Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah Atau Hamka

Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo, populer dengan nama penanya Hamka; lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat tanggal 17 Februari 1908. Beliau meninggal di Jakarta pada umur 73 tahun. Beliau adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. 

Ia berkiprah selaku wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam politik melalui Masyumi hingga partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. 
Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka selaku guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah. Hamka akil balig cukup akal meninggalkan pendidikannya di Thawalib, menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. 
Setelah setahun melalaikan perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak selaku guru di sekolah milik Muhammadiyah alasannya tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut impian Hamka pergi ke Mekkah. 
Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil melakukan pekerjaan sebagai guru agama di Deli. Dalam konferensi memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. 
Kembali ke Medan pada 1936 setelah pernikahannya, dia menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat. Lewat karyanya Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama Hamka melonjak selaku sastrawan. 
Selama revolusi fisik, Hamka bergerilya bareng Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) menyusuri hutan pengunungan di Sumatra Barat untuk menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Meski menerima pekerjaan di Departemen Agama, Hamka mengundurkan diri alasannya menggeluti di jalur politik. 
Dalam penyeleksian lazim 1955, Hamka dicalonkan Masyumi selaku wakil Muhammadiyah dan terpilih duduk di Konstituante. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Masyumi menentang komunisme dan gagasan Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungannya dengan Sukarno. 
Usai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka mempublikasikan majalah Panji Masyarakat yang berumur pendek, dibredel oleh Sukarno setelah menurunkan tulisan Hatta yang telah mengundurkan diri selaku wakil presiden berjudul “Demokrasi Kita”. 
Seiring meluasnya dampak komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melaksanakan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Ia merampungkan Tafsir Al-Azhar dalam keadaan sakit selaku tahanan. 
Seiring peralihan kekuasaan ke Soeharto, Hamka dibebaskan pada Januari 1966. Ia menerima ruang pemerintah, mengisi acara tetap ceramah di RRI dan TVRI. Ia mencurahkan waktunya membangun aktivitas dakwah di Masjid Al-Azhar. 
Ketika pemerintah menjajaki pembentukan Majelis Ulama Indonesia pada 1975, akseptor musyawarah memilih dirinya secara aklamasi sebagai ketua. Sepeninggal Hamka, pemerintah menyematkan Bintang Mahaputra Utama secara anumerta kepada Hamka. 
Sejak 2011, beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan untuk perguruan tinggi tinggi Islam di Jakarta milik Muhammadiyah, yaitu Universitas Muhammadiyah Hamka.
Demikian pembahasan materi perihal Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka.