Tawaran Ptk Untuk Ppg


PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK DENGAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING PADA MATERI TAWADUK PEMBELAJARAN PAI KELAS VII.1 SMPN 1 PRAYA TIMUR TAHUN PELAJARAN 2019/2010
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Terwujudnya kondisi pembelajaran penerima latih aktif ialah cita-cita dari semua bagian pendidikan tergolong penduduk dan para praktisi dunia pendidikan. Oleh karena itu dalam dalam kegiatan pembelajaran dituntut sebuah strategi pembelajaran yang direncanakan oleh guru dengan mengedepankan keaktifan penerima bimbing dikala proses berguru mengajar sedang berjalan. Dengan proses mengajar yang mengedepankan keaktifan penerima didik diperlukan mampu mengembangkan motivasi berguru akseptor asuh sehingga hasil belajar menjadi lebih maksimal sesuai dengan tujuan pendidikan di sekolah.
Menurut Suparno,[1] akseptor didik yang aktif dalam proses pembelajaran dicirikan oleh dua aktivitas, ialah acara dalam berfikir (minds-on), dan kegiatan dalam berbuat (hands-on). Perbuatan aktual penerima ajar dalam pembelajaran merupakan hasil keterlibatan berfikir penerima latih kepada aktivitas belajarnya. Dengan demikian proses pembelajaran akseptor latih aktif dalam kegiatan berguru mengajar ialah sebuah kegiatan pembelajaran yang harus dijalankan secara terus menerus dan tidak berhenti. Hal ini dilakukan apabila interaksi antara guru dan peserta asuh terjalin dengan baik. Sebab berdasarkan Usman,[2] interaksi dan relasi timbal balik antara Guru dengan Peserta asuh itu ialah syarat utama bagi berlangsungnya proses mencar ilmu mengajar.
Terdapat opini yang menyatakan bahwa terdapat beberapa dilema pembelajaran di sekolah yang antara lain yaitu:
1.    Materi bimbing yang tidak berarti.
2.    Belajar cuma berisi ceramah yang menjemukan.
3.    Guru cuma menyuapi (spoon feeding) siswa dengan pengetahuan yang bersifat superficial
4.    Proses berguru bukan ialah proses yang mengasyikkan namun malah seram.
Berdasarkan  pada usulan tersebut, menunjukkan bahwa aktivitas peserta didik dalam proses mencar ilmu mengajar sangatlah diharapkan. Namun yang lebih penting lagi dalam meningkatkan aktivitas penerima ajar tersebut adalah kesanggupan Guru dalam merencanakan suatu acara berguru mengajar sehingga dengan planning tersebut peserta bimbing dapat beraktivitas dalam proses belajar mengajar sampai diraih  tujuan pembelajaran.
Dalam pengalaman penulis, masih sering menjumpai beberapa sekolah yang terdapat guru-guru yang masih menerapkan pendekatan konvensional dalam pembelajaran. Pembelajaran yang diselenggarakan banyak menggunakan metode-tata cara condong monoton dan menjemukan, mirip tata cara ceramah.
Dampak dari penggunaan pendekatan yang tidak produktif dan tidak menawan mempunyai pengaruh pada rendahnya motivasi dan minat belajar siswa yang pada balasannya menghasilkan prestasi belajar siswa rendah. Hal ini dibuktikan oleh adanya data hasil berguru siswa kelas VII.1 SMPN 1 Praya Timur yang mencapai ketuntasan berguru di bawah rata-rata, yaitu 70.[3]
Untuk memajukan prestasi mencar ilmu siswa di atas, dipandang perlu memakai pendekatan lain sebagai penyelesaian. Di antara pendekatan yang memungkinkan mampu memajukan prestasi mencar ilmu siswa ialah Metode Pendekatan Berbasis Aktivitas. Pendekatan ini memiliki kesanggupan untuk mendorong siswa lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran yang pada gilirannya dapat mengembangkan prestasi belajar siswa. Pandangan ini di dasarkan pada sejumlah kelebihan yang dimiliki oleh pendekatan tersebut.
Berbagai keunggulan Kelebihan Penggunaan Metode Pembelajaran Yang Berbasis pada Aktivitas Peserta asuh,[4] adalah:
a.         Membantu peserta latih untuk memperbaiki dan memajukan kemampuan-keahlian dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan ialah kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
b.         Pengetahuan yang diperoleh lewat strategi ini sungguh eksklusif dan ampuh alasannya menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
c.         Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa mengusut dan sukses.
d.         Strategi ini memungkinkan siswa berkembang dengan segera dan sesuai dengan kecepatannya sendiri.
e.         Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
f.          Strategi ini mampu menolong siswa memperkuat rancangan dirinya, alasannya adalah memperoleh iktikad melakukan pekerjaan sama dengan yang yang lain.
g.         Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-pemikiran . Bahkan gurupun mampu bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam suasana diskusi.
h.         Membantu peserta ajar menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena mengarah pada kebenaran yang selesai dan tertentu atau pasti.
i.           Siswa akan memahami desain dasar dan inspirasi-ilham lebih baik.
j.           Membantu dan berbagi kenangan dan transfer kepada situasi proses belajar yang gres.
k.         Mendorong siswa berpikir dan melakukan pekerjaan atas inisiatif sendiri.
l.           Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
m.       Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik.
n.         Situasi proses berguru menjadi lebih terangsang.
o.         Proses berguru mencakup sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia seutuhnya.
p.         Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
q.         Kemungkinan siswa belajar dengan mempergunakan aneka macam jenis sumber mencar ilmu.
r.          Dapat berbagi talenta dan kecakapan individu.
Berdasarkan pemikiran di atas, Penulis menganggap penting untuk melaksanakan penelitian lebih jauh wacana penerapan Peningkatan Motivasi Belajar Peserta Didik Dengan Model Pembelajaran Discovery Learning Pada Materi Tawaduk Pembelajaran PAI Kelas VII.1 SMPN 1 Praya Timur Tahun Pelajaran 2019/2010
B.     Masalah Penelitian
1.    Identifikasi Masalah
Merujuk pada latar belakang di atas, dimungkinkan yang menjadi penyebab redahnya prestasi mencar ilmu siswa yaitu penggunaan versi konvensional dan atau versi yang kurang sempurna dalam pembelajaran PAI di sekolah. Oleh alasannya itu, pergeseran penggunaan sistem dalam pembelajaran tersebut mutlak dibutuhkan. Sebagai metode alternatif yang dipandang efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran PAI ialah Model Pembelajaran Discovery Learning.
2.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan di atas saya dapat merumuskan problem dalam penelitian aku ini, yakni bagaimanakah penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning untuk mengembangkan Motivasi Belajar Peserta Didik Pada Materi Tawaduk Pembelajaran PAI Kelas VII.1 SMPN 1 Praya Timur?
C.     Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari observasi tindakan kelas ini yaitu untuk mengetahui penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning untuk memajukan Motivasi Belajar Peserta Didik Pada Materi Tawaduk Pembelajaran PAI Kelas VII.1 SMPN 1 Praya Timur.
D.    Manfaat Penelitian
Penulis berharap dari hasil penelitian ini, mampu didapat faedah sebagai berikut:
1.    Bagi siswa
a.    Meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami bahan yang dipelajari dalam Pendidikan Agaman Islam dan Budi Pekerti Materi Tawaduk Pembelajaran PAI Kelas VII.1.
b.    Dengan penerapan model ini diharapkan mampu membuat akseptor ajar lebih aktif dalam proses pembelajaran Pendidikan Agaman Islam dan Budi Pekerti perihal Materi Tawaduk Pembelajaran PAI Kelas VII.1.
c.    Dapat memajukan prestasi belajar siswa dari yang sebelumnya.
2.    Bagi guru
a.    Dapat memacu para guru untuk selalu meningkatkan mutu proses pembelajaran.
b.    Membuat para guru untuk senantiasa mencipatakan situasi berguru yang aktif, inovatif, dan menyenangkan.
c.    Dapat menjadi referensi sekaligus penyelesaian bagi para guru yang sedang mengalami urusan dalam proses pembelajaran.
3.    Bagi sekolah
Dapat memajukan dan memajukan prestasi dan mutu sekolah. Serta dapat menjadi bahan gosip dan tunjangan ajaran yang dapat dijadikan materi perbandingan atau teladan bagi sekolah atau lembaga-forum lain dalam berbagi segala hal yang berhubungan dengan pendidikan khususnya dalam pengajaran dan keguruan.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.    Kajian Teori
1.      Model Pembelajaran Discovery Learning
a.       Pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning
Discovery berasal dari bahasa Inggris “discovery”, yang bermakna inovasi. Secara biasa discovery learning ialah proses dimana para saintis mengajukan pertanyaan ihwal alam dunia ini dan bagaimana mereka secara sistematis mencari jawabannya. Secara khusus, discovery learning adalah metode yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan memperoleh balasan dari suatu dilema.”[5]
Sedangkan berdasarkan Budiningsih menyebutkan Model Discovery Learning yaitu mengerti desain, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk balasannya hingga terhadap suatu kesimpulan.[6] Adapun Brune, Discovery Learning merupakan pembelajaran menurut inovasi (inquirybased), konstruktivis dan teori bagaimana berguru. Model pembelajaran yang diberikan terhadap siswa memiliki skenario pembelajaran untuk memecahkan masalah yang faktual dan mendorong mereka untuk memecahkan persoalan mereka sendiri.[7]
Berdasarkan pengertian di atas mampu ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran discovery learning adalah suatu model untuk menyebarkan cara belajar siswa aktif dengan menemukan sendiri, menilik sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan usang dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan siswa. Dengan mencar ilmu inovasi, anak juga mampu mencar ilmu berfikir analisis dan mencoba memecahkan sendiri problem yang dihadapi. Kebiasaan ini akan di transfer dalam kehidupan bermasyarakat.
b.      Langkah Persiapan Model Discovery Learning
1)      Menentukan tujuan pembelajaran.
2)      Melakukan kenali karakteristik siswa (kemampuan permulaan, minat, gaya belajar, dan sebagainya).
3)      Memilih materi pelajaran.
4)      Menentukan topik-topik yang mesti dipelajari siswa secara induktif (dari teladan-acuan generalisasi).
5)      Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa teladan-acuan, ilustrasi, peran dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
6)      Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang faktual ke absurd, atau dari tahap enaktif, ikonik hingga ke simbolik.
7)      Melakukan evaluasi proses dan hasil belajar siswa.
c.       Prosedur Aplikasi Model Discovery Learning[8]
1)      Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini akseptor ajar dihadapkan pada sesuatu yang mengakibatkan tanda tanya, lalu dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, semoga timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Di samping itu guru mampu mengawali aktivitas poses mencar ilmu mengajar dengan bertanya, proposal membaca buku, dan aktivitas belajar yang lain yang mengarah pada persiapan pemecahan dilema. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menawarkan kondisi interaksi berguru yang dapat berbagi dan menolong siswa dalam mengeksplorasi materi.
2)      Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)
Setelah dilaksanakan stimulasi langkah selanjutya yaitu guru memberi potensi kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin acara-jadwal masalah yang relevan dengan materi pelajaran, lalu salah satunya diseleksi dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah). Permasalahan yang diseleksi itu berikutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, ialah pernyataan sebagai balasan sementara atas pertanyaan yang diajukan. Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi problem yang mereka hadapi, merupakan teknik yang memiliki kegunaan dalam membangun siswa biar mereka terbiasa untuk memperoleh sebuah masalah.
3)      Data Collection (Pengumpulan Data)
 Ketika eksplorasi berjalan guru juga memberi potensi terhadap para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang berkaitan untuk menandakan benar atau tidaknya hipotesis[9]. Tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis.
Dengan demikian penerima latih diberi peluang untuk menghimpun aneka macam berita yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini yaitu siswa berguru secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan persoalan dengan wawasan yang sudah dimiliki.
  Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa berguru secara aktif untuk memperoleh sesuatu yang berafiliasi dengan urusan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan persoalan dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
4)      Data Processing (Pengolahan Data)
  Semua info hasil bacaan, wawancara, pengamatan, dan sebagainya, seluruhnya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan kalau perlu dijumlah dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat iman tertentu[10]
  Data processing disebut juga dengan pengkodean atau kategorisasi yang berfungsi selaku pembentukan desain dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan wawasan gres wacana alternatif tanggapan/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.
5)      Verification (Pembuktian)
 Pada tahap ini siswa melaksanakan investigasi secara cermat untuk mengambarkan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing[11] Verification menurut Bruner, bertujuan semoga proses berguru akan berjalan dengan baik dan inovatif jikalau guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh sebuah konsep, teori, hukum atau pengertian lewat contoh-teladan yang ia jumpai dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil pembuatan dan tafsiran atau info yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu lalu dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
6)      Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
   Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik suatu kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip biasa dan berlaku untuk semua insiden atau persoalan yang serupa, dengan mengamati hasil verifikasi[12]. Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menawan kesimpulan siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.
Sebagai versi pembelajaran, Discovery Learning memiliki prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga ungkapan ini. Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya desain atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaan inkuiri dan duduk perkara solving dengan Discovery Learning yaitu bahwa pada discovery learning duduk perkara yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru.
d.      Tujuan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery)
Menurut Trianto[13] fungsi versi pembelajaran yakni sebagai fatwa bagi perancang pengajar dan para guru dalam melakukan pembelajaran. Untuk memilih versi ini sangat dipengaruhi oleh sifat dari materi yang hendak diajarkan, dan juga dipengaruhi oleh tujuan yang hendak diraih dalam pengajaran tersebut serta tingkat kesanggupan peserta ajar. Di samping itu pula, setiap versi pembelajaran juga memiliki tahap-tahap (sintaks) yang mampu dijalankan siswa dengan panduan guru. Antara sintaks yang satu dengan sintaks yang lain juga mempunyai perbedaan. Perbedaan-perbedaan ini, di antaranya pembukaan dan penutupan pembelajaran yang berlainan antara satu dengan lainnya. Oleh alasannya adalah itu, guru perlu menguasai dan dapat menerapkan banyak sekali keterampilan mengajar, semoga mampu meraih tujuan pembelajaran yang bermacam-macam dan lingkungan mencar ilmu yang menjadi ciri sekolah pada sampaumur ini.
Metode pembelajaran penemuan (discovery) dalam proses berguru mengajar mempunyai beberapa tujuan antara lain :
1)      Meningkatkan keterlibatan peserta latih secara aktif dalam mendapatkan dan memproses perolehan belajar.
2)      Mengarahkan para siswa sebagai pelajar seumur hidup.
3)      Mengurangi ketergantungan kepada guru sebagai satu-satunya sumber info yang diharapkan oleh para siswa.
4)      Melatih penerima didik untuk mengeksplorasi atau mempergunakan lingkungan selaku gosip yang tidak akan pernah tuntas digali[14].
e.       Kelebihan Penerapan Discovery Learning
Setiap versi pembelajaran pastinya mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, guru harus inovatif dalam menentukan model pembelajaran yang akan digunakan. Model discovery learning membuat lebih mudah siswa untuk mendapatkan sendiri konsep-konsep pembelajaran yang tidak diperoleh siswa dengan cara menyimak penjelasan dari guru.
Menurut Kemendikbud[15], menyampaikan mengenai kelebihan dari discovery learning yaitu sebagai berikut.
1)      Membantu akseptor asuh untuk memperbaiki dan memajukan kemampuan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
2)      Pengetahuan yang diperoleh lewat strategi ini sungguh langsung dan ampuh alasannya adalah menguatkan pengertian, kenangan dan transfer.
3)      Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa memeriksa dan sukses.
4)      Strategi ini memungkinkan siswa meningkat dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannya sendiri.
5)      Menyebabkan siswa mengarahkan acara belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
6)      Strategi ini mampu menolong siswa memperkuat rancangan dirinya, karena menemukan kepercayaan melakukan pekerjaan sama dengan yang yang lain.
7)      Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan selaku peneliti di dalam suasana diskusi.
8)      Membantu akseptor asuh menetralisir skeptisme (keragu-raguan) sebab mengarah pada kebenaran yang akhir dan tertentu atau pasti.
9)      Siswa akan memahami desain dasar dan ilham-inspirasi lebih baik.
10)  Membantu dan mengembangkan kenangan dan transfer terhadap situasi proses berguru yang gres.
11)  Mendorong siswa berpikir dan melakukan pekerjaan atas inisiatif sendiri.
12)  Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
13)  Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik.
14)  Situasi proses berguru menjadi lebih terangsang.
15)  Proses berguru meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia seutuhnya.
16)  Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
17)  Kemungkinan siswa berguru dengan mempergunakan berbagai jenis sumber mencar ilmu.
18)  Dapat berbagi bakat dan kecakapan individu.
f.        Kekurangan Penerapan Discovery Learning
Metode itu berpusat pada siswa tidak pada guru. Guru cuma selaku sahabat berguru saja, membantu bila diperlukan. Metode inovasi (discovery) ini memiliki kelemahan adalah selaku berikut:
1)   Siswa harus memiliki kesiapan dan kematangan mental
2)   Siswa mesti berani dan berminat untuk mengenali kondisi sekitarnya dengan baik
3)   Metode ini kurang sukses digunakan di kelas besar
4)   Bagi guru dan siswa yang sudah terbiasa dengan penyusunan rencana dan pengajaran tradisional mungkin akan sangat kecewa kalau di ganti dengan sistem inovasi (discovery)
5)   Dengan menggunakan metode penemuan (discovery) ini proses mental terlalu mementingkan proses pengertian saja atau pembentukan perilaku dan keahlian siswa[16].
Dalam Discovery Learning, hendaknya guru mesti memberikan peluang muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientis, historis, atau mahir matematika. Bahan didik tidak disuguhkan dalam bentuk selesai, tetapi siswa dituntut untuk melakukan berbagai acara menghimpun berita, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
Model pembelajaran discovery learning ini mengakibatkan perkiraan bahwa ada kesiapan asumsi untuk berguru. Bagi siswa yang ndeso, akan mengalami kesulitan absurd atau berfikir atau mengungkapkan relasi antara desain-konsep, yang tertulis atau mulut, sehingga pada gilirannya akan menyebabkan putus asa. Pada intinya tidak ada model pembelajaran yang tepat. setiap model pembelajaran mempunyai ke;ebihan dan kekurangannya. Tinggal kemampuan para guru untuk mampu memilah dan menentukan versi pembelajaran yang mana yang paling cocok dengan bahan pembelajaran.
2.      Motivsi Belajar  
a.       Pengertian Motivasi Belajar
Dalam buku psikologi pendidikan Drs. M. Dalyono memaparkan bahwa “motivasi ialah daya pelopor/pendorong untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan, yang bisa berasal dari dalam diri dan juga dari luar”[17].
Dalam bukunya Ngalim Purwanto, Sartain menyampaikan bahwa motivasi ialah sebuah pernyataan yang kompleks di dalam suatu organisme yang mengarahkan tingkah laku kepada sebuah tujuan (goal) atau perangsang (incentive). Tujuan adalah yang membatasi/menentukan tingkah laku organisme itu[18].
Dengan demikian motivasi dalam proses pembelajaran sungguh diharapkan untuk terjadinya percepatan dalam meraih tujuan pendidikan dan pembelajaran secara khusus.
Belajar dalam arti luas mampu diartikan selaku sebuah proses yang memungkinkan timbulnya atau berubahnya suatu tingkah laku selaku hasil dari terbentuknya tanggapanutama, dengan sarat bahwa pergeseran atau hadirnya tingkah laku gres itu bukan disebabkan oleh adanya kematangan atau oleh adanya pergeseran sementara oleh sebuah hal[19].
Dari uraian di atas mampu disimpulkan bahwa motivasi mencar ilmu pada dasarnya ada dua adalah: motivasi yang tiba sendiri dan motivasi yang ada sebab adanya rangsangan dari luar. Kedua bentuk motivasi berguru ini sangat besar lengan berkuasa terhadap prestasi mencar ilmu. Setiap motivasi itu bertalian dekat korelasi dengan tujuan atau sebuah cita-cita, maka kian tinggi harga sebuah tujuan itu, maka makin berpengaruh motivasi seseorang untuk mencapai tujuan.
b.      Jenis-jenis Motivasi Belajar[20]
Berdasarkan pemahaman dan analisis perihal motivasi yang telah dibahas diatas maka pada pokoknya motivasi mampu dibagi menjadi dua jenis yakni: (a) motivasi intrinsik dan (b) motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang tercangkup di dalam situasi belajar mengajar serta memenuhi kebutuhan dan tujuan-tujuan para murid. Motivasi seperti ini juga sering disbut dengan motivasi murni ialah motivasi yang sesungguhnya muncul dari dalam diri penerima latih sendiri, seperti harapan untuk mendapat kemampuan tertentu, impian untuk mendapatkan informai, keinginan untuk diterima oleh orang lain dan lain sebagainya.
Kaprikornus, motivasi ini timbul murni dari dalam (intern) tanpa efek dari luar (ekstern), maka motivasi intrinnsik yaitu motivasi yang timbul dari dalam diri peserta ajar dan sangat memiliki kegunaan dalam suasana mencar ilmu mengajar yang funsional. Dalam hal ini kado, kebanggaan ataupun sejenisnya tidak diharapkan oleh sebab tidak akan menimbulkan penerima latih bekerja atau berguru untuk menerima hadian ataupun kebanggaan yang dimaksud, sebagaimana yang dibilang Emerson: The reward of a thing well done is to have done it.
c.       Prinsip-prinsip Motivasi Belajar
Ada beberapa prninsip-prinsip motivasi berguru yaitu.[21]
1)      Pujian lebih efektif dari pada hukuman
Hukuman bersifat menghentikan sebuah tindakan, sedangkan kebanggaan bersifat menghargai apa yang sudah dilaksanakan. Karena itu kebanggaan lebih besar nilainya bagi motivasi berguru penerima bimbing.
2)      Kebutuhan psikologis
Semua peserta bimbing mempunyai keperluan-kebutuhan psikologis (yang bersifat fundamental) tertentu yang mesti menerima kepuasan. Kebutuhan-keperluan ini dinyatakan dalam bentuk diri yang berbeda-beda. Peserta bimbing yang mampu memenuhi dirinya secara efektif melalui aktivitas-acara berguru dan hanya memerlukan sedikit santunan di dalam memotivasi dan disiplin.
3)      Prinsip intrinsik
Motivasi yang berasal dari dalam diri individu lebih efektif dari pada motivasi yang berasal dari luar individu yang sifatnya dipaksakan. Ini disebabkan sebab kepuasan yang diperoleh oleh individu itu sesuai dengan ukuran yang ada dalam diri penerima didik sendiri.
4)      Prinsip pemantapan.
Perbuatan mencar ilmu yang dibutuhkan bisa menuai hasil dan mampu dilihat maka perlu diulang beberapa ketika sesudah memberikan bahan yang telah disampaikan sehingga hasilnya tetap mantap dan pemantapan itu perlu dilaksanakan dalam setiap tingkatan pengalaman belajar.
5)      Prinsip minat
Motivasi itu mudah menjalar dan menyebar terhadap orang lain, Guru yang tertariktinggi dan bersemangat akan menghasilkan akseptor didik yang kepincuttinggi dan bergairah pula, sehingga akseptor latih yang bersemangat akan mendorong motivasi akseptor bimbing lainnya.
6)      Prinsip pemahaman
Pemahaman nyang terang terhadap tujuan-tujuan itu akan merangsang motivasi. Makara, jika seseorang telah menyadari tujuan yang mau diraih maka perbiatannya kearah itu akan lebih besar daya dorongnya.
7)      Prinsip beban
Tugas-peran yang dibebankan oleh diri sendiri akan menyebabkan minat yang lebih besar untuk melakukan dari pada tugas itu dipaksakan oleh guru, apabila peserta latih diberikan peluang menemukan masalahnya sendiri dan memecahkannya sendiri maka akan meningkat motivasi dan disiplin yang lebih baik pada dirinya.
8)      Prinsip external reward
Puji-kebanggaan yang datangnya dari luar(external reward) kadang-kadang diharapkan dan cukup efektif untuk merangsang minat yang bergotong-royong.Berkat dorongan oranglain, contohnya untuk mewmperoleh angka yang tinggi maka akan berusaha lebih ulet karna minatnya akan lebih besar.
9)      Prinsif kreativitas
Motivasi yang besar dan erat relevansinya dengan kreativitas peserta latih. Dengan teknik mengajar tertentu, maka motivasi  peserta latih dapat diajukan terhadap acara-acara kreatif. Motivasi yang sudah dimiliki oleh peserta latih jika diberi semacam penghalang seperti ada cobaan mendadak, peraturan-peraturan sekolah dan lain-lain. Maka, aktivitas kreatif akan timbul sehingga akan lolos dari penghalang-penghalangnya.
Prinsip-prinsip tersebut mampu digunakan oleh pendidik dalam upaya peningkatan motivasi peserta asuh dalam mengikuti aktivitas belajar mengajar, sehingga didapatkan hasil dan prestasi yang optimal. Diantanya adalah sebagai berikut:
a)      Kebermaknaan
Pelajaran akan menjadi lebih memiliki arti bagi penerima bimbing jikalau seorang Guru berupaya menghubungkannya dengan pengalaman masa lampau atau dengan pengalaman-pengalaman yang mereka miliki sebelumnya. Sesuatu yang menarik minat dan nilai-nilai tinggi bagi penerima latih mempunyai arti mempunyai arti bagi mereka. Oleh alasannya adalah itu guru hendaknya berusaha menyesuaikan pelajaran dengan minat para penerima didiknya, dengan cara memperlihatkan potensi kepada para peserta ajar untuk berperan serta memilih.
b)      Modeling (keteladanan)
Peserta bimbing akan suka mendapatkan tingkah laku gres jikalau dilakukan dan ditirunya, pelajaran akan lebih gampang dihayati dan dipraktekkan oleh peserta asuh kalau guru mengajar dalam bentuk tingkah laku versi (keteladanan), bukan hanya dengan cara berceramah atau bercerita secara lisan. Dengan mode tingkah laris itu, penerima bimbing dapat mengamati dan menirukan apa yang diinginkan oleh guru.
c)      Komunikasi terbuka
Peserta didik akan lebih suka berguru bila penyajiannya terstruktural sehingga pesa-pesan guru lebih terbuka dengan observasi penerima didiknya.
d)      Prasyarat
Apa yang telah dipelajari penerima ajar sebelumnya mungkin merupakan faktor penting yang mampu menentukan kesuksesan peserta didik dalam berguru. Oleh sebab itu hendaknya guru berusaha mengetahui atau mengetahui prasyarat-prasyarat yang sudah mereka miliki, yaitu: peserta asuh yang berada dalam kalangan yang berprasyarat akan mudah mengamati kekerabatan antara pengetahuan yang sederhana yang sudah dimiliki dengan wawasan yang kompleks yang akan dipelajari.
e)      Novelty
Peserta asuh akan lebih senang belajar kalau wawasan dan pengalamannya di tarik dengan penyuguhan-penyajian yang gres (novelty) atau masih gila.
f)       Latihan / praktek yang aktif dan berguna
Latihan ataupun praktek secara aktif bararti penerima bimbing mengerjakan sendiri apa yang dipelajari, bukan mendengarkan ceramah atau menulis pada buku yang diperintahkan oleh gurunya.
g)      Latihan terbagi
Peserta bimbing lebih bahagia mencar ilmu kalau latihan dibagi-bagi menurut jumlah periode waktu yang pendek. Latihan yang demikian akan memajukan motivasi peserta bimbing dalam berguru ketimbang latihan yang dilaksanakan sekaligus dalam rentang waktu yang panjang.
h)      Kurangi secara sitematik cara berguru paksaan
Peserta latih perlu diberikan paksaan atau pemompaan semangat motivasi. Akan tetapi bagi peserta didik yang telah mulai menguasai pelajaran, maka secara sistematik pemompaan itu dikurangi dan jadinya peserta latih dapat berguru berdikari.
i)       Kondisi yang menyenangkan
Peserta ajar akan lebih senag melanjutkan belajarnya bila keadaan belajar mengajarnya menggembirakan dan menarik hatinya.
d.      Cara mengaktifkan motivasi mencar ilmu penerima asuh[22]
Guna dapat menggunakan banyak sekali cara untuk menggerakkan atau membangkitkan motivasi berguru akseptor latih, diharapkan selaku berikut :
1)        Memberi angka
Umumnya penerima didik ingin mengetahui hasil pekerjaannya adalah berupa angka yang diberikan oleh guru, peserta didik yang mendapat angka (nilai) baik itu akan menambah motivasi belajarnya sebaliknya peserta bimbing yang mendapat angka kurang baik akan terjadi dua kemungkinan ialah akseptor didik itu frustasi ataupun akan menjadi pendorong motivasi supaya berguru lebih baik.
2)        Pujian
Peserta didik yang menerima pujian dari gurunya akan merasa puas, bahagia dan merasa diamati sehingga akan memperbesar motivasinya untuk belajar. Contoh kebanggaan yang sederhana antara lain: elok nak, cendekia nak, membenarkannya walaupun keliru jawaban si anak dengan kata-kata “benar” dan lain sebagainya.
3)        Memberikan kado
Cara ini dapa juga dikerjakan oleh guru dalam batasan tertentu, misalnya tunjangan hadiah hasil belaja pada simpulan tahun terhadap para peserta asuh yang mendapat atau menunjukkan hasil mencar ilmu yang baik, menawarkan kado bagi para pemenang sayembara atau p[ertandingan olah raga.
4)        Kerja golongan
Dalam kerja kelompok dimana penerima latih melaksanakan kerjasama dalam belajar dan setiap anggaota kalangan turut mendukung kelompoknya. Demi nama baik kelompok itu menjadi pendorong yang besar lengan berkuasa dalam perbuatan mencar ilmu.
5)        Persaingan
Persaingan secara individu maupun secara kalangan akan menawarkan motif-motif sosial bagi akseptor ajar. Hanya saja persaingan individu akan menunjukkan efek yang tidak baik, seperti : rusaknya hubungan persahabatan, pertengkaran, kontradiksi, kompetisi antar kelompok mencar ilmu.
6)        Tujuan dan level of aspiration
Dalam keluarga atau pendidikan informal sangat berpengaruh besar untuk mendorong kegiatan penerima bimbing.
7)        Sarkames
Dalam batas-batas tertentu sarkames mampu mendorong acara mencar ilmu demi nama baiknya, namun pihak lain mampu sebaliknya, sehingga memungkinkan timbulnya pertentangan antara penerima latih dan garu.
8)        Penilaian
Penilaian secara berkelanjutan akan memotivasi akseptor didik untuk mencar ilmu, karena setiap anak cendrung ingin mampu nilai yang bagus, selain itu akseptor bimbing senantiasa menerima tantangan dan problem yang mesti dihadapi dan dipecahkan sehingga mendorongnya belajar lebih cermat dan saksama.
9)        Karya rekreasi atau ekskursi
Cara ini akan menyebabkan mmotivasi berguru, alasannya dalam aktivitas ini akan mendapat pengalaman eksklusif dan mempunyai arti baginya, selain alasannya obyek yang dikunjungi mempesona, bebas, lepas dari keterikatan ruang kelas juga besar manfaatnya untuk menetralisir kepengatan yang ada, sehingga aktivitas berguru mengajar menjadi lebih menyenangkan bagi penerima ajar.
10)    Film pendidikan (balajr melalui visual)
Setiap orang niscaya bahagia menonton film lebih-lebih filmnya menarik, tetapi disini yang dimaksud film viksi ilmiah, citra dan isi kisah yang menarik akan mempesona perhatian akseptor bimbing, para peserta asuh akan menerima pengalaman baru yang ialah suatu unit cerita yang mempunyai arti.
11)    Belajar melalui audio
Mendengar radio lebih diamati dari pada mendengan ceramah guru, kendatipun demikian radio tidak mungkin mampu mengambil alih posisi guru dalam mengajar. Masih banyak cara untuk membangkitkan motivasi peserta didiknya, tetapi yang lebih penting yakni motivasi yang muncul dari diri penerima bimbing seperti dorongan kebutuhan, kesadaran dan eksklusif guru sendiri ialah pola yang mampu meransang motivasi mereka.
3.      Pokok Bahasan Tawadduk
a.    Pengertian Tawadhu
Tawadhu artinya rendah hati, tidak arogan, musuh dari kata angkuh. Yaitu sikap yang senantiasa menghargai eksistensi orang lain, perilaku yang suka memuliakan orang lain, sikap yang selalu suka mendahulukan kepentingan orang lain, sikap yang selalu suka menghargai pertimbangan orang lain.[23]
Tawadhu artinya rendah hati, lawan dari kata angkuh atau takabur. Orang yang rendah hati tidak menatap dirinya lebih dari orang lain, sementara orang yang sombong menghargai dirinya secara berlebihan. Rendah hati tidak sama dengan rendah diri, alasannya rendah diri memiliki arti kehilangan doktrin diri. Sekalipun dalam praktiknya orang yang rendah hati condong merendahkan dirinya dihadapan orang lain, namun perilaku tersebut bukan lahir dari rasa tidak percaya diri.
Sikap tawadhu terhadap sesama insan yaitu sifat mulia yang lahir dari kesadaran akan ke-mahakuasa-an Allah SWT atas segala hamba-Nya. Manusia ialah makhluk lemah yang tidak berarti apa-apa di hadapan Allah SWT. Manusia membutuhkan karunia, ampunan dan rahmat dari Allah. Tanpa rahmat, karunia dan lezat dari Allah SWT, manusia tidak akan bisa bertahan hidup, bahkan tidak akan pernah ada diatas permukaan bumi ini..
b.    Faktor yang membentuk Sikap Tawadhu[24]
Tawadhu yaitu satu bentuk budi pekerti yang baik, hal ini bisa diperoleh jikalau ada keseimbangan antara kekuatan akal dan nafsu. Faktor-faktor pembentuknya yaitu:
1)      Bersyukur Bersyukur dengan apa yang kita punya sebab itu semua yakni dari Allah, dengan pemahamannya tersebut maka tidak pernah terbesit sedikitpun dalam hatinya keangkuhan dan merasa lebih baik dari orang lain.
2)      Menjauhi Riya‟ Lawan tulus adalah riya‟, ialah melakukan sesuatu bukan alasannya Allah, namun karena ingin dipuji atau alasannya adalah pamrih. Kita harus menjauhi riya atau berupaya mengatur diri untuk tidak menampakan kelebihan yang kita miliki terhadap orang lain. Karena itu juga yang mau membuat kita jadi sombong dan tinggi hati.
3)      Sabar Menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disenangi alasannya adalah mengharap ridho Allah, atau bersabar dalam segala ujian dan godaan yang berupaya mengotori amal kebaikan kita, apalagi disaat kebanggaan dan ketenaran mulai tiba dan menghampiri kita, maka akan merasa sulit bagi kita untuk tetap menjaga kemurnian amal sholeh kita, tanpa terbesit adanya rasa bangga di hati kita.
4)      Hindari perilaku takabur Lawan dari sikap tawadhu yakni takabur atau angkuh, yaitu perilaku menganggap diri lebih, dan meremehkan orang lain. Kita harus bisa menyingkir dari perilaku takabur, alasannya adalah lazimnya orang sombong akan menolak kebenaran, jikalau kebenaran itu tiba dari pihak yang statusnya dianggap lebih rendah dari dirinya.
5)      Berusaha menertibkan diri untuk tidak menampakan kelebihan yang kita miliki terhadap orang lain.
c.    Ciri-ciri Tawadhu
Sikap tawadhu itu merupakan sikap rendah hati yang diwujudkan dalam beberapa tindakan-tindakan konkret sebagai berikut :
1)      Salah satu perilaku tawadhu mampu ditunjukkan pada dikala kita berdoa terhadap Allah. Saat berdoa, seseorang dapat dibilang tawadhu kalau ada rasa takut (khauf) dan penuh harap (raja‟) terhadap Allah SWT. Jika seseorang berdoa dengan rasa takut kepada Allah SWT, maka ia niscaya tidak akan berdoa dengan sembarang cara. Etika dalam berdoa pasti akan dilakukannya dengan cara yang benar. Demikian pula, seseorang yang berdoa dengan sarat harap (raja‟) maka beliau akan senantiasa optimis, sarat dogma dan istiqamah dalam memohon. Ia percaya bahwa tidak ada yang bisa memenuhi semua keinginannya kecuali dengan tunjangan Allah, sehingga perasaan ini tidak akan membuatnya arogan dan besar kepala.
2)      Tawadhu juga berhubungan dengan perilaku baik kita terhadap orangtua dan orang lain. Kepada orangtua, kita bersikap penuh hormat dan patuh kepada perintah-perintahnya. Jika mereka memerintahkan kepada hal-hal yang faktual, kita berupaya memenuhinya sekuat tenaga. Sebaliknya, kalau orangtua menyuruh kita kepada hal yang buruk, maka kita berusaha menolaknya dengan cara ramah. Kepada orang lain perilaku tawadhu juga bisa ditunjukan dengan memperlakukan mereka secara manusiawi, tidak menyakiti mereka, berusaha membantu dan membantu mereka, serta mengasihi mereka sebagaimana kita menyayangi diri sendiri. Selain itu, memuliakan orang lain atau menganggap mulia orang lain dalam batas-batas yang wajar ialah bagian dari sikap-sikap tawadhu. Sebab dengan memuliakan orang lain itulah, kita bisa menekan impian untuk menyombongkan diri sendiri.
3)      Seseorang dapat belajar perilaku tawadhu salah satunya dengan berusaha tidak membangga-banggakan diri dengan apa yang kita miliki. Sikap membanggakan diri sungguh erat dengan arogansi. Sementara, kesombongan itu merupakan musuh dibandingkan dengan tawadhu. Dengan demikian, berusaha menahan diri dari sikap membangga-banggakan diri secara berlebihan akan mempermudah seseorang untuk menjadi pribadi-eksklusif yang tawadhu. [25]
d.    Macam-macam Tawadhu
Proses mencar ilmu mengajar pada hakikatnya yakni proses transformasi ruhani dari guru kepada murid. Karena itu kelangsungan dan efektifitasnya sungguh diputuskan oleh kualitas relasi ruhaniah antara keduanya. Semakin dekat hubungan ruhani antara keduanya, maka kian efektif transformasi ruhani yang terjadi, memiliki arti semakin maksimal penularan ilmu antara keduanya. Syaikh Az Zarnuji dalam kitabnya yang berjudul Ta‟limul Muta‟allim membagi sikap tawadhu atau perilaku rendah diri dalam 3 hal, ialah : (1) Tawadhu pada guru (2) Tawadhu pada Ulama‟ (3) Tawadhu terhadap sesama teman belajar.
Sedangkan menurut Khozin Abu Faqih dalam bukunya yang berjudul Tangga Kemuliaan Menuju Tawadhu, ada empat jenis Tawadhu ialah:
1)   Tawadhu terhadap Allah. Berupa perilaku merasa rendah diri dihadapan Allah yang Maha Mulia. Perasaan rendah diri dihadapan Allah ialah perilaku terpuji yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan teman-sahabatnya.
2)   Tawadhu terhadap Rasulullah. Yaitu mengikuti aliran dan pola Rasulullah, tidak mengada-adakan suatu ibadah sendiri, tidak menilai kurang apa yang telah diajarkan ia dan tidak menilai diri lebih utama dari ia.
3)   Tawadhu kepada Agama. Dalam hal ini, dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, tidak memprotes apa yang dibawa oleh Rasulullah. Kedua, Tidak berburuk sangka terhadap dalil Agama. Dan yang ketiga, Tidak mencari-cari jalan untuk menyalahi dalil. Sedangkan jenis Tawadhu yang keempat yakni Tawadhu kepada sesama hamba Allah. Yaitu sikap lemah lembut, kasih sayang, saling menghormati, saling menghargai, saling memberi dan menerima hikmah, dan seterusnya.[26]
Dari beberapa pendapat diatas, dalam hal ini peneliti hanya akan membahas perihal sikap tawadhu yang diungkapkan oleh Syaikh Az Zarnuji dalam kitabnya yang berjudul Ta‟limul Muta‟allim yaitu tawadhu terhadap guru, tawadhu terhadap ulama‟ dan tawadhu kepada sesama teman. Dalam ini peneliti akan menjelaskan perbedaan Guru dan Ulama‟. Kata guru berasal dari bahasa Indonesia yang mempunyai arti orang yang mengajar atau orang yang memberi pelajaran. Selain itu guru juga bisa diartikan selaku tutor, yaitu guru eksklusif, educator, pendidik, ahli asuh, lecture.
Adapun Ulama‟ itu bukan hanya orang yang mempunyai pengetahuan agama yang luas dan mendalam saja, melainkan juga seorang ilmuan yang menguasai ilmu sosial politik ekonomi dan lain sebagainya. Namun, belakangan dunia Islam mengkhususkan perumpamaan Ulama‟ hanya bagi orangorang yang cuma mempunyai wawasan agama yang luas dan mendalam saja.[27]
B.     Kerangka Berfikir
Metode pembelajaran yang menawan dapat membangun minat dan motivasi berguru penerima ajar. Belajar PAI di SMPN 1 Praya Timur dengan pokok bahasa tawadduk memerlukan kondisi dan minat belajar yang tinggi dari setiap peserta asuh selaku prasyarat untuk mendapatkan hasil belajar yang membuat puas. Metode pendekatan berbasis kegiatan dipandang mempunyai kemampuan mendorong peserta ajar mendapatkan hasil mencar ilmu yang maksimal.
C.     Hipotesis
Bahwa penggunaan tata cara pendekatan berbasis aktivitas mampu meningkatkan motivasi berguru penerima asuh pada bahan tawaduk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti kelas  VII.1 SMPN 1 Praya Timur 2019
BAB III
METODE PENELITIAN
A.  Setting Penelitian
Penelitian yang mau dilaksanakan berupa Penelitian Tindakan Kelas, untuk itu peneliti merencanakan setting penelitian berupa keterangan lokasi penelitian, waktu penelitian, fasilitas dan prasarana, kondisi Guru dan Siswa, serta citra lazim sekolah penelitian. Berikut klarifikasi lebih rinci perihal setting penelitian diantaranya:
1.      Tempat Penelitian Lokasi penelitian yaitu di SMPN 1 Praya Timur, Desa Mujur, Kecamatan Praya Timur, Kabupaten Lombok Tengah, aba-aba Pos 83581 dengan luas tanah 15000 Are.
2.      Kondisi Guru Tenaga Guru terdapat 40 orang yang secara keseluruhan telah berpendidikan S1, tetapi baru 26 orang yang sudah lulus sertifikasi 21 orang pegawai negri sipil (PNS) dan 5 orang guru bantu.
3.      Kondisi Jumlah siswa keseluruhan sebanyak 435 orang, kelas 7 sebanyak 145 orang, kelas 8 sebanyak 144 orang dan kelas 9 sebanyak 146 orang.
B.  Jenis Penelitian
Melihat judul penelitian yang lokasi penelitiannya di kelas, maka mampu dikenali bahwa penelitian ini ialah observasi langkah-langkah kelas (PTK). Menurut Hopkins dalam Bambang Warsito, Penelitian Tindakan Kelas atau yang lebih diketahui dengan istilah classroom action research ialah kajian sistematik perihal upaya memajukan mutu praktik pendidikan oleh seklompok masyarakat lewat langkah-langkah praktis yang mereka kerjakan dan merefleksi hasil tindakannya.[28]
C.   Prosedur Penelitian
1.      Sumber Data
Adapun data pada penelitian ini bersumber dari para responden adalah akseptor asuh kelas VII.1 SMPN 1 Praya Timur Kecamatan Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah yang berjumlah 30 orang.
2.      Jenis Data
Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data yang diperlukan ialah: data kualitatif berupa suasana pembelajaran pada dikala praktik penggunaan metode pendekatan berbasis kegiatan; dan data kuantitatif berbentukhasil tes ulangan harian.
3.      Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan jenis data penelitian di atas maka teknik pengumpulan data dilaksanakan dengan dua tata cara adalah:
a.       Metode tes, ialah tata cara ini dipakai untuk menerima data hasil mencar ilmu siswa.
b.      Metode pengamatan, yaitu tata cara ini dipakai untuk menerima data wacana situasi dan praktik metode pendekatan berbasis acara.
4.      Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis adalah:
a.       Instrumen Tes, yaitu tes tertulis ini berbentuktes awal (pretes) dan tes final (postes). Tes permulaan (prestes) ialah tes yang dikerjakan sebelum bahan pelajaran diberikan terhadap penerima didik, sebab butir-butir soalnya dibentuk yang mudah-mudah. Sedangkan tes simpulan (postes) yaitu bahan-materi pelajaran yang termasuk penting, yang sudah di ajarkan terhadap para peserta asuh dan biasanya naskah tes akhir ini dibuat sama dengan naskah tes awal;
b.      Instrumen Non Tes yang memakai lembar observasi, ialah lembar pengamatan proses acara mencar ilmu mengajar yaitu untuk mengadakan pencatatan secara sistematis perihal kegiatan berguru siswa, aktifitas guru dan proses pembelajaran dengan menggunakan tata cara pendekatan berbasis kegiatan. Juga memakai lembar wawancara, studi kepustakaan berupa pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku yang ada kaitannya dengan objek yang diteliti serta yang menunjang pelakasanaan observasi. Dan tidak kalah penting yaitu sistem dokumentasi, yaitu  teknik pengumpulan data atau berita dengan mengambil foto-foto pada ketika pembelajaran berjalan.
5.      Metode Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis secara kualitatif deskriptif dan kuantitatif. Data kualitatif deskriptif yang berupa kalimat-kalimat yang memberikan citra-gambaran proses pembelajaran dan praktik tata cara pendekatan berbasis kegiatan. Data kuantitatif meliputi data statistik yang meliputi rata-rata, nilai maksimum atau minimum, persyaratan deviasi yang sesuai indikator keberhasilan.
Dalam menganalisis data hasil belajar pada aspek kognitif atau penguasaan konsep menggunakan analisis deskriptif dari setiap siklus memakai gain skor. Gain skor ialah selisih antara nilai postes dan pretes, gain menandakan kenaikan pengertian atau penguasaan rancangan siswa sesudah pembelajaran yang dilakukan guru.
Untuk mengetahui selisih nilai tersebut, memakai Normalized Gain.
Dengan klasifikasi:
g tinggi : nilai (g) > 0,70
g sedang : 0,70 > (g) > 0,3
g rendah : nilai (g) < 0,3
D.  Pelaksanaan Tindakan (Langkah-langkah)
Secara lazim, Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dilaksanakan dalam bentuk siklus berulang-ulang, empat bagian utama yang ada dalam setiap siklus ialah sebagai berikut:
1.          Perencanaan (Planning)
Tahap penyusunan rencana merupakan tahap permulaan yang harus dikerjakan oleh peneliti. Dalam hal penyusunan rencana, peneliti bareng guru kelas bareng – sama dalam merancang proses pembelajaran pada siklus I. Adapun aktivitas yang dilaksanakan oleh guru bersama peneliti pada tahap penyusunan rencana ini yakni:
a.    Peneliti mensosialisasikan tentang apa itu Model Discovery Learning dan kaitannya dengan motivasi berguru.
b.   Mempersiapkan RPP dan skenario pembelajaran.
c.    Mempersiapkan lembar pengamatan untuk siswa dan guru.
Kaprikornus dapat disimpulkan bahwa, perencanaa siklus I meliputi pengerjaan skenario pembelajaran, menciptakan format pembelajaran, serta mempersiapkan alat-alat atau bahan yang dibutuhkan siswa selama proses pembelajaran, lalu memberikan tes untuk mengetahui tingkat pemahaman peserta latih
2.          Tindakan (Acting)
Adapun pada tahap langkah-langkah pada siklus ini, guru dan peneliti menjalin koordinasi, dimana peneliti sebagai observer dan guru selaku pelaksana pembelajaran ialah dengan menggunakan Model Discovery Learning, rincian tindakannya sebagai berikut:
a.         Pendahuluan yang terdiri dari tujuan motivasi dan appersepsi
1)   Guru memperkenalkan diri lalu menyemangati siswa.
2)   Appersepsi kepada siswa dijalankan dengan mengaitkan materi yang telah dibahas sebelumnya dengan bahan yang hendak dibahas dengan cara tanya jawab.
b.        Tahap pengembangan dengan detail sebagai berikut:
1)   Guru menerangkan dengan singkat ihwal materi yang hendak diajar.
2)   Guru menunjukkan kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan wacana bahan yang belum diketahui.
3)   Guru mengarahkan kepada siswa mengenai metode yang dipakai, dengan cara:
a) Masing-masing siswa diberikan katu indeks yang berisi materi pelajaran. Kartu indeks dibuat berpasangan berdasarkan definisi, kategori/kalangan.
b) Guru memberikan salah satu siswa yang memegang kartu, siswa lainnya diminta berpasangan dengan siswa tersebut kalau merasa kartu yang dipegangnya mempunyai kesamaan definisi atau kategori.
c) Agar situasinya agak seru dapat diberikan eksekusi bagi siswa yang melakukan kesalahan. Jenis hukuman dibentuk atas kesepakatan bersama.
d) Guru dapat membuat catatan penting di papan tulis pada ketika prosesi terjadi.
e) Guru dapat memerintahkan siswa untuk mempersentasikannya di depan kelas.
3.          Observasi (Observasing)
Pada tahap ini, peneliti selaku observer akan mengamati proses pembelajaran dengan memakai format observasi untuk menyaksikan tingkat motivasi mencar ilmu siswa dalam proses pembelajaran. Dan acara guru akan diobservasi pribadi oleh peneliti. Adapun yang diobservasi yaitu mengamati cara mengajar atau kegiatan guru dengan menggunakan format pengamatan.
Dapat disimpulkan bahwa, pengamatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni observasi langsung. Menurut Moh. Nazir pengumpulan data dengan observasi pribadi atau dengan observasi eksklusif adalah cara pengambilan data dengan memakai mata tanpa ada perlindungan alat persyaratan lain untuk kebutuhan tersebut. Adapun manfaat dari penggunaan pengamatan pribadi atau observasi secara pribadi yakni selaku berikut:
a.    Dengan observasi secara pribadi, kemungkinan untuk mencatat hal- hal, sikap, kemajuan, dan sebagainya, ketika kejadian tersebut berlaku dan sewaktu peristiwa tersebut terjadi.
b.    Pengamatan eksklusif mampu memperoleh data dari subjek yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal atau yang tak mau berkomunikasi secara ekspresi.[29]
Hasil dari pengamatan kepada kegiatan guru dan analisis tingkat motivasi mencar ilmu siswa dianalisis secara deskriptif, tujuannya suatu laporan yang hanya terbatas pada apa yang nampak dan terdengar saja[30], lalu dianalisis melalui lembar pengamatan yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
4.          Refleksi
Pada tahap refleksi, peneliti bersama guru kelas menganalisis kekurangan pelaksanaan siklus I, baik dari segi acara guru maupun analisis tingkat motivasi mencar ilmu siswa. Refleksi dilakukan pada final siklus. Pada tahap ini, peneliti bersama guru mengkaji pelakasanaan dan hasil yang diperoleh dalam dukungan langkah-langkah. Sebagai acuan dari refleksi ini ialah hasil pengamatan terhadap segala proses pembelajaran dengan menggunakan Model Discovery Learning pada semua tahap. Hasil ini digunakan selaku dasar untuk memperbaiki serta menyempurnakan perencanaan dan pelaksanaan tindakan pada siklus selanjutnya dengan tahapan yang sama, namun ada perbaikan- perbaikan sesuai temuan.
Refleksi merupakan acara untuk mengemukakan kembali apa yang telah dilaksanakan.[31] Adapun berdasarkan Kunandar, hal-hal yang perlu diamati pada tahap refleksi yakni selaku berikut:
a.          Melakukan penilaian tindakan yang telah dilaksanakan yang meliputi penilaian mutu, jumlah dan waktu dari setiap macam langkah-langkah.
b.         Melakukan pertemuan untuk membahas hasil evaluasi perihal skenario pembajaran.
c.          Memperbaiki pelaksanaan tindakan sesuai hasil penilaian, untuk dikerjakan pada siklus berikutnya.
E.   Siklus Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian ini ialah penelitian langkah-langkah kelas yang dilakukan dalam 2 (dua) siklus. Apabila siklus I tidak tuntas, maka dilanjutkan dengan siklus II. Model observasi tindakan kelas yang digunakan dalam observasi ini ialah model Kurt Lewin. Konsep pokok observasi tindakan versi Kurt Lewin terdiri dari empat komponen yaitu penyusunan rencana (planning), tindakan (acting), observasi (observing), dan refleksi (reflecting).
Hubungan antara keempat bagian pada observasi langkah-langkah model Kurt Lewin dipandang selaku satu siklus yang mampu digambarkan sebagai berikut.[32]

Gambar 3.1: Model Siklus dalam Penelitian Tindakan Kelas



F.   Jadwal Penelitian
Penelitian rencananya akan dikerjakan mulai tanggal 21 Oktober hingga 9 November 2019, sesuai dengan acara mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti diajarkan di SMPN 1 Praya Timur.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, 2001, perspektif islam ihwal acuan hubungan guru-murid, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Arifin, Anwar. 1998.Ilmu Komunikasi Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Bafadal,. 1994. Proses Perubahan di Sekolah. Disertasi Tidak Dipublikasikan Program Pascasarjana IKIP Malang.
Budiningsih, A. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Bruner http://www.lifecircles- inc.com (diakses jam 14.00 tgl 14 Oktober 2019)
Bogdan,R.C., 8s Biklen, S. K. 1982. Qualitative Research in Education. Boston: Allyn & Bacon
Cholid   Narbuko,     Abu     Achmadi, 2015,          Metodologi     Penelitian, Jakarta: PT Bumi Aksara
Dalyono. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Daryanto, 2011, Penelitian Tindakan Kelas dan Penelitian Tindakan Sekolah.Yogyakarta: Gava Media
Dimyati, Moedjiono. 1993. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Djamarah Syaiful Bahri. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Dokumen Guru PAI Kelas VII.1 SMPN 1 Praya Timur, Tahun 2019
Guba, E. G., &. Lincoln, Y.S 1981 Effective Evaluation. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.
Hamalik, O.2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hamalik; O, 2002. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Sistem. Jakarta: PT Bumi Aksara
Kemendikbud (dalam buku pembinaan guru Implementasi Kuriulum 2013)
Khozin Abu Faqih, 2015, Tangga Kemuliaan Menuju Tawadhu, Jakarta: Al-Itishom
Muhammad Ali, 2002, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru
Mulyasa, 2011, Praktik Penelitian Tindakan Kelas, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Miles, M. B, 8s Hubermen, A.M.1984. Analisis Data Qualitatif Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. Universitas Indonesia, Jakarta.
Moh. Nazir,2005, Metode Penelitian, (Bogor Selatan: Ghalia Indonesia.
Moleong, L. J. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. remaja Rosdakarya.
Moleong, L. J. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. dewasa Rosdakarya.
Nasution, S. 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung : Penerbit Tarsito
Ngalim Purwanto. 2007. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nurhadi, 2002. Pendekatan Kontekstual. Malang: Universitas Negeri Malang
Nurhadi. Senduk, G., A., 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannyadalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.
Noehi Nasution dkk. 1992. Materi Pokok Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.
Rusdi, 2013, Ajaibnya Tawadhu dan Istiqamah. Yogyakarta: Diva Press,
Sadijan, dkk. 2019. Jurnal Penelitian Forum Komunikasi Pengembangan Profesi Pendidikan Kota Surakarta (Surakarta: Forum Komunikasi Guru Pengawas).
Spradley, J., P. 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston
Suharsimi Arikunto, Suhardjono dan Supardi, 2009 Penelitian Tindakan Kelas, (Jakarta: PT Bumi Aksara.
Suparno, p., Rohandi, R., Sukadi, G., Kartono, S. 2001. Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Syah. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Warsito, Bambang. 2008. Penelitian Tindakan Kelas (Malang: Surya Pena Gemilang)
Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media
Usman, Uzer, M. 2002. Menjadi Guru Profesional. Edisi kedua. Cet,akkan ke empat belas. Bandung : PT Remaia Rosdakarya.
Yunahar Ilyas, 2007, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: LIPI Pustaka Pelajar
Zuriah, N. 2003. Penelitian Tindakan dalam Bidang Pendidikan dan Sosial. Edisi Pertama. Malang: Bayu Media Publishing.


       [1] Suparno, p., Rohandi, R., Sukadi, G., Kartono, S. 2001. Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 17

       [2] Usman, Uzer, M. 2002. Menjadi Guru Profesional. Edisi kedua. Cet,akkan ke empat belas. Bandung: PT Remaia Rosdakarya, hal. 31

   [3] Dokumen Guru PAI Kelas VII.1 SMPN 1 Praya Timur

   [4] Kemendikbud (dalam buku training guru Implementasi Kuriulum 2013), hal. 31

[5] Sadijan, dkk. 2019. Jurnal Penelitian Forum Komunikasi Pengembangan Profesi Pendidikan Kota Surakarta (Surakarta: Forum Komunikasi Guru Pengawas), hlm. 22.

[6] Budiningsih, A. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, hal 43

[7] Bruner http://www.lifecircles- inc.com (diakses jam 14.00 tgl 14 Oktober 2019)

[8] Syah. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hal. 244

   [9] Syah. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru…hal 244

[10] Djamarah Syaiful Bahri. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta, hal. 22

[11] Syah. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru…hal 245

[12] Syah. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru…hal 247

[13] Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media, hal. 53

[14] Dimyati, Moedjiono. (1993). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hal. 83

[15] Kemendikbud (dalam buku training guru Implementasi Kuriulum 2013, hal. 31

[16] Djamarah Syaiful Bahri. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta, hal. 83

[17] Dalyono. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, hal.55

[18] Ngalim Purwanto. 2007. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hal. 61

[19] Noehi Nasution dkk. (1992). Materi Pokok Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud, hal. 3

   [20] Ngalim Purwanto. 2007. Psikologi Pendidikan… hal. 75

   [21] Hamalik, O. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara, hal. 32

[22] Hamalik, O. Proses Belajar Mengajar… hal. 37

[23] Yunahar Ilyas, 2007, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: LIPI Pustaka Pelajar), hal. 120

   [24] Yunahar Ilyas,2007, Kuliah Akhlaq… hal. 123

   [25] Rusdi, Ajaibnya Tawadhu dan Istiqamah. (Yogyakarta: Diva Press, 2013), hal. 34-36

[26] Khozin Abu Faqih, Tangga Kemuliaan Menuju Tawadhu, (Jakarta: Al-Itishom), hal. 41-46

[27] Abuddin Nata, perspektif islam perihal pola korelasi guru-murid, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 41-44

[28] Warsito, Bambang. 2008. Penelitian Tindakan Kelas (Malang: Surya Pena Gemilang), hlm. 5.

[29] Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2005), h.175.

[30] Cholid   Narbuko,                 Abu    Achmadi,    Metodologi    Penelitian,    (Jakarta: PT Bumi Aksara,2015),h. 160.

[31] Suharsimi Arikunto, Suhardjono dan Supardi, Penelitian Tindakan Kelas, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), h. 19.

[32] Mulyasa, Praktik Penelitian Tindakan Kelas, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h.
10-11.