4 Tokoh Pembaruan Dan Modernisasi Dalam Dunia Islam

Dalam sejarah perjalanannya, kebudayaan dan peradaban Islam juga mengalami pasang surut. Hal ini juga tergantung ketimbang siapa pemimpinnya dan bagaimana beliau menenteng kepemimpinannya itu. Disaat umat Islam mengalami masa-periode kejumudan selalu saja ada orang-orang yang tampil kedepan untuk mengingatkan kembali tentang nilai-nilai Islam yang hakiki.
Diawali dari timbulnya rasa keprihatinan, ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan, maka lahirlah pemikiran-pedoman gres yang ingin merubah keadaaan tersebut. Berikut yakni penjelasan selengkapnya ihwal 4 tokoh pembaruan dan modernisasi dalam dunia Islam.

1. Muhammad Ali Pasya

Muhammad Ali Pasha merupakan seorang keturunan Turki yang lahir pada bulan Januari 1765 Masehi di Kawalla, suatu kota yang terletak di bagian utara Yunani, dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. Negeri ini sudah menjadi bab kekuasaan Turki Utsmani yang berpusat di Istanbul semenjak ditaklukkan oleh Sultan Muhammad II al Fatih (855/886 H-1451/1481 M) pada tahun 857 H/1453 M, dan baru dapat melepaskan diri dari kekuasaan Istanbul pada tahun 1245/1829 Masehi.
Ayah Muhammad Ali Pasha bernama Ibrahim Agha, seorang imigran Turki, kelahiran Yunani. Muhammad Ali Pasha yaitu seorang pembaharu Islam pada kala 19 sampai abad 20 Masehi. Ia adalah orang yang pertama kali menaruh landasan kebangkitan modern di Mesir, Setelah hadirnya kesadaran umat Islam di Mesir akan kelemahan mereka dalam mengahadapi ekspedisi Perancis oleh Napoleon Bonaparte (1769-1821 Masehi). 
Muhammad Ali Pasha mulai melakukan upaya-upaya pembaharuan terhadap Mesir pada tahun 1765-1848 Masehi. Ketika Muhammad Ali Pasha masuk dalam dinas militer, beliau juga menunjukkan kecakapan dan kesanggupannya sehingga pangkatnya cepat naik menjadi perwira. Ketika pergi ke Mesir beliau sudah berhasil menduduki jabatan wakil perwira dan memimpin pasukan yang diantardari wilayahnya. 
Ia adalah seorang perwira yang berhasil merebut kekuasaan di Mesir sesudah prajurit Perancis kembali ke Eropa tahun 1801 Masehi. Muhammad Ali Pasha lalu menjadi penguasa penuh Mesir. Ia menjadi wakil resmi sultan (Kerajaan Utsmani) di Mesir. Untuk memajukan Mesir, Muhammad Ali Pasha melakukan pembenahan ekonomi dan militer. 
Atas rekomendasi para penasihatnya, ia juga melakukan acara pengantaran serdadu untuk belajar di Eropa. Pemerintahan Muhammad Ali Pasha membedakan pembaharuan yang ada antara struktur politik dan keagamaan di Mesir. Sejak Muhammad Ali Pasha menguasai Mesir, ia telah banyak melaksanakan upaya pembaharuan, baik dalam bidang politik, militer, ekonomi, pemerintahan maupun pendidikan. 
Proses pembaharuan ini dipengaruhi oleh proses transformasi dan majunya ilmu wawasan serta teknologi, baik dalam kehidupan sosial maupun kemajuan intelektual yang lahir dari sebuah paradigma baru. Menurut Muhammad Ali Pasha, kunci utama untuk membuat langgengnya kekuasaan yakni mengganti metode militer. 
Kemudian Muhammad Ali Pasha mengundang seorang Kolonel Perancis berjulukan Seve, yang memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Sulaiman Pasha. Ia ditugaskan untuk melatih dan memodernisasikan angkatan bersenjata di Mesir. Muhammad Ali Pasha juga mengupayakan pengetahuan tentang manajemen negara. mirip:
  1. Kementerian Pendidikan pada tahun 1815 M, yang sebelumnya tidak dikenal.
  2. Sekolah Militer (1815 M), pembentukan sekolah ini untuk memperkuat kekuasaannya di Mesir.
  3. Sekolah Teknik (1816 M), didirikan biar rakyat Mesir mampu memproduksi persenjataan dan memiliki keterampilan dalam berperang.
  4. Sekolah Kedokteran (1827 M).
  5. Sekolah Apoteker (1829 M).
  6. Sekolah Pertambangan (1834 M).
  7. Sekolah Pertanian (1836 M).
  8. Sekolah Penerjemahan (1836 M).
Adapun untuk tenaga pengajarnya Muhammad Ali Pasha mengambil Guru dari Eropa khususnya Perancis, Inggris dan Italia. Sedangkan untuk mengenali ilmu pengetahuan Barat, Muhammad Ali Pasha mengirimkan beberapa pelajar ke mancanegara. Begitu pula dengan para pandai cendekia yang dipimpin oleh Rifa’ah At Tahtawi.
Selain itu, beliau juga mengadakan pembaharuan dalam bidang manajemen dan birokrasi yang dianggap sungguh penting pengaruhnya bagi masyarakat Mesir, alasannya adalah masyarakat perlu dikelompokkan dalam sebuah pola budaya, tipe, dan organisasi. Sedang dalam bidang pertanian, Muhammad Ali Pasha menyuplai para petani dengan bibit-bibit pertanian, alat-alat pertanian dan pupuk untuk dikembangkan oleh para petani.
Dengan beberapa pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali Pasha, Mesir telah banyak mengalami pertumbuhan di aneka macam bidang. Meskipun mungkin bisnisnya itu belum mampu menandingi kejayaan bangsa Eropa dikala itu, tetapi setidaknya beliau sudah menawarkan prestasi yang gemilang terhadap pembaharuan di Mesir.

2. Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir di Delta Nil yang kini masuk dalam kawasan Mesir semenjak tahun 1849. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah, seorang imigran yang berasal dari Turki dan telah usang menetap di Mesir. Adapun sang ibu berkebangsaan Arab yang memiliki garis keturunan dari Khalifah Umar Ibn Khatab ra. Kedua orang tua Abduh tinggal di desa Mahallah Nashr.
Setelah berpindah-pindah ke banyak daerah. Abduh kecil sampai sampaumur banyak menekuni pelajaran membaca dan menulis, dan pada usia 12 tahun beliau sudah mampu menghafal al Qur’an dalam bimbingan pribadi sang ayah. Pemikiran-anutan cemerlangnya mulai timbul ketika dia dikirim berguru secara formal oleh ayahnya ke Perguruan di Masjid Ahmadi untuk mempelajari pelajaran, seperti :
Bahasa Arab, Nahwu, Shorof, dan lain-lain, yang terletak di desa Thanta, salah satu desa di Mesir. Namun, beliau merasa bahwa apa yang dipelajarinya sangat monoton dan beliau tidak mengerti apa maksud dari ilmu yang ia dapatkan, alasannya adalah beliau cuma menghafal pelajaran-pelajaran itu tanpa tahu apa substansinya.
Ia tidak puas dengan metode berguru yang ada, yang hanya mementingkan hafalan tanpa mengetahui pemahaman dari yang dipelajarinya itu. Bahkan ia berpikir lebih baik tidak mencar ilmu dari pada menghabiskan waktu cuma untuk menghafal perumpamaan-istilah nahwu dan fikih yang tidak dipahaminya, sehingga dia kembali ke Mahallah Nashr (kampungnya) dan hidup selaku petani serta melangsungkan ijab kabul dalam usia 16 tahun.
Sang ayah tidak menyetujui langkah yang diambil oleh Abduh, ia menyuruh Abduh untuk kembali ke Thanta dan menekuni kembali pelajarannya. Dengan terpaksa ia pun kembali ke Thanta. Namun, di tengah perjalanan beliau membelokkan langkah kakinya menuju suatu desa kawasan tinggal pamannya, yaitu Syaikh Darwsy Khadir (paman dari ayah Muhammad Abduh) di Kanisah Urin.
Syaikh Darwisy adalah seorang penganut aliran tasawuf  Thariqah Syadziliyah dan mempunyai pengetahuan yang luas. Syaikh Darwsy mengenali alasannya-alasannya keengganan Abduh untuk belajar di Thanta, maka beliau senantiasa mengajak Muhammad Abduh agar membaca buku bersamanya. Kisah perjalanan hidup Muhammad Abduh diabadikan dalam buku yang berjudul “Muzakirat al ­Imam Muhammad Abduh” karya muridnya, Muhammad Rasyid Ridla.
Setiap barisnya Darwisy memperlihatkan klarifikasi yang luas wacana arti dan maksud yang terkandung dalam kalimat tersebut. Akhinya Muhammad Abduh berubah sikapnya kepada buku dan ilmu pengetahuan. Dia mulai paham dengan apa yang dibacanya, kemudian ia kembali ke Thanta pada bulan Oktober 1865 Masehi.
Muhammad Abduh kemudian melanjutkan pendidikan di Thanta, akan tetapi hanya 6 bulan kemudian pergi menuju al Azhar yang diyakininya sebagai daerah mencari ilmu yang tepat untuknya. Di al Azhar, dia pun cuma menerima pelajaran ilmu-ilmu agama dengan metode yang serupa dengan di Thanta. Hal ini membuatnya kembali kecewa.
Dalam salah satu tulisannya ia menyatakan rasa kecewanya tersebut dengan menyatakan bahwa tata cara pengajaran yang verbalis itu telah merusak logika dan daya nalarnya. Rasa kecewa itulah yang menjadikan Abduh hasilnya menekuni dunia sufistik. Pada tahun 1871 Abduh bertemu dengan Jamaludin al Afghani yang tiba ke Mesir pada tahun itu.
Dari al Afghani, ia mendapatkan pengetahuan filsafat, ilmu kalam dan ilmu pasti (eksak). Meskipun sebelumnya dia telah mendapatkan ilmu-ilmu tersebut di luar al Azhar, namun sistem yang dipakai oleh al Afghany adalah tata cara yang sudah usang dicarinya selama ini, sehingga beliau lebih puas menerima ilmu-ilmu itu dari guru barunya tersebut.
Ia mengajar manthiq (nalar), tasawuf, fisafat, ilmu niscaya dan lain-lain di rumahnya. Ia mememiliki anutan dan semangat tinggi untuk memutus mata rantai kejumudan berfikir dan cara-cara berfikir yang fanatik. Akhirnya Muhammad Abduh menjadi pencetus penyebaran aliran Jamaluddin al Afghany di kampus al Azhar hingga berkembang luas ke seluruh Mesir bahkan dunia.
Setelah Abduh menyelesaikan studinya di al Azhar pada tahun 1877, atas perjuangan Perdana Menteri Mesir, Riadl Pasya, dia diangkat menjadi dosen pada Universitas Darul Ulum, Universitas al-Azhar, dan akademi bahasa Khadevi. Ia mengajarkan berbagai mata pelajaran seperti teologi, sejarah, ilmu politik dan kesusastraan Arab.
Pada tahun 1877-1882 masehi, ia diasingkan ke Beirut karena terlibat gerakan politik, ia dituduh bersekongkol untuk menggulingkan Khadevi Tawfik. Di pengasingan ini dia bekerja sebagai guru sekaligus penulis. Kegiatan pembelajaran dilanjutkannya lagi di Beirut. Ia menterjemahkan kitab-kitab ke dalam bahasa Arab.
Di Beirut pula beliau menuntaskan penulisan bukunya yang termasyur Risalah al­ Tawhid yang mulai ditulisnya semasa mengajar di Madrasah Sulthaniyah, di samping beberapa buku terjemahan yang lain. Untuk kepentingan gerakan, Syaikh Muhammad Abduh telah menulis beberapa buku, antara lain al Islam wa Nashraniyah ma’al Ilmi wal Madaniyah.
Tahun 1888 beliau kembali ke Mesir sesudah selesai kala pengasingannya. Ia diperbolehkan kembali ke kota Kairo dan diberi iktikad memimpin surat kabar al ­Waqa’i al Mishriyah. Pada tahun 1882 bersama Urabi Pasya, Abduh ikut bergabung dalam gerakan politik menentang ketidakadilan negara. Ia kemudian diasingkan lagi ke Beirut dan Perancis.
Di Perancis ia bertemu kembali dengan Jamaluddin al-Afghani dan kemudian menerbitkan majalah al­Urwatul Wutsqa. Lalu dia kembali lagi ke Mesir. Namun karena pemerintah merasa khawatir akan imbas Abduh yang kian diterima masyarakat luas, jadinya Abduh tidak diperbolehkan mengajar oleh pemerintah Mesir.
Ia lalu melakukan pekerjaan sebagai hakim agama (mufti) dan menjadi anggota majelis al ­A’la al ­Azhar yang sukses menenteng pergeseran-pergeseran di lembaga pendidikan tertua tersebut. Ia diangkat menjadi mufti sejak tahun 1899. Pembaharuan kedua yang dilakukannya ialah dikala ia menjabat sebagai mufti di tahun 1899 menggantikan Syaikh Hasanuddin al-Nadawi.
Usaha pertama yang dilakukannya ialah memperbaiki persepsi masyarakat bahkan pandangan para mufti sendiri wacana kedudukan mereka sebagai hakim. Para mufti sebelumnya berpandangan, bahwa mufti betugas selaku penasehat hukum bagi kepentingan negara. Diluar itu seakan mereka melepaskan diri dari masyarakat biasa yang mencari kepastian aturan.
Namun bagi Abduh, seorang mufti bukan hanya bekerja pada negara, namun juga pada masyarakat luas. Dengan demikian kehadiran Muhammad Abduh tidak cuma dibutuhkan oleh negara tetapi juga oleh penduduk luas. Langkah pembaharuan ketiga yang dilakukannya yakni dengan mendirikan organisasi sosial yang bernama al ­Jami’at al ­Khairiyyah al­ Islamiyyah pada tahun 1892.
Organisasi ini bertujuan menyantuni fakir miskin dan bawah umur dari keluarga yang tidak bisa. Selain itu, forum wakaf juga ialah salah satu institusi yang tidak luput dari perhatiannya, sehingga ia membentuk majelis manajemen wakaf dan berhasil memperbaiki perangkat masjid. 
Namun demikian, tidak semua ilham dan anutan pembaharuan yang dilakukannya mampu diterima oleh penguasa dan pihak al-Azhar. Penghalang utama yang dihadapinya yaitu para ulama yang berpikiran statis beserta masyarakat awam. Ketika menghadapi banyak rintangan tersebut Abduh jatuh sakit dan meninggal pada 8 Jumadil Awal 1323 H/ 11 Juli 1905. Jenazah Muhammad Abduh dikebumikan di pemakaman negara Mesir di Kairo.

Faktor-faktor yang menghipnotis ajaran Muhammad Abduh, antara lain :

  • Faktor sosial, berupa sikap hidup yang dibuat oleh keluarga dan gurunya, khususnya Syaikh Darwisy dan Sayyid Jamaludin al-Afghani. Di samping itu, faktor lingkungan dan sistem pendidikan di Thanta dan Mesir yang tidak efektif, serta perilaku keagamaan yang statis dan adanya anggapan-anggapan yang jumud yang ia dapatkan di masyarakat.
  • Faktor kebudayaan, berupa ilmu yang diperolehnya selama belajar di sekolahsekolah formal sekaligus pengaruh pribadi aliran Jamaludin al-Afghani, serta pengalaman yang ditimbanya dari Barat ketika beliau diasingkan ke Perancis.
  • Faktor politik yang bersumber dari situasi politik di masanya semenjak ia masih tinggal di lingkungan keluarganya di Muhallaf Nashr, sampai saat ia kuliah hingga dia wafat. Ketiga faktor di atas ialah hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya anutan Muhammad Abduh dalam aneka macam bidang, baik teologi, syari’ah, pendidikan, sosial, politik, sampai kebudayaan.
Gerakan pembaharuan Islam yang dijalankan Muhammad Abduh tidak terlepas dari abjad dan tabiat yang terbentuk semenjak beliau kecil, yakni cinta pada ilmu pengetahuan. Muhammad Abduh mempunyai 3 (tiga) acara pembaharuan, yakni:
Purifikasi 

Purifikasi atau pemurnian fatwa Islam ialah fokus perhatian serius Muhammad Abduh berkaitan dengan munculnya bid`ah dan khurafat yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslim. Dalam pandangan Muhammad Abduh, seorang muslim wajib menghindarkan diri dari perbuatan-tindakan syirik dalam bentuk apapun.
Reformasi Pendidikan Islam

Reformasi pendidikan Islam difokuskan Muhammad Abduh pada universitas Al Azhar daerah ia belajar. Ia menyatakan bahwa keharusan belajar tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi doktrindoktrin pedoman Islam. Namun, kewajiban mencar ilmu juga terletak pada mempelajari ilmu wawasan terbaru, serta sejarah dan agama Eropa, semoga dimengerti alasannya adalah-karena pertumbuhan yang sudah mereka capai. 
Selain itu, dalam bidang pendidikan nonformal Muhammad Abduh juga menyebutkan pentingnya upaya perbaikan (ishlah). Dalam hal ini Muhammad Abduh menyaksikan perlunya campur tangan pemerintah utamanya dalam hal mempersiapkan para pendakwah. Tugas mereka yang utama yakni:
  • Menyampaikan keharusan dan pentingnya mencar ilmu.
  • Mendidik mereka dengan menawarkan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau yang belum mereka pahami.
  • Memberikan semangat ke dalam jiwa para pendakwah untuk cinta pada negara, tanah air, dan pemimpin.
  Caption Dp Bbm Kata Mutiara Plato, Gambar Meme Kalimat Bijak Tentang Persahabatan & Filosofi Cinta Terkini

Pembelaan Atas Islam


Karya Risalah al­ Tauhid yang ditulis oleh Abduh dimaksudkan untuk mempertahankan jati diri Islam. Hasratnya untuk menetralisir komponen-komponen aneh dalam paham keislaman ialah bukti bahwa ia tetap percaya dengan kemandirian Islam. Muhammad Abduh tidak pernah menaruh perhatian terhadap paham-paham filsafat anti-agama yang dikala itu marak di Eropa.
Muhammad Abduh berusaha mempertahankan jati diri Islam dengan memastikan bahwa jika asumsi dimanfaatkan sebagaimana mestinya, maka hasil yang dicapainya otomatis akan selaras dengan kebenaran dewa yang dipelajari melalui agama. Ia sangat menjunjung tinggi ijtihad alasannya adalah ijtihad pertanda bahwa Islam tidak diturunkan untuk mendukung kejumudan, akan tetapi Islam diturunkan bergerak dinamis seiring kemajuan insan dan problem-duduk perkara kemanusiaan.

3. Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal lahir Sialkot, Punjab, India pada tanggal 9 November 1877 Masehi. Ia diketahui juga dengan nama ‘Allama Iqbal. Ayahnya Nur Muhammad, pada mulanya yaitu seorang pegawai negeri, lalu menjadi seorang penjualyang menempuh jalur sufistik. Mengenai nama ibunya tidak banyak sumber tertulis yang menjabarkannya.
Namun dari syair yang dibuat oleh Iqbal tampak bahwa ibunda Iqbal adalah seorang wanita yang taat beragama, besar kecintaannya pada anaknya, demikian pula Iqbal juga mencintainya. Dengan demikian, Iqbal lahir dari ibu dan bapak yang sama-sama taat. Pendidikan pertama Iqbal diperoleh dari ayahnya dengan belajar al Qur’an sekaligus menghafalnya. 
Sekolah pertamanya di The Scottish Mission College dikampung halamannya di Sialkot. Gurunya antara lain ialah Mir Hasan, seorang ulama besar dan guru dalam ilmu sastra Persia dan Arab. Dialah yang pertama kali menempa pelajaran agama ke dalam jiwa Muhammad Iqbal. Sejak itu, Muhammad Iqbal gemar menggubah syair-syiar dalam bahasa Urdu. 
Sesudah menikah, pada tahun 1895 Iqbal hijrah ke Lahore untuk melanjutkan sekolah tingkat atas. Di sekolah inilah Iqbal risikonya bertemu dengan Orientalis Inggris terkenal, Sir Thomas Arnold, yang segera menyadari kecerdasan Iqbal. Orientalis yakni sebutan untuk ilmuwan Barat yang kesengsem mendalami kajian keislaman di dunia timur.
Sir Thomas mendorong Iqbal untuk melanjutkan studi di Inggris. Akhirnya dia berangkat ke Inggris pada tahun 1905 untuk berguru filsafat dan hukum. Guru terkemukanya di Cambridge adalah Nco-Hegelian Motaggart. Pada tahun 1907 beliau lalu meninggalkan Inggris menuju Jerman, mempelajari bahasa di Haidelbarg dan mengajukan tesisnya perihal pertumbuhan metafisika di Persia (The Development of Metaphisich in Persia).
Setelah sukses memperoleh gelar Doktor bidang filsafat dari Munich, Jerman, Iqbal kembali ke London, memberi kuliah di musim semi tahun 1908 perihal topik-topik keislaman, lalu kembali ke India pada isu terkini panas. Sejak itu ia aktif memberikan kuliah tentang filsafat dan sastra Inggris di India. Ia juga terjun selaku pengacara.
Ketika itu dia menyatakan: I would like to see the Punjab, Nort West Frontior Province, Sind and Balochistan amalgamated into a single State (saya ingin menyaksikan Punjab, tempat perbatasan barat laut, Sindi dan Balukistan menyatu menjadi satu negara tersendiri). 
Selanjutnya pada tanggal 14 Agustus 1947 lahir suatu negara bernama Pakistan yang merupakan kepingan dari negara India. Iqbal yang sudah menyatakan perlunya negara tersendiri bagi komunitas muslim tersebut kemudian dipandang selaku “Bapak Pakistan”. Adapun 3 buah gagasan Iqbal selaku kontribusinya dalam gerakan pembaharuan Islam modern, antara lain:

Pan Islamisme 


Obsesi Iqbal tentang terbentuknya negara tersendiri bagi komunitas muslim tidaklah bertentangan dengan faham Pan Islamisme. Iqbal menyatakan bahwa Islam bukan nasionalisme dan bukan pula imperialisme, melainkan suatu lembaga bangsa-bangsa yang mengakui adanya batasan-batasan perbedaan rasial, tetapi itu hanya untuk mempermudah perkenalan belaka (li ta’arofuu), dan bukan untuk menghalangi cakrawala sosial para anggotanya.

A Free Personal Causality 

Respon Iqbal terhadap kemandegan dan kejumudan intelektual umat Islam tergolong juga komunitas muslim di India ia sampaikan melalui pemikiran-pemikirannya antara lain ihwal ego atau kehendak insan: keleluasaan dan keabadiannya. Iqbal mengemukakan bahwa adanya kebebasan manusia, selaku dasar adanya pertanggung jawaban.

Ia menatap kehendak sebagai “a free personal causality” atau hukum karena balasan dari kehendak pribadi. Manusia bebas melakukan kehendaknya, namun beliau memerlukan pertanggungjawaban dari pelakunya. Termasuk dalam desain ini yakni pendapatnya ihwal ijtihad. Bahkan berdasarkan Iqbal ijtihad merupakan “the principle of movement in the structure of Islam”.
Dengan demikian, dalam rancangan ijtihad terdapat pula aspek pergantian, alasannya dengan adanya perubahan itulah ijtihad perlu dilaksanakan. Bukan cuma adanya pergeseran, bahkan juga dinamika alam semesta. Dari sinilah Iqbal amat berilmu mendapatkan fatwa dinamisme. Ia menangkap adanya prinsip dinamika hampirprinsip dinamika ini.


Faham Dinamisme 


Faham inilah yang membuat Iqbal memiliki kedudukan penting dalam pembaharuan di India. Terapi Iqbal dengan faham dinamikanya ini amat sempurna dilihat dari sudut keminoritasan komunitas muslim ditengah-tengah komunitas Hindu yang secara umum dikuasai, alasannya adalah dengan menyuntikkan semangat dinamisasi ke dalam komunitas muslim menimbulkan mereka dapat tampil dengan eksistensinya (keberadaannya) secara sarat .

  Kata-Kata Mutiara Islam Buya Hamka, Quotes Bijak Sastra Perihal Kesabaran

4. Jamaluddin Al Afghani

Jamaluddin Al Afghani lahir di As’adabad, akrab Kanar di Distrik Kabul, Afghanistan, pada tahun 1839, dan meninggal di Istambul tahun 1897. Al Afghani berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan antara lain karena umat sudah meninggalkan ajaran-aliran Islam yang bahwasanya. Ajaran qadha dan qadar telah bermetamorfosis ajaran fatalisme yang menjadikan umat menjadi statis.
Sebab-alasannya adalah lain adalah perpecahan di kalangan umat Islam sendiri, lemahnya persaudaraan antara umat Islam dan lain-lain. Untuk mengatasi semua hal itu, menurut pendapatnya umat Islam mesti kembali kepada pemikiran Islam yang benar, mensucikan hati, memuliakan budpekerti, berkorban untuk kepentingan umat, pemerintah otokratis mesti diubah menjadi demokratis.
Ia juga mengusulkan umat Islam untuk berbagi pendidikan secara lazim, yang tujuan kesudahannya untuk memperkuat dunia Islam secara politis dalam menghadapi dominasi dunia Barat. Ia berpendapat tidak ada sesuatu dalam pemikiran Islam yang tidak cocok dengan akal ilmu pengetahuan, atau dengan kata lain Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.

Adapun ide-inspirasi pembaharuan dan fatwa politik dari Jamaludin al Afghani tentang negara dan sistem pemerintahan, yaitu :

Bentuk Negara dan Pemerintahan 


Menurut al Afghani, Islam mengharapkan bahwa bentuk pemerintahan yaitu harus tunduk terhadap Undang-Undang. Pendapat seperti ini termasuk gres dalam sejarah politik Islam yang selama itu cuma mengenal bentuk khalifah yang memiliki kekuasaan otoriter.

Pendapat ini tampak dipengaruhi oleh pedoman Barat, sebab Barat lebih dulu mengenal pemerintahan republik, walaupun pengertian al-Afghani pastinya tidak lepas dari prinsip-prinsip ajaran Islam yang berkaitan dengan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan.

Sistem Demokrasi 


Dalam tata cara pemerintahan yang absolut dan otokratis tidak ada keleluasaan berpendapat. Kebebasan hanya dimiliki para raja/kepala negara untuk bertindak dan tidak diatur oleh Undang-undang. Karena itu al Afghani menginginkan agar corak pemerintahan absulot diganti dengan dengan corak pemerintahan demokratis.

Pemerintahan demokratis merupakan salah satu identitas paling khas dari pemerintahan berbentuk republik. Demokrasi yaitu pasangan pemerintahan republik sebagaimana meningkat di Barat dan diterapkan oleh Mustafa Kemal Attaturk di Turki sebagai ganti sistem pemerintahan khalifah.
Dalam pemerintahan negara yang demokratis, kepala negara harus mengadakan syura (musyawarah) dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang berpengalaman, alasannya wawasan insan secara perorangan terbatas sekali dan syura ditugaskan oleh Allah dalam Al Qur’an agar dapat dipraktikkan dalam berbagai persoalan.
Selanjutnya, para pemegang kekuasaan haruslah orang-orang yang paling taat terhadap undang-undang. Kekuasaan yang diperoleh tidak lantaran kecanggihan suku, ras, kekuatan material dan kekayaan. Baginya kekuasaan itu harus diperoleh melalui penyeleksian dan disepakati oleh rakyat. Dengan demikian orang yang terpilih memiliki dasar aturan untuk melaksanakan kekuasaan itu.
Pendapat ini mengisyaratkan bahwa sumber kekuasaan menurut al Afghani adalah rakyat, karena dalam pemerintahan republik, kekuasaan atau kedaulatan rakyat terlembaga dalam perwakilan rakyat yang anggotanya diseleksi oleh rakyat.


Pan Islamisme
(Solidaritas Islam) 

Jamaludin Al Afghani menginginkan adanya persatuan umat Islam baik yang negaranya telah merdeka maupun masih dalam jajahan bangsa Barat. Gagasannya ini terkenal dengan sebutan Pan Islamisme. Ide besar ini menginginkan terjalinnya koordinasi antara negara-negara Islam. Kerjasama itu menuntut adanya rasa tanggungjawab bareng dari tiap negara terhadap umat Islam dimana saja mereka berada.

Persatuan umat Islam benar-benar menjadi tema pokok pada setiap tulisan al Afghani. Ia menghendaki supaya umat Islam mengatasi perbedaan doktrin dan kebiasaan permusuhan. Perbedaan sekte tidak butuhmenjadi hambatan dalam politik, dan kaum muslimin harus mengambil pelajaran dari acuan Jerman yang kehilangan kesatuan nasionalnya sebab terlalu memandang penting perbedaan agama.

Bahkan perbedaan besar dalam iktikad daerah teluk, antara sunni dan syi’ah, mampu dijembatani sehingga dia menyerukan kepada bangsa Persia dan Afghan biar bersatu, meskipun yang pertama yakni syi’ah dan yang kedua non-syiah, dan selama kurun-kurun tamat hidupnya beliau melontarkan ide rekonsiliasi biasa dari kedua sekte tersebut.

Jamaludin Al Afghani menekankan solidaritas sesama muslim sebab ikatan agama, bukan ikatan etnik atau rasial. Inilah wangsit orisinil yang ialah bentuk solidaritas umat yang dikenal dengan Pan­ Islamisme atau al Jami’ah al­ Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam sedunia).

Demikian pembahasan tentang 4 tokoh pembaruan dan modernisasi dalam dunia Islam.
Semoga berfaedah.