BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada Umumnya, umat islam diwajibkan untuk senantiasa menimbulkan kitab suci Al-Quran selaku landasan dalam hidup, untuk itu, wawasan sejarah kemajuan maupun pengertian dari Al-Quran itu sendiri harus betul-betul dimengerti. Selain ialah sumber utama bagi pemikiran islam, Al-qur’an juga sebagai anutan, sumber acuan bagi umat islam yang universal, baik meyangkut kehidupan dunia maupun darul baka.
Ulumul qur’an atau juga di sebut ilmu-ilmu Al-Qur’an adalah kumpulan sejumlah ilmu yang bekerjasama dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaannya selaku Al-Quran maupun dari segi pemahaman terhadap apa yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu asbabul nuzul dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari Ulumul Qur’an.
Sebelum kita mempelajari ilmu-ilmu Al-Qur’an, ada baiknya kita mengerti apalagi dahulu sejarah adanya ulumul Qur’an. Dengan adanya pokok pembahasan ini dibutuhkan mahasiswa makin mengasihi sumber utama umat islam ialah Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pemahaman ilmu, Al-Qur’an, dan Ulumul Qur’an ?
2. Apa saja yang merupakan ruang lingkup dari ilmu Al-Qur’an ?
3. Apa manfaat, urgensi dan Tujuan Mempelajari dari ilmu-ilmu Al-qur’an ?
4. Bagaimana sejarah serta pertumbuhan Ulum Quran?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengenali pemahaman ilmu, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an.
2. Untuk mengetahui ruang lingkup pembahasan ulumul Qur’an.
3. Untuk mengenali betapa pentingnya mendalami ilmu Al-Qur’an.
4. Untuk mengetahui sejarah kemajuan Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Ulumul Qur’an
Alquran adalah mukjizat Islam yang baka di mana makin maju ilmu wawasan, makin terlihat validitas kemukjizatannya. Allah SWT. membebaskan insan dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya Ilahi dan menurunkannya terhadap Nabi Muhammad SAW., demi membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah menyampaikannya kepada para sahabatnya sebagai penduduk orisinil Arab yang sudah tentu dapat mengerti budpekerti mereka. Jika terdapat sesuatu yang kurang terang bagi mereka perihal ayat-ayat yang mereka terima, mereka eksklusif menanyakannya terhadap Rasulullah.
1. Arti Kata ‘Ulum
Secara etimologi, kata ‘Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “Ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ‘ulum yaitu bentuk jamak dari kata “ilmu” yang bermakna ilmu-ilmu.[1] Kata ulum yang disandarkan pada kata Al-Qur’an telah memperlihatkan pemahaman bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berafiliasi dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya selaku Al-Qur’an maupun dari sisi pemahaman kepada petunjuk yang terkandung di dalamnya.
2. Arti Kata Qur’an
Menurut bahasa, kata “Al-Qur’an” merupakan bentuk mashdar yang maknanya sama dengan kata “qira’ah” yakni bacaan. Bentuk mashdar ini berasal dari fi’il madhi “qoro’a” yang artinya membaca.
Menurut istilah, “Al-Qur’an” adalah firman Allah yang bersifat mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad lewat perantara malaikat Jibril, yang dimulai surah Al-Fatihah dan diakhiri surah An-Nas, yang dinukil dengan jalan mutawatir dan yang membacanya ialah ibadah.
Sedangkan ”al-Qur’an” berdasarkan ulama ushul, fiqih, dan ulama bahasa adalah Kalam Allah yang diturunkan terhadap Nabi Muhammad SAW yang lafazh-lafazhnya mengandung mukjizat, membacanya memiliki nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf, mulai dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nas, dengan demikian, secara bahasa, ’ulum al-Qur’an yakni ilmu-ilmu (pembahasan-pembahasan) yang berhubungan dengan al-Qur’an.[2]
3. Arti Kata Ulumul Qur’an
Kata ulum yang disandarkan kepada kata “al-Qur’an” telah menawarkan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang bekerjasama dengan al-Qur’an, baik dari segi kberadaannya selaku al-Qur’an maupun dari sisi pengertian kepada petunjuk yang terkandung di dalamnya. Secara perumpamaan, para ulama sudah merumuskan banyak sekali defenisi Ulumul Qur’an.
B. Ruang Lingkup Ulumul Qur’an
Mengingat luasnya ruang lingkup kajian Ulumul Qur’an sehingga sebagian ulama membuatnya mirip luas yang tak terbatas. Bahkan, menurut Abu Bakar Al-‘Arabi, ilmu-ilmu Al Qur’an itu meraih 77.450. Hal ini didasarkan terhadap jumlah kata yang terdapat dalam Al Qur’an dengan dikalikan empat. Sebab setiap kata dalam Al-Alquran mengandung makna zahir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut korelasi kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung.
Firman Allah :
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sangat habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan pelengkap sebanyak itu (pula)”.(Q.S. Al-Kahfi :109).[3]
Namun demikian, Ash-Shiddieqi memandang segala jenis pembahasan Ulumul Quran itu kembali kepada bebrapa pokok persoalan saja selaku berikut:
Pertama, masalah nuzul. Persoalan ini menyangkut tiga hal, yakni waktu dan daerah turunnya Al Qur’an, alasannya-karena turunnya Al Alquran, dan sejarah turunnya Al quran.[4]
Kedua, duduk perkara sanad. Persoalan ini meliputi hal-hal yang menyangkut sanad yang mutawatir, yang ahad, yang syaz, bentuk-bentuk qiraat Nabi, para periwayatnya dan para penghafal Al-Alquran, dan cara tahammul (penerimaan riwayat).
Ketiga, masalah ada’ al qiroah (cara membaca al quran) hal ini menyangkut waqof (cara berhenti), Ibtida’ (cara memulai) imalah, madd (bacaan yang dipanjangkan), takhfif hamzah (mengendorkan bacaan hamzah) idghom ( memasukkan bunyi abjad yang sakin kepada bunyi aksara sesudahnya)
Keempat, pembahasan yang menyangkut lafal al quran adalah tentang yang ghorib (pelik), mu’rob (menerima pergeseran tamat kata), majaz (metafora), musytarak (lafal yang mengandung lebih dari satu makna), murodif (sinonim), isti’arah (metaphor), dan tasbih (penyempurnaan).
Kelima, Persoalan makna al quran yang berafiliasi dengan al quran, yakni ayat yang memiliki arti ‘amm (lazim) dan tetap dalam keumumannya, ‘amm (umum) yang dimaksud khusus, ‘amm (biasa ) yang dikhususkan oleh sunnah, yang nas, yang dzahir, yang mujmal(bersifat global), yang mufassal (dirinci), yang mantuq (makna yang menurut pengutaraan) yang mafhum (makna yang menurut pemahaman), mutlaq (tidak terbatas), yang muqoyyad (terbatas), yang muhkam (kukuh, jelas) mutashabih (samar), yang muskhil (maknanya pelik), yang nasikh (menghapus), dan mansukh (dihapus), muqaddam (didahulukan), muakhor ( dikemudiankan), ma’mul (diamalkan) pada waktu tertentu, dan yang cuma ma’mul (diamalkan) oleh seorang saja.
Keenam, dilema, makna al quran yang berafiliasi dengan lafal ialah fasl (pisah) wasl (bekerjasama) ijaz (singkat) itnab (panjang) musawah (sama) dan qosr (pendek).[5]
C. Cabang- Cabang Pokok Pembahasan
Ulumul Qur’an.Meskipun nama ilmu-ilmu yang menjadi pembahasan Ulumul Quran telah disebutkan secara sepintas lalu, tetapi untuk lebih mengenalnya perlu dikemukakan beberapa macam yang penting dikenali seorang yang akan menafsirkan atau menerjemahkan Quran. Ilmu-ilmu Quran intinya terbagi ke dalam dua klasifikasi. Pertama, ilmu riwayah, adalah ilmu-ilmu yang hanya dapat dimengerti melalui jalan riwayat, mirip bentuk-bentuk qiraat, daerah-tempat turunnya Alquran, waktu-waktu turunnya. Kedua, ilmu dirayah, ialah ilmu-ilmu yang dikenali melalui jalan perenungan, berpikir, dan pengusutan, seperti mengetahui pengertian lafal yang gharib, makna-makna yang menyangkut hukum, dan penafsiran ayat-ayat yang perlu ditafsirkan.
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, ada tujuh belas ilmu-ilmu Alquran yang terpokok.[6]
1. Ilmu Mawathin al-Nuzul
Ilmu ini mengambarkan daerah-tempat turunnya ayat, masanya, mulanya, dan balasannya. Di antara kitab yang membahas ilmu ini yaitu Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Al-Suyuthi.
2. Ilmu Tawarikh al-Nuzul
Ilmu ini membuktikan abad turunnya ayat dan urutan turunnya satu persatu, dari awal turunnya hingga akhir serta urutan turun surah dengan sempurna.
3. Ilmu Asbab al-Nuzul
Ilmu ini menjelaskan alasannya-sebab turunnya ayat. Di antara kitab yang penting dalam hal ini adalah kitab Lubab al-Nuqul karya Al-Suyuthi. Namun, perlu diingat bahwa banyak riwayat dalam kitab ini yang tidak otentik.
4. Ilmu Qiraat
Ilmu ini mengambarkan bentuk-bentuk bacaan Quran yang sudah diterima dari Rasul SAW. Ada sepuluh qiraat yang sah dan berbagai macam pula yang tidak sah. Tulisan Quran yang beredar di Indonesia yakni menurut qiraatHafsh, salah satu qiraat yang ke tujuh. Kitab yang paling baik untuk mempelajari ilmu ini ialah Al-Nasyr fi al-Qiraat al-Asyr karangan Imam Ibn al-Jazari.
5. Ilmu Tajwid
Ilmu ini menerangkan cara membaca Alquran dengan baik. Ilmu ini membuktikan di mana tempat memulai, berhenti, bacaan yang panjang dan yang pendek, dan sebagainya.
6. Ilmu Gharib Alquran
Ilmu ini membuktikan makna kata-kata yang ganjil dan tidak terdapat dalam kamus-kamus bahasa Arab yang umum atau tidak terdapat dalam percakapan sehari-hari. Ilmu ini bermakna menerangkan makna kata-kata yang pelik dan tinggi. Di antara kitab penting dalam ilmu ini ialah Al-Mufradat li Alfaz al-Qur’an al-Karim karangan Al-Raghib al-Ashfahani. Kitab ini sungguh penting bagi seorang mufassir atau penerjemah Quran.
7. Ilmu I’rab Quran
Ilmu ini menunjukan baris kata-kata Alquran dan kedudukannya dalam susunan kalimat. Di antara kitab penting dalam ilmu ini adalah Imla’ al-Rahman karangan Abd al-Baqa al-Ukbari.
8. Ilmu Wujuh wa al-Nazair
Ilmu ini menerangkan kata-kata Quran yang mengandung banyak arti dan pertanda makna yang dimaksud pada tempat tertentu. Ilmu ini mampu dipelajari dalam kitab Mu’tarak al-Aqran karangan Al-Suyuthi.
9. Ilmu Ma’rifah al-Muhkam wa al- Mutasyabih
Ilmu ini menjelaskan ayat-ayat yang dipandang muhkam (jelas maknanya) dan yang mutasyabih (samar maknanya, perlu ditakwil). Salah satu kitab menyangkut ilmu ini yaitu Al-Manzumah al-Sakhawiyah karangan Al-Sakhawi.
10. Ilmu Nasikh wa al-Mansukh
Ilmu ini mengambarkan ayat-ayat yang dianggap mansukh (yang dihapuskan) oleh sebagian para mufassir. Di antara kitab-kitab yang membahas hal ini yaitu Al-Nasikh wa al-Mansukh karangan Abu Ja’far al-Nahhas, Al-Itqankarangan Al-Suyuthi, Tarikh Tasyri’ dan Ushul al-Fiqh karangan Al-Khudhari.
11. Ilmu Badai’ Alquran
Ilmu ini bertujuan menampilkan keindahan-keindahan Alquran dari sudut kesusastraan, abnormalitas-keanehan, dan ketinggian balaghahnya. Al-Suyuthi mengungkapkan yang demikian dalam kitabnya Al-Itqan dari halaman 83 s/d 96 dalam jilid II.
12. Ilmu I’jaz Alquran
Ilmu ini membuktikan susunan dan kandungan ayat-ayat Quran sehingga dapat membungkemkan para sastrawan Arab. Di antara kitab yang membicarakan ilmu ini yaitu I’jaz al-Qur’an karangan Al-Bagillani.
13. Ilmu Tanasub Ayat Alquran
Ilmu ini menunjukan penyesuaian dan keharmonisan antara suatu ayat dan ayat yang di depan dan yang di belakangnya. Di antara kitab yang memaparkan ilmu ini ialah Nazm al-Durar karangan Ibrahim al-Biqa’i.
14. Ilmu Aqsam Alquran
Ilmu ini menandakan arti dan maksud-maksud sumpah Tuhan yang terdapat dalam Quran. Ibn al-Qayyim sudah membahasnya dalam kitabnya Al-Tibyan.
15. Ilmu Amtsal Quran
Ilmu ini mengambarkan maksud ungkapan-istilah yang dikemukakan Quran. Al-Mawardi telah membahasnya dalam kitabnya berjudul Amtsl al-Qur’an.
16. Ilmu Jidal Alquran
Ilmu ini membahas bentuk-bentuk dan cara-cara debat dan bantahan Quran yang dihadapkan kepada kaum Musyrik yang tidak bersedia mendapatkan kebenaran dari Tuhan. Najmuddin telah mengumpulkan ayat-ayat yang menyangkut ilmu ini.
17. Ilmu Adab Tilawah Alquran
Ilmu ini ialah tata-cara dan kesopanan yang mesti disertai dikala membaca Quran. Imam Al-Nawawi sudah memaparkan dalam kitabnya berjudul kita Al-Tibyan.
Inilah tujuh belas macam ilmu Alquran yang sungguh ditentukan oleh Ash-Shiddieqy untuk memahirkan oleh setiap orang yang berencana menafsirkan atau menterjemahkan Alquran. Sebelum itu, beliau juga mesti menguasai ilmubalaghah, bahasa dan kaidah-kaidahnya, ilmu kalam dan ilmu ushul. Namun demikian, tampaknya masih banyak lagi ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir atau penerjemah. Setidaknya satu ilmu lagi harus disertakan terhadap ilmu-ilmu yang disebutkan Ash-Shiddieqy di atas, adalah ilmu tafsir.[7]
Ilmu tafsir merupakan bagian dari Ulumul Alquran. Ilmu tafsir berfungsi sebagai alat untuk mengungkap isi dan pesan yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran. Ulumul Alquran lebih umum dari ilmu tafsir alasannya Ulumul Alquran adalah segala ilmu-ilmu yang memiliki kekerabatan dengan Quran. Ilmu tafsir tidak kurang penting dari ilmu-ilmu di atas, terutama sehabis berkembangnya dengan memperlihatkan berbagai metodologi, corak, dan alirannya. Kadang-kadang Ulumul Alquran ini juga disebut Ushul At-Tafsir (dasar-dasar/prinsip-prinsip penafsiran), alasannya memuat banyak sekali pembahasan dasar atau pokok yang wajib dikuasai dalam menafsirkan Quran.
D. Faedah Urgensi dan Tujuan Mempelajari Ulum Alquran
Adapun tujuan Dan Manfaat mempelajari ‘Ulumul Qur’an adalah:[8]
1. Agar mampu mengerti kalam Allah ‘Aza Wajalla sejalan dengan informasi yang dikutip oleh para sobat dan para tabi’in tentang interprestasi mereka kepada Al-Qur’an
2. Agar mengenali cara dan gaya yang digunakan oleh para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan diikuti klarifikasi wacana tokoh-tokoh andal tafsir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.
3. Agar mengenali kriteria-kriteria dalam menafsirkan Al-Qur’an
4. Mengetahui ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
5. Untuk mengetahui kandungan kalamullah yaitu al-Quran.
6. Untuk mengenali cara dan gaya serta methode yang dipakai oleh para musafir dalam menafsirkan al-Alquran disertai dengan penjelasan tentang tokoh-tokoh jago tafsir kenamaan dan keunggulan-keunggulan yang dimilikinya.
7. Untuk mampu memahami, menafsirkan dan menerjemahkan al-quran dan menjaga kesucian dan kebenaran al-Alquran.
Ulumul quran selaku dari ilmu yang memiliki koelasi nyata dengan al-Alquran mempunyai urgensi yang sangat penting untuk mempelajarinya, Ulumul Qur’an sungguh penting dipelajari dalam rangka selaku pijakan dasar dalam menafsirkan Al-Qur’an oleh para mufassir. Dapat dibilang semakin dikuasainya ‘Ulumul Qur’an oleh mufassir maka kian tinggilah mutu tafsir yang dibuatnya.[9]
Faedah/Manfaat dan Urgensi mempelajari Al-Qur’an
1. Fungsi ‘Ulumul Qur’an sebagai alat untuk menafsirkan, yakni:
a. Ulumul Qur’an akan memilih bagi seseorang yang membuat syarah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat mampu dipertanggung jawabkan. Maka bagi mafassir ‘Ulumul Qur’an secara mutlak merupakan alat yang harus lebih dahulu dikuasai sebelum menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
b. Dengan menguasai ‘Ulumul Qur’an seseorang baru mampu membuka dan menyelami apa yang terkandung dalam Al-Qur’an
c. ‘Ulumul Qur’an sebagai kunci pembuka dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an sesuai dengan maksud apa yang terkandung di dalamnya dan mempunyai kedudukan sebagai ilmu pokok dalam menafsirkan Al-Qur’an.
2. Fungsi ‘Ulumul Qur’an sebagai Standar atau Ukuran Tafsir
Apabila dilihat dari segi ilmu, ‘Ulumul Qur’an selaku persyaratan atau ukuran tafsir Al-Qur’an artinya makin tinggi dan mendalam ‘Ulumul Qur’an dikuasai oleh seseorang mufassir maka tafsir yang diberikan akan kian mendekati kebenaran, maka dengan ‘Ulumul Qur’an akan mampu dibedakan tafsir yang shahih dan tafsir yang tidak shahih.
Dari uraian diatas bisa difahami bahwa adanya Ulumul Qur’an sangatlah penting untuk dipelajari dan dikaji secara baik untuk menangkal adanya kesalahan dalam menafsirkan Al-Qur’an dimana pada Keberagaman Modern dikala ini tidak dipungkiri banyak kesalahan-kesalahan penafsiran yang memang disengaja untuk merubah makna dan ajaran serta perintah dan fatwa-pedoman yang terkandung didalamnya. Untuk itu sangatlah penting mempelajarinya bagi keberagaman modern.
E. Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an
Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, Ulumul Quran tidak lahir sekaligus. Ulumul Quran berubah menjadi menjadi sebuah disiplin ilmu melalui proses pertumbuhan dan kemajuan sesuai dengan keperluan dan peluang untuk membenahi Alquran dari sisi keberadaannya dan sisi pemahamannya. Makalah ini akan memaparkan perkembangan Ulumul Alquran pada masa Rasulullah SAW., abad Khulafa al-Rasyidin, dan kurun Tadwin (Penulisan Ilmu).
1. Perkembangan Ulumul Alquran Pada Masa Rasulullah SAW
Pada periode Rasulullah SAW. ini Quran belum dibukukan. Di abad Rasulullah SAW. dan para teman, Ulumul Alquran belum diketahui sebagai suatu ilmu yang bangkit sendiri dan tertulis. Pada kurun Rasulullah SAW., Ulumul Alquran dipelajari secara lisan, hal ini berlangsung terus hingga beliau wafat.[10]Karena para sobat yang mendapatkan Quran asli orang Arab dengan keistemewaan hafalan yang besar lengan berkuasa, kecerdasan, kemampuan menangkap makna yang terkandung dalam Quran. Para sobat adalah orang-orang Arab asli yang mampu merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan terhadap Rasulullah SAW. Bila mereka memperoleh kesulitan dalam mengerti ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan pribadi terhadap Rasulullh SAW.
Sebagai pola, saat turun ayat :
“Dan tidak mencampuradukkan dogma mereka dengan kezaliman …” (QS Al-An’am (6): 82). Para sahabatnya bertanya: “Siapa dari kami yang tidak menganiaya (menzalimi) dirinya !”. Nabi menjawab, “Pemahamannya tidak mirip yang kalian maksudkan, tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan seorang hamba yang soleh kepada anaknya”.[11] Nabi menafsirkan kata zulm di sini dengan syirk menurut ayat di bawah ini :
“Sesungguhnya syirik itu kezaliman yang besar” (QS Luqman (31): 13). “
Adapun tentang kesanggupan Rasulullah SAW. memahami Alquran pastinya tidak disangsikan lagi alasannya adalah adalah yang menerimanya dari Allah dan Allah yang mengajari segala sesuatunya.
Dengan demikian ada tiga aspek yang menimbulkan Ulumul Alquran tidak dibukukan di kurun Rasulullah SAW. dan sahabat.
Pertama, kondisinya tidak membutuhkan karena kemampuan mereka yang besar untuk mengetahui Quran dan Rasulullah SAW. mampu menjelaskan tujuannya.
Kedua, para sahabat sedikit sekali yang bakir menulis.
Ketiga, adanya larangan Rasul untuk menuliskan selain Alquran.
Semua ini merupakan aspek yang menjadikan tidak tertulisnya ilmu ini baik di kurun Nabi SAW. maupun di zaman sahabat.[12]
Sebagian besar para teman Nabi berisikan orang-orang buta karakter, dan alat tulis menulis pun tidak dapat mereka peroleh dengan gampang. Itu juga merupakan hambatan bagi kegiatan menulis buku perihal ilmu Alquran.[13]
Di lain pihak ada larangan dari Rasulullah SAW., untuk menuliskan selain Alquran. Hal ini seperti diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi :
Artinya : “Janganlah sekali-kali kalian menulis apapun dariku. Dan barang siapa yang menuliskan selain Quran maka mesti menghapusnya, dan ceritakanlah apa yang kalian dengar dariku sebab itu tidak apa-apa, barang siapa yang berbohong kepadaku dengan sengaja maka bersiaplah untuk mencari kawasan duduk di neraka”.[14]
Larangan beliau itu didorong kegelisahan akan terjadinya pencampuran Alquran dengan hal-hal yang bukan dari Alquran. Pada abad Rasulullah SAW., penulisan Alquran dilakukan oleh beberapa penulis wahyu adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur Rasyidin dan sebagainya.
2. Perkembangan Ulumul Quran Pada Masa Khulafa al Rasyidin
Pada zaman kekhalifaan Abu Bakar dan Umar, ilmu Quran masih diriwayatkan melalui penuturan secara ekspresi.[15]Ketika Abu Bakar Shiddiq menjadi khalifah terjadi peperangan yang sangat sengit antara kaum muslimin dengan pengikut Musailamah al-Kadzab yang mengakibatkan banyak korban. Di pihak muslimin ada tujuh puluh penghafal Quran yang gugur, sehingga Umar bin Khattab menganjurkan terhadap Abu Bakar untuk menuliskan Quran dalam satu mushaf. Pada mulanya Abu Bakar merasa ragu untuk menerima usul Umar tersebut dan menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menuliskan Alquran dalam bentuk mushaf.
Ketika di zaman Utsman di mana orang Arab mulai bergaul dengan orang-orang non Arab, pada dikala itu Utsman menyuruh supaya kaum muslimin berpegang pada mushaf induk dan membuat reproduksi menjadi beberapa buah naskah untuk diantarke kawasan-kawasan. Bersamaan dengan itu dia menyuruh semoga membakar semua mushaf lainnya yang ditulis orang berdasarkan caranya masing-masing. Di zaman Khalifah Utsman kawasan Islam bertambah luas sehingga terjadi perbauran antara penakluk Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengenali bahasa Arab. Keadaan demikian menjadikan kegundahan teman akan tercemarnya keutamaan bahasa Arab dari bangsa Arab. Bahkan dikhawatirkan akan terjadinya perpecahan di kelompok kaum Muslimin perihal bacaan Quran yang menjadi patokan bacaan bagi mereka. Untuk mempertahankan terjadinya kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah Alquran yang disebut Mushhaf Imam. Dengan terlaksananya penyalinan ini maka berarti Utsman sudah meletakkan suatu dasar Ulumul Qur’an yang disebut Rasm al-Qur’an atau Ilm al Rasm al-Utsmani.[16]
Di abad Ali bin Abu Thalib terjadi kemajuan baru dalam bidang ilmu Alquran. Karena banyaknya melihat umat Islam yang berasal dari bangsa non-Arab, kemerosotan dalam bahasa Arab, dan kesalahan dalam pembacaan Alquran, Ali menyuruh Abu al-Aswad al-Duali (w.63 H.) untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab. Hal ini dilaksanakan untuk memelihara bahasa Arab dari pencemaran dan menjaga Quran dari keteledoran pembacanya. Tindakan khalifah Ali ini dianggap perintis bagi lahirnya ilmu Nahwu dan I’rab Quran.[17]
3. Perkembangan Ulumul Alquran Pada Masa Tadwin (Penulisan Ilmu)
Setelah berakhirnya zaman khalifah yang Empat, timbul zaman Bani Umayyah. Kegiatan para sobat dan Tabi’in terkenal dengan usaha-usaha mereka yang tertumpu pada penyebaran ilmu-ilmu Quran melalui jalan periwayatan dan pengajaran secara lisan, bukan melalui tulisan atau catatan. Kegiatan-acara ini dipandang selaku antisipasi bagi abad pembukuannya.
Orang-orang yang paling berjasa dalam periwayatan ini yaitu; khalifah yang Empat, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah ibn al-Zubair dari kalangan sobat. Sedangkan dari golongan Tabi’in adalah Mujahid, ‘Atha, ‘Ikrimah, Qatadah, Al-Hasan al-Bashri, Sa’id ibn Jubair, dan Zaid ibn Aslam di Madinah. Dari Aslam ilmu ini diterima oleh putranya Abdul Rahman bin Zaid, Malik ibn Anas dari generasi Tabi’i al-tabi’in. Mereka ini semua dianggap selaku peletak batu pertama bagi apa yang disebut ilmu tafsir, ilmu asbab al-nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu gharib Alquran dan lainnya.[18]
4. Perkembangan Ulumul Qur’an Pada Abad II H
Kemudian, Ulumul Quran memasuki periode pembukuannya pada periode ke-2 H. Para ulama menawarkan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir alasannya fungsinya sebagai Umm al-‘Ulum al-Qur’aniah (Induk Ilmu-ilmu Alquran). Para penulis pertama dalam tafsir yakni Syu’bah Ibn al-Hajjaj. Sufyan ibn Uyaynah dan Waqi’ Ibn al-Jarrah[19]Kitab-kitab tafsir mereka menghimpun usulan-pendapat sahabat dan tabi’in.
5. Perkembangan Ulumul Qur’an Pada Abad III H
Pada kurun ke-3 menyusul tokoh tafsir Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H.). Al-Thabari yaitu mufassir pertama membentangkan bagi berbagai usulan dan mentarjih sebagiannya atas yang lain. Ia juga mengemukakan i’rab danistinbath (penggalian hukum dari Quran). Di masa ke-3 ini juga lahir ilmu asbab al-nuzul, ilmu nasikh danmansukh, ilmu perihal ayat-ayat Makkiah dan Madaniah.
Guru Imam al-Bukhari, Ali Ibn al- Madini mengarangasbab al-nuzul; Abu Ubaid al-Qasim Ibn Salam (w.224 H.) mengarang perihal nasikh dan mansukh, qirrat dan keistimewaan-keistimewaan Quran. Muhammad Ibn Ayyub al-Dharis menulis ihwal kandungan ayat-ayat yang turun di Mekkah dan Madinah.Muhammad Ibn Khalaf Ibn al-Mirzaban (w. 309 H) mengarang kitab al-Hawi fi ’Ulum al-Qur’an.[20]
6. Perkembangan Ulumul Qur’an Pada Abad IV H
Di era ke-4 lahir ilmu gharib al-Qur’an dan beberapa kitab Ulumul Alquran. Di antara tokoh-tokoh Ulumul Quran ini yakni Abu Bakar Muhammad Ibn al-Qasim al-Anbari (w. 328 H.) dengan kitabnya ‘Ajaib ulum al-Qur’an. Di dalam kitab ini al-Anbari mengatakan wacana keistimewaan-keistimewaan Alquran, turunnya atas tujuh huruf, penulisan mushhaf-mushhaf, jumlah surah, ayat, dan kata-kata Quran. Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H.) mengarang al-Mukhtazan fi’ulum al-Qur’an (Yang Tersimpan di Dalam Ilmu Alquran), kitab yang berskala besar sekali.Abu Bakar al-Sijistani. mengarang Grarib al-Qur’an; Abu Muhammad al-Qashshab Muhammad Ibn Ali al-Kharkhi (w. 360 H.) mengarang Nukat al-Qur’an al-Dallah ’ala al-Bayan fi Anwa’ al-‘Ulum wa al-Ahkam al-Munbiah ’an Ikhtilaf al-Anam(Titik-Titik Alquran Menunjukkan Kejelasan Tentang Berbagai Ilmu dan Hukum yang Memberitakan Perbedaan Pikiran Insani) dan Muhammad Ibn Ali al-Adfawi (w. 388 H.) mengarang Al-istghna’ fi ’Ulum al-Qur’an (Kebutuhan Akan Ilmu Quran).[21]
7. Perkembangan Ulumul Qur’an Pada Abad V H
Di kurun ke-5 muncul pula beberapa tokoh ilmu qirrat, di antaranya adalah Ali Ibn Ibrahim Ibn Sa’id al-Hufi. mengarang Al-Burhan fi ’Ulum al-Qur’an dan i’rab al-Alquran. Abu Amral-Dani (w. 444 H.) menulis kitab Al-Taisir fi al-Qiraat al-Sab’i dan Al-Mukham fi al-Nuqath. Dalam abad ini juga lahir ilmu amtsal al-Qur’an yang di antara lain dikarang oleh Al-Mawardi (w. 450 H.).[22]
8. Perkembangan Ulumul Qur’an Pada Abad VI H
Pada kurun ke-6, di samping banyak ulama yang melanjutkan pengembangan ilmu-ilmu Quran yang sudah ada, lahir pula ilmu mubhamat al-Qur’an. Abu al-Qasim Abd al-Rahman al-Suhaili (w. 581 H.) mengarang Mubhamat al-Qur’an. Ilmu ini menunjukan lafal-lafal Alquran yang tujuannya apa dan siapa tidak terang. Misalnya kata rajulun(seorang lelaki) atau malikun (seorang raja). Ibn al-Jauzi ( w.597 H.) menulis kitab Funun al-Afnan fi’Ajaib al-Qur’an dan kitab Al-Mujtaba fi ’Ulum Tata’allaq bi al-Qur’an.
9. Perkembangan Ulumul Qur’an Pada Abad VII H
Pada periode ke-7 Abd al-Salam yang populer dengan sebutan Al-‘Izz (w. 660 H.) mengarang kitab Majaz al-Qur’an. ’Alam al-Din al-Sakhawi (w. 643 H.) mengarang ihwal qirrat. Ia menulis kitab Hidayah al-Murtab fi al-Mutasyabih yang populer dengan nama Al-Sakhawiyah. Abu Syamah Abd al-Rahman Ibn Ismal al-Maqdisi (w. 665 H.) menulis kitab Al-Mursyid al-Wajiz fi ma Yata’allaq bi al-Qur’an al-‘Aziz.
10. Perkembangan Ulumul Qur’an Pada Abad VIII H
Pada abad ke-8 muncul beberapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru wacana Alquran. Sementara itu penulis wacana kitab-kitab perihal ilmu-ilmu sebelumnya telah lahir terus berlangsung. Ibn Abi al-Ishba’ menulis wacana angin puting-beliung’al-Qur’an. Ilmu ini membicarakan keindahan bahasa dalam Quran. Ibn al-Qayyim ( w.752 H.) menulis wacana Aqsam Alquran. Ilmu ini membicarakan ihwal sumpah-sumpah Quran. Najmuddin al-Thufi (w.716 H.) menulis tentang Hujaj Quran. Ilmu ini membicarakan tentang bukti-bukti yang dipergunakan Quran dalam memutuskan suatu hukum. Abu al-Hasan al-Mawardi menyusun ilmu amtsal Alquran. Ilmu ini membicarakan wacana istilah-permpamaan yang ada dalam Alquran. Kemudian Badruddin al-Zarkasyi[34] (w. 794 H.) menyusun kitabnya Al-Burhan fi ’Ulum al-Qur’an.[23]
11. Perkembangan Ulumul Qur’an Pada Abad IX H
Pada masa ke-9, muncul beberapa ulama melanjutkan perkembangan ilmu-ilmu Quran. Jalaluddin al-Bulqini, menyusun kitabnya Mawaqi’ al-‘Ulum min Mawaqi’al-Nujum. Menurut al-Suyuthi, Al-Bulqini dipandang sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Quran yang lengkap. Sebab dalam kitabnya meliputi 50 macam ilmu Alquran. Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiaji,[24] mengarang kitab Al-Tafsir fi Qawa’id al-Tafsir. Di dalamnya dijelaskan makna tafsir, takwil, Quran, surah dan ayat. Di dalamnya juga diterangkan tentang syarat-syarat mentafsirkan Quran. Jalaluddin al-Suyuthi (w. 991 H.) menulis kitab al-Tahbir fi’Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini simpulan pada tahun 873 H.
Kitab ini menampung 102 macam-macam ilmu Quran. Karena itu, berdasarkan sebagian ulama, kitab ini dipandang selaku kitab Ulumul Quran yang paling komplet. Namun Al-Suyuthi belum merasa puas dengan karya yang monumental ini sehingga beliau menyusun lagi kitab Al-Itqan fi ’Ulum Al-Qur’an. Di dalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Alquran secara padat dan sistematis. Menurut Al-Zarqani, kitab ini sebagai pegangan kitab bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Setelah wafatnya Imam Al-Suyuthi pada tahun 991 H., seolah kemajuan karang-mengarang dalam Ulumul Alquran telah mencapai puncaknya sehingga tidak tampakhadirnya penulis yang mempunyai kemampuan mirip kemampuannya.[25]
Keadaan seperti ini dapat terjadi selaku akibat meluasnya sikap taklid yang dalam sejarah kemajuan ilmu-ilmu agama umumnya mulai berlangsung sehabis kala Al-Suyuthi. Kondisi yang demikian berjalan semenjak wafatnya Iman Al-Suyuthi sampai akhir periode ke-13 H.
12. Perkembangan Ulumul Qur’an Pada Abad X H
Abad ke-10, boleh dibilang ialah masa kemunduran sebab hanya seorang penulis yang aktif mengarang, ialah Imam Jalaluddin Setelah as-Suyuti wafat pada tahun 911 H, perkembangan ilmu-ilum al-Quran seakan-akan sudah meraih puncaknya dan bephenti dengan berhentinya kegiatan ulama dalam menyebarkan Ulumul Alquran, dan kondisi semacam itu berlangsung sejak wafatnya Imam as-Sayuti sampai final abad XIII H.
13. Perkembangan Ulumul Qur’an Pada Abad XIV H
Setelah memasuki abad XIV H ini, maka berdiri kembali pephatian ulama menyusun kitab-kitab yang membicarakan al-Alquran dari banyak sekali sisi dan macam Ilmu al-Quran, di antara mereka itu yakni:
a. Thahir al-Jazairi menyusun kitab Al-Tibyan fi Ulumil Alquran yang selesai tahun 1335 H.
b. Jamaluddin al-Qasimi (w. 1332 H) menyusun kitab Mahasinut Ta’wil.
c. Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani menyusun kitab Manahilul Irfan fi Ulumil quran (2 jilid).
d. Muhammad Ali Salamah mengarang kitab Manhajul Furqan fi Ulumil quran.
e. Thanthawi Jauhari mengarang kitab al-Jawahir fi Tafsir al-Alquran dan Alquran wal Ulumul Ashriyah.
f. Muhmmad Shadiq al-Rafi’i menyusun I’jazul Alquran.
Uraian-uraian di atas juga pertanda betapa pentingnya kedudukan ilmu ini dalam mengetahui, menafsirkan, dan menerjemahkan Alquran. Dengan ini juga maka seseorang akan mampu membuktikan dan mempertahankan kesucian dan kebenaran Quran. Untuk menggambarkan pentingnya Ulumul Alquran, para ulama memperlihatkan ungkapan yang berbeda-beda.
Al-Zarqani mengumpamakan Ulumul Quran sebagai anak kunci bagi para mufassir. Ilmu ini mirip ulumul hadis bagi orang yang mempelajari ilmu hadis. Pengarang kitab Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an mengibaratkan Ulumul Quran sebagai premis minor dari dua premis tafsir.[26] Menurut Manna Al-Qaththan, ilmu ini kadang kala disebut Ushul al-Tafsir alasannya adalah ilmu ini meliputi unsur pembahasan-pembahasan yang harus dimengerti oleh seorang mufassir untuk menjadi landasannya dalam menafsirkan Alquran.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas mampu dimengerti bahwa
1. ‘Ulumul Qur’an yaitu ilmu yang membicarakan segala hal yang berafiliasi dengan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang disandarkan kepada Al-Qur’an sebagai pendukung untuk memahami Al-Qur’an secara luas dan mendalam. Perlu kita pelajari semoga tidak terjadi kesalahan dalam mengetahui dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi contoh dan pemikiran hidup dalam rangka menjangkau keberhasilan di dunia dan alam baka.
2. Dari uraian diatas bisa difahami bahwa adanya Ulumul Qur’an sangatlah penting untuk dipelajari dan dikaji secara baik untuk mencegah adanya kesalahan dalam menafsirkan Al-Qur’an dimana pada Keberagaman Modern saat ini.
3. Pertumbuhan dan kemajuan ‘Ulumul Qur’an berlangsung dalam rentang waktu yang panjang. Walaupun pada periode nabi hidup di siplin ilmu ini belum dibukukan, sebab teman merasa cukup meminta klarifikasi dari rasul akan sesuatu yang tidak dimengerti. kitabnya menjadi pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Sejarah perkembangan Ulumul Quran dalam makalah ini dibagi terhadap tiga bab yaitu, Perkembangan Ulumul Quran pada era Rasulullah SAW., Perkembangan Ulumul Alquran pada abad Khulafa al Rasyidin dan Perkembangan Ulumul Quran pada periode Tadwin (Penulisan Ilmu).
B. Saran
Saran dari penulis sesungguhnya ilmu alquran sangatlah penting baik di dunia utama di akherat karena al quran ialah pedoman hidup orang islam yang telah di wahyukan kepada nabi muhammad saw oleh allah swt melalui malaikat jibril. Dan bantu-membantu sumber dari segala sumber ilmu adalah al quran.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Al Hadis
Ahmad Syadali, 1997 ‘Ulumul Qur’an I. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia
Alih bahasa; 1990Tim Pustaka Firdaus, Pustaka Firdaus, Jakarta,
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 1994.Mabahist Fi Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan judul Studi Ilmu-ilmu Quran, cet II, Jakarta : Pustaka Litera Antar Nusa.
Al-Shadr, Muhammad Bakir, 1426 H. al-Madrasah al-Qur’aniyyah, Syariat, Iran,
Al-Shalih, Shubhi, 1977.Mabahits fi ‘Ulum al-Quran, Dar al ‘Ilm Li al-Malayin, Beirut
Al-Shobuny, Mohammad Aly, at-Tibyan fi Ulumil Qur’an, Alam al-Kitab, Beirut, (tt),
Al-Zarqany, Muhammad Abd al-Azhim, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Juz I, Isa al-Baby al-Halaby wa Syirkah, Mesir, (tt),
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, 1972. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, 1973.Ilmu-Ilmu Alquran, Bulan Bintang, Jakarta,
M.Yusuf, 2009.Studi Al-Quran,Jakarta: Amzah
Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, 1997.Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: CV. Karya Abdi Tama,
Wahid, Ramli Abdul, Ulumul Alquran, Rajawali Pers, Jakarta
[1] Al-Alquran dan Terjemahannya ( Cet.X Bandung, CV Penerbit Diponegoro, 2005), hal. 277
[2] Ahmad Syadali, ‘Ulumul Qur’an I (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 11
[3] M.Yusuf, Studi Al-Quran, (Jakarta: Amzah, 2009) Hal.6
[4] Rosihon Anwar,op, cit. hla 14
[5] Syadili,ahmad. Op, cit. hal. 18.
[6] Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1972, hlm. 105-108.
[7] Wahid, Ramli Abdul, Op. Cit., hlm. 27.
[8] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: CV. Karya Abdi Tama, 1997 Hal 78
[9] Al-Qattan, Manna’ Khalil. Mabahist Fi Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan judul Studi Ilmu-ilmu Alquran, cet II, Jakarta : Pustaka Litera Antar Nusa.1994. Hal 56
[10] Al-Shadr, Muhammad Bakir, al-Madrasah al-Qur’aniyyah, Syariat, Iran, 1426 H, hlm. 213.
[11] Manna al-Qaththan, Op. Cit., hlm. 4.
[12] Al-Shalih, Shubhi, Mabahits fi ‘Ulum al-Alquran, Dar al ‘Ilm Li al-Malayin, Beirut, 1977, hlm. 120.
[13] Al-Shalih, Shubhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Mabahits fi Ulumil Qur’an), Cet. IX, Alih bahasa; Tim Pustaka Firdaus, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1990, hlm. 156.
[14] Al-Zarqany, Muhammad Abd al-Azhim, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Juz I, Isa al-Baby al-Halaby wa Syirkah, Mesir, (tt), hlm. 28.
[15] Al-Shobuny, Mohammad Aly, at-Tibyan fi Ulumil Qur’an, Alam al-Kitab, Beirut, (tt), hlm. 52
[16] Al-Zarqani, Muhammad Abd al-Azim, Op. Cit., hlm. 30
[17] Ibid
[18] Wahid, Ramli Abdul, Ulumul Alquran, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 17.
[19] Waki’ bin al-Jarrah bin Malih bin ‘Adi’. Nama panggilannya Abu Sufyanar-Ruwasi al-Kufi, dari Tsauri. Hadis yang berasal darinya diketengahkan oleh ‘Abdullah bin al-Mubarrak, Yahya bin Adam,Ahmad bin Hanbal dan ‘Ali bin al-Madani. Lahir 128 H. dan wafat 197 H. Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Mu’in mengatakan: “Orang yang terpercaya di Iraq adalah Waki’”. (Lihat Tarikh Baghdad XIII, hlm. 466 – 481).
[20] Al-Shalih, Shubhi, 1977, Op. Cit., hlm. 121-122
[21] Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Ilmu-Ilmu Alquran, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 14.
[22] Ash-Shiddiqieqy, T.M. Hasbi, Loc. Cit.
[23] . Nawawi, Rif’at Syauqi dan M. Ali Hasan, Op. Cit., hlm. 222.
[24] Muhammad bin Sulaiman bin Sa’ad bin Mas’ud Muhyiddin Abu Abdullah al-Kafiyaji. Dialah yang menggeluti syair berakhiran huruf kaf dalam ilmu Nahwu, sehingga dia populer dengan Kafiyaji. As-Suyuthi pernah magang dengan mengikutinya selama 14 tahun. Al-Kafiyaji menulis banyak kitab perihal Tafsir, Fiqh, Pokok-Pokok Bahasa Arab dan Nahwu. Kitabnya yang tidak disebut judulnya dalam al-Itqan, ternyata dalam al-Bughyah disebut oleh Suyuthi berjudul at-Tafsir fi Qawa’id-dit-Tafsir. Suyuthi mengatakan, al-Kafiyaji berkata, ia menemukan ilmu tersebut sebagai hal yang belum ada sebelumnya. Karenya al-Kafiyaji tidak menghalangi dirinya pada al-burhan goresan pena Zarkasyi dan tidak pula puas dengan Mawaaqi;ul-Ulum karya Jalaluddin al-Bulqaini. Ia wafat tahun 879 H.
[25] . Al-Zarqani, Muhammad Abd al-Azim, Op. Cit., hlm. 36-37.
[26] Al-Zarqani, Muhammad Abd al-‘Azim, Op. Cit., hlm. 28.