BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kedatangan bangsa barat (Portugis, Inggris, dan Belanda) di kawasan Indonesia, yang dibarengi dengan penguasaan kepada wilayah-daerah di Indonesia dalam kala tertentu ternyata menimbulkan reaksi dari rakyat Indonesia. Reaksi tersebut bentuknya bermacam-macam, namun pada pokoknya cuma dua, adalah koordinasi dan perlawanan.
Kerjasama pada umumnya dilaksanakan bilamana rakyat Indonesia baik secara individu maupun kelompok ingin menerima kekuasaan, sebaliknya perlawanan dilaksanakan kalau bangsa barat tersebut berupaya mengambil alih aset yang dimilikinya, apakah itu berbentuk daerah berjualan, bertani atau berkuasa.
Selain itu perlawanan juga dilaksanakan rakyat Indonesia terhadap bangsa Barat yang disebabkan bangsa-bangsa tersebut berupaya memaksakan kehendaknya dengan cara ingin memperluas kekuasaannya di Indonesia sambil merampas hak-hak tradisional kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Perlawanan rakyat Indonesia kepada kekuasaan Barat ditandai dengan perang atau perlawanan pribadi terhadap kekuasaan bangsa Barat.
Perlawanan tersebut juga ditandai dengan kompetisi di antara kerajaan-kerajaan di Nusantara dalam rangka memperebutkan hegemoni kekuasaan di daerah tersebut. Dalam kompetisi tersebut kadang-kadang kerajaan-kerajaan Nusantara melibatkan kekuatan bangsa Barat atau meminta bantuan VOC/Belanda untuk menolong mengalahkan pesaing-pesaingnya dalam memperebutkan kekuasaan.
Konsekuensinya VOC/Belanda menerima kawasan kekuasaan alasannya upayanya membantu mengalahkan pesaingnya. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya kegagalan bangsa Indonesia dalam menghalau bangsa-bangsa Barat dari Nusantara.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Latar Belakang Kedatangan Kolonialisme dan Imperialisme Eropa di Nusantara?
2. Bagaimana Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Kolonialisme dan Imperialisme Eropa di Nusantara?
C. Tujuan Masalah
1. Memahami Sejarah Latar Belakang Kedatangan Kolonialisme dan Imperialisme Eropa di Nusantara.
2. Memahami Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Kolonialisme dan Imperialisme Eropa di Nusantara .
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kolonialisme Dan Imperialisme
Praktik penjajahan yang dikerjakan oleh bangsa Barat kepada suatu bangsa mampu dibedakan menjadi dua pengertian, adalah kolonialisme dan imperialisme
1. Pengertian Kolonialisme
Kolonialisme yakni sebuah perjuangan untuk melaksanakan system permukiman warga dari suatu Negara di luar daerah Negara individunya atau Negara asalnya. Umumnya, daerah koloni terletak di seberang lautan Negara induk yang lalu dinyatakan sebagai kawasan bagian dari Negara asal tersebut.
2. Pengertian Imperialisme
Imperialisme adalah usaha memperluas daerah kekuasaan atau jajahan untuk mendirikan imperium atau kekaisaran. Menurut sifatnya, imperialism Dapat di bedakan menjadi dua, ialah imperialisme Kuno dan imperialisme Moderen.
B. Latar Belakang Kolonialisme dan Imperialisme Barat
Kolonialisme dan Imperialisme mulai meningkat sekitar kala ke-15 yang di awali dengan adanya tanda-tanda pembaruan di Eropa di bidang ekonomi, politik, social, maupun budaya dalam bentuk gerakan Renaisans dan Humanisme yang berpikir maju.
1. Bidang Ilmu Pengetahuan
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan ditandai dengan munculnya teori Heliosentris (tata surya) oleh Nicolaus Copernicus, seorang ilmu niscaya dan astronomi dari polandia. Ajaran Copernicus yang muncul pada tahun 1543 menerangkan bahwa matahari selaku pusat dari seluruh benda-benda antariksa dan dia menyatakan pula bahwa bentuk bumi ialah bulat seperti bola.
2. Bidang Teknologi
Selain di bidang ilmu wawasan, NicolausCopernicus juga mampu berbagi teknologi dengan cara membuat kompas yang mampu digunakan untuk mengambarkan arah dalam pelayaran. Pada tahun 1610, timbul ilmuan baru dari italia bernama Calileo yang mendukung dan memperjelas pokok-pokok pedoman Heliosentris dari Copernicus.
3. Bidang sosial ekonomi
Pada tahun 1453, Bangsa turki Usmani berhasil merebut daerah Konstatinopel (utamanya Bandar Bizantium yang umum digunakan selaku Bandar penghubung perdagangan anatara Asia dangan Eropa. Peristiwa itu menyebabkan terputusnya jalur jual beli anatara Asia dan Eropa. Kondisi sosial ekonomi para penjualEropa yang menurun balasan krisis kemudian lintas jual beli ini, memaksa mereka untuk mencari jalan lain dalam mendapatkan tempat penghasil rempah-rempah dan membelinya secara langsung dengan cara berlayar menjelajahi samudra.
4. Kolonialisme dan Imperialisme Barat di Indonesia
Pelaut dari Eropa (Protugis, Spanyol, Belanda, dan Inggeris yang berdatangan ke Indonesia semula hanya ingin berdagang dan mencari rempah-rempah, serta komoditas lain yang diperjual belikan di pasaran Eropa. Akan tetapi, dalam kemajuan selanjutnya bangsa-bangsa Eropa tersebut bermetamorfosis cita-cita menjajah dalam bentuk praktik Kolonialisme Dan Imperialisme mirip menguasai jual beli secara tunggal (monopoli) dan merampas atau menjajah sebuah negri.
C. Kolonialisme Dan Imperialisme Barat Di Indonesia
1. Bangsa Protugis Menjajah Indonesia.
Pada tahun 1512, bangsa portugis yang dipimpin oleh Francisco Serrao mulai berlayar Kepualaun Maluku. Antonio de Brito diberi peluang untuk mendirikan kantor dagang dan benteng Santo Paolo di Ternate selaku tempat bantuan dari serangan musu.
Tetapi, setalh pihak portugis meminta monopoli perdagangan cengkih dan memutuskan harga serendah-rendahnya, rakyat Maluku mulai bersikap tidak sipati kepada bangsa portugis yang di tandai di tolaknya hubungan dagang.
2. Bangsa Spanyol
Pelaut sepanyol mulai meraih bahari Maluku pada tahun 1521 sehabis apalagi dulu tiba di fhilipina. Bangsa sepanyol di manfaatkan oleh Ternate. Keadaan di kepulauan Maluku itu semakin kritis, mulai dari yang bersifat kompetisi dagang hingga permusuhan. Komplik social anatar Portugis dan spanyol yang semakin meruncing, jika di biarkan berlanjut, akan merugikan mereka sendiri. Maka Pada tahun 1534, diterbitkan perjanjian Saragosa (tahun 1634) yang isinya antara lain pernyataan bahwa spanyol memperbolehkan daerah perdagangan Fhilipina sedangkan bangsa portugis tetap berada di kepulauan Maluku.
3. Bangsa Belanda Menjajah Indonesia
Proses Penjajahan bangsa Belanda kepada Indonesia. Pada ketika perang dunia ke II bangsa Jepang masuk dan merebut Indonesia dari kekuasaan belanda. Penjajahan bangsa Belanda di Indonesia, diawali oleh berdirinya persekutuan jualan Hindia Timur atau Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
4. Masa VOC Vereenigde Oost Indische Compagnie
Penjajah Belanda, Cornelis de Houtman, mendarat kali pertama di Indonesia pada tahun 1596. Rombongan mendarat di Banten dengan bantalan an untuk berjualan. Bangsa Belanda bersikap kurang dekat sehingga mereka di usir dari banten.
Cornelis de Houtman beserta rombongan lalu melanjutkan pelayarannya kea rah timur menelusuri pantai Pulau Jawa sampai datang di Pulau Bali.
Pada tahun 1598, bangsa belanda mendarat di banten untuk kali kedua dimpinpin oleh yacob Van Neck Rombongan yang dating kali kedua ini, jumlahnya lebih banyak, dan masing-masing kelompok membentuk kongsi dagang.
Upaya inggeris untuk menanggulangi persaingan jualan yang makin berpengaruh antara sesama pendatang dari belanda dengan mendirikan dan menyaingi komplotan Inggeris di India dengan nama East India Company (EIC)
Pada tahun 1619, kedudukan VOC dipindahkan ke Batvia (kini Jakarta) dan di perintahakn Gubernur Jendral Jan Pieter Zoon Coen.
D. Perlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme
1. Perlawanan terhadap Praktek Imperialisme di Maluku
Maluku ialah daerah yang kaya akan rempah-rempah. Rempah-rempah ini dikirim ke eropa melalui Malaka oleh pedagang-penjualdari Bugis dan Jawa. Setelah sukses menguasai Malaka, Portugis mengantararmadanya ke Maluku dengan tujuan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku (monopoli). Kedatangan Portugis pada awalnya disambut baik oleh rakyat Maluku, sebab mereka menenteng bahan pangan juga berbelanja rempah-rempah.
Pada mulanya Portugis menjalin persekutuan dengan Ternate dan membangun benteng atau kekuatan disana. Maluku pada waktu itu sudah berdiri dua kerajaan besar yang saling bersaing, adalah Ternate dan Tidore. Kedatangan Portugis dimanfaatkan oleh kedua kerajaan tersebut untuk menjalin kerjasama untuk memperkuat kerajaan masing-masing.
Benteng tersebut ternyata dipergunakan untuk membangun kekuatan untuk menekan dan menurunkan kekuasaan raja Ternate serta berbagi agama katolik di Ternate. Tindakan Portugis ini menerima perlawanan dari rakyat Ternate yang dipimpin oleh Sultan Hairun dan Sultan Baabullah (1575), serta Sultan Said. Portugis lari dari Ternate menuju Tidore, dan membangun benteng dan kekuatan disana, serta membuatkan agama kristen katolik.
Keberhasilan Portugis menguasai jual beli rempah-rempah di Maluku menarik perhatian Belanda untuk merebutnya, terjadilah persaingan dan peperangan untuk memperebutkan tempat Maluku. Belanda yang dibantu oleh sekutunya (raja setempat) berhasil mengusir Portugis dari Maluku, dan sejak dikala itulah dimulai babak baru penjajahan Belanda di Maluku (1606).
Sultan Nuku merupakan raja dari Kesultanan Tidore yang memimpin perlawanan rakyatnya terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Sultan Nuku berhasil meningkatkan kekuatan perangnya sampai 200 kapal perang dan 6000 orang pasukan untuk menghadapi Belanda. Sultan Nuku juga melaksanakan usaha melalui jalur diplomasi. Untuk menghadapi Belanda, ia mengadakan korelasi dengan Inggris dengan tujuan meminta bantuan dan santunan.
Siasat untuk mengadu domba antara Inggris dengan Belanda berhasil dikerjakan sehingga pada 20 Juni 1801 Sultan Nuku berhasil membebaskan kota Sua-Sio dari kekuasaan Belanda. Maluku Utara akibatnya dapat dipersatukan di bawah kekuasaan Sultan Nuku.
Tokoh lain yang memimpin perlawanan terhadap kaum imperialis di Maluku yakni Patimura. Perlawanan Patimura latarbelakangi oleh faktor dihentikannya dukungan kepada gereja. Perlawanan yang dipimpin oleh Pattimura dimulai dengan penyerangan terhadap Benteng Duurstede di Saparua dan sukses merebut benteng tersebut dari tangan Belanda.
Perlawanan ini meluas ke Ambon, Seram, dan kawasan-tempat lainnya. Dalam menghadapi serangan tersebut, Belanda mesti mengerahkan seluruh kekuatannya yang berada di Maluku. Akhirnya, Pattimura sukses ditangkap dalam suatu peperangan dan pada tanggal 16 Desember 1817 Pattimura dan mitra-kawanya dihukum mati di tiang gantungan. Perlawanan yang lain dilakukan oleh pendekar wanita, yakni Martha Christina Tiahahu.
2. Perlawanan kepada Praktek Imperialisme di Sumatera
Di Sumatera terjadi Perang Paderi. Perang ini dilatar belakangi konflik antara kaum agama dan tokoh-tokoh etika Sumatra Barat. Kaum agama sebagai pembaharu yang disebut kaum Paderi berusaha untuk mengajarkan agama Islam terhadap warga sambil meniadakan budbahasa istiadat yang bertentangan dengan fatwa Islam. Dengan demikian, gerakan paderi bermaksud untuk memurnikan pedoman agama Islam di daerah Sumatra Barat serta menentang aspek-aspek budaya yang berlawanan dengan aqidah Islam.
Tujuan ini tidak dapat dilakukan sepenuhnya sebab kaum adat tidak ingin kehilangan kedudukannya serta adab-istiadatnya, dan menentang anutan kaum Paderi. Perbedaan persepsi inilah yang lalu menjadikan perang saudara dan memanggil kehadiran kekuatan Inggris dan Belanda. Pertentangan ini kemudian berubah menjadi perang saudara, yakni antara kaum paderi dengan kaum akhlak.
Kaum Adat yang terdesak kemudian meminta santunan terhadap Inggris yang sejak 1795 sudah menguasai Padang dan beberapa tempat di tempat pesisir barat sumatera setelah direbut dari Belanda. Adapun kelompok agama pada dikala itu sudah menguasai tempat pedalaman Sumatera Barat dan melakukan pemerintahan menurut agama Islam.
Pada 1819, Belanda menerima Padang dan tempat sekitarnya dari Inggris. Sementara itu, kelompok Adat meminta bantuan terhadap Belanda dalam menghadapai golongan Paderi. Pada bulan Februari 1821, kedua belah pihak menandatangani perjanjian. Seusai kontrakitu, mulailah Belanda mengerahkan pasukannya untuk melakukan penyerangan terhadap kaum Paderi.
Pertempuran pertama antara kaum Paderi dan Belanda terjadi pada bulan April 1821 di daerah Sulit Air, erat Danau Singkarak, Solok. Belanda kemudian berhasil menguasai tempat Pagarruyung, bekas kedudukan raja-raja Minangkabau. Namun, Belanda gagal merebut pertahanan Paderi yang ada di Lintau, Sawah Lunto dan Kapau, Bukittinggi.
Untuk menyiasati hal ini Belanda mengajak pemimpin kaum Paderi, Tuanku Imam Bonjol berunding pada tahun 1824. Namun, persetujuanini kemudian dilanggar oleh Belanda. Ketika terjadi Perang Diponegoro, pihak Belanda menawan sebagian besar pasukannya dari Sumatra Barat dan untuk beberapa waktu menangguhkan penyerangannya pada kaum Paderi. Mereka cuma berjaga-jaga kawasan-tempat yang telah mereka kuasai.
Setelah perang Diponegoro berakhir, Belanda kembali memusatkan perhatiannya ke daerah Sumatra Barat dengan target menangkap Tuanku Imam Bonjol. Melalui serangan besar-besaran dan gencar dari Belanda, karenanya kota Bonjol jatuh ke tangan Belanda pada bulan September 1832. Namun, pada tanggal 11 Januari 1833, kota tersebut mampu direbut kembali oleh kaum Paderi.
Hal ini mengkhawatirkan pihak Belanda sehingga memaksa mereka menyuruh Sentot Alibasha Prawirodirjo, bekas panglima perang Diponegoro, untuk memerangai Paderi. Sentot Alibasha Prawirodirdjo yang tak maumemerangi bangsanya sendiri akhirnya berbalik bekerja sama dengan Kaum Paderi menyerang Belanda. Pertempuran berkobar di mana-mana dan pada saat inilah sebagian dari golongan Adat berbalik melawan Belanda.
Pada tanggal 25 Oktober 1833, Belanda mengeluarkan maklumat yang disebut Plakat Panjang. Isinya mengajak masyarakatSumatra Barat untuk berdamai dan menghentikan perang. Namun, pada bulan Juni 1834 Belanda kembali melancarkan serangan terhadap kaum Paderi yang berjalan selama kurang lebih tiga tahun lamanya. Pada tanggal 16 Agustus 1837, pertahanan Bonjol jatuh ke tangan Belanda.
Tuanku Imam Bonjol dan para pengikutnya berhasil lolos. Pada tanggal 25 Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol tiba di Palupuh untuk berunding. Namun, Belanda berkhianat dengan menangkap Tuanku Imam Bonjol dan membuangnya ke Cianjur, Ambon, dan terakhir ke Lota bersahabat Manado. Ia wafat dalam usia 92 tahun dan dimakamkan di Tomohon, Sulawesi Utara.
Di Aceh, rakyat Aceh melakukan perlawanan terhadap Belanda sehingga mengakibatkan Perang Aceh. Seperti halnya zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) Kerajaan Aceh mengalami kejayaan kembali pada masa ke 18 sampai masa ke-19. Dalam hubungannya dengan kekuatan Barat dan negara tetangga, Aceh bisa memainkan posisi strategis dan kesanggupan diplomatiknya yang baik sehingga dihormati oleh kerajaan-kerajaan yang lain, tergolong bangsa Barat.
Karena kesanggupan tersebut, kedudukan Aceh dihormati oleh dua kekuasaan kolonial yang berada di sekitar daerah Aceh, adalah Inggris dan Belanda melalui Traktat London pada 1824. Namun, sejak Terusan Suez dibuka, Aceh yang mempunyai kedudukan strategis di Selat Malaka menjadi incaran kekuatan Barat. Untuk mengantisipasi hal tersebut pada 1871 Inggris dan Belanda menandatangani Traktat Sumatra.
Melihat gelagat ini Aceh mulai mencari tunjangan dan dukungan ke mancanegara. Kegiatan diplomatik ini mulai mengkhawatirkan Belanda. Belanda yang merasa khawatir disaingi mulai menuntut Aceh untuk mengakui kedaulatan Belanda di nusantara. Kerajaan Aceh menolak tuntutan Belanda tersebut. Penolakan ini mendorong Belanda untuk mengirimkan pasukannya ke Kutaraja, ibu kota Kerajaan Aceh pada April 1873.
Pasukan tersebut dipimpin oleh Mayor Jenderal J.H.R. Kohler. Namun, usaha untuk menguasai Aceh mengalami kegagalan, bahkan Mayor Jenderal Kohler tewas di depan Masjid Raya Aceh. Serangan kedua dilakukan Belanda pada bulan Desember 1873 dan berhasil merebut istana kerajaan Aceh. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Jenderal van Swieten memproklamirkan bahwa Kerajaan Aceh sukses dikuasai.
Pernyataan ini tidak terbukti alasannya kenyataannya Aceh tidak jatuh dan kawasan-tempat di luar Kutaraja masih dikuasai oleh para pejuang Aceh. Walaupun telah dikerjakan serangan secara militer, Aceh secara keseluruhan belum dapat ditaklukan. Oleh sebab itu, Belanda mengantarkan Snouck Hurgronye seorang ahli kajian Islam yang ditugasi untuk menyelidiki masyarakat Aceh.
Pada 1891, Teuku Cik Ditiro meninggal. Selanjutnya, pada 1893, Teuku Umar menyatakan mengalah terhadap Belanda. Namun, pada Maret 1896, beliau kabur dan bergabung kembali bareng para pejuang dengan menenteng sejumlah duit dan senjata. Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar akhirnya tewas di Meulaboh. Perjuangan Teuku Umar dilanjutkan oleh istrinya yang berjulukan Cut Nyak Dhien.
Bersama para pengikutnya dia melakukan perlawanan terhadap Belanda secara gerilya di hutan-hutan. Pada November 1902, Belanda menangkap dua orang isteri Sultan Aceh dan anak-anaknya. Belanda lalu menyuruh Sultan untuk memilih menyerah atau keluarganya akan dibuang. Oleh alasannya itu, pada 10 Januari 1903, Sultan Daudsyah mengalah.
Demikian pula Panglima Polim dan beberapa hulubalang yang menyerah pada September 1903. Belanda menilai dengan menyerahnya Sultan Aceh, perlawanan rakyat telah akhir. Namun, asumsi ini salah. Ternyata perlawanan rakyat masih terus berlangsung secara gerilya. Pada 1905, Cut Nyak Dhien berhasil ditangkap di hutan. Adapun pejuang perempuan yang lain, ialah Cut Nyak Meutia gugur pada 1910. Baru pada 1912 Perang Aceh betul-betul berakhir.
3. Perlawanan terhadap Praktek Imperialisme di Sulawesi
Di Pulau Sulawesi, perlawanan untuk menghalau kekuatan VOC juga dikerjakan oleh rakyat Sulawesi, walaupun tidak berhasil. Penyebabnya hampir sama dengan kawasan yang lain di nusantara, yaitu sebab adanya pertentangan dan kompetisi di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi. Misalnya pertentangan antara Sultan Hasanuddin dari Makasar dan Aru Pallaka dari kerajaan Bone yang memberi jalan bagi Belanda untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Sulawesi tersebut.
Sultan Hasanuddin (Raja Gowa) menguasai Sumbawa untuk memperkuat kedudukannya di Sulawesi, sehingga jalur jual beli di nusantara bagian timur dapat dikuasainya. Penguasaan ini dianggap oleh Belanda selaku penghalang dalam melaksanakan aktifitas monopoli jual beli. Pertempuran antara Sultan Hasanuddin dan Belanda selalu terjadi, pasukan Belanda yang dipimpin Cornelis Speelman selalu dapat dihalau pasukan Sultan Hasanuddin.
Untuk menghadapi Sultan Hasanuddin, Belanda meminta sumbangan dari Aru Pallaka yang bersengketa dengan Sultan Hasanuddin. Dengan kolaborasi tersebut jadinya Makasar jatuh ke tangan Belanda dan Sultan Hasanuddin mesti menandatangani Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang isinya:
a. Sultan Hasanuddin harus memberikan keleluasaan terhadap VOC berdagang di kawasan Makasar dan Maluku.
b. VOC memegang monopoli perdagangan di wilayah Indonesia bagian Timur dengan pusatnya Makasar.
c. Wilayah kerajaan Bone yang diserang dan diduduki pada zaman Sultan Hasanuddin dikembalikan kepada Aru Palakka dan dia diangkat menjadi Raja Bone.
Setelah persetujuanBongaya ditandatangani, perlawanan rakyat Sulawesi kepada Belanda tidaklah berhenti, walau dalam skala yang kecil selaku upaya untuk menghalau Belanda dari Sulawesi.
4. Perlawanan kepada Praktek Imperialisme di Jawa
Perlawanan kepada kaum imperialis oleh penduduk Indonesia yang tinggal di Jawa diawali dengan perlawanan rakyat Demak yang dipimpin oleh Dipati Unus kepada kekuatan Portugis di Malaka. Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh penguasaan Malaka oleh Portugis, padahal Malaka yaitu daerah bertemunya para penjualJawa yang kebanyak pada waktu itu berasal dari Demak.
Perlawanan Dipati Unus terhadap Portugis di Malaka diwujudkan dalam bentuk serangan pasukan Dipati Unus kepada kota pelabuhan Malaka yang dikerjakan dua kali (1512 dan 1513), dan mengalami kegagalan. Kegagalan ini disebabkan oleh lemahnya persenjataan yang dimiliki oleh pasukan Dipati Unus, serta dan tidak mendapat pertolongan dari kerajaan-kerajaan di tempat Sumatra, Jawa, dan Kalimantan.
Sebaliknya, pada ketika yang sama, penguasa kerajaan Pajajaran melakukan kerja sama dengan bangsa Portugis setelah mereka mendapat bahaya dari kekuatan Islam di pesisir utara Pulau Jawa, yaitu Cirebon dan Banten. Hal inilah yang juga memperkuat kekuasaan Portugis di nusantara, dan melemahkan upaya perlawanan kerajaan-kerajaan nusantara kepada kekuatan Barat.
Kerajaan Mataram di Jawa juga melaksanakan perlawanan kepada VOC. Ambisi untuk menggusur VOC dari Jawa mengalami kegagalan, alasannya hanya dilaksanakan sendiri dan tidak mendapat santunan dari kerajaan-kerajaan yang lain yang ada di Jawa. Sultan Agung yang memiliki keinginan untuk mempersatukan daerah Pulau Jawa dalam kekuasaannya berusaha mengalahkan VOC di Batavia (Jakarta).
Namun, penyerangan ke Batavia yang dikerjakan pada 1628 dan 1629 tersebut mengalami kegagalan sebab selain pasukan dan persiapan pasukannya yang belum matang, juga tidak mampu membuat blok perlawanan bersama kerajaan-kerajaan yang lain, contohnya dengan kesultanan Banten di Jawa Barat. Konflik dalam masalah kerajaan serta kompetisi dalam tahta kerajaan juga mengakibatkan perlawanan terhadap kekuasaan Barat mengalami kegagalan. Misalnya konflik internal kesultanan Banten yang menimbulkan Banten jatuh ke tangan VOC.
Setelah Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat anaknya yang bergelar Sultan Haji sebagai sultan Banten, Belanda secepatnya ikut campur dalam persoalan Banten dengan cara mendekati Sultan Haji. Sultan Ageng yang sangat anti VOC segera menawan kembali tahta untuk anaknya. Tentu saja langkah-langkah tersebut tidak disenangi oleh sang putra mahkota sehingga dia minta perlindungan ke VOC di Batavia untuk membantu mengembalikan tahtanya.
Akhirnya, melalui kerja sama dengan VOC, Sultan Haji menemukan tahta kembali dengan imbalan diserahkannya sebagian wilayah Banten terhadap VOC. Dengan demikian, pertentangan internal dalam memperebutkan kekuasaan serta perbedaan sikap dan pandangan di antara sultan-sultan di kerajaan Banten menjadikan sulitnya menghalau kekuasaan Barat dari kawasan tersebut, bahkan sebaliknya kesultanan tersebut menjadi gampang dikuasai oleh kekuatan gila.
Tokoh lain yang melakukan perlawanan kepada VOC yaitu Untung Surapati. Untung Surapati melawan VOC dikarenakan sering memimpin perampokan terhadap pasukan VOC. Versi lain menyebutkan perlawanan Untung Surapati kepada VOV dilatarbelakangi oleh perempuan, ialah ada anak wanita perwira VOC yang jatuh cinta terhadap Untung, perwira tersebut tidak berkenan dan berupaya membunuh Untung Surapati.
Pemberontakan Untung Surapati terhadap VOC berlangsung pada 1686 sampai dengan 1706. Adapun dalam mengerjakan aksinya, Untung Surapati bersekutu dengan Sunan Amangkurat II yang merasa berat atas perjanjiannya dengan VOC. Untuk memadamkan pemberontakan Untung Surapati, VOC menyuruh Kapten Tack ke kerajaan Mataram. Namun, Kapten Tack beserta seluruh anak buahnya terbunuh.
Tentu saja Sunan Amangkurat II sungguh berterima kasih terhadap Untung Surapati. Untuk membalas jasa-jasa Untung Surapati, Sunan Amangkurat II menawarkan daerah Pasuruan kepada Untung Surapati dan menetapkannya menjadi bupati di sana dengan gelar Adipati Wiranegara.
Paman Sunan Amangkurat III yang berjulukan Pangeran Puger mengharapkan tahta untuk menjadi raja di Mataram. Ia kemudian bersekutu dengan VOC untuk menjatuhkan Sunan Amangkurat III. Pada 1703, Sunan Amangkurat II meninggal, lalu digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat III. Seperti ayahnya, Sunan Amangkurat III pun memusuhi VOC dan bersekutu dengan Untung Surapati.
Melihat gelagat yang demikian, tentu saja VOC sangat bergembira dan berupaya membantu Pangeran Puger. Untuk mencapai maksudnya, Pangeran Puger bersedia membuat perjanjian dengan VOC dengan ketentuan menyerahkan sebagian daerah kekuasaan Mataram. Adapun isi kontraktersebut yaitu sebagai berikut:
a. Seluruh tempat Priangan, Cirebon, dan Madura bagian Timur diserahkan kepada VOC;
b. Sunan (Pangeran Puger) dibebaskan dari segala utangnya terdahulu, tetapi selama 25 tahun Sunan wajib menyerahkan 8.000 koyan beras kepada VOC;
c. Di kawasan Kartasura VOC bersedia menempatkan pasukannya untuk melindungi Sunan.
Berdasarkan kontraktersebut, VOC membantu Pangeran Puger untuk menjadi Sunan di Mataram. Pada 1705, Pangeran Puger lalu dinobatkan oleh VOC menjadi Sunan di Mataram dengan gelar Sunan Pakubuwono I. Setelah itu, dimulailah pertempuran antara Sunan Pakubuwono I dan Untung Surapati yang dibantu oleh Sunan Amangkurat III. Pada 1706, VOC karenanya berhasil melumpuhkan kekuasaan Untung Surapati di Kartasura. Dengan demikian, berakhirlah perlawanan Untung Surapati.
Di Jawa Tengah perlawanan dilakukan oleh Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya. Perang ini diketahui dengan Perang Diponegoro (1825-1830). Penyebab terjadinya perang ini yakni rasa tidak puas yang hampir merata di golongan masyarakat kepada aneka macam kebijakan yang dijalankan pemerintah Belanda di daerah Kesultanan Yogyakarta.
Di bidang politik, penguasa Belanda dengan seenaknya mencampuri persoalan intern kesultanan. Akibatnya, di lingkungan keraton Mataram terbentuk dua golongan yang pro dan anti Belanda. Pada periode pemerintahan Sultan Hamengkubuwono V, Pangeran Diponegoro diangkat sebagai anggota Dewan Perwalian. Namun, beliau jarang sekali diajak mengatakan perihal masalah pemerintahan alasannya adalah sikap kritisnya terhadap kehidupan keraton yang dianggapnya sudah dipengaruhi oleh budaya Barat dan sarat intervensi Belanda.
kharismatik, dan bisa membangkitkan simbol-simbol Islam dianggap selaku sebuah ancaman bagi kepentingan Belanda di Mataram. Oleh sebab itu, ia meninggalkan keraton dan menetap di Tegalrejo. Belanda yang ingin menguasai Mataram sepenuhnya berupaya mencari-cari argumentasi untuk memulai perang dan menangkap Diponegoro. Di mata Belanda, Diponegoro ialah pemimpin setempat yang sangat membahayakan kedudukan Belanda. Sikapnya yang anti Belanda,
Suatu dikala pemerintah kolonial Belanda berencana menciptakan jalan raya yang menghubungkan Yogyakarta dan Magelang. Jalan tersebut ternyata menembus makam leluhur Diponegoro di Tegalrejo. Hal ini tentu saja menciptakan Diponegoro murka dan menganggapnya sebagai suatu penghinaan. Patok-patok yang menandai pembangunan jalan tersebut lalu diganti oleh para pengikut Diponegoro dengan tombak-tombak. Tindakan para pengikut Diponegoro tersebut dijawab oleh Belanda dengan mengirimkan pasukannya ke Tegalrejo pada 25 Juni 1825.
Pangeran Diponegoro dan pasukannya membangun pusat pertahanan di Selarong. Dukungan pada Diponegoro tiba dari mana-mana sehingga kekuatan pasukan Diponegoro semakin bertambah. Tokoh-tokoh yang bergabung antara lain Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasha Prawirodirjo, dan Kiai Maja. Oleh alasannya adalah itu untuk menghadapi perlawanan ini Belanda mendatangkan pasukan dari Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan yang dipimpin Jenderal Marcus de Kock.
Pasukan Pangeran Diponegoro selalu sukses menemukan kemenangan. Untuk mematahkan perlawanan Diponegoro, Belanda melaksanakan seni manajemen Benteng Stelsel. Dengan strategi tersebut, di kawasan-kawasan yang sudah dikuasai oleh Belanda diresmikan benteng-benteng pertahanan yang antara satu dengan yang lain dihubungkan oleh jalan sehingga pasukan mudah bergerak. Akibatnya, pasukan Diponegoro sukar untuk bergerak.
Sejak 1829, kekuatan Diponegoro mulai berkurang, banyak pengikut Diponegoro yang ditangkap ataupun gugur dalam peperangan. Pada final November 1828, Kiai Maja ditangkap oleh Belanda. Sementara Sentot Alibasha Prawirodirdjo mengalah pada Oktober 1829. Jenderal de Kock menyuruh Kolonel Cleerens untuk mencari kontak dengan Pangeran Diponegoro.
Pada 28 Maret 1830, dilangsungkan perundingan antara Jenderal de Kock dan Diponegoro di kantor keresidenan di Magelang. Namun, Belanda berkhianat. Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya ditangkap. Pangeran Diponegoro lalu dibuang ke Manado dan Makassar. Dengan demikian, Perang Diponegoro berakhir. e. Perlawanan terhadap Praktek Imperialisme di Bali Pulau Bali sebelum kala ke-9 dikuasai oleh beberapa kerajaan kecil yang seluruhnya berada di bawah kekuasaan kerajaan Klungkung.
Kerajaan ini menyelenggarakan kesepakatandengan Belanda pada tahun 1841. Berdasarkan perjanjian tersebut, kerajaan Klungkung yang ketika itu berada di bawah pemerintahan Raja Dewa Agung Putera, merupakan kupernement atau sebuah negara yang bebas dari dampak kekuasaan Belanda. Hal ini berarti Belanda tidak mampu menguasai kerajaan Klungkung. Meskipun begitu, Belanda tidak berhenti mencari strategi untuk menguasai Bali.
Pada tahun 1844, bahtera dagang milik Belanda terdampar di Prancak kawasan kerajaan Buleleng dan terkena Hukum Tawan Karang yang memberi hak kepada penguasa kerajaan untuk menguasai kapal beserta isinya. Hal inilah yang dijadikan alasan oleh Belanda untuk melakukan serangan ke kerajaan Buleleng pada tahun 1848. Namun, serangan ini mengalami kegagalan.
Pada serangan yang kedua (1849), pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Mayor A.V. Michies dan Van Swieeten berhasil merebut benteng pertahanan terakhir kerajaan Buleleng di Jagaraga. Pertempuran ini dikenal dengan nama Puputan Jagaraga. Setelah Buleleng ditaklukan, Belanda mulai menaklukan kerajaan-kerajaan di Bali lainnya.
Oleh alasannya adalah itu, perlawanan rakyat Bali dalam menghadapi penjajahan Belanda diwarnai dengan aneka macam perang puputan atau perang habis-habisan untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan. Selain Puputan Jagaraga, puputan lain yang pernah terjadi di Bali, di antaranya Puputan Badung pada tahun 1906, Puputan Kusamba pada tahun 1908, dan Puputan Klungkung pada tahun1908.
5. Perlawanan terhadap Praktek Imperialisme di Kalimantan
Kerajaan Banjarmasin di Pulau Kalimantan pada tahun 1826 melakukan koordinasi secara resmi dengan Belanda. Sultan Adam menyatakan secara resmi relasi antara Kerajaan Banjarmasin dan Belanda pada 1826. Namun, pada 1850, Belanda mencampuri masalah intern kerajaan sehingga mengakibatkan pertikaian di antara keluarga kerajaan. Hal ini terus berjalan hingga ketika Sultan Adam meninggal pada 1857.
Sepeninggal Sultan Adam, di kerajaan Banjarmasin terjadi perebutan kekuasaan yang menyebabkan terpecahnya keluarga kerajaan ke dalam tiga kalangan. Ketiga golongan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kelompok Pangeran Tamjid Illah, cucu Sultan Adam. Kelompok ini merupakan kelompok yang dibenci oleh rakyat alasannya mempunyai relasi yang sungguh erat dengan Belanda.
b. Kelompok Pangeran Anom, putera Sultan Adam. Kelompok ini merupakan golongan yang tidak disenangi oleh rakyat alasannya adalah tindakannya yang adikara.
c. Kelompok Pangeran Hidayatullah, cucu Sultan Adam. Kelompok ini ialah kelompok yang diminati dan disokong oleh rakyat serta dicalonkan menjadi sultan untuk menggantikan Sultan Adam.
Di tengah-tengah kesemrawutan tersebut, terjadilah Perang Banjarmasin pada 1889 yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Ia ialah putera dari Sultan Muhammad yang sungguh anti Belanda. Ketika perang berlangsung Belanda merekomendasikan untuk mengangkat Pangeran Hidayatullah sebagai sultan gres. Namun, Pangeran Hidayatullah menolak ajakan tersebut. Bahkan Pangeran Hidayatullah secara terperinci-terangan memihak terhadap Pangeran Antasari.
Pada 1862, Pangeran Hidayatullah dapat ditangkap dan kemudian dibuang ke Cianjur. Hal ini tidak membuat perlawanan kepada Belanda menjadi berhenti. Perlawanan terus berlangsung di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Oleh rakyat Banjarmasin, Pangeran Antasari diangkat menjadi Sultan. Namun, hal ini tidak dapat bertahan usang alasannya Pangeran Antasari jadinya tewas dalam pertempuran melawan Belanda pada 1862.
Walaupun satu-persatu kekuatan di tempat berhasil ditaklukkan Belanda, perlawanan kerajaan di Nusantara berlangsung hingga simpulan kala ke-19. Perlawanan terjadi di Sumatra Utara dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja XII, perlawanan kongsi Cina di Kalimantan Barat pada 1848-1864, perlawanan Raden Intan di Lampung pada 1856-1859, dan perlawanan Sultan Siak di Sumatra Utara pada 1857. Semuanya dilaksanakan secara kedaerahan, oleh karena itu gampang sekali dipatahkan oleh Belanda.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kolonialisme dan Imperialisme sendiri telah berkembang semenjak masa ke-15 oleh bangsa Eropa ke seluruh dunia dan kesannya masuk ke Indonesia.
2. Bangsa Indonesia melaksanakan perlawanan terhadap penjajahan kolonialisme dan Imperialisme bangsa Eropa di Nusantara.
3. Berbagai perlawanan yang ada di Indonesia mirip Maluku, Makassar, Sumatera, Kalimantan dan Jawa dan bisa mengalahkan bangsa Eropa yang ada di Nusantara.
B. Saran
1. Untuk menghargai perjuangan para pejuang terdahulu yang telah menghadapi penjajahan Kolonialisme dan Imperialisme bangsa Eropa kita harus senantiasa meneguhkan jati diri bangsa dalam perjuangan bangsa Indonesia.
2. Sebagai Generasi Pelanjut, mampu mengusir aneka macam bentuk penjajahan era sekarang baik imperialisme terbaru dalam pendidikan maupun budaya serta ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
https://yofrizal.wordpress.com/2010/02/02/perlawanan-rakyat-indonesia-terhadap-kekuasaan-kolonial/
https://ipspedia.wordpress.com/2017/02/26/imperialisme-dan-kolonialisme/
https://sejarahwithsyf.wordpress.com/2016/12/04/kolonialisme-dan-imperialisme-serta-kedatangan-bangsa-barat-ke-indonesia/
https://www.eduspensa.id/sejarah-lengkap-kolonialisme-dan-imperialisme-di-indonesia/