Perbandingan Antar Pemikiran Ilmu Kalam

PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN ILMU KALAM
Ilmu kalam selaku ilmu yang membahas persoalan ketuhanan dengan berpegang kepada dalil-dalil naqli serta menggunakan nalar/rasio sebagai media penafsirannya. Wahyu selaku kabar dari alam metafisika turun terhadap insan dengan keterangan-informasi wacana Tuhan dan akal sebagai media yang ada pada diri manusia berupaya keras untuk mampu mencapai Tuhan.
Terdapat beberapa aliran di dalam ilmu kalam yang mana contoh pemikiran antar pemikiran ini condong kontradiktif. Masalah utama yang timbul dari perbedaan fatwa-alian teologi tersebut adalah duduk perkara siapa yang kafir dan siapa yang tetap beriman.
Dalam makalah ini akan diuraikan perbandingan fatwa antar beberapa ajaran ilmu kalam tentang persoalan; Kedudukan Akal dan Wahyu dalam pandangan anutan-ajaran ilmu kalam, kedudukan Pelaku Dosa-Dosa Besar (kafir atau tidak), dan sifat Al-Qur’an (apakah qodim atau hadits/baharu) berdasarkan anutan-anutan ilmu kalam.
Dari perbandingan antar pedoman ini, kita dapat mengetahui, menela’ah dan membandingkan antar paham aliran satu dengan aliran yang lain. sehingga kita mengetahui maksud dari segala polemik yang ada.
      A.     Wahyu dan Akal
Kaum Mu’tazilah beropini bahwa segala wawasan mampu diperoleh dengan perantaraan logika, dan keharusan dapat dikenali dengan pedoman yang mendalam. dan dapat pula mengenali melaksanakan yang bagus dan meninggalkan yang buruk yaitu wajib. Bahkan sebelum wahyu turun, orang telah wajib bersyukur kepada Tuhan, Menjauhi yang buruk dan melakukan yang bagus.
Golongan Al-Murdar bahkan terlihat lebih ekstrim. Menurut pandangan mereka, dalam kewajiban mengenali Tuhan, tergolong pula keharusan-keharusan mengenali hukum-aturan dan sifat-sifat Tuhan berdasarkan kemampuan logika insan, walaupun tanpa adanya wahyu. Dan orang yang tidak mengetahui hal tersebut memiliki arti tidak berterima kasih terhadap dewa, dan akam menerima hukuman infinit dalam neraka.
Kaum Asy’ariyah menolak sebagian besar dari pertimbangan kaum mu’tazilah diatas. Mereka beropini nalar memang dapat mengetahui adanya Tuhan. Namun kewajiban insan cuma dapat diketahui lewat wahyu. Wahyulah yang mewajibkan manusia untuk mengetahui ilahi dan berterima kasih terhadap-Nya. Dengan wahyu pula manusia dapat mengenali bahwa melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk yaitu wajib. Menurut mereka nalar tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban insan, Akal cuma mampu menemukan wawasan. untuk itulah wahyu dibutuhkan.
Menurut anutan Maturidiyah Samarkand, mirip halnya dengan kalangan Mu’tazilah, logika mampu mengenali adanya Tuhan, keharusan mengenali ilahi, dan berterima kasih terhadap Tuhan. Seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazbawi dan Abu ‘Uzbah. Namun dalam hal baik dan jelek mereka tidak sefaham dengan Mu’tazilah. Akal tidak mampu mengenali kewajiban berbuat baik dan meninggalkan jelek, logika hanya dapat mengenali hal yang bagus dan yang buruk, sebab yang menentukan kewajiban melaksanakan yang bagus dan meninggalkan yang jelek hanyalah Tuhan. alasannya adalah itu wahyu sangatlah diharapkan untuk menjelaskannya.
Golongan Maturidiyah Bukhara tidak beropini demikian, berdasarkan mereka akal hanya dapat mengetahui Tuhan serta mengetahui yang bagus dan yang buruk, tetapi nalar tidak mampu mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan serta kewajiban melakukan yang bagus dan meningggalkan yang buruk. Bagi sekte ini yang menentukan keharusan-kewajiban bagi insan hanyalah Tuhan.
      B.     Pelaku Dosa-Dosa Besar
1.             Menurut ajaran Khawarij
Ciri yang mencolokdari anutan Khawarij yaitu budbahasa ektrimitas dalam memutuskan problem-masalah kalam. Tak heran jika pedoman ini memiliki pandangan ekstrim pula wacana status pelaku dosa besar. Mereka menatap bahwa orangorang yang terlibat dalam insiden tahkim, yaitu Ali, Mu’awiyah, amr bin al-ash, Abu Musa al-asy’ari adalah kafir. Hal ini didasarkan terhadap firman Allah pada surat Al-Maidah ayat 44:
Artinya:
“…Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu ialah orang-orang yang kafir.”
Semua pelaku dosa besar, menurut semua sub sekte khwarij yakni kafir dan akan disiksa dineraka selamanya. Sub sekte yang sungguh ekstrim, Azariqah memandang musyrik bagi siapa pun yang tidak sefaham dengan mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam persepsi mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan memiliki arti dia telah keluar dari Islam, mereka baka dineraka bersama orang-orang kafir yang lain.
Sub sekte Najdah menilai kafir bagi seseorang yang melakukan dosa kecil secara berkesinambungan, seperti halnya dengan pelaku dosa besar. Namun mereka tidak menatap kafir bagi pengikutnya. Mereka berpendapat jikalau pengikutnya melaksanakan dosa besar mereka akan tetap mendapatkan siksa dalam neraka tetapi pada karenanya mereka akan masuk surga juga.
Sub sekte As-Sufriah membagi dosa besar menjadi dua macam. Yaitu dosa besar yang terdapat hukuman didunia (mirip membunuh, berzina, dll) dan dosa besar yang tidak ada sanksinya didunia (seperti meninggalkan sholat dan puasa). Mereka tidak memandang kafir bagi pelaku dosa besar kelompok pertama. Sedangkan pelaku dosa besar kalangan kedua dipandang kafir
2.             Menurut aliran Murji’ah
Pandangan aliran murji’ah wacana setatus pelaku dosa besar mampu ditelusuri dari definisi iktikad yang dirumuskan oleh mereka. Tiap-tiap sekte fatwa murji’ah berbeda pertimbangan wacana definisi tersebut, sehingga pandangan mereka tentang status pelaku dosa besar juga berlainan-beda.
Secara garis besar sub sekte Murji’ah mampu dikategorikan dalam dua klasifikasi: ekstrim dan moderat. Harun nasution berpendapat bahwa sub sekte murji’ah yang ekstrim yaitu mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh alasannya itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak mempunyai arti sudah memindah atau menghancurkan keimanannya. Bahkan keimanannya masih sempurna dimata Tuhan.
Diantara sub sekte yang ekstrim ini yakni al-jamiyah, as-salihiyah, dan al-yunusiah. Menurut kalangan ini perbuatan maksiat yang dilakukan  seseorang tidak dapat menggugurkan keimanannya, sehingga mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak akan disikas dineraka selama mereka tetap dalam keadaan beriman terhadap Allah.
Adapun murji’ah moderat yakni mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, mereka tidak infinit didalamnya, tergantung kepada ukuran dosar yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksa neraka.
Salah satu sub sekte Murji’ah moderat ini yaitu Abu Hanifah dan pengikutnya. Ia berpendapat bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, akan namun perbuatan dosa yang dilakukannya tetap memiliki implikasi. Jika mereka masuk neraka, dank arena keinginanallah, mereka tidak akan baka di dalamnya.
3.             Menurut fatwa Mu’tazilah
Bila aliran Khwarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang niscaya bagi pelaku dosa besar, apakah dia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan istilah al-manzilah bainal-manzilataini.
Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada diposisi tengah diantara posisi mukmin dan kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, beliau akan dimasukkan ke dalam nerak selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu’tazilah, mirip wastul bin atha’ dan amr bin ubaid memperjelas istilah itu dengan ungkapan fasik yang bukan mukmin atau kafir.
Dalam menentukan patokan dosa besar, fatwa mu’tazilah menggunakan bahaya yang terdapat dalam nash. Dosa besar menurut mereka ialah segala pelanggaran yang ancamannya disebutkan secara terang dalam nash. Sedangkan segala pelanggaran yang tidak disebutkan dengan tegas hukumannya di dalam nash di golongkan kepada dosa kecil.
4.             Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, selaku wakil ahl-as-Sunah, tidak mengkafirkannya. walaupun melaksanakan dosa besar, Menurutnya, mereka masih tetap selaku orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan namun jika dosa besar itu dilakukannya dengan asumsi bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, beliau dipandang telah kafir.
Adapun balasan di alam baka kelak bagi pelaku dosa besar, jika dia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut Al-Asy’ari, mereka akan mendapat siksaan di dalam neraka sesuai dengas ukuran dosa yang mereka kerjakan. Namun mereka tidak akan baka di dalam neraka, setelah siksaan yang mereka alami dineraka menghapus semua dosa-dosa mereka, mereka berikutnya akan dimasukkan kedalam surga. Namun kalau Allah SWT menghendaki dan mereka mendapat syafaat dari Nabi SAW maka bisa saja Allah mengampuni dosa-dosanya sehingga terbebas dari siksa neraka.
Golongan Asy’ariyah dalam memposisikan pelaku dosa besar cenderung sama dengan kelompok Murji’ah, yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.  terutama golongan Murji’ah moderat.
5.             Aliran Maturidiyah
Aliran maturidiyah, baik samarkand maupun bukhara, setuju menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap selaku seorang mukmin sebab adanya keimanan dalam dirinya. Adapun akibat yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. bila ia meninggal tanpa tobat apalagi dulu, sama halnya dengan kalangan asy’ariyah keputusan mutlak berada di tangan allah. Apakah pelaku dosa besar tersebut diampuni sehingga tidak menerima siksaan di neraka ataupun allah akan memasukkan keneraka dan menyiksanya menurut perduatan dosa yang dilakukannya.
Sebagai mana yang di ungkapkan oleh al-maturidi sendiri sebagaipendiri fatwa ini pelaku dosa besar tidak akan kekal didalam neraka. Hal ini didasarkan atas komitmen allah yang hendak menawarkan balasan terhadap manusia sesuai dengan perbuatannya didunia. Mereka yang infinit di dalam neraka hanyalah mereka yang mensekutukan allah (syirik). Perbuatan dosa besar tidak menjadikan seseorang kafir atau murtad.
6.             Aliran Syi’ah Zaidiyah
Penganut Syi’ah zaidiyah yakin bahwa orang yang melakukan dosa besar akan baka di dalam neraka, kalau beliau belum tobat dengan tobat yang bantu-membantu. Dalam hal ini, Syi’ah zaidiyah memang erat dengan Mu’tazilah.
      C.     Al-Qur’an (Qodim atau Mahluk)
Diskusi tentang Kalam Allah timbul tatkala terlontar aliran perihal kemakhlukkan Kalam Allah. Pemikiran perihal kemakhlukkan Kalam Allah ini untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Ja’d ibn Dirham, semasa Khlaifah Umayyah Hisham (724-743 M) . Hisyam kemudian memerintahkan untuk mengeksekusi Ja’d ibn Dirham.
Namun demikian, pembicaraan perihal kemakhlukan Kalam Allah ini baru terkenal dan menjadi diskusi Ilmu Kalam secara lebih serius pada kala Khalifah Al-Ma’mun, setelah cukup usang Mu’tazilah lahir, gres dilontarkan kembali pedoman wacana kemakhlukkan Kalam Allah (utamanya Al-Qur’an) ini oleh Ibn Abi Duwad era Khalifah Al-Ma’mun (sekitar 827 M), yang menyebabkan paham Mu’tazilah sebagai mazhab resmi yang dianut Negara.
Aliran yang terkenal dalam tradisi Islam yang berpendapat bahwa Kalam Allah sebagai Makhluk yakni fatwa Mu’tazilah. Kaum Mu’tazili kebanyakan mengetahui hakikat kalam atau perkataan, selaku : huruf yang tersusun dan bunyi yang terputus-putus yang diucapkan dengan verbal.
Al-Nadzdzam dan para pengikutnya berpendapat bahwa kalam manusia ialah ‘ard dan harakat (gerakan, movement, berubah) sebab bagi mereka tidak ada ‘ard kecuali al-harakat. Dan Kalam Allah merupakan jism. Dengan demikian Kalam Allah ialah makhluk sebab jism dan ard merupakan makhluk yang diciptakan Allah.
Argumen-argumen tentang kemakhlukkan Kalam Allah ini diantaranya berpijak ayat Al-Qur’an, antara lain :
Artinya :
“Susungguhnya kondisi-Nya bila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya “Jadilah” maka terjadilah ia.” (QS. Yasin, 36: 82)
Ayat ini, dalam pandangan Mu’tazili, kata “kun” ialah baharu (muhadats), karena ialah sesuatu yang tersusun dari dua karakter yang mampu dipindah-pindahkankan, yang satu mendahului lainnya (memiliki struktur). Selain itu, dalam ayat di atas terdapat lafadz “an”, menurt Mu’tazilah, lafadz tersebut merupakan fi’il mudhari, menunjuk pada era mendatang. Dengan demikian, lafadz “an” tersebut memperlihatkan pada baharunya “kun”. Demikian juga dengan karakter “fa” dalam kata “fayakun” selaku li al-ta’qid (penegasan), sehingga menjinjing pengertian bahwa ciptaan di dahului oleh zaman. Maka, menurut pemahaman dan argumen-argumen tersebut di atas, Mu’tazilah beropini bahwa al-Qur’an, selaku Kalam Allah adalah baharu, makhluk.
Pemikiran Mu’tazilah perihal kemakhlukkan Al-Qur’an atau Kalam Allah mendapat reaksi keras dari kelompok yang berpegang teguh pada atsar (hadits nabi), yang lebih memprioritaskan riwayah dari pada dirayah, yang kemudian mereka menamakan dirinya dengan Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah.
Salah seorang tokoh salaf yang secara gencar dan konsisten dalam melakukan reaksi kepada aliran Mu’tazilah adalah Ahmad bin Hanbal. Pernah terjadi dialog antara Ahmad bin Hanbal dengan Ishaq Ibn Ibrahim penganut madzahm Mu’tazilah yang juga adalah seorang Gubernur Iraq. Pada inti dari dialog tersebut Ibn Hanbal secara tegas menolak aliran kaum Mu’tazilah yang menganggap Al-Qur’an selaku makhluq. Karena keberaniannya ini kemudian dia dipenjarakan.
Tokoh sentral lainnya yang melaksanakan kritik dan penentangan terhadap paham Mu’tazilah yaitu Abu Hasan Al-‘Asy’ari. Kaum Asy’ariah berpegang keras pada beropini bahwa sabda ialah sifat, dan selaku sifat Allah mestilah infinit. Sabda menurut Asy’ariah, sebagai tanggapan kepada teori Mu’tazilah perihal kalam selaku suara yang tersusun atas kata-kata, dan merupakan insiden yang menganl awal dan pemilahan.
Asy’ariah mendefinisikan kalam sebagai arti atau makna absurd dan tidak tersusun. Sabda bukanlah apa yang tersusun dari karakter dan bunyi. Karena sabda itu tersusun cuma dalam arti kiasan (rancangan). Sabda yang sebetulnya apa yang terletak di balik yang tersusun itu. Sabda yang tersusun apa dari aksara-abjad dan kata-kata bukanlah sabda Tuhan. Sabda dalam arti abstrak inilah yang dapat bersifat infinit dan mampu menjadi sifat dewa. Dan al-Qur’an bukanlah apa-apa yang tersusun dari huruf-huruf, kata-kata dan surat-surat itu, akan tetapi arti atau makna absurd.
Pemikiran yang diajukan Asy’ariyah dalam menjawab argumen dan fatwa Mu’tazilah yang mendasarkan pada dalil naqli dalam QS. An-Nahl, 30: 40 dan QS. Yasin, 36: 82, wacana kata “kun” selaku perintah atau kalam Allah dalam “proses” mengakibatkan sesuatu yang dianggap Mu’tazilah selaku sesuatu yang baharu, cukup mempesona dan pintar. Asy’ariyah menyatakan bahwa jika kata “kun” itu baharu, sedangkan kata atau perintah “kun” itu merupakan syarat bagi terjadinya sesuatu, maka mesti ada kata-kata “kun” yang lain sebelum munculnya kata “kun” tersebut, demikian seterusnya tanpa selesai.
Dalam hal ini Asy’ariyah memisahkan antara memerintah dengan membuat, seperti diungkap dalam Al-Qur’an :
Artinya :
“Ingatlah, cuma pada Allahlah hak mencipta dan memerintah.” (QS. Al-A’raaf: 54)
Al-Asy’ari menjelaskan maksud dari ayat diatas dengan: Ketika Dia berfirman, “Ingatlah pada Allahlah hak mencipta.” maka mencipta ini mencakup apa pun yang diciptakan oleh allah, dan ciptaan yaitu makhluk; dan dikala berfirman “dan memerintah”, maka memerintah selaku kalamullah, ini tidaklah tergolong apa pun yang dicipta. Dengan demikian maka mencipta dengan memerintah merupakan dua hakl yang berlainan. Maka dari itu, apa yang diuraikan di atas memastikan pengertian bahwa Kalamullah (Al-Qur’an) bukanlah makhluk.
Analisis Ibnu Rusyd
Dalam memecahkan masalah kalam salah satu metode yang digunakan oleh Ibnu Rusyd ialah dengan mengkritisi pedoman-pemikiran yang dikemukakan oleh para mutakallimin. Menurut Ibnu Rusyd, ajaran para mutakallimin belum mampu membawa iktikad insan secara menyeluruh, dikarenakan sistem yang mereka gunakan sulit difahami.
Dalam mengkritisi ajaran-ajaran mutakallimin, Ibnu Rusyd senantiasa memadukan antara dalil-dalil nash (wahyu) dengan nalar. Ada beberapa kalangan yang menerima kritikan tajam bari Ibnu Rusyd mengena anutan kalamnya. Salah satunya yakni madzhab Hasywiyyah, ialah pemikiran yang hanya berpegang terhadap makna lahir dari nash, golongan ini tidak mengakui adanya pentakwilan kepada dalil-dalil nash. Karena pendiriannya tersebut mereka kuga disebut Al-Zhahiriyyah.
Madzhab ini berkeyakinan bahwa hanyalah wahyu satu-satunya cara untuk mengenali Allah. Akal tidak dapat mengetahui allah alasannya kemampuannya yang sangat lemah.
Ibnu Rusyd tidak sepenuhnya menyalahkan pemikiran kelompok Hasywiyyah ini, sebab memang ada beberapa orang yang cuma mampu memahami dzahirnya ayat saja. Yang menjadi dilema bagi Ibnu Rusyd adalah bahwa fatwa ini tidak mengakui argumen lain diluar nash. Mereka mewajibkan bagi setiap mu’min untuk berpedoman terhadap dzahir nash saja, bahkan mengharamkan adanya takwil bagi semua nash, tidak terkecuali nash-nash yang bersifat tasybih.
Ibnun Rusyd beropini bahwa orang yang mengabaikan penggunaan akal mirip golongan Hasywiyyah ini sudah melakukan suatu kesalahan. Karena pertimbangan tersebut justru bertentangan dengan Al-Qur’an. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang menyuruh manusia untuk menggunakan akalnya.
Selanjutnya adalah kelompok Mu’tazilah dan kalangan Asy’ariyah. Dalam persoalan kedudukan nalar dan wahyu, kalangan mu’tazilah mengungkapkan; jika terjadi perdebatan antara pendapat akal dengan keterangan wahyu, nalar mesti berupaya mencari dan memeriksa makna sejati yang terkandung di dalam wahyu tersebut. Dalam hal ini mu’tazilah memberikan prioritas terhadap akal dalam mencari kebenaran. Sedangkan kelompok Asy’ariyah lebih menerima dan mengimani wahyu tersebut apa adanya. Menurut Ibnu Rusyd golongan Mu’tazilah terlalu besar menunjukkan takaran kepada logika sehingga mereka terlalu sering mentakwilkan ayat Al-Qur’an. Sedangkan golongan Asy’ariyah terlalu sedikit menawarkan takaran terhadap nalar/ rasio.
Dalam urusan Al-Qur’an, kelompok Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an yaitu kalam yang diturunkan Allah terhadap Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an dikategorikan selaku fi’il (perbuatan) Allah. Karena Al-Qur’an mempunyai aksara dan bunyi, maka Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an ialah makhluk dan tidak qodim. Dan yang qodim hanyalah Allah.
Namun sebaliknya, Asy’ariyah berpendapat bahwa Al-Qur’an yakni qodim. Asy’ariyah menyaksikan Al-Qur’an dari sumber hadirnya. Sejatinya Al-Qur’an itu berada pada segi Allah, sedangkan apa saja yang berupa aksara, suara, dan tertulis dalam mushaf yakni istilah dari apa yang ada pada sisi Allah. Oleh alasannya itu golongan ini meyakini bahwa Al-Qur’an ialah kalam Allah yang qodim.
Ibnu Rusyd tidak menolak pemikiran Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an diciptakan, tetapi dia juga tidak menolak pemikiran Al-Asy’ari akan keqodiman Al-Qur’an. Menurutnya Al-Qur’an adalah kalam yang tergolong sifat af’al dan bermaksud untuk menawarkan pemahaman sesuatu terhadap pendengar. Allah menganugerahkan kepada manusia untuk mengetahui Al-Qur’an lewat penggunaan istilah (lafzhi).
Ibnu Rusyd mengungkapkan menurut firman Allah Q.S asy-syura : 51 :
Artinya :
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mewakilkan seorang utusan (malaikat) kemudian diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia inginkan. Sesungguhnya ia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Ibnu rusyd condong menekankan eksistensi Al-Qur’an di segi Allah dari pada keberadaannya di segi manusia. Di segi Allah Al-Qur’an mempunyai bahasa tersendiri dimana hanya Allah yang mengetahuinya. Karena itu Allah menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa manusia lewat seorang Rosul.
Jadi, Al-Qur’an berasal dari Allah sedangkan bahasanya ialah perbuatan insan. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung dua faktor, adalah aspek kemakhlukan dari segi keberadaannya yang berhuruf dan bersuara. Dan Al-Qur’an juga mempunyai aspek qodim dari asalnya, adalah dari Allah SWT.
KESIMPULAN
Perbedaan pendapat yang terjadi antara beberapa aliran teologi Islam intinya dipengaruhi oleh sistem pendekatan mereka dalam memahami masalah kalam. Semua pemikiran-pedoman tersebut intinya menyebabkan logika dan wahyu selaku sumber dalam mendapatkan pengetahuan dan iktikad. Namun pada penerapannya, porsi yang diberikan terhadap akal dan wahyu oleh fatwa-pedoman tersebut berlawanan-beda, sehingga menyebabkan perbedaan dalam hasil yang dicapainya.
Terdapat beberapa pedoman yang menempatkn nalar sebagai sumber dari segala pengetahuan dengan takaran superior. Pemikiran mereka cenderung bersifat rasionalistis sehingga terkadang anutan tersebut jauh menyimpang dari nash (wahyu).
Ada pula anutan yang terlalu menempatkan wahyu sebagai sumber dari segala-galanya dan menganggap bahwa logika insan tidak bisa untuk memperoleh wawasan. Pemikiran mereka condong terpahu kepada nash-nash (wahyu) dan tidak mau menerima sesuatupun yang berasal dari rasio.
Dalam hal ini, Inbu Rusyd mencoba menggabungkan penggunaan logika dan wahyu selaku sumber dari pengetahuan dengan takaran yang sebanding. Ibnu Rusyd senantiasa menyerukan dalam mengatasi segala sesuatu untuk kembali kepada nash Al-Qur’an, ialah dengan mengetahui makna yang terkan dung didalamnya.