Analisis Adab Pejabat Birokrasi Indonesia

BAB III MAKALAH
Analisis Etika Pejabat Birokrasi Indonesia

Berbicara tentang Etika Birokrasi bantu-membantu kita berbicara wacana nilai-nilai yang mendasari tindakan Birokrasi atau alat-alat Negara dalam melaksanakan peran-tugasnya. Secara akademis akhlak birokrasi termasuk budbahasa sosial bersama dengan adat-adab lainnya mirip akhlak profesi, budbahasa politik, etika lingkungan hidup, kritik ideologi, dan perilaku kepada sesame. Penerapan adab adminitrasi dalam prakteknya khususnya dalam manajemen pemerintahan juga meiliki banyak aspek-faktor yang harus dilaksanakan dengan sebaik- baiknya sejalan dengan asas-asas Birokrasi untuk meraih Pemerintahan yang bagus, , dengan merealisasikan peinsip demokratis, keadilan social dan pemerataan serta mewujudkan kesejahteraan biasa .

A. Penerapan Konsep Etika Administrasi dalam Pejabat Pemegang Birokrasi
Tugas dari suatu Birokrasi salah satunya mesti sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 wacana Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 perihal Pokok-pokok Kepegawaian, peran Pegawai Negeri, yakni menawarkan pelayanan terhadap masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata, mengadakan tugas negara, mengadakan tugas pemerintahan, dan mengadakan peran pembangunan. Dalam undang-undang tersebut juga ditegaskan bahwa pegawai negeri harus bebas dari dampak kelompok dan partai politik.

Etika Birokrasi telah termuat dalam peraturan Kepegawaian yang mengendalikan para pegawanegeri Birokrasi (Pegawai negeri) itu sendiri, yang mana kita tahu bahwa Birokrasi merupakan sebuah organisasi penyelenggara pemerintahan yang terorganisir dari pusat hingga kedaerah dan mempunyai jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki. Makara Etika Birokrasi sangat terkait dengan tingkah laku para pegawapemerintah birokrasi itu sendiri dalam melakukan tugas dan fungsinya. Aparat Birokrasi secara kongkrit di negara kita ialah Pegawai Negeri baik itu Sipil maupun Militer, yang secara Organisatoris dan hirarkis melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing sesuai hukum yang telah diputuskan.

Etika Birokrasi ialah bab dari hukum main dalam organisasi Birokrasi atau Pegawai Negeri yang secara structural telah dikelola aturan mainnya, dimana kita kenal selaku Kode Etik Pegawai Negeri, yang sudah dikelola melalui Undang-undang Kepegawaian. Kode Etik yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia ( Sapta Prasetya KORPRI) dan dikalangan TNI (Tentara Nasional Indonesia) disebut Sapta Marga. Menanamkan Kode Etik tersebut adalah demi terciptanya Aparat Birokrasi lebih jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berdisiplin, dan lebih rajin serta yang terpenting lebih memiliki sopan santun yang baik terhindar dari perbuatan tercela seperti korupsi, kongkalikong, nepotisme dan lain-lain. Agar tercipta Aparat Birokrasi yang lebih beretika sesuai cita-cita di atas, maka perlu perjuangan dan latihan ke arah itu serta penegakkan ragu-ragu yang tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar instruksi Etik atau aturan yang sudah ditetapkan.

Perilaku birokrasi terbentuk dari interaksi antara dua variabel, yaitu karakteristik birokrasi dan karakteristik manusia, atau lebih spesifi lagi, struktur dan pemeran. Antara karakteristik itu dengan sikap terdapat kekerabatan yang sedikit banyak bersifat kausal. Misalnya pada variabel organisasi, hierarki mengakibatkan sifat taat bawahan kepada atasan. Pada variabel manusia, kepentingan atau keperluan hidup menuntut imbalan yang mencukupi dari organisasi. Perilaku birokrasi jauh berlawanan jika diketahui dalam korelasi pemerintahan. Hubungan birokratik tidak sama dengan korelasi pemerintahan.

Ketika Birokrasi Pemerintahan bertindak keluar, terjadilah kekerabatan birokratik pemerintahan, namun korelasi ini tidak identik dan tidak analog dengan hubungan birokratik. Dalam banyak hal, yang diperintah dan insan bukanlah bawahan pemerintah. Bahkan pada saat rakyat berfungsi sebagai pemegang kedaulatan, pemerintah berada di bawahnya. Jika dilihat keadaan Indonesia pada ketika ini, lewat fakta-fakta yang ada, dikala ini masih banyak instansi-instansi pemerintah yang belum bisa menerapkan prinsip etika manajemen yang baik, sekali lagi hal ini tertumpu pada kemauan individu-individu yang berkerja dalam instansi tersebut untuk mampu merubah kebiasaan yang jelek dan mengantinya dengan penerapan etika administrasi yang bagus

  Aspek Hukum Recam Medic
B. Asas-asas Birokrasi dalam Good Governance
Terkait dengan Asas-asas Birokrasi dalam Good Governance atau Pemerintah yang bagus mempunyai pemahaman yang berbeda-beda di setiap negara, yang artinya bahwa prinsip-prinsip ini tidak bersifat global. Di negara Indonesia, sebagian besar rakyat Indonesia sepakat bahwa pada masa pemerintahan Soekarno berhasil menaruh dasar Nasionalisme bagi bangsa Indonesia namun gagal dalam merumuskan program-acara pembangunan yang berkhasiat bagi masyarakat. Pada abad orde gres rakyat mengalami kesejahteraan dengan dilaksanakannya pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional, namun dalam kenyataannya bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi belum dicicipi merata oleh penduduk dan stabilitas telah memasung demokrasi/partisipasi rakyat, banyak pelanggaran hak asasi manusia dan menutup akses keterbukaan. Namun terlepass dari pendapat diatas, asas-asas pemerintahan yang baik. Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik berdasarkan Wahyudi Kumorotomo dalam buku “Etika Administrasi Negara” yaitu:
i. Prinsip Demokrasi
Prinsip demokrasi inni sama mirip berasas kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan bermakna bahwa rakyat mempunyai kekuassaan tertinggi dalam pemerintahan negara, rakyta pula yang memilih jalannya suatu negara dan pemerintahan. Di dalam tata cara pemerintahan yang berasas kedaulatan rakyat, maka kepentingan rakyatlah yang diutamakan alasannya kepentingan rakyat. Dasar dari rancangan demokrasi menyangkut evaluasi perihal nilai insan, martabat manusia, dan kesamaan di hadapan hukum. Demokrasi mendambakan terciptanya sebuah metode kemasyarakatan yang setiap warga negaranya mempunyai kedudukan yang serupa dan adil. Oleh alasannya itu dalam pemerintahan dengan prinsip demokrasi, hendaknya setiap acara birokrasi pemerintahan dalam merealisasikan kepentingan rakyat berjiwa demokrasi, dapat dipertanggungjawabkan, dan efisien. 
ii. Keadilan sosial dan pemerataan
Keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan tercapai apabila tidak terjadi ketimpangan distribusi hasil-hasil pembangunan antarkelompok penduduk kaya dengan miskin dan antardaerah/kawasan geografis antara perkotaan dengan pedesaan. Oleh alasannya itu pegawanegeri birokrasi agar membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menyeimbangkan keperluan masyarakat miskin dan penduduk pedesaan dengan kebutuhan penduduk kaya dan masyarakat perkotaan. 
iii. Mengusahakan kesejahteraan biasa
Setiap pegawanegeri birokrasi pemerintah semoga memiliki akad yang ikhlas untuk mengamati kesejahteraan kepada rakyat. 
iv. Mewujudkan negara hukum
Indonesia pada daasranya merupakan negara aturan. Maksud dari perwujudan negara aturan ialah aparatur pemerintah bersama dengan seluruh rakyat akan merealisasikan sebuah pemerintahan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kaprikornus aparat pemerintah dalam melaksanakan peran pemerintahan harus berdasarkan ketentuan perundang-ajakan. 
v. Dinamika dan efisiensi
Dinamika hendaknya diartikan selaku kemampuan menyesuaikan diri dengan globalisasi sebuah organisasi. Maksud dari globalisasi ini adalah pembiasaan organisasi yang baik sehingga beliau sanggup mengantisipasi pergeseran-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan dapat menelorkan kebijakan-kebijakan yang sempurna. Dinamika dalam melakukan tugas-tugas negara ialah prasyarat untuk mampu menciptakan birokrasi pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi penduduk yang meningkat . Di samping itu efisiensi sama diharapkan. Efisiensi dalam hal ini diartikan yaitu tetap memprioritaskan kepuasan dan kelangsungan layanan kepada publik, namun tetap memperhitungkan pemakaian tenaga kerja, mekanisme layanan, dan biaya yang dikeluarkan.
Selain itu, asas-asas umum pemerintahan yang baik tercantum juga dalam UU No. 28 / 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, ialah:
1. Asas Kepastian Hukum, 
Adalah asas dalam negara aturan yang mengutamakan landasan peraturan perundang-permintaan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara,
Adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keharmonisan, dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara.
3. Asas Kepentingan Umum, 
Adalah asas yang mendahulukan kemakmuran lazim dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Asas Keterbukaan, 
Adalah asas yang membuka diri terhadap hak penduduk untuk memperoleh isu yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif wacana penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan bantuan atas hak asasi langsung, dan belakang layar negara.
5. Asas Proporsionalitas,
Adalah asas yang memprioritaskan keseimbangan antara hak dan keharusan Penyelenggara Negara.
6. Asas Profesionalitas, 
Adalah asas yang memprioritaskan keahlian yang berlandaskan isyarat etik dan ketentuan peraturan perundang-usul yang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas, 
Adalah asas yang menentukan bahwa setiap acara dan hasil simpulan dari acara Penyelenggara Negara harus mampu dipertanggungjawabkan kepada penduduk atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-ajakan yang berlaku.
Adapun aksesori dua asas yang tercantum dalam UU No. 32 / 2004 wacana Pemerintahan Daerah, ketujuh asas diatas ditambah lagi dengan 2 asas ialah Asas Efektivitas dan Asas Efisiensi.
C. Implementasi Etika dalam Birokrasi 
Ada beberapa argumentasi mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, salah satunya yaitu alasannya adalah duduk perkara-dilema yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan makin kompleks. Dalam memecahkan dilema yang meningkat , birokrasi sering kali tidak dihadapkan pada pilihan – pilihan yang terperinci mirip baik dan buruk. Para pejabat birokrasi kadang-kadang tidak dihadapkan pada pilihan yang merepotkan, antara baik dan baik, yang masing – masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain. Pengembangan budbahasa birokrasi mungkin bisa fungsional khususnya dalam memberi “ policy guidance” terhadap para pejabat birokrat untuk memecahkan dilema-persoalan yang dihadapinya.

Alasan lainnya yaitu kesuksesan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan pergeseran dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kesanggupan birokrasi untuk melaksanakan adjustments agar tetap tanggap kepada perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa melaksanakan penyesuaian itu menuntut discretionary power yang besar. Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dikerjakan dengan baik kalau birokrasi mempunyai kesadaran dan pengertian yang tinggi tentang besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya.

Dari argumentasi-alasan yang telah diuraikan, telah jelas bahwa budpekerti Birokrasi sangat diperlukan pada ketika ini mengingat di Negara kita penduduk bergantung pula pada Birokrasi tersebut. Para Birokrat juga memerlukan pergeseran perilaku perilaku semoga dapat dikatakan lebih beretika di dalam melakukan tugasnya. Namun dengan argumentasi perekonomian Pegawai negeri yang minim, atau lebih tepatnya pengawasan yang tidak ketat didalam sebuah birokrasi menjadi salah satu penyebab penyimpangan akhlak.  Salah satunya seperti bentuk korupsi, kolusi, maupun nepotisme atau yang sering kita sebut dengan KKN.

Ketiganya ialah langkah-langkah yang menyimpang hukum dan biasanya pada perkara-perkara ini terdapat banyak penyimpangan serta penyelewengan pada law enforcement, hal ini sangat besar kemungkinan pada etika adaministrasi negara dalam revitalisasi administrasi pemerintahan dalam rangka upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia yang tidak sesuai dengan good governance. Pada kenyataan nya Law enforcement dalam manajemen pemerintahan di Indonesia sungguh diabaikan sehingga akan sangat menjadi bahaya bagi manajemen pemerintahan dalam upaya menata ulang administrasi pemerintahan yang sehat dan dapat meminimalisir terjadinya birokatologi dan mal manajemen. Yang mana bahu-membahu semua penyelewengan akan gampang diminimalkan, jikalau prinsip good governance ini dipegang oleh masing-masing birokrasi yang ada.

C.1 Korupsi: Salah Satu Bentuk Kegagalan Etika
Korupsi mampu diartikan sebagai bentuk tindakan memakai barang publik, bisa berupa duit dan jasa, untuk kepentingan memperkaya diri, dan bukan untuk kepentingan publik. Dilihat proses terjadinya perilaku korupsi ini mampu dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu Graft, Bribery, dan nepotism.

  Mengerti Dongeng Dan Mengelolah Inspirasi (Pengenalan Film Bagian 3)
Graft, ialah korupsi yang bersifat internal. Artinya korupsi yang dikerjakan tanpa menyaksikan pihak ketiga. Seperti memakai atau atau mengambil barang kantor, uang kantor, jabatan kantor untk kepentingan diri sendiri. Korupsi ini terjadi karena mereka mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor tersebut. Dengan wewenangnya, para bawahan tidak mampu menolak usul atasannya. Menolak atau menangkal permintaan atasannya dianggap selaku tindakan yang tidak loyal terhadap atasan.

Bahkan sering terjadi, sebelum atasan minta, bawahan sudah menyiapkan segala sesuatu yang diharapkan oleh atasan. Misalnya ada seorang pejabat (di tempat) punya hajat mantu, maka segala sesuatu yang diharapkan untuk hajat tersebut sudah dicukupi oleh anak buahnya, dan panitia yang dibentukpun sesuai dengan bidang kewenangan masing-masing anak buahnya. Pejabat tersebut sudah tahu “beres” segala sesuatu yang diperlukan untuk kepentingan hajat mantu tersebut. Contoh di atas, ialah wujud dari tindakan korupsi berupa “grafrt”.

Sementara bribery (penyogokan, penyuapan), merupakan tindakan korupsi yang melibatkan orang lain diluar dirinya (instansinya). Karenanya korupsi ini sering disebut dengan korupsi yang bersifat eksternal. Artinya tindakan korupsi tadi tidak akan terjadi jikalau tidak ada orang lain, yang melakukan tindakan penyuapan, penyogokan terhadap dirinya. Tindakan sumbangan sesuatu (prnyogokan, penyuapan, pelicin), dimaksudkan biar dapat memengaruhi objektivitas dalam membuat keputusan, atau keputusan yang dibentuk akan menguntungkan pemberi, penyuap, atau penyogok.

Pemberian sesuatu (penyogok, penyuap, pelicin) dapat berupa uang, bahan, tapi bisa juga berupa jasa. Korupsi seperti ini sering terjadi pada dinas/instansi yang mempunyai tugas pelayanan, menerbitkan surat izin, saran, dan lain sebagainya. Pelayanan yang diberikan terkadang dihambat, tidak tanpa hambatan, bukan alasannya adalah metode dan prosedurnya, tetapi karena disengaja oleh oknum birokrat. Sehingga mereka yang berkepentingan, lebih suka lewat calo, atau dengan cara memberi pelicin berupa duit untuk menyuap, menyogok, agar urusannya menjadi tanpa hambatan.

Sedangkan nepotism, merupakan suatu tindakan korupsi berbentukkecendrungan pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan pada pertimbangan objektif, rasional, tetapi didasarkan atas pertimbangan “nepitis”, “hubungan”, sepeti masih sahabat, keluarga, kelompok, pejabat, dan lain sebagainya. Pertimbangan pengambilan keputusan tadi, terkadang untuk kepentingan orang yang menciptakan keputusan. Mereka akan lebih aman, orang yang berada disekitarnya (anak buahnya) ialah orang-orang yang masih nepotis atau masih kerabat dekat. Jika mereka melaksanakan langkah-langkah penyimpangan mereka akan kondusif dan dilindungi.

Korupsi di atas ialah korupsi yang dilihat dari proses terjadinya. Namun dilihatnya dari sifatnya korupsi dapat dibedakan menjadi dua macam, adalah korusi individualis dan korupsi sistemik.

Korupsi individualis, merupakan penyimpangan yang dikerjakan oleh salah satu atau beberapa orang dalam sebuah organisasi dan meningkat suatu mekanisme muncul, hilang dan kalau ketahuan pelaku korupsi akan terkena hukuman, mampu berupa dijauhi, dicela, disudutkan, dan bahkan diakhiri nasib kariernya. Perilaku korup ini dianggap oleh kelompok (masyarakat) sebagai tindakan yang menyimpang, buruk, dan tercela.

Korupsi sistemik, berbeda dengan korupsi individualisme. Korupsi sistemik merupakan suatu korupsi saat yang melaksanakan korupsi adalah sebagian besar (pada umumnya orang) dalam suatu organisasi (melibatkan banyak orang). Dikatakan sistemik, sebab langkah-langkah korupsi ini bisa diterima sebagai sesuatu yang masuk akal/biasa (tidak menyimpang) oleh orang yang berada di sekitarnya dan merupakan bagian dari suatu realita. Jika ketahuan, maka diantara mereka yang terlibat saling melindungi, menutup-nutupi, dan mendukung satu sama lain untuk menyelamatkan orang yang tertangkap basah tadi. Hal ini disebabkan diantara mereka tak mau instansinya terkontaminasi, sehingga meskipun mereka tahu ada langkah-langkah korupsi mereka lebih baik “membisu”, daripada mereka akan dikucilkan, dan menjadi saksi dalam kasus atas tindakan korupsi tadi.