BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia senantiasa mengalami pergeseran sesuai dengan perubahan politik hukum ketatanegaraan yang beberapa kali mengalami pergeseran, yaitu masa orde usang, orde baru dan yang sekarang ini orde reformasi. Pemilihan Negara kesatuan dengan tata cara desentralisasi yang menjadi dasar berdirinya kawasan-tempat otonom sudah menjadi pilihan semenjak awal berdirinya Negara Indonesia, hal ini mampu dilihat dalam UUD 45 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus tahun 1945, diatur dalam Pasal (1) Negara Indonesia yakni negara kesatuan yang berupa republik, dan Pasal 18 Pembagian kawasan Indonesia atas kawasan besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam tata cara pemerintahan negara, dan hak-hak asal-seruan dalam daerah-tempat yang bersifat istimewa.
Pada permulaan periode reformasi meningkat dan terkenal di penduduk banyaknya permintaan reformasi yang didesakan oleh berbagai bagian bangsa, antara tuntutannya yaitu amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan desentralisasi dan korelasi yang adil antara sentra dan daerah (daerah otonom).Gerakan Reformasi yang gencar dan luas merupakan akumulasi dari carut-marut pemerintahan yang telah Tiga tahun sebelum menginjak abad XXI, terjadi kejadian besar di Indonesia memulai abad yang dinantikan oleh seluruh penduduk dunia. Gerakan Reformasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 demikian dasyhat sehingga mampu menggulingkan pemerintahan Orde Baru, yang dianggap sudah tidak populer untuk menjalankan pemerintahan Indonesia.
Sejalan dengan terjadinya gerakan Reformasi marak pula gosip-informasi heroik yang berkaitan dengan penegakan demokrasi, upaya menghindari disintegrasi, upaya pembentukan pemerintahan yang baik dan higienis, kredibilitas pemimpin, pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), pemberdayaan penduduk , pembangunan berkelanjutan, pembentukan otonomi kawasan , dan masih banyak informasi-isu lainnya. Tidak sesuai dengan impian penduduk , ditambah dengan krisis ekonomi yang parah. Akar kesemrawutan tersebut di atas adalah pemerintah Orde Baru yang dianggap melakukan pemerintahan sentralistik, otoriter dan korup. Dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru semakin gencar pula tuntutan masyarakat, baik di tingkat elite pusat maupun daerah untuk memberlakukan otonomi tempat secara lebih luas.
Otonomi tempat selaku suatu sistem pemerintahan di Indonesia yang desentralistis bukan merupakan hal yang baru. Penyelenggaraan otonomi daerah sebetulnya sudah dikontrol dalam Undang-Undang Dasar 1945. Walaupun demikian dalam perkembangannya selama ini pelaksanaan otonomi kawasan belum menampakkan hasil yang maksimal. Setelah gerakan Reformasi berjalan dan pemerintahan Suharto jatuh, perihal untuk memaksimalkan pelaksanaan otonomi kawasan terdengar kembali gaungnya, bahkan lebih keras dan mendesak untuk segera dikerjakan. Tuntutan penduduk untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah disambut oleh presiden Habibie sehingga kemudian ditetapkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 wacana Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan disahkannya kedua undang-undang tersebut, maka terjadi pergeseran paradigma, ialah dari pemerintahan sentralistis ke pemerintahan desentralistis. Berdasarkan undang-undang otonomi daerah tersebut, pemberlakuan undang-undang tersebut efektif dilakukan setelah dua tahun sejak ditetapkannya. Pada kala pemerintahan presiden Abdurachman Wachid Undang-undang Otonomi Daerah mulai dipraktekkan pada tanggal 1 Januari 2001.
B. Rumusan Masalah
Dari banyak sekali duduk perkara yang di jelaskan di latar belakang duduk perkara diatas penulis merumuskan ke dalam beberapa rumusan dilema diantaranya ialah :
1. Bagaimana penerapan otonomi tempat di Indonesia ?
2. Bagaimana Politik Hukum dalam Otonomi Daerah?
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Memahami penerapan otonomi kawasan di Indonesia.
2. Memahami Politik Hukum dalam Otonomi Daerah.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi Daerah ialah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat terhadap pemerintah tempat untuk mengurusi persoalan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi bekerjsama yakni istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan selaku penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan tata cara pemerintahan Indonesia, desentralisasi final-final ini kadang kala dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi kini menjadikan perubahan pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan selaku pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah sentra ke pemerintah kawasan. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah harapan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih akrab dengan mereka yang merasakan langsung dampak program dan pelayanan yang dirancang dan dikerjakan oleh pemerintah.
Ada pula yang dilakukan pemerintah yaitu desentralisasi yang merupakan transfer (perpindahan) kewenangan dan tanggungjawab fungsi-fungsi publik. Transfer ini dijalankan dari pemerintah sentra ke pihak lain, baik terhadap kawasan bawahan, organisasi pemerintah yang semi bebas ataupun kepada sektor swasta. Selanjutnya desentralisasi dibagi menjadi empat tipe, yaitu :
1. Desentralisasi politik, yang bertujuan menyalurkan semangat demokrasi secara nyata di masyarakat
2. Desentralisasi administrasi, yang memiliki tiga bentuk utama, yaitu : dekonsentrasi, utusan dan devolusi, bermaksud supaya penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan secara efektif dan efisien
3. Desentralisasi fiskal, bertujuan memperlihatkan potensi terhadap daerah untuk menggali aneka macam sumber dana
4. Desentralisasi ekonomi atau pasar, bertujuan untuk lebih menunjukkan tanggungjawab yang berkaitan sektor publik ke sektor privat.
Pelaksanaan otonomi kawasan, juga sebagai penerapan (implementasi) tuntutan globalisasi yang sudah seharusnya lebih mempekerjakan kawasan dengan cara diberikan kewenangan yang lebih luas, lebih kasatmata dan bertanggung jawab. Terutama dalam mengontrol, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di wilayahnya masing-masing.
B. Tujuan Otonomi Daerah
Otonomi kawasan tidak semerta-merta di terapkan di Indonesia, melainkan telah pasti terdapat alasan dan tujuan yang terperinci. Tujuan dari otonomi tempat di Indonesia adalah sebagai berikut ini:
1. Meningkatkan Pelayanan Umum
Dengan otonomi kawasan dibutuhkan pelayanan biasa forum pemerintah di masing-masing tempat dapat ditekankan kemaksimalan pelayanannya. Dengan pelayanan yang maksimal dibutuhkan masyarakat mencicipi secara langsung manfaat otonomi daerah.
2. Meningkatkan kesejahteraan Masyarakat
Dengan pelayanan yang memadai dibutuhkan kemakmuran masyarakat pada kawasan otonom mampu dipercepat. Tingkat kesejahteraan masyarakat menawarkan bagaimana daerah otonom bisa memakai hak dan wewenangnya secara bijak dan tepat sasaran.
3. Meningkatkan daya saing daerah
Dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing daerah diperlukan dapat dijalankan dengan optimal. Meningkatkan daya saing daerah mesti memperhatikan bentuk keanekaragaman dan kekhususan kawasan tertentu dan tetap mengacu pada kebinekaan “Bineka Tunggal Ika” walaupun berbeda-beda namun tetap satu jua.
Dalam undang-undang dasar 1945 terdapat 2 nilai dasar mengenai pelaksanaan otonomi tempat dan desentralisasi, dua nilai dasar tersebut ialah:
1. Nilai dasar Desentratilasi teritorial
Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik dekonsentrasi dan desentralisasi dalam bidang ketata negaraan.
2. Nilai dasar Unitaris
Indonesia tidak memiliki kesatuan pemerintah lain yang mempunyai sifat negara, tujuannya kedaulatan berada di tangan rakyat, negara Kesatuan republik Indonesia tidak akan terbagi dengan kesatuan-kesatuan pemerintahan.
C. Pengertian Politik Hukum
Seiring dengan perkembangannya, beberapa pakar menjajal untuk mendifinisikan politik hukum itu sendiri diantara lain :
1. Satjipto Rahardjo.
Politik Hukum yaitu aktivitas untuk menentukan suatu pilihan tentang tujuan dan cara – cara yang mau digunakan untuk mencapai tujuan aturan dalam masyarakat.
2. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus.
Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara perihal apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu ( mengakibatkan sesuatu selaku Hukum ). Kebijaksanaan tersebut dapat berhubungan dengan pembentukan aturan dan penerapannya.
3. L. J. Van Apeldorn.
Politik hukum sebagai politik perundang-usul .Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang-usul . (pengertian politik aturan terbatas hanya pada hukum tertulis saja).
4. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto.
Politik Hukum selaku kegiatan-aktivitas memilih nilai- nilai dan menerapkan nilai – nilai.
5. Moh. Mahfud MD.
Politik Hukum ( dikaitkan di Indonesia ) adalah sebagai berikut : (a) Bahwa definisi atau pemahaman aturan juga bervariasi tetapi dengan meyakini adanya persamaan substansif antara banyak sekali pengertian yang ada atau tidak cocok dengan keperluan penciptaan aturan yang dibutuhkan. (b) Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, tergolong penegasan Bellefroid dalam bukunya Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in Nederland. Mengutarakan posisi politik hukum dalam pohon ilmu aturan selaku ilmu. Politik aturan ialah salah satu cabang atau bab dari ilmu hukum, menurutnya ilmu aturan terbagi atas : Dogmatika Hukum,Sejarah Hukum,Perbandingan Hukum, Politik Hukum, Ilmu Hukum Umum.
D. Sifat Politik Hukum
Politik hukum bersifat lokal dan partikular yang hanya berlaku dari dan untuk negara tertentu saja. Hal ini disebabkan alasannya perbedaan latar belakang kesejarahan, pendangan dunia (world-view), sosio-kultural dan political will dari masing-masing pemerintah. Meskipun begitu, politik aturan suatu negara tetap mengamati realitas dan politik aturan internasional. Perbedaan politik aturan sebuah negara tertentu dengan negara lain inilah yang mengakibatkan ungkapan politik aturan nasional.
Menurut Bagi Manan , seperti yang dikutip oleh Kotan Y. Stefanus dalam bukunya yang berjudul “ Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara ” bahwa Politik Hukum berisikan :
1. Politik Hukum yang Bersifat Tetap (permanen)
Berkaitan dengan perilaku ilmu hukum yang hendak senantiasa menjadi dasar kebijaksanaa pembentukan dan penegakan hukum. Bagi bangsa Indonesia, politik hukum tetap antara lain :
a. Terdapat satu metode hukum yaitu Sistem hukum nasional
Setelah 17 Agustus 1945, maka politik huku yang berlaku yakni politik aturan nasional, artinya telah terjadi unifikasi aturan (berlakunya satu sistem aturan diseluruh kawasan Indonesia). Sistem hukum nasional tersebut terdiri dari :
Setelah 17 Agustus 1945, maka politik huku yang berlaku yakni politik aturan nasional, artinya telah terjadi unifikasi aturan (berlakunya satu sistem aturan diseluruh kawasan Indonesia). Sistem hukum nasional tersebut terdiri dari :
1) Hukum Islam (yang dimasukkan yakni asas-asasnya)
2) Hukum Adat (yang dimasukkan ialah asas-asasnya)
3) Hukum Barat (yang dimasukkan yakni sistematiknya)
b. Sistem aturan yang dibangun adalah berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 :
1) Tidak ada hukum yang memberi hak istimewa pada warga negara tertentu menurut pada suku, ras, dan agama. Kalaupun ada perbedaan semata-mata didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka kesatuan dan persatuan bangsa.
2) Pembentukan aturan memperhatikan kemajemukan masyaraka. Masyarakat mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan aturan , sehingga penduduk mesti ikut berpartisipasi dalam pembentukan aturan . Hukum budpekerti dan aturan yang tidak tertulis yang lain diakui sebagai subsistem hukum nasional sepanjang konkret-konkret hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat.
3) Politik Hukum yang bersifat temporer. Dimaksudkan selaku akal yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan keperluan .
E. Politik Hukum Nasional
Politik hukum nasional ialah kebijakan dasar penyelenggara negara (Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang hendak, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di penduduk untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.
Karakteristik politik hukum nasional adalah lebijakan atau arah yang hendak dituju oleh politik aturan nasional dalam persoalan pembangunan hukum nasional. sebagi bentuk dari kristalisasi kehendak-keinginanrakyat. Untuk itu kita perlu untuk menengok kembali rumusan politik hukum nasional yang terdapat dalam GBHN. Pada butir ke-2 TAP MPR No IV/MPR/1999 wacana Garis-garis Besar Haluan Negara tentang arah kebijakan bidang aturan dibilang :
Menata tata cara hukum nasional yang menyeluruh dan terpadau dengan mengakui menghormati aturan agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-permintaan warisan kolonial dan aturan nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakasilan gender dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui acara legislasi.
Berdasarkan kutipan diatas ada beberapa kesimpulan yang mampu ditarik : 1) sistem aturan naisonal yang dibuat hendaknya bersifat menyeluruh dan terpadu ; 2) metode aturan nasional yang dibentuk tetap mengakui dan menghormati keberadaan aturan dan agama akhlak ;Berdasarkan kutipan diatas ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik : 1) tata cara aturan naisonal yang dibentuk hendaknya bersifat menyeluruh dan terpadu ; 2) tata cara hukum nasional yang dibentuk tetap mengakui dan menghormati keberadaan aturan dan agama adab melakukan pembaharuan terhadap warisan hukum kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif dan tidak cocok dengan tujuan reformasi.
Fakta menunjukan bahwa kendati tidak menyebutkan politik hukum kodifikasi dan unifikasi, pemerintah tetap berusaha melaksanakan kebijakan tersebut. hanya saja, seiring dengan kemajuan sosial-politik dan kesadaran aturan penduduk , kebijakan wacana unifikasi aturan mengalami tantangan dari banyak pihak. sehabis menerima kritik yang bertubi-tubi dan mengalami puncaknya dikala disahkan pemberlakuan peradilan ISLAM, mahkamah Syar’iyah, di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, (1) Tampaknya ada kecenderungan besar lengan berkuasa Indonesia tidak lagi menganut politik aturan unifikasi, namun telah beralih ke pluralisme aturan ; 2) berlawanan debga politik unifikasi yang condong diitinggalkan, politik aturan kodifikasi masi tetap dilaksanakan.
F. Politik aturan sebagai Kajian Hukum Tata Negara
Berdasarkan pengertian Politik Hukum yaitu, kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang aturan yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Dalam definisi ini terdapat penyelenggara negara, dan yang kita ketahui yakni penyelenggara negara yaitu pemerintah yang dalam pemahaman luas mencakup kekuasaan legislatif, administrator dan yudikatif.
Tujuan negara yang dicita-citakan dapat dilihat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mengembangkan kemakmuran umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertivab dunia yang menurut kemerdekaan, perdamaian awet dan keadilan sosial. Apa yang terdapat dalam pembukaan itu kemudian dijabarkan lebih rinci pada pasal-pasal Undang-Undang Dasar 10945 tersebut, dan dioperasionalkan dalam bentuk undang-undang atau peraturan perundang-ajakan yang lain yang ada dibawahnya.
Pemerintahan atau forum negara serta keinginan suatu negara merupakan bab dari studi aturan tata negara . Artinya hal-hal yang berhubungan dengan politik aturan dalam pengertian teoritis dan simpel (menyangkut makna dan jiwa sebuah tata hukum, dan “teknik hukum” yang menyangkut cara membentuk aturan) sekarang menjadi kajian dalam disiplin ilmu tersebut. Hal ini sesuai dengan pnegrtian hukum tata negara yang dikemukakan oleh C. Van Vollenhoven dalam sebuah tulisan yang berjudul Thorbecke en het Administratief Reacht (1919) yang menyampaikan bahwa hukum tata negara ialah rangkaian peraturan hukum, yang mendirikan tubuh-tubuh selaku alat (organ) suatu negara dengan menunjukkan wewenang terhadap badan-tubuh itu, dan yang membagi-bagi pekerjaan pemerintah terhadap banyak alat negara, baik yang tinggi maupun yang rendah kedudukannya.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Penerapan Otonomi Daerah Di Indonesia
Otonomi yang berasal dari kata autonomos (bahasa Yunani) memiliki pemahaman menertibkan diri sendiri. Pada hakekatnya otonomi tempat adalah upaya untuk mensejahterakan masayarakat melalui pemberdayaan potensi kawasan secara maksimal. Makna otonomi daerah ialah kawasan memiliki hak , wewenang dan kewajiban untuk mengorganisir rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan peundang-seruan yang berlaku (Pusat Bahasa , 2001 : 805). Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 pasal 14 menyebutkan bahwa kewenangan daerah otonom untuk menertibkan dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi penduduk sesuai dengan peraturan perundang-permintaan . Aspek “ prakarsa sendiri “ dalam otonomi kawasan menawarkan “roh” pada penyelenggaraan pembangunan tempat yang lebih participatory. Tanpa upaya untuk menumbuh-kembangkan prakarsa setempat, otonomi tempat yang diperlukan dapat memperlihatkan nuansa demokratisasi pembangunan kawasan, akan kehilangan makna terpentingnya.
Otonomi yang luas sebenarnya ialah penjabaran dari desentralisasi secara utuh. Idealnya pelaksanaan otonomi yang luas mesti disertai pula dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, penggalian potensi dan keragaman kawasan yang difokuskan pada peningkatan ekonomi di tingkat kabupaten dan kotamadya Implementasi otonomi kawasan dapat dilihat dari bebagai sisi yakni pertama, dilihat dari sisi kawasan (teritorial) harus berorientasi pada pemberdayaan dan penggalian potensi tempat. Kedua, dari segi struktur tata pemerintahan berorientasi pada pemberdayaan pemerintah tempat dalam mengorganisir sumber-sumber daya yang dimilikinya secara bertanggung jawab dan memegang prinsip-prinsip kesatuan negara dan bangsa. Ketiga, dari sisi kemasyarakatan berorientasi pada pemberdayaan dan pelibatan penduduk dalam pembangunan di aneka macam daerah sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Undang-undang dan peraturan tentang otonomi kawasan telah disusun sejak Indonesia merdeka .Hal ini memberikan bahwa para pemimpin negara dari jaman Orde Lama, Orde Baru sampai pemimpin negara ketika ini telah mempertimbangkan betapa penting otonomi daerah mengenang wilayah Indonesia yang demikian luas yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemberian otonomi terhadap kawasan intinya merupakan upaya pemberdayaan dalam rangka mengurus pembangunan di daerahnya. Daerah diharapkan sedikit demi sedikit bisa melepaskan ketergantungannya kepada tunjangan pemerintah sentra dengan cara mengembangkan kreativitas, memajukan inovasi dan memajukan kemandiriannya. Bila pelaksaan otonomi daerah sesuai dengan peraturan dan perundang-ajakan yang sudah disusun, maka keinginan indah untuk mewujudkan “kawasan membangun“ (bukan “membangun kawasan”), mampu secepatnya tercapai. Otonomi daerah memberikan cita-cita cerah terhadap daerah untuk lebih meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka menunjukkan efektifitas pelayanan terhadap masyarakat .Hal lain yang tidak kalah penting yakni kawasan dapat melaksnakan fungsi-fungsi pembangunan serta berbagi prakarsa masyarakat secara demokratis , sehingga sasaran pembangunan diarahkan dan diadaptasi dengan keadaan dan urusan yang ada di kawasan.
Pada kenyataannya sangat ironis jika pelaksanaan dan penerapan otonomi tempat sejak Orde Lama, Orde Baru dan sampai saat ini tidak pernah tuntas. Berbagai faktor penyebab pelaksanaan otonomi kawasan yang tidak mulus yaitu alasannya distorsi kepentngan-kepentingan politik penguasa yang menyertai penerapan otonomi daerah sehingga penguasa condong tetap melakukan pemerintahan secara sentralistik dan sewenang-wenang. Selain itu kepentingan-kepentingan politik para pemimpin negara untuk memerintah dan berkuasa secara sewenang-wenang dengan mempolitisir otonomi tempat menjadikan otonomi daerah kian tidak jelas tujuannya. Suatu contoh yaitu pada abad pemerintahan presiden Suharto telah ditetapkan proyek percontohan untuk menerapkan otonomi tempat di 26 tempat tingkat II menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, namun tidak ada akhirnya.
Penerapan otonomi tempat melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ketika ini masih mencari bentuk, sebab perilaku pemerintah yang masih “ mendua “. Di satu pihak pemerintah sadar bahwa otonomi tempat sudah sangat mendesak untuk segera dilakukan secara tuntas, tetapi di lain pihak pemerintah juga berupaya tetap mengontrol tempat secara besar lengan berkuasa pula. Hal ini tampakpada kewenangan-kewenangan yang cukup luas yang masih ditangani pemerintah utamanya yang sangat berpeluang selaku sumber keuangan. Selain itu kewenangan pemerintah yang lain , yang juga mampu mengancam pelaksanaan otonomi tempat yaitu otoritas pemerintah untuk mencabut otonomi yang sudah diberikan terhadap tempat. Selama kurang lebih empat tahun semenjak dicanangkannya otonomi kawasan di Indonesia, pemberdayaan daerah yang gencar diperjuangkan pada kenyataannya belum dijalankan secara maksimal. Pembangunan di daerah kurang memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Keputusan-keputusan pemerintah serta acara-acara pembangunan tidak menambahkan masyarakat, sehingga program-program pembangunan di kawasan cenderung masih bersifat top down dibandingkan dengan bottom up planning .
Ada beberapa hal yang perlu diamati agar otonomi kawasan mampu terwujud. Pertama, harus disadari bahwa otonomi kawasan mesti selalu ditaruh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi kawasan ialah sebuah subsistem dalam satu sistem pemerintahan yang utuh. Kedua, perlu kemauan politik (political will) dari semua pihak seperti pemerintah sentra, pemerintah daerah dan penduduk . Kemauan politik dari semua pihak mampu memperkuat tujuan untuk membangun masyarakat Indonesia secara keseluruhan lewat pembangunan-pembangunan daerah. Kemauan politik ini dibutuhkan mampu membendung ajaran primordial, parsial, etnosentris dan sebagainya. Ketiga, akad yang tinggi dari aneka macam pihak yang berkepentingan sangat diperlukan semoga pelaksanaan otonomi daerah mampu tercapai maksudnya .
B. Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia
Selama kurang lebih 60 tahun Indonesia medeka, otonomi tempat turut mengiringi pula perjalanan bangsa Indonesia. Pada kala Orde Lama otonomi tempat belum sepenuhnya dijalankan, alasannya adalah pimpinan negara yang menerapkan demokrasi terpimpin cenderung bersikap diktatorial dan sentralistis dalam melakukan pemerintahannya. Demikian pula pada kala pemerintahan Orde Baru dengan demokrasi Pancasilanya, pelaksanaan pemerintahan masih cenderung bersifat sentralistis dan absolut. Selain itu pada kedua abad tersebut banyak terjadi distorsi kebijakan yang terkait dengan otonomi tempat. Tentu saja kita belum mampu melihat dampak dan pengaruh dari pelaksanaan otonomi daerah pada kedua kala itu, karena pada kenyataannya otonomi kawasan belum dikerjakan sepenuhnya, meskipun sudah banyak Undang-undang dan peraturan yang dibentuk untuk melakukan otonomi tempat tersebut.
Pada abad Reformasi permintaan untuk melakukan otonomi daerah sungguh gencar sehingga pemerintah secara serius pula menyusun kembali Undang-undang yang mengendalikan otonom tempat ialah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 wacana Pemerintahan Daerah. Setelah 2 tahun memalui era transisi dan sosialisasi untuk melakukan kebijakan otonomi tempat tersebut,maka otonomi tempat secara resmi berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001, pada masa pemerintahan presiden Abdurachaman Wachid. Setelah kurang lebih 4 tahun otonomi kawasan diberlakukan, pengaruh yang terlihat yaitu timbul dua kalangan penduduk yang berlainan pandangan perihal otonomi kawasan. Di satu sisi ada masyarakat yang pasif dan pesimis terhadap kesuksesan kebijakan otonomi daerah, mengingat pengalaman-pengalaman pelaksanaan otonomi kawasan pada kurun lalu. Kelompok masyarakat ini tidak terlalu bersemangat menunjukkan pinjaman ataupun menuntut acara-acara yang telah ditetapkan dalam otonomi daerah. Di sisi yang lain ada golongan penduduk yang sangat optimis kepada kesuksesan kebijakan otonomi tempat sebab kebijakan ini cukup aspiratif dan disokong oleh nyaris seluruh kawasan dan seluruh komponen.
Antusiasme dan permintaan untuk segera melaksanakan otonomi daerah juga berdatangan dari golongan-kalangan yang secara hemat dan politis memiliki kepentingan dengan pelaksanaan otonomi kawasan. Selain itu masyarakat yang masih dipengaruhi oleh euforia reformasi menganggap otonomi daerah yakni kebebasan tanpa batas untuk melakukan pemerintahan sesuai dengan impian dan dambaan mereka. Masyarakat dari tempat yang kaya sumberdaya alamnya, namun tidak menikmati hasil-hasil pembangunan selama ini, menganggap otonomi daerah menawarkan impian cerah untuk meningkatkan kehidupan mereka. Harapan yang besar dalam melakukan otonomi daerah telah menimbulkan kawasan-daerah saling berlomba untuk menaikan pemasukan asli tempat (PAD). Berbagai contoh upaya gencar tempat-daerah untuk meningkatkan PAD dengan cara yang paling gampang adalah dengan penarikan pajak dan retrebusi secara intensif. Contoh lain, tidak jarang terjadi sengketa antar daerah yang memperebutkan batas wilayah yang mempunyai kesempatanekonomi yang tinggi. Perebutan sumber pendapatan daerah sering juga terjadi antara pemerintah sentra dan pemerintah kawasan. Pemikiran yang bersifat regional, parsial, etnosentris, primordial , kadang-kadang mewarnai pelaksanaan otonomi tempat sehingga dikhawatirkan dapat menjadi benih disintegrasi bangsa.
Selain efek negatif dari pelaksanaan otonomi kawasan mirip tersebut di atas, juga ada efek nyata yang memberikaan harapan kesuksesan otonomi daerah. Suasana di kawasan-kawasan dewasa ini condong saling berpacu untuk memajukan potensi tempat dengan aneka macam macam cara. Seluruh komponen masyarakat mulai dari pemerintah kawasan dan anggota masyarakat lazimnya diharapkan dapat mengembangkan kreativitasnya dan dapat melaksanakan penemuan diberbagai bidang . Pengembangan dan inovsi bidang-bidang dan sumberdaya yang dahulu kurang menarik perhatian untuk dikembangkan, sekarang mampu menjadi kesempatanandalan dari kawasan. Selain itu otonomi daerah memacu menumbuhkan demokratisasi dalam kehidupan penduduk , memacu persaingan yang sehat, pendstribusian kekuasaan sesuai dengan kompetensi.
C. Politik hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Politik aturan penyelenggaraan pemerintahan daerah kini ini diatur dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 wacana Pemerintahan Daerah. Dalam penjelasan lazimnya dibilang antara lain bahwa Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dikerjakan menurut:
1. Prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh alasannya adalah itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan terhadap Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada di tangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah pada negara kesatuan ialah satu kesatuan dengan Pemerintahan Nasional.
2. Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Daerah ialah bab integral dari kebijakan nasional. Pembedanya ialah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, penemuan, daya saing, dan kreativitas Daerah untuk meraih tujuan nasional tersebut di tingkat setempat yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.
3. Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki otonomi berwenang mengatur dan mengelola daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak berlawanan dengan tatanan aturan nasional dan kepentingan biasa .
4. Dalam rangka menunjukkan ruang yang lebih luas terhadap tempat untuk mengatur dan mengorganisir kehidupan warganya, maka Pemerintah Pusat dalam membentuk kebijakan harus mengamati kearifan lokal dan sebaliknya Daerah ketika membentuk kebijakan daerah baik dalam bentuk Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya juga mengamati kepentingan nasional. Dengan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan setempat dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
5. Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal dari kekuasaan pemerintahan yang ada di tangan Presiden. Konsekuensi dari negara kesatuan ialah tanggung jawab simpulan pemerintahan ada di tangan Presiden. Agar pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke daerah berlangsung sesuai dengan kebijakan nasional maka Presiden berkewajiban untuk melaksanakan training dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Melalui undang-undang ini dijalankan pengaturan yang bersifat afirmatif yang dimulai dari pemetaan persoalan pemerintahan yang mau menjadi prioritas daerah dalam pelaksanakan otonomi yang seluas-luasnya. Melalui pemetaan tersebut akan tercipta sinergi
kementerian/ lembaga pemerintahan non kementerian yang masalah pemerintahannya
didesentralisasikan ke tempat. Sinergi problem pemerintahan akan melahirkan sinergi kelembagaan antara pemerintah pusat dan tempat, alasannya setiap kementerian/ forum pemerintahan non kementerian akan tahu siapa pemangku kepentingan (stakeholder) dari kementerian/ forum non kementerian tersebut di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota secara nasional. Sinergi problem pemerintahan dan kelembagaan tersebut akan menciptakan sinergi dalam penyusunan rencana pembangunan antara kementerian/ kelembagaan pemerintahan non kementerian dengan daerah untuk meraih nasional.
Pemetaan atau pembagian terstruktur mengenai Urusan Pemerintahan yakni dengan memetakan antara masalah pemerintahan pusat dan daerah diatur dalam Pasal 9 hingga dengan Pasal 26, ialah sebagai berikut:
a. Urusan pemerintahan sewenang-wenang yaitu Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
b. Urusan pemerintahan konkuren yakni Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
c. Urusan pemerintahan lazim adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Urusan pemerintahan tersebut yakni:
a. sewenang-wenang mencakup: politik luar negeri, pertahanan, keselamatan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.
b. Urusan Pemerintahan Konkuren yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan, yakni selaku berikut:
1) Urusan Pemerintahan Wajib.
Meliputi:Urusan Pemerintahan yang berhubungan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berhubungan dengan Pelayanan Dasar. Urusan Pemerintahan Wajib yang berhubungan dengan Pelayanan dasar berisikan: pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan tempat permukiman, ketenteraman, ketertiban biasa , dan pelindungan masyarakat sosial.
2) Urusan Pemerintahan Wajib
Yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi: tenaga kerja, pemberdayaan wanita dan pelindungan anak, pangan, lingkungan hidup, manajemen kependudukan dan pencatatan sipil, pemberdayaan masyarakat dan Desa pengendalian penduduk dan keluarga berencana, perhubungan, komunikasi dan informatika, koperasi, perjuangan kecil, dan menengah, penanaman modal; kepemudaan dan olahraga, statistik, persandian, kebudayaan, perpustakaan, dan kearsipan.
3) Urusan Pemerintahan Pilihan meliputi: kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, jual beli, perindustrian, dan transmigrasi.
c. Urusan Pemerintahan Umum pemerintahan lazim mencakup:
1) Pembinaan pengetahuan kebangsaan dan ketahanan nasional dalam rangka memantapkan pengamalan Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2) Pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
3) pelatihan kerukunan antar suku dan intrasuku, umat beragama, ras, dan golongan lainnya guna merealisasikan stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional;
4) penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
5) kerjasama pelaksanaan tugas antar instansi pemerintahan yang ada di daerah Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota untuk menyelesaikan problem yang muncul dengan memperhatikan prinsip demokrasi, hak asasi insan, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan, kesempatanserta keragaman Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6) pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila;pelaksanaan semua Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan Daerah dan tidak dilaksanakan oleh Instansi Vertikal.
Di samping pembagian problem pemerintahan sebagaimana tersebut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 juga mengatur kewenangan tempat di laut dan kawasan yang berciri kepulauan, yang dikelola dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 30, yakni:
a. Kewenangan Daerah Provinsi di Laut
1) Daerah provinsi diberi kewenangan untuk mengorganisir sumber daya alam di maritim yang ada di daerahnya.
2) Kewenangan Daerah provinsi untuk mengurus sumber daya alam di maritim meliputi:
3) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan bahari di luar minyak dan gas bumi;
4) pengaturan administratif;
5) pengaturan tata ruang;
6) berpartisipasi dalam memelihara keamanan di bahari; dan
7) ikut serta dalam menjaga kedaulatan negara.
8) Kewenangan Daerah provinsi untuk mengurus sumber daya alam di bahari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua belas) mil maritim diukur dari garis pantai ke arah maritim lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
9) Apabila daerah laut antar dua Daerah provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di maritim dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari kawasan antardua Daerah provinsi tersebut.
10) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku kepada penangkapan ikan oleh nelayan kecil.
b. Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan
1) Daerah Provinsi yang berciri Kepulauan mempunyai kewenangan mengelola sumber daya alam di bahari
2) Selain memiliki kewenangan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan menerima penunjukkandari Pemerintah Pusat untuk melakukan kewenangan Pemerintah Pusat di bidang kelautan berdasarkan asas Tugas Pembantuan.
3) Penugasan dapat dilaksanakan sesudah Pemda Provinsi yang Berciri Kepulauan memenuhi norma, patokan, mekanisme, dan patokan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
4) Untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan, Pemerintah Pusat dalam menyusun penyusunan rencana pembangunan dan menetapkan kebijakan DAU dan DAK mesti mengamati Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan.
5) Penetapan kebijakan DAU dikerjakan dengan cara menjumlah luas lautan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan dalam pengelolaan sumber daya alam di daerah bahari.
D. Konfigurasi Politik Hukum UU Otonomi Daerah Di Indonesia
Dalam perjalanan pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia semenjak kemerdekaan hingga dengan era reformasi sudah dikeluarkan banyak sekali produk UU yang menertibkan ihwal Otonomi Daerah. Perkembangan dari produk aturan Otonomi Daerah terpengaruh dengan berbagai situasi dan keadaan politik yang meningkat pada saat UU Otonomi Daerah dibuat. Disisi tata cara pemerintahan dan kekuasaan politik yang berkembang di Indonesia menghipnotis pembentukan peraturan perundangan di Indonesia secara lazim dan secara khusus hal tersebut juga berpengaruhi dalam pembentukan UU Otonomi Daerah di Indonesia.Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia yang dilihat pada pembentukan peraturan UU Otonomi Daerah, yakni Undang-Undang nomor 18 Tahun 1965 hingga dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004. Dalam era terbentuknya peraturan perundangan tersebut mampu dilihat pada korelasi kekuasaan politik dan pengaruhnya terhadap pembentukan produk aturan Otonomi Daerah di Indonesia.
Berdasarkan pada perkiraan bahwa hukum yakni produk politik, dimana aturan diletakan selaku dependent variabel dan politik sebaga independent variabel. Dengan melihat hal tersebut, dalam konfigurasi politik dapat terlihat pada sistem politik yang terjadi pada ketika perundangan tertentu dibuat. Sedangkan pada karakter produk hukum akan berkolerasi dengan konfigurasi politik. Dengan demikian, dapat dilihat dalam konfigurasi politik akan kuat pada produk hukum yang mau dibentuk pada masa tertentu.
Menurut Mahfud MD, suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan sangat berpengaruh pengaruhnya terhadap produk hukum yang mau diciptakan. Dengan kata lain konfigusi politik dalam suatu negara mampu menunjukkan gambaran bentuk produk aturan apakah berkarakter responsif, atau produk hukumnya berkarakter represif atau konservatif.
Mengacu pada konsepsi Nonet dan Selznick yang merujuk pada produk aturan yang berkarakter responsif dan huruf hukum yang represif/konservatif. Dengan pandangan diatas tersebut, akan melihat kekerabatan konfigurasi politik demokratis akan menciptakan produk aturan yang berkarakter responsif. Sedangkan konfigurasi politik yang diktatorial akan menghasilkan produk hukum yang represif/konservatif. Perubahan konfigurasi politik dari otoriter ke demokrasi atau sebaliknya berimplikasi pada pergeseran aksara produk hukum.
Mahfud MD, dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia meberikan indikator-indikator kepada konfigurasi sistem politik dan aksara produk aturan. Indikator-indikator tersebut dikonsepkan selaku berikut :
Indikator Sistem Politik
Konfigurasi Politik Demokratisis
|
Konfigurasi Politik Otoriter
|
1. Parpol dan Parlemen berpengaruh, menentukan haluan atau kebijakan negara
|
1. Parpol dan badan legislatif lemah, dibawah kontrol eksekutif
|
2. Lembaga Eksekutif netral
|
2. Lembaga eksekutif intervensionis
|
3. Pers bebas, tanpa snesor dan pemberedelan
|
3.Pers terpasung, diancam sensor dan pemberedelan
|
Indikator Karakter Produk Hukum
Karakter produk hukum responsif
|
Karakter produk hukum ortodoks
|
1. Pembuatannya partisipatif
|
1. Pembuatannya sentralistik-dominatik
|
2. Muatannya aspiratif
|
2. Muatannya positivist-instrumentalistik
|
3. Rincian isinya limitatif
|
3. Rincian isinya open interpretative
|
Sumber: Mahfud MD
E. Politik Hukum Pada Kepemerintahan Daerah
Politik hukum otonomi kawasan menciptakan cetak-biru bahwa DPRD bukan forum legislatif pemerintah kawasan dan pengawasan pemerintahan daerah. DPRD dapat menciptakan raperda, disarankan kepada kepala kawasan untuk ditolak atau disetujui, dengan atau tanpa revisi.
Untuk menyebarkan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan kawasan, dibentuklah DPRD selaku penyelenggara pemerintahan tempat bareng pemerintah tempat, bahu-membahu menertibkan & mengorganisir permasalahan pemerintahan dan mengurus kepentingan penduduk setempat berdasar aspirasi penduduk dalam sistem NKRI, sesuai abjad c UU 27/2009.
Pemerintahan tempat dilakukan pemerintah kawasan dan DPRD sebagai mitra kerja, sejak UU 32/2004 DPRD bukan lagi lembaga legislatif, DPRD tidak mampu meminta laporan pertanggungjawaban kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada, dan anggota DPRD separtai dengan kepala tempat condong bersikap mendukung kepala kawasan. Bila suatu partai menguasai secara umum dikuasai anggota DPRD dan kader partai sebagai kepala daerah, pemerintah daerah diwarnai budaya partai dan aspirasi partai tersebut.
Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 mendorong otonomi kawasan seluas-luasnya kecuali problem pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan selaku permasalahan pemerintah sentra, menjadi dasar kelahiran UU 22/1948 dan UU 1/1957 yang mengatur wacana pembentukan daerah, penambahan problem, dan utusan wewenang.
UU 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah diterbitkan namun tidak terealisasi dalam pemerintahan Orde Baru. Orde Baru rampung, iklim politik NKRI tersentralisasi mengalami pergantian mendasar dengan hadirnya politik desentralisasi & pemberdayaan kawasan berotonomi lewat penerbitan UU 22/1999, UU 32/2004 lalu UU 12/2008 perihal pemerintah tempat.
F. Politik Hukum Untuk Keuangan Pemda
Belum ada politik pendewasaan keuangan pemerintah tempat, belum ada acara pemaksaan bertahap agar tempat memperbesar PAD dan meminimalisir cita-cita transafer dari APBN. Sebagian besar APBD yaitu berasal dari transfer APBN.
Keuangan tempat tergolong di dalam ranah keuangan negara, pengelolaan keuangan tempat bermaksud untuk optimalisasi pemenuhan keperluan dasar penduduk , kenaikan kesejahteraan cq PAD, PDB dan pendapatan perkapita.
Pasal 75 ayat (3) UU 18/1965 ihwal Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah menjadi dasar penerbitan PP 36/1972 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah, PP 48/1973 ihwal Pedoman Penyelenggaraan Keuangan Daerah. UU 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah, PP 6/1975 wacana Cara Penyusunan APBD menjadi dasar pikiran pembentukan Permendagri 900-009/1980 wacana Manual Adminsitrasi Keuangan Daerah dan Kepmendagri 020-595/1981 tentang Manual Administrasi Pendapatan Daerah.
Reformasi ditandai dengan munculnya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah diwarnai euforia pembebasan keuangan daerah, ditandai oleh hadirnya hak DPRD memilih APBD dan tata tertib manajemen keuangan tempat masing-masing tanpa evaluasi & kesepakatan propinsi diberlakukan hanya sekitar 5 tahun, dinilai berlebihan, lalu diselaraskan dengan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan klausul tersebut di atas kemudian dihapus pada UU 32/2004 ihwal Pemerintahan Daerah.
Karena reformasi keuangan negara vide UU 17/2003, maka UU 25/1999 tersebut bermetamorfosis UU 33/2004 perihal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.Karena keuangan daerah berada dalam domain keuangan negara, UU 17/2003 perihal Keuangan Negara berimbas ke daerah menjadi UU 25/2004 ihwal Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU 33/2004 perihal Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemda memberi hak/wewenang tempat mengorganisir pajak kawasan, retribusi daerah, dana perimbangan dan perlindungan daerah, PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan tiga Permendagri – yaitu Permendagri 13/2006, 59/2007, 21/2011–tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pemerintah kawasan, DPRD dengan partisipasi & aspirasi rakyat pemda memutuskan kebijakan biasa anggaran (KUA) sebagai landasan rencana pembangunan jangka panjang tempat (RPJPD), rencana pembangunan jangka menengah tempat (RPJMD) rencana kerja pemerintah tempat (RKPD). Sebagai wakil rakyat, DPRD berusaha melayani rakyat, memenuhi aspirasi penduduk lokal tentang (1) sumber perolehan yang berkenan di hati rakyat, dan (2) alokasi duit rakyat lewat RAPBD memenuhi aspirasi yang bagus, serta (3) tak terdapat anggota DPRD menjadi berandal anggaran, tender dan penunjukan rekanan. Sampai ketika ini seni manajemen otonomi kawasan tak menghasilkan lompatan besar kemakmuran rakyat tempat, lebih banyak diwarnai aroma KKN APBD. Apabila otonomi daerah dinilai oleh Presiden terpilih 2014 justru menghasilkan KKN daerah, maka tiap DPRD dan pemerintah tempat perlu segera dilengkapi metode pengawasan KKN & pengaduan publik (whistle blowing system).
Presiden dan kabinet baru diharapkan mengubah dasar alokasi dana perimbangan kabupaten sampai ke desa secara lebih tepat dan lebih adil, contohnya menimbang-nimbang alokasi sadar senjang atau gap, berbasis penjabaran daerah (Indonesia bab Barat atau Timur), jumlah penduduk, kepadatan penduduk, ragam kelompok etnis, rentang kontrol terkait luas kawasan darat ditambah bahari, kondisi prasarana dasar minimum, keadaan sosial & perekonomian, UMKM & etos kerja (selaku syarat efektivitas alokasi), SDA & Penghasilan Asli Daerah, topografi dan kondisi alam (sukar/mudah, gersang/subur), bukan sekadar berbasis luas wilayah & jumlah penduduk.
Mudah sekali menengarai pemerintahan demokratis atau sewenang-wenang. Pada pemda yang demokratis, kehendak rakyat yang baik dan benar diutamakan DPRD dan pemerintah kawasan, bukan kebutuhan pegawapemerintah pemda sendiri bahkan kebutuhan DPRD sendirilah yang diutamakan. Agar tidak dituduh otoriter, keinginanrakyat yang tidak patut & tidak terakomodasi dalam RAPBD dijelaskan dengan tabah oleh Bupati, Camat, Lurah, Kepala Desa melalui media publik setempat.
Adapun ukuran pemerintahan yang baik ialah:
1. Secara aturan, pemerintah daerah yang demokratis & bertanggung jawab ditandai oleh:
2. Kemampuan pelaporan LK pemerintah tempat berbasis PP 71/2010 dan perolehan opini WTP BPK atas LK pemda,
3. Tidak ada perkara korupsi APBD dan/atau hukuman pidana kepada Bupati atau anggopta DPRD,
4. Tidak ada kasus KKN pada lelang, nominasi, dan penunjukan pribadi perusahaan pengelola SDA pemda atau proyek-proyek pemda,
5. Tidak ada salah alokasi budget, misalnya tidak terdapat belanja bansos dalam belanja modal & barang untuk dipakai sendiri oleh pemda.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pelaksanaan otonomi tempat diharapkan menjadi pegangan besar lengan berkuasa untuk mewujudkan otonomi daerah sesuai dengan hakikat dan tujuannya yang mulia. Pelaksanaan otonomi daerah bukan hal yang seram jika dimengerti dengan benar dan proporsional. Banyak tempat yang sudah menunjukkan kesempatan yang mengasyikkan.
Modal utama untuk merealisasikan terlaksananya otonomi kawasan secara baik dan benar ialah rasa percaya diri yang besar dan kesepakatan yang tinggi dari Pemerintah Pusat, Pemda dan masyarakat untuk tetap konsisten melaksanakan otonomi kawasan sebab otonomi kawasan diperlukan dapat menjinjing pemerataan dan keadilan. Sistem desentralisasi dan otonomi daerah dalam mengawal politik hukum menjamin terbukanya partisipasi penduduk dalam pembangunan daerahnya.
Melalui otonomi tempat potensi untuk melaksanakan demokrasi ekonomi terbuka lebar, sehingga ekonomi kerakyatan yang selama ini tidak mendapat perhatian, akan menerima bantuan. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi kerakyatan harus memotivasi masyarakat untuk berkreasi dan berinovasi agar tempat memiliki daya tahan dan daya saing di abad globalisasi ini khususnya dalam politik aturan.
B. Saran
Demikian makalah ini terkait politik hukum dalam otonomi tempat, tugas semua pihak (stake Holder) sungguh diperlukan dan lebih memperlihatkan bantuan nyata terhadap pembangunan tempat sehingga lebih mempunyai nilai kemanfaatan dalam perkembangan tempat.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, sinar harapan, Jakarta, 1994
Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2008
Josef Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1982
Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta : CIDES
Krishna dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, citra aditya bakti, 2003
Mahfud MD, Politik Hukum di Indoinesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009
Mokodompit, Agussalim, Eddy, 1994, “ Dimensi Kemasyarakatan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah “, Majalah Manajemen Pembangunan , Nomor 6/II, Januari
Mubyarto, 1988, Sistim dan Moral Ekonomi Indonesia, Jakarta : LP3ES
Mubyarto, 2000, Pemulihan Ekonomi Rakyat Menuju Kemandirian Masyarakat Desa, Yogyakarta : Aditya Media.
Mubyarto, 2001, Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis, Yogyakarta : BPFE.
Ni”Matul Huda, Problematika Pembatalan Perda, FH UII, Yogyakarta, 2010
Nugroho D., Riant, 2000, Otonomi Daerah Desentralisasi Tanpa Revolusi : Kajian dan Kritik atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia.Jakarta : PT Elex Media Kompetindo
Nurliah Nurdin, Komparasi Sistem Presidensial Indonesia Dan Amerika Serikat Rivatilitas Kekuasaan Antara Preseiden dan Legislatif, MIPI, Jakarta, 2012
Soekanto, Soerjono, 1970, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : yayasan Penerbit Universitas Indonesia.
Soemardjan, Selo (Ed.),2000, Menuju Tata Indonesia Baru, Jakarta : PT Gramedia
https://www.kabarhukum.com/2015/09/08/pemahaman-politik-aturan/
https://www.ksap.org/sap/politik-aturan-otonomi-tempat-2015/