Teori Konstruksi Sosial
Membahas teori konstruksi sosial (social construction), pasti tidak bisa terlepaskan dari bangunan teoritik yang sudah dikemukakan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann. Peter L Berger merupakan sosiolog dari New School for Social Reserach, New York, Sementara Thomas Luckman yakni sosiolog dari University of Frankfurt. Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan kedua akademisi ini sebagai suatu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi wawasan.
Sebagai catatan akademik, pemikiran Berger dan Luckmann ini, terlihat cukup utuh di dalam buku mereka berjudul “the Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge”. Publikasi buku ini mendapat sambutan luar biasa dari berbagai pihak, utamanya para ilmuan sosial, alasannya dikala itu pedoman keilmuan tergolong ilmu-ilmu sosial banyak didominasi oleh kajian positivistik. Berger dan Luckmann meyakini secara substantif bahwa realitas ialah hasil ciptaan manusia inovatif melalui kekuatan konstruksi sosial kepada dunia sosial di seklilingnya, “reality is socially constructed”.
Tentu saja, teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang menyaksikan realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang merupakan insan bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Manusia dalam banyak hal memiliki keleluasaan untuk bertindak di luar batas kendali struktur dan pranata sosialnya dimana individu lewat respon-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitif nya. Dalam proses sosial, individu insan dipandang selaku pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.
Dalam penjelasan Deddy N Hidayat, bahwa ontologi paradigma konstruktivis menatap realitas selaku konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai berkaitan oleh pelaku sosial. Melihat berbagai karakteristik dan substansi ajaran dari teori konstruksi sosial nampak terang, bahwa teori ini berparadigma konstruktivis.
Pengaruh Pemikiran
Pemikiran Berger dan Luckmann tentu juga terpengaruh oleh banyak aliran ilmuan lain, baik yang eksklusif menjadi gurunya atau sekedar terpengaruh oleh pedoman pendahulunya. Jika dirunut, mampu kita identifikasi bahwa Berger terpengarub eksklusif oleh gurunya yang juga tokoh fenomologi Alfred Schutz. Schutz sendiri merupakan murid dari Edmund Husserl pendiri aliran fenomenologi di Jerman. Atas dasar itulah, ajaran Berger dikatakan terpengaruh oleh aliran fenomenologi.
Memang tidak mampu dibantah bahwa ajaran yang digagas Berger dan Luckmann ialah derivasi perspektif fenomenologi yang telah menemukan lahan subur baik di dalam bidang filsafat maupun pemikiran sosial. Aliran fenomenologi dikembangkan oleh Kant dan diteruskan oleh Hegel, Weber, Huserl, Schutz gres ke Berger dan Luckmann. Istilah sosiologi wawasan yang dilekatkan pada pedoman mereka pun sebenarnya bukan hal yang gres ada, sebelumnya rintisan ke arah sosiologi pengetahuan sudah diperkenalkan oleh Max Scheler dan Karl Manhein.
Dengan demikian mampu kita simpulkan bahwa fatwa Berger dan Luckmann terpengaruh oleh pemikiran Schutzian ihwal fenomenologi, Weberian tentang “makna-makna subyeyektif”, Durkheimian-Parsonian tentang “struktur” Marxian wacana “dialektika” serta Mead wacana “interaksi simbolik”. Dalam konteks itulah, Poloma menyimpulkan pembentukan realitas secara sosial sebagai sintesis antara strukturalisme dan interaksionisme.
Konstruksi Sosial : Pendefinisian Awal
Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) didefinisikan selaku proses sosial melalui langkah-langkah dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.
Asal ajakan kontruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme yang dimulai dari ide-pemikiran konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pemahaman konstruktif kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun bila ditelusuri, bekerjsama ide-gagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemologi dari Italia, beliau ialah cikal bakal Konstruktivisme.
Dalam ajaran filsasat, gagasan konstruktivisme sudah timbul sejak Socrates memperoleh jiwa dalam badan insan, semenjak Plato menemukan nalar budi dan id. Gagasan tersebut kian lebih faktual lagi sesudah Aristoteles mengenalkan ungkapan, gosip, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, insan ialah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah fakta. Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya ‘Cogito ergo sum’ yang memiliki arti “saya berfikir karena itu saya ada”. Kata-kata Aristoteles yang populer itu menjadi dasar yang kuat bagi kemajuan ide-ide konstruktivisme sampai saat ini. Pada tahun 1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum Sapientia’, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ‘Tuhan ialah pencipta alam semesta dan insan ialah tuan dari ciptaan’. Dia menerangkan bahwa ‘mengetahui’ memiliki arti ‘mengenali bagaimana membuat sesuatu ’ini bermakna seseorang itu gres mengetahui sesuatu jika ia menerangkan komponen-komponen apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yang mampu mengerti alam raya ini sebab cuma dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa dia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengenali sesuatu yang telah dikontruksikannya. Sejauh ini ada tiga macam Konstruktivisme ialah konstruktivisme radikal; realisme hipotesis; dan konstruktivisme biasa.
1. Konstruktivisme radikal hanya mampu mengakui apa yang dibentuk oleh asumsi kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia faktual. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan kekerabatan antara wawasan dan realita sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi sebuah realitas ontologism obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan senantiasa merupakan konstruksi dari individdu yang mengetahui dan tdak dapat ditransfer terhadap individu lain yang pasif alasannya adalah itu konstruksi mesti dilaksanakan sendiri olehnya kepada pengetahuan itu, sedangkan lingkungan yakni anjuran terjadinya konstruksi itu.
2. Realisme hipotesis, wawasan ialah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada wawasan yang hakiki.
3. Konstruktivisme lazimmengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan mengerti wawasan selaku citra dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran yang dibuat dari realitas objektif dalam dirinya sendiri.
Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana konstruktivisme dilihat selaku suatu kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi kekerabatan sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di dekitarnya. Individu lalu membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang sudah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut dengan konstruksi sosial.
Asumsi Dasar Teori
Jika kita telaah terdapat beberapa perkiraan dasar dari Teori Konstruksi Sosial Berger dan Luckmann. Adapun perkiraan-asumsinya tersebut adalah:
- Realitas ialah hasil ciptaan manusia inovatif melalui kekuataan konstruksi sosial kepada dunai sosial di sekelilingnya
- Hubungan antara ajaran manusia dan konteks sosial tempat pedoman itu muncul, bersifat meningkat dan dilembagakan
- Kehidupan penduduk itu dikonstruksi secara terus menerus
- Membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan selaku mutu yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui selaku memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada keinginankita sendiri. Sementara wawasan didefinisikan selaku kepastian bahwa realitas-realitas itu faktual (real) dan mempunyai karakteristik yang spesifik.
Entry Concept
Berger dan Luckman menyampaikan institusi penduduk tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi insan. Meskipun penduduk dan institusi sosial terlihat positif secara obyektif, tetapi pada kenyataan seluruhnya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi lewat penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang mempunyai definisi subyektif yang serupa. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, ialah persepsi hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengontrol bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya.
Proses konstruksinya, jikalau dilihat dari perspektif teori Berger & Luckman berjalan lewat interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry concept, ialah subjective reality, symbolic reality dan objective reality. Selain itu juga berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi.
- Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan iman ) serta kegiatan rutin tindakan dan tingkah laris yang telah mapan berkala, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara biasa sebagai fakta.
- Symblolic reality, merupakan semua verbal simbolik dari apa yang dihayati selaku “objective reality” misalnya teks produk industri media, seperti informasi di media cetak atau elektronik, begitu pun yang ada di film-film.
- Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi lewat proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpeluang melaksanakan objectivikasi, menimbulkan sebuah konstruksi objektive reality yang gres.
Melalui sentuhan Hegel yaitu tesis-antitesis-sintesis, Berger menemukan rancangan untuk menghubungkan antara yang subjektif dan objektif melalui desain dialektika, yang dikenal dengan eksternalisasi-objektivasi-internalisasi.
1. Eksternalisasi ialah adaptasi diri dengan dunia sosio-kultural selaku produk manusia. “Society is a human product”.
2. Objektivasi yaitu interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”.
3. Internalisasi yakni individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-forum sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man is a social product” .
Jika teori-teori sosial tidak menilai penting atau tidak mengamati hubungan timbal balik (interplay) atau dialektika antara ketiga momen ini mengakibatkan adanya kemandegan teoritis. Dialektika berjalan simultan, artinya ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seolah-olah hal itu berada di luar (objektif) dan kemudian ada proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga sesuatu yang berada di luar tersebut seakan-akan berada dalam diri atau kenyataan subyektif.
- Konstrusi sosialnya mengandung dimensi objektif dan subyektif. Ada dua hal yang menonjol menyaksikan realitas tugas media dalam dimensi objektif yakni pelembagaan dan legitimasi.
- Pelembagaan dalam perspektif Berger terjadi mulanya ketika semua acara insan mengalami proses adaptasi (habitualisasi). Artinya tiap langkah-langkah yang sering diulangi pada alhasil akan menjadi suatu teladan yang kemudian bisa direproduksi, dan dimengerti oleh pelakunya selaku contoh yang dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi kalau sebuah tipikasi yang timbal-balik dari langkah-langkah-langkah-langkah yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Dengan kata lain, tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu lembaga.
- Sementara legitimasi menciptakan makna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yang telah diberikan terhadap proses-proses kelembagaan yang berbeda. Fungsi legitimasi adalah untuk menciptakan obyektivasi yang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara obyektif dan masuk logika secara subyektif. Hal ini mengacu terhadap dua tingkat, pertama keseluruhan tatanan kelembagaan mesti mampu diketahui secara berbarengan oleh para pesertanya dalam proses-proses kelembagaan yang berlainan. Kedua keseluruhan individu (tergolong di dalam media ), yang secara berturut-turut lewat banyak sekali tatanan dalam tatanan kelembagaan mesti diberi makna subyektif. Masalah legitimasi tidak perlu dalam tahap pelembagaan yang pertama, dimana forum itu sekedar fakta yang tidak membutuhkan santunan lebih lanjut . Tapi menjadi tak terelakan apabila banyak sekali obyektivasi tatanan kelembagaan akan dialihkan terhadap generasi baru. Di sini legitimasi tidak hanya sekedar soal “nilai-nilai” beliau juga senantiasa mengimplikasikan “wawasan”
Kalau pelembagaan dan legitimasi merupakan dimensi obyektif dari realitas, maka internalisasi merupakan dimensi subyektinya. Analisis Berger menyatakan, bahwa individu dilahirkan dengan suatu pradisposisi ke arah sosialitas dan dia menjadi anggota masyarakat. Titik permulaan dari proses ini adalah internalisasi, yakni suatu pemahaman atau penafsiran yang eksklusif dari insiden objektif selaku suatu pengungkapan makna. Kesadaran diri individu selama internalisasi menandai berlangsungnya proses sosialisasi.
Gagasan konstuksi sosial sudah dikoreksi oleh pemikiran dekonstruksi yang melaksanakan interpretasi kepada teks, wacana, (1978) yang terkenal dengan pemikiran -ide deconstruction. Gagasan ini kemudian melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) dan metode penafsiran ( interpretation) atas realitas sosial. Dalam dekonstruksi, kepentingan tertentu senantiasa mengarahkan kepada pemilihan tata cara penafsiran.Derrida (1978) lalu menjelaskan,bahwa interpretasi yang dipakai individu terhadap analisis sosial yang bersifat sewenang-wenang..
Gagasan-gagasan Derrida itu sejalan dengan ide Habermas (1972) bahwa terdapat korelasi strategis antara wawasan insan (baik empirik-analiti, historis hermeneutik, maupun kritis) dengan kepentingan (tekhnis,mudah, atau yang bersifat emansifatoris) walautidak mampu disanggah bahwa yang terjadi juga bisa sebaliknya bahwa wawasan yaitu produk kepentingan.
Menurut Berger dan Luckmann pengetahuan yang dimaksud adalah realitas sosial penduduk ,mirip konsep,kesadaran umum, tentang publik, selaku hasil dari konstruksi sosial, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objectivasi, dan internalisasi. Menurut Berger dan Luckmann, konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, tetapi penuhdengan kepentingan-kepentingan.
Jika konstruksi sosial yaitu rancangan, kesadaran lazim dan wacana publik, maka menurut Gramsci, negara melalui alat pemaksa, mirip birokrasi, manajemen, maupun militer ataupun melalui supremasi terhadap masyarakat dengan mendominasi kepemimpinan sopan santun dan intelektual secara kontektual. Kondisi dominasi ini lalu menjelma hegemoni kesadaran individu pada setiap warga masyarakat sehingga ihwal yang diciptakan oleh negara mampu diterima oleh masyarakat sebagai balasan dari hegemoni itu.
Sebagaimana dijelaskan oleh Nugroho bahwa menurut Marcuse (1964), realitas penerimaaan wacana yang diciptakan oleh negara itu disebut ”Desublimasi represif”. Orang merasa puas dengan wacana yang diciptakan oleh negara walaupun implikasinya dari wacana itu menindas intelektual dan kultural masyarakat.
Gejala mirip di atas tidak lain selaku produk dari keberadaan rezim pemaknaan (regime of significance) yang cenderung melaksanakan dominasi dan hegemoni makna atas banyak sekali peristiwa, wawasan, kesadaran, dan ihwal.rezim dimaksud ialah sekelompok orang yang mempunyai kekuasaan formal sebagai representasi dari penguasa negara. Gagasan-gagasan Berger dan Luckman ihwal konstruksi sosial, bersebrangan dengan pemikiran Derrida ataupun Habermas dan Gramsci.Dengan demikian, ide-ide membentuk dua kutup dalam satu garis linier atau garis vertikal. Kajian-kajian mengenai realitas sosial dapat dilihat dengan cara pandang Derrida dan Habermas, ialah dekonstruksi sosial atau Berger dan Luckmann, yaitu menekankan pada konstruksi sosial. Kajian dekonstruksi menempatkan konstruksi sosial selaku objek yang didekonstruksi, sedangkan kajian konstruksi sosial memakai dekonstruksi selaku bab analisisnya ihwal bagaimana individu memaknakan konstruksi sosial tersebut. Dengan demikian, maka dekonstruksi dan konstrukksi sosial merupakan dua konsep gagasan yang senantiasa hadir dalam satu ihwal perbincangan tentang realitas sosial.
Tahap objektivasi produk sosial terjadi dalam dunia intersubyektif penduduk yang dilembagakan. Pada tahap ini sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger dan Luckman menyampaikan, memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan insan yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai komponen dari dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melebihi batas tatap tampang dimana merka mampu dimengerti secara eksklusif.
Dengan demikian individu melakukan objektivitas terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini kondisi ini berlangsung tanpa mesti mereka saling bertemu. Artinya, objectivasi itu mampu terjadi tanpa lewat penyebaran opini sebuah produk sosial yang bekembang di masyarkat lewat diskursus opini penduduk ihwal produk sosial, tanpa harus terjadi tatap paras antara individ dan pencipta produk sosial itu.
Hal paling penting dalam objectivasi yaitu pengerjaan signifikansi, ialah pembuatan gejala oleh insan. Berger dan luckmann mengatakan bahwa, sebuah tanda (sign) mampu dibedakan dari objectivasi-objectivasi lainnya, karena tujuannnya yang ekplisit untuk dipakai sebagai instruksi atau indek bagi pemaknaan subjectif,maka objectivasi juga dapat digunakan selaku tanda, walaupun semula tidak dibentuk untuk maksud itu.
Sebuah kawasan penandaan (signifikasi) menjembatani daerah-kawasan realita, dapat didefinisikan selaku suatu simbol dan modus linguistik, dengan apa trensedensi seperti itu diraih,dapat juga dinamakan bahasa simbol. Kemudian pada tingkat simbolisme, signifikasi linguistik, terlepas secara optimal dari ”disini dan sekarang” dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa memegang peranan penting dalam objectivasi kepada tanda-tanda,dan bahkan tidak saja dapat memasuki kawasan de facto, melainkan juga a priory yang menurut kenyataan lain,tidak mampu dimasuki dalam pengalaman sehari-hari,bagaikan kehadiran kawanan raksasa dari dunia lain. Agama, Filsafat, Kesenian, dan ilmu pengetahuan, secara historis merupakan sistem-sistem simbol terpenting seperti ini.
Bahasa merupakan alat simbolis untuk melakukan signifikasi, yang mana logika disertakan secara mendasar kepada dunia sosial yang di objectivasi. Bangunan legitimasi disusun diatas bahasa dan menggunakan bahasa sebagai instrumen utama. ”Logika” yang dengan cara itu, diberikan kepada tatanan kelembagaan ,ialah bab dari cadangan wawasan masyarakat( Social stock of knowledge) dan diterima sebagai sudah sewajarnya.
Bahasa oleh Berger dan Luckmann menjadi daerah penyimpanan kumpulan besar endapan-endapan kolektif,yang bisa diperoleh secara monotetik, artinya, selaku keseluruhan yang kohesif dan tanpa merekonstruksikan lagi proses pembentukannya semula. Bahasa digunakan untuk memberi signifikasi pada makna-makna yang dimengerti sebagai pengetahuan yang relevan dengan masyarakatnya, wawasan itu dianggap relevan bagi semua orang dan sebagian lagi cuma relevan bagi tipe-tipe orang tertentu saja.
Dalam kehidupan sehari-hari pengetahuan seseorang menuntun tindakan yang spesifik menjadi tipikasi dari beberapa anggota masyarakat.Tipikasi itu kemudian menjadi dasar membedakan orang di dalam masyaraktnya. Agar bentuk-bentuk tindakan mampu ditipikasi, maka bentuk-bentuk langkah-langkah itu harus memiliki arti yang objektif yang pada gilirannya membutuhkan sebuah objectivasi linguistik. Objectivasi linguistik yang dimaksud, harus ada kosakata yang mengacu terhadap bentuk-bentuk tindakan itu. Objectivasi linguistik terjadi dalam dua hal, ialah dimulai dari bantuan tanda mulut yang sederhana hingga pada pemasukannya ke dalam simbol-simbol yang kompleks. Dalam konteks ini selalu hadir dalam pengalaman dan pada sebuah dikala akan hingga terhadap sebuah representasi yang oleh Berger dan Luckmann dibilang selaku par exellence.