Sebagaimana kita pahami bahwa ulumul qur’an yaitu ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an al-Karim, dari segi wawasan wacana alasannya-alasannya turunnya, pengumpulan Al-Qur’an dan urut-urutannya, wawasan perihal ayat Makkiyah dan Madaniah, dan hal-hal lain yang ada relevansinya dengan Al-Qur’an.
Sebelum membahas mengenai kekerabatan antara Ulumul Qur’an dengan tafsir, maka kita harus lebih dulu mengemukakan hal-hal yang bekerjasama dengan tafsir.
Kata tafsir, diambil dari kata tafsirah, adalah : perkakas yang dipergunakan tabib untuk mengenali penyakit orang sakit. Hal ini mampu dimaksudkan bahwa tafsir yaitu alat yang dipakai untuk mengenali kandungan yang tersimpan dalam Al-Qur’an.
Menurut bahasa, tafsir bermakna “menerangkan dan menyatakan”. Sedangkan berdasarkan perumpamaan, artinya ialah menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an, baik pertanda artinya, maksud yang terkandung di dalamnya atau pun tentang kandungan isinya, baik dengan ketentuan yang terang atau dengan instruksi.
As Zarkasy dalam Al-Burhan berpendapat bahwa tafsir yaitu membuktikan makna-makna Al-Qur’an dan mengeluarkan aturan-hukum dan hikmah-hikmahnya. Sementara itu, Kata Al-Jurjany bahwa tafsir, pada asalnya ialah: “membuka dan melahirkan”. Pada ungkapan syara’ yaitu : menjelaskan makna ayat, urusannya, cerita dan alasannya yang kesudahannya diturunkan ayat, dengan lafadh yang menunjuk kepadanya secara terperinci.
Untuk menjelaskan dan menafsirkan ihwal ayat-ayat dalam Al-Qur’an, seseorang harus memiliki pengetahuan yang mantap wacana ulumul Qur’an.
Dengan demikian, maka antara Ulumul Qur’an dan tafsir mempunyai hubungan yang sangat erat sekali. Ulumul Qur’an amat menentukan bagi seseorang yang ingin menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat dan dapat dipertanggung jawabkan.
Bagi seorang mufassir, maka ulumul Qur’an secara mutlak merupakan yang mesti lebih dahulu dikuasainya, sebelum beliau mulai memberikan tafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
Seperti halnya dalam bidang Hadits, maka seorang muhadis yang hendak membuktikan hadits membutuhkan ilmu-ilmu hadits. Demikian juga dalam tafsir, maka sebelum seorang mufassir mengambarkan dan menafsirkan Al-Qur’an, terlebih dulu mesti juga menguasai ilmu-ilmu tafsir, atau yang umum disebut sebagai ulumul Qur’an atau ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Sudah barang pasti, di samping ulumul Qur’an sebagai pokok maka juga diperlukan ilmu-ilmu lain sebagai pembantu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir, antara lain:
a. Ilmu-ilmu bahasa Arab (Nahwu, Saraf dan Balaghah). Kata mujahid : “Orang yang tidak mengenali seluruh bahasa Arab, dihentikan baginya menafsirkan Al-Qur’an”.
b. Ilmu Hadits. Penafsiran yang dihentikan yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan tidak memperdulikan sunnah dan kaedah-kaedah yang ditetapkan.
c. Ilmu Ushulul Fiqih
d. Ilmu Qiraat. Dengan ilmu ini mampu diketahui bagaimana kita menyebut kalimat-kalimat Al-Qur’an dan dengan dialah kita mampu menafsirkan makna yang terkandung di dalamnya.
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa menafsirkan Al-Qur’an berarti membuktikan ayat-ayatnya. Seorang mufassir gres mampu menawarkan uraian dan keterangan sesuai dengan maksud ayat tersebut secara tepat dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, apabila dia sebelumnya menguasai ulumul Qur’an tersebut.
Dengan kata lain, sehabis ia mengetahui dan menguasai ulumul Qur’an, gres ia akan mampu memberikan tafsir atau takwil terhadap sesuatu atau beberapa ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan ulumul Qur’an seseorang baru bisa membuka dan menyelami apa yang terkandung di dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian, maka ulumul Qur’an berfungsi selaku kunci pembuka terhadap penafsiran Al-Qur’an sesuai dengan maksud apa yang terkandung di dalamnya. Sedangkan kedudukannya sebagai ilmu yang pokok, yang merupakan alat yang dibutuhkan bagi setiap mufassir.
Apabila dilihat dari sisi lain, maka ulumul Qur’an juga dapat ialah ukuran atau persyaratan bagi tafsir Al-Qur’an. Artinya, makin tinggi dan mendalam ulumul Qur’an dikuasai oleh seorang mufassir, maka tafsir yang diberikannya juga akan kian mendekati kebenarannya.
Oleh alasannya adalah itu, maka selain berfungsi selaku kunci pembuka, ulumul Qur’an juga dapat berfungsi selaku standard kepada tafsir Al-Qur’an yang dibuatnya. Fungsi sebagai tolok ukur, yaitu dengan ulumul Qur’an akan mampu dibedakan antara tafsir yang shahih dan yang tidak shahih.