkin penganut anutan al-Asy’ariyah atau Mu’tazilah atau pengikut Imam Syafi’i atau Imam Hambal. Belief mereka berbeda yang mungkin mengakibatkan sikap keagamaan yang berlainan, namun mereka tetap satu dalam faith (dogma). Demikian pula antara penganut agama, mereka berbeda dalam belief dan tanggapankeagamaan yang berlainan, tetapi hakikatnya menyatu dalam faith.
Dari ketiga sistem pendekatan teologis tersebut di atas, maka yang paling akurat dipergunakan berdasarkan evaluasi penulis yaitu pendekatan teologis konvergensi, di mana pendekatan ini telah tercakup di dalamnya nilai-nilai normatif dan dialogis. Lain halnya hanya dengan menggunakan tata cara pendekatan normatif atau dialogis saja, belum tentu terdapat unsur konvergensi di dalamnya.
Bab III
KESIMPULAN
Istilah teologi, dalam bahasa Yunani yaitu “theologia”. Istilah yang berasal dari adonan dua kata “theos, Allah” dan “logos, akal”. Arti dasarnya ialah sebuah catatan atau perihal tentang para dewa atau Allah. Teologi Islam disebut juga ‘ilm al-kalam’. Kalam ialah kata-kata. Teologi Islam yang di ajarkan di Indonesia biasanya, yakni Teologi dalam bentuk Ilmu Tauhid.
Para filosof Islam terdahulu menimbulkan Tuhan, alam, dan insan (Theo, Chosmes, and Antrophos) selaku alat untuk memeriksa dirinya sendiri yang tidak dimiliki pada makhluk yang lain. Menurut Juhaya S. Praja bahwa sejarah teologi terbagi tiga era. Berdasarkan tiga orde periodesasi sejarah perkembangan ilmu teologi ini, meliputi tiga bagian pokok : Tuhan, manusia, dan alam. Dimana ketiga unsur ini saling keterkaitan tidak mampu dipisahkan meskipun mempunyai unsur-komponen yang berbeda.
Pendekatan teologis sering disebut juga sebagai perspektif timur, pendekatan teologis bermakna pendekatan kewahyuan atau pendekatan iman peneliti itu sendiri. Tiga Macam Pendekatan dalam Memahami Agama,
- Pendekatan Teologis Normatif: Pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan, yang masing-masing mengklaim dirinya paling benar, sedangkan yang lain yaitu salah.
- Pendekatan Teologis–Dialogis: Pendekatan teologis–dialogis mirip yang sudah diterangkan adalah mengkaji agama tertentu dengan mempergunakan perspektif agama lain. Model pendekatan ini banyak dipakai oleh orientalis dalam mengkaji Islam
- Pendekatan Teologis-Konvergensi: Merupakan metode pendekatan kepada agama dengan menyaksikan unsur-unsur persamaan dari masing-masing agama atau pedoman.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Yatimim. 2006. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah
Abdullah, M. Amin. 2000. Mencari Islam Studi Islam Dengan Berbagai Pendekatan. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya
Agil, Said dan Rahim, Husni. 2002. Teologi Islam Rasional. Jakarta: Ciputat Pers
Karim, M. Nazir. 2004. Dialektika Teologi Islam. Bandung: Penerbit Nuansa
Syarif, Chumaidi. 2000. Wacana Teologi Islam Kontemporer. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya
Taufik, Akhmad dan Dimyati. 2004. Metodologi Studi Islam. Malang: Bayumedia
[1] M. Nazir Karim, Dialektika Teologi Islam, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2004), hal. 1
[2] Chumaidi Syarif, Wacana Teologi Islam Kontemporer, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2000), hal.10
[3] Amin Abdullah, Mencari Islam Studi Islam Dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2000), hal. 105
[4] Said Agil dan Husni Rahim, Teologi Islam Rasional, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 31
[5] Akhmad Taufik dan M. Dimyati, Metodologi Studi Islam, (Malang: Bayumedia, 2004), hal.14
[6] M. Yatimim Abdullah, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Amzah, 2006), hal 65