A. Pendahuluan
Proses sejarah abad kemudian, tidak dapat dielakan begitu saja bahwa ajaran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat yunani. Para filosof islam banyak mengambil aliran aristoteles dan banyak tertarik kepada pemikiran platinus. Sehingga banyak teori filosof yunani diambil oleh filosof lslam.
Salah satu diantara para filosof Islam tersebut yaitu ibn bajjah dan Ibnu Tufail pada kurun kejayaan islam di spanyol. Ibn bajjah yakni jago yang menyadarkan pada teori dan praktik dalam ilmu-ilmu matematika, astronomi, musik, andal ilmu pengobatan dan studi-studi spektakulatif seperti nalar, filsafat alam dan metafisika, sebagaimana yang dibilang oleh De Boer dalam the histoty of philosophi in islam, bahwa ia betul-betul sesuai dengan al-farabi dengan goresan pena-tulisannya nalar dan secara lazim baiklah dengannya, bahkan dengan akidah-doktin fisika dan metafisikannya.
Ibn bajjah menyandarkan filsafat dan logikanya pada karya-karya al-Farabi, dan ia telah memberikan sejumlah besar suplemen-komplemen dalam karya-karya itu. Dan dia telah memakai metode observasi filsafat yang benar-benar lain. Tidak mirip al-farabi , ia bermasalah segala dilema hanya menurut nalar semata. Dia mengagumi filsafat aristoteles, yang diatasnya ia membangun sistemnya sendiri. Tapi beliau berupaya untuk mengetahui lebih dahulu filsafatnya secara benar. Itulah sebabnya ibn bajjah menulis uraian-uraian sendiri atas karya-karyanya aristoteles.
Sementara Ibnu Thufail adalah satu diantara sekian banyak filosof Islam yang mampu menghasilkan karya fenomenal yang berbau filosofis-mistis tentang bagaimana akal anggapan bisa menangkap, merenungkan dan menyimpulkan bahwa segala sesuatu ada yang menggerakan dan penggagas itu tiada lain adalah Tuhan Pencipta Alam Semesta. Pemikiran Islam pada abad itu berada dalam pertumbuhan yang konkret, itu terbukti dengan berkembangnya dunia filsafat islam yang tidak berkutat di daerah timur saja melainkan merambah ke tempat barat tepatnya di daerah Spayol yang salah satu filosofnya yakni Abu Bakar Muhammad ibn Abd Al-Malik ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Thufail Al-Qaisyi atau dikenal dengan Ibnu Thufail.
Pemikiran Filsafatnya tergambar terang dalam karya novelnya “Hayy ibnu Yaqzhan” meski logika mendominasi filsafat ketuhanannya dan disebutkan dalam banyak sekali literature bahwa Hayy ibnu Yaqzhan selaku reka ulang yang termakan oleh pemiiran filsafat Ibn Shina, namun karya tersebut menerima kawasan di dunia filsafat selaku karya pencarian jati diri seorang anak manusia bukan hanya selaku curahan pedoman atau imajinasi Ibnu Thufail belaka.
Akhirnya, meski penulisan makalah ini jauh dari kata tepat, dengan kekurangan wawasan dan referensi, kami berharap agar makalah ini dapat berguna bagi semua pihak, terkhusu bagi kami sendiri dan lazimnya bagi semua pihak.
B. Ibnu Bajjah
1. Biografi dan Pendidikannya
Nama aslinya ialah Abu Bakar Muhammad Ibn Yahya al-Sha’igh. Di dunia Barat, beliau terkenal dengan sebutan Avempace. Julukannya adalah Ibnul-Sha’igh (anak tukang emas). ia dilahirkan di Saragosa (Spanyol) pada final era ke-5 H/masa ke-11 M. Tahun kelahirannya tidak dikenali, akan tetapi dimengerti wafatnya, ialah pada tahun 533 H/1138 M. Sebutan namanya yaitu Al-Bajah, sedangkan Bajjah berasal dari keluarga At-Tujib, alasannya itu ia juga dikenal selaku At-Tujibi.[1]
Menurut literatur sejarah, Ibnu Majah yakni seorang filosof ansich, bahkan ia bukan hanya seorang filosof, dia juga menguasai disiplin ilmu pengetahuan, mirip ilmu kedokteran, astronomi, fisika, matematika, dan juga musik. Ini benar apa adanya karena dimasa filsafat Yunani belum terjadi pemisahan antara sains dan filsafat sehingga seorang yang mempelajari salah satunya terpaksa bersinggungan dengan yang lain. Ia juga aktif dalam dunia politik, sehingga Gubernur Saragosa Daulat Al-Mutrabith, Abu Bakar Ibnu Ibrahim Al-Sahwari mengangkatnya menjadi wazir. Tetapi di dikala Saragosa jatuh ketangan Raja Al-Fonso I di Arogan Pada tahun 512 H/1118 M. Ibnu Bajah terpaksa pindah ke kota Sevillevia Valencia. Nah, di kota ini dia melakukan pekerjaan selaku seorang dokter. Kemudian sehabis dari sini ia pindah ke Granada dan selanjutnya berangkat ke Afrika Utara, suatu pusat kerajaan Dinasti Murabith Barbar.
Dalam hal ini, seperti klarifikasi di atas; ada sebuah dongeng wacana Ibnu Bajjah sehingga bisa demikian, diungkapkan oleh As-Syuyuti ” suatu hari Ibnu Bajjah memasuki masjid (jami’ah) Granada. Dia menyaksikan seorang ahli tata bahasa sedang memperlihatkan pelajaran tata bahasa terhadap para murid yang duduk mengelilinginya. Melihat seorang ajaib begitu dekat dengan mereka, para murid muda itu menyapa Ibnu Bajjah dengan sedikit mengejek apa yang diajarkan oleh hebat hukum itu? Ilmu apa yang beliau kuasai dan bagaimana pandangannya?”coba lihat” sahut Ibu Bajjah, ”saya menenteng duit dua belas ribu dinar di bawah ketiakku”. Sambil berkata begitu di memperlihatkan dua belas butir mutiara yang sangat indah yang masing masing berharga seribu dinar. Di lanjut oleh Ibnu Bajjah, katanya; ”saya sudah mengumpulkan pengalaman dalam dua belas ilmu wawasan, khususnya dalam ilmu ’Arabiyyah yang sedang kalian bahas ini. Aku rasa kalian termasuk dalam golongan ini’. Dia lalu menyebutkan pedoman mereka. Para murid muda itu mengutarakan kebenaran mereka dan memohon maaf kepadanya”.[2]
Saat dia melakukan perjalanannya ke Jative di Afrika Utara, dia ditahan oleh penguasa Al-Murabithun yang berjulukan Ibrahim Ibnu Yusuf Ibn Tasyfin, alasannya adalah dugaan bid’ah. Ia dibebaskan berkat campur tangan qadhi lokal, ayah atau kakek filsuf Ibnu Rusyd (Averroes), yang tahu betul wacana apa yang dimaksud Ibnu Bajjah dengan upayanya mempesona garis demarkasi yang jelas dan tegas antara klaim-klaim keimanan dan tujuan-tujuan filsuf.
Apalagi disaat ada kala kesusahan dan kesemrawutan dalam sejarah Spanyol dan Afrika Barat-Laut. Para Gubernur kota dan kawasan menyatakan kemerdekaan mereka. Pelanggaran hukum dan kesemrawutan melanda seluruh negeri. Mereka yang berselisih saling menuduh selaku berbuat bid’ah demi menjangkau kelebihan dan simpati rakyat. Musuh-musuh Ibnu Bajjah sudah mencapnya selaku ahli bid’ah dan berulang kali berupaya membunuhnya. Tapi semua perjuangan mereka ternyata gagal. Akhirnya Ibnu Zhur, seorang dokter termasyur di abad itu berhasil membunuhnya dengan racun pada bulan Ramadhan tahun 533 H/1138 M di Fez, tempat beliau di kubur di samping Ibnu al-Arabi muda.[3]
B. Karya-Karyanya
Ibnu Bajjah ialah seorang yang pandai dan memiliki analisa paling cemerlang, senada yang di ucapkan oleh Ibnu Thufail bahwa; Ibnu Bajjah yaitu seorang filosof Muslim yang paling cemerlang otaknya, paling sempurna analisisnya, dan paling benar pemikirannya. Namun, amat disayangkan pembahasan filsafatnya dalam beberapa bukunya tidaklah matang dan sempurna. Ini disebabkan alasannya adalah ambisi keduniaanya yang begitu besar dan kematiannya yang begitu cepat.[4]
Di antara karya-karya Ibnu Bajjah yang populer dalam filsafatnya adalah selaku berikut: pertama, kitab Tadbir al-Mutawahhid, ini ialah kitab yang paling populer dan penting dari seluruh karya tulisnya. Kitab ini terdiri dari etika dan politik serta usaha-usaha individu menjauhkan diri dari segala macam keburukan-keburukan dalam penduduk dan negara, yang disebutnya selaku Insan Muwahhid (insan penyendiri), menurutnya, dengan cara begitu ia mampu berhubungan dengan Al-’Aglul-Fa’al (Full Force Mind). Memang benar bahwa hidup memencilkan diri pada hakikatnya lebih baik. Sebagaimana yang dikatankan olehnya, ”untuk itu, orang yang hidup menyendiri, dalam beberapa segi kehidupannya, sedapat mungkin harus menjauhkan diri dari orang lain, tidak mengadakan relasi dengan orang lain kecuali dalam keadaan mendesak atau terdapat ilmu pengetahuan, bila ada. Sikap demikian tidak berlawanan dengan apa yang disebut dengan ilmu peradaban, dan tidak bertentangan pula dengan apa yang terlihat terperinci di dalam ilmu alam. Telah terang bahwa insan yaitu berada menurut kodratnya.[5]
Kedua, Risalat al-Wada’, risalah ini membahas Penggerak Pertama (Tuhan), manusia, alam, dan kedokteran. Ketiga, Risalat al-Ittisal, risalah ini menguraikan tentang relasi insan dengan Akal Fa’al. Keempat, Kitab al-Nafs, kitab ini menjelaskan perihal jiwa.[6]
Karya yang lain yang dibuat oleh Ibnu Bajjah, baik dalam bentuk bahasa Arab atau Bahasa Inggris, sekaligus menjadi bukti sebuah akreditasi daru dunia luar atas karyanya, antara lain:
a. Tardiyyah suatu puisi yang ada di The Berlin Library.
b. Karya-karya yang di sunting oleh Asin Palacacios dengan terjemahan bahasa Spanyol dan catatan-catatan yang diharapkan: (i) Kitab An-Nabat, Al Andalus, jilid V, 1940; (ii) Risalah Ittisal Al-’Aql bi Al-Insan, Al Andalus, jilid. VII, 1942; (iii) Risalah Al-Wada’ Al-Andalus, jilid VIII, 1943; (iv) Tadbir Al-Mutawahhid berjudul El Regimen Del Solitario, 1946.
c. Karya-karya yang disunting oleh Dr. M. Shaghir Hasan Al-Ma’sumi; (i) Kitab An-Nafs dengan catatan dan pendahuluan dalam bahasa Arab, Majallah Al-Majma’Al-’Ilm Al-’Arabi, Damaskus, 1958; (ii) Risalah Al-Ghayah Al-Insaniyyah berjudul Ibnu Bajjah on Human End, dengan terjemahan bahasa Inggris, Journal of Asiatic Society of Pakistan, jilid II, 1957. [7]
C. Pemikiran Ibnu Bajjah
Ibnu bajjah ialah seorang filosof yang jago menyandarkan ilmunya pada teori dan praktek ilmu-ilmu matematika, astronomi, musik, ahli ilmu pengobatan dan studi-studi spekulatif seperti nalar, filsafat alam dan metafisika, ibnu bajjah menyandarkan filsafat dan logikanya pada karya-karya al-farabi.[8] adalah mendasarkan pada realitas yakni wajar.
Ia menolak teori wangsit al-Ghazali serta menetapkan bahwasannya seseorang mampu meraih puncak makrifat dan meleburkan diri pada Akal Fa’al. kalau dia sudah terlepas dari keburukan-keburukan penduduk , dan menyendiri serta dapat memakai kekuatan pikirannya untuk menemukan pengetahuan dan ilmu sebesar mungkin, juga mampu mengungguli sisi pikiran pada dirinya atas anggapan hewaninya. Ia juga menyatakan masyarakat perseorangan itulah yang mengalahkan perseorangan dan melumpuhkan kemampuan-kemampuan berpikirnya, serta membatasi dari kesempurnaan, melalui keburukannya yang membanjir dan keinginannya yang deras. Kaprikornus, seseorang dapat mencapai tingkat kemulian setinggi-tingginya melalui pedoman dan menciptakan makrifat yang tidak akan terlambat, kalau akal asumsi dapat menguasai perbuatan-tindakan seseorang dan mengabdikan diri untuk memperolehnya.[9]
Keterangan Ibu Bajjah di atas bertentangan sekali dengan anggapan al-Ghazali yang memutuskan bahwa logika pikiran itu lemah dan tidak sanggup menerima amanah, serta semua pengetahuan insan sia-sia belaka karena tidak mampu menyampaikan pada suatu kebenaran, maka cara yang paling baik untuk mencapai makrifat yang benar adalah mendekatkan pikiran terhadap tasawuf (beribadah untuk selalu menjauhkan dunia dan mendekatkan diri pada Allah).
Dia telah memakai metode observasi filsafat yang benar-benar lain, tidak seperti al-farabi beliau bermasalah dengan duduk perkara hanya berdasarkan logika semata. Dia mengagumi filsafat aristoteles, yang di atasnya dia membangun sistemnya sendiri. Tapi, ia berkata untuk mengetahui lebih dulu filsafatnya secara benar. Itulah sebabnya ibnu bajjah menulis uraian-uraian sendiri atas karya-karyanya aristoteles. Uraian-uraian ini merupakan bukti yang terperinci bahwa dia mempelajari teks-teks karya aristoteles dengan sangat teliti.[10]
Akan namun, dengan kecerdasan Ibnu Bajjah, walaupun ia sejalur dengan filsafat aristoteles, ia tidak pernah lari dari pedoman Islam. Ia berupaya mengIslamkan argumen metafisika Aristoteles tersebut. Menurutnya Allah tidak hanya aktivis, namun beliau adalah Pencipta dan Pengatur alam. Argumen adanya Allah bahwa dengan adanya gerakan di alam raya ini. Makara, Allah adalah azali dan gerakannya bersifat tidak terbatas. Agar pembahasan filsafat menurut Ibnu Bajjah lebih terperinci, lihat filsafatnya dalam uraian di bawah ini :
a. Filsafat Metafisika
Menurut Ibnu bajjah, segala yang ada (al-maujudat) terbagi dua: yang bergerak dan yang tidak bergerak. Yang bergerak ialah jisim (materi) yang sifatnya finite (terbatas). Gerak terjadi dari tindakan yang menggerakkan terhadap yang di gerakkan. Gerakan ini di gerakkan pula oleh gerakan yang lain, yang final rentetan gerakan ini di gerakkan oleh pencetus yang tidak bergerak; dalam arti aktivis yang tidak berubah yang berlawanan dengan jisim (materi). Penggerak ini bersifat azali. Gerak jisim tidak mungkin timbul dari subtansinya sendiri alasannya adalah beliau terbatas. Oleh alasannya adalah itu, gerakan ini mesti berasal dari gerakan yang infinite (tidak terbatas) yang oleh ibnu bajjah disebut dengan ‘aql.
Perlu di pahami bahwa para filosof muslim kebanyakan menyebut Allah itu yakni ‘aql. Argumen yang mereka majukan yaitu Allah pencipta dan pengatur alam yang beredar berdasarkan natur rancangan-Nya, mestilah beliau mempunyai daya berpikir. Kemudian dalam mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya, para filosof muslim menyebut Allah adalah zat yang memiliki daya berpikir (‘aql), juga berpikir (‘aqil) dan objek pemikiranya sendiri (ma’qul). Keseluruhanya yakni zat-Nya yang Esa.[11]
Ibnu Bajjah yakin pada kemajemukan nalar, iapun mengacu pada nalar pertama dan logika kedua. Ia berpendapat, akal manusia paling jauh yaitu logika pertama. Kemudian ia menerangkan tingkat-tingkat nalar dengan menyampaikan bahwa sebagian logika secara langsung berasal dari akal pertama; sebagian lain berasal dari akal-akal lain, hubungan antara yang diperoleh dan daerah asal nalar yang diperoleh itu sama dengan kekerabatan cahaya matahari yang ada di dalam rumah dan cahaya matahari yang ada di halaman rumah.[12]
Menurutnya; logika manusia, berlahan-lahan mendekati akal pertama dengan: pertama, meraih wawasan yang didasarkan pada bukti, yang dalam hal itu, akal paling tinggi direalisasikan selaku bentuk. Kedua, menemukan wawasan tanpa mempelajarinya atau berupaya meraihnya. Metode kedua ini adalah metode orang-orang Sufi, khususnya sistem al-Ghazali. Metode ini memampukan orang mendapatkan pengetahuan wacana Tuhan.[13]
Salah satu bentuk filsafat metafisika Ibnu Bajjah, sebagaimana dalam goresan pena Abdul Hadi yang diuraikan seperti di bawah ini;
“…Perbuatan insan memiliki sejumlah tujuan yang berlawanan tingkatanya. Ada perbuatan untuk tujuan jasmani, seperti makan dan minum, menggunakan busana, atau membuat rumah selaku kawasan tinggal. Ada pula perbuatan dengan tujuan rohani, yang meliputi sejumlah tingkatan yang juga berlainan mirip; (1) perbuatan menggunakan busana yang indah dan harmonis, yang menjadikan kenikmatan pada indera batin, (2) perbuatan yang menjadikan kenikmatan pada daya khayl, seperti tindakan memperlengkapi diri dengan persenjataan, namun bukan pada waktu perang, (3) perbuatan berhimpun sesama orang-orang yang saling bersimpati atau sesama pemain yang menciptakan kegembiraan rohani tertentu, (4) tindakan dengan tujuan untuk mengaktualkan dengan tepat daya logika fikiran seperti upaya mempelajari sebuah pengetahuan demi wawasan itu, bukan demi mendapatkan duit atau harta yang lain.
b. Filsafat Jiwa
Menurut usulan ibnu bajjah, setiap insan mempunyai jiwa. Jiwa ini tidak mengalami pergeseran sebagaimana jasmani. Jiwa yakni penggagas bagi insan. Jiwa di gerakkan dengan dua jenis alat: alat-alat jasmaniah dan alat-alat rohaniah. Alat-alat jasmaniah antaranya ada berupa buatan dan ada pula berbentukalamiah, mirip kaki dan tangan. Alat-alat alamiah ini lebih dahulu dari alat produksi’ yang di sebut juga oleh ibnu bajjah dengan pendorong naluri (al-harr al-gharizi) atau roh insting. Ia terdapat pada setiap makhluk yang berdarah.[14]
Panca indera ialah lima unsur dari sebuah indera tunggal yakni logika sehat, dan logika selaku realisasi sarat badan secara keseluruhan, oleh alasannya itu disebut sebagai jiwa (roh). Unsur ini juga mensupalai bahan untuk bagian khayalan yang terorganisasi, alasannya adalah itu bagian ini didahului oleh sensai yang mensupalai bahan kepadanya. Oleh akibatnya lagi sensasi dan imajinasi telah dianggap selaku dua jenis pandangan jiwa. Tetapi perbedaan keduanya sangat jeals sepanjang sensai bersifat khusus dan khayalan bersifat umum. Unsur imajinatif berpuncak pada bagian pikiran sehat yang melawatinya orang-orang mampu mengungkapkan dirinya kepada orang lain dan sekaligus meraih srta membagi pengetahuan.[15]
Ibnu Bajjah membagi bentuk kejiwaan menjadi tiga bahagian, antara lain: pertama, bentuk-bentuk badan sirkular cuma mempunyai relasi sirkular dengan bahan sehingga bentuk-bentuk itu mampu menciptakan kejelasan bahan dan menjadi tepat. Kedua, kejelasan bahan yang bereksistensi dalam materi. Ketiga, bentuk-bentuk yang bereksistensi dalam indera-indera jiwa logika sehat, indera khayali, kenangan, dan sebagainya, dan yang berada di antara bentuk-bentuk kejiwaan dan kejelasan materi.[16]
Bentuk-bentuk yang berkaitan dengan aktif oleh Ibnu Bajjah dinamakan bentuk-bentuk kejiwaan umum, sedangkan bentuk-bentuk yang berkaitan dengan nalar sehat dinamakan bentuk-bentuk kejiwaan khusus. Pembedaan ini dilaksanakan sebab bentuk-bentuk kejiwaan umum cuma memiliki satu hubunganyang menerima. Sedangkan bentuk kejiwaan khusus memiliki dua korelasi-hubungan khusus dengan yang pandai sehat dan relasi biasa dengan yang terasa. Misalnya; seorang manusia ingat akan bentuk Taj Mahal; bentuk ini tidak berlainan dari bentuk kasatmata Taj Mahal jika benda itu berada di depan mata bentuk ini, selain mempunyai kekerabatan khusus seperti yang tersebut di atas, juga hubungan dengan wujud umum yang terasa sebab banyak orang melihat Taj Mahal.[17]
c. Filsafat Etika
Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia kepada dua bagian. Bagian pertama, yakni tindakan yang muncul dari motif naluri dan hal-hal lain yang berafiliasi denganya, baik erat atau jauh. Bagian kedua yaitu tindakan yang muncul dari fatwa yang lurus dan kemauan yang bersih dan tinggi dan bagian ini disebutnya, perbuatan-tindakan manusia.
Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi ibnu bajjah bukan tindakan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menerangkan kedua macam tindakan tersebut, ia mengemukakan seorang yang terantuk dengan watu, lalu ia luka-luka, kemudian ia melemparkan kerikil itu. Kalau ia melemparnya sebab sudah melukainya maka beliau yaitu tindakan hewani yang didorong oleh naluri kehewananya yang telah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap kasus yang menganggunya.
Kalau melemparkanya semoga kerikil itu tidak mengganggu orang lain,bukan karena kepentingan dirinya, atau marahnya tidak bersangkut paut dengan pelemparan tersebut, maka tindakan itu yaitu pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan yang terakhir ini saja yang mampu dinilai dalam lapangan adat, sebab menurut ibnu bajjah cuma orang yang melakukan pekerjaan dibawah efek pikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada hubunganya dengan segi hewani padanya, itu saja yang mampu dihargai perbuatanya dan mampu di sebut orang langit.
Setiap orang yang mau menundukkan segi hewani pada dirinya, maka ia tidak lain hanya mesti memulai dengan melaksanakan sisi kemanusiaanya. Dalam keadaan demikianlah, maka sisi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian sisi kemanusiaan, dan seseorang menjadi manusia dengan tidak ada kekuranganya, alasannya kelemahan ini muncul disebabkan ketundukanya kepada naluri.[18]
C. IBNU THUFAIL
1. Biografi dan Kehidupannya
Nama lengkap Ibnu Thufail yakni Abu Bakar Muhammad Ibnu ’Abd Al-Malik Ibnu Muhammad Ibnu Thufail. Ia dilahirkan di Cadix, Provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. Ibnu Thufail tergolong dalam keluarga suku Arab ternama, Qais. Dalam bahasa latin beliau populer dengan istilah Abu Bacer.[19]
Ibnu Thufail menguasai ilmu-ilmu yang sudah meningkat di zamannya. Ia mencar ilmu Hadits dan Fiqh pada Abu Muhammad Ar-Rasyathi, dan beliau juga mencar ilmu filsafat dengan Ibnu Bajjah. Untuk memperdalam penguasaan terhadap banyak sekali ilmu tersebut dan ilmu-ilmu yang lain, dia mempelajarinya secara belajar sendiri. Ia mengkajinya dengan pelan-pelan, mencatat dan terus mengingatnya, hingga ia pun hebat dalam bidang kedokteran dan filsafat serta dalam penyusunan syair.[20]
Ibnu Thufail memulai karirnya sebagai dokter praktik di Granada dan lewat ketenarannya dalam jabatan itu, dia diangkat menjadi skretaris Gubernur di Provinsi tersebut. Pada tahun 549 H/1154 M, dia diangkat menjadi sekretaris pribadi Gubernur Ceuta dan Tangier, putra ’Abd Al-Mu’min, penguasa Muwahhid Spanyol pertama yang merebut Maroko pada tahun 542 H/1147 M. Akhirnya, Thufail menduduki jabatan dokter tinggi dan menjadi qadhi di pengadilan serta Wazir Khalifah Muwahhid Abu Ya’qub Yusuf (558 H/1163 M-580 H/1184 M), saat sang Khalifah Abu Ya’qub Yusuf menin ggal, Ibnu Thufail masih menduduki jabatannya. Akan namun tidak lama lalu dia meninggal di Maroko pada tahun 581 H/1185 M).[21]
2. Karya-Karya Ibnu Tufail
Sebagaimana telah ditulis dalam sejarah, Ibnu Thufail ialah seorang dokter, filosof, mahir matematika, dan penyair yang sungguh populer dari Muwahhid Spanyol, akan tetapi sedikit karya-karyanya yang dikenal orang, Ibnu Khatib menilai dua risalah tentang ilmu pengobatan itu selaku karyanya. Al-Bitruji (salah seorang muridnya) dan Ibnu Ruysd percaya bahwa ia memiliki pemikiran -pemikiran astronomis aslinya. Al-Bitruji menciptakan sangkalan atas teori Ptolemeus tentang epicycles dan ecentric circles, yang dalam kata pengirim dari karyanya Kitab Al hai’ah dikemukakannya sebagai dukungan dari gurunya Ibnu Thufail. Dengan mengutip perkataan Ibnu Rusyd, Ibnu Abi Usaibah menilai Fi Al Buqa’Al Maskunah wal-Ghair Al Masjunah selaku karya Ibnu Thufail, tetapi dalam catatan Ibnu Rusyd sendiri pola semacam itu tidak mampu didapatkan.[22]
Di antara Karya-karya Ibnu Thufail yang sangat terkenal ialah Hayy Ibn Yaqzan (yang Hidup Putra Yang Bangun), Tulisan Ibnu Thufail yang dilukiskan di sini yakni seorang bayi laki-laki yang berada di sebuah pulau yang belum pernah dihuni insan. Bayi itu boleh jadi timbul alasannya adalah terbentuknya percampuran tanah dan air sedemikian rupa sehingga cocok untuk dimasuki jiwa insan sehingga muncullah bayi itu, atau boleh jadi dia yaitu bayi hasil akad nikah sah secara belakang layar antara kerabat wanita seorang raja dengan seorang anggota keluarga istana di pulau lain. Karena takut pada raja, bayi itu dimasukkan ke dalam peti dan dilepas terapung-apung di laut. Arus gelombong membuat peti bayi itu terdampar di pulau di antara pulau-pulau yang terletak di bawah garis khatulistiwa. Bayi itu disusukan dan dirawat oleh seekor rusa yang baru kehilangan bayi. Bayi itu bernama Hayy Ibn Yaqzan, bayi ini dapat terus hidup dalam lingkungan binatang, mampu meningkat biak menjadi insan dewasa, dan membuatnya beda dengan binatang. Akal sehatnya berkembang sedemikian rupa berdasarkan sunnatullah sehingga ia bukan saja mampu berpikir tentang dunia fenomena, melainkan juga mampu menangkap hal-hal abstrak dan mengenali adanya Tuhan, pencipta sekalian alam. Ia bahkan dengan mata batinnya dapat melihat Tuhan, merasa akrab dengan-Nya dan merasa berbahagia.[23] Tidak jauh dari pulau itu terdapat pulau lain yang dihuni oleh kumpulan manusia. Nama kedua pulau itu ialah Absal dan Salaman.[24]
Dalam kehidupannya Hay berguru dengan peristiwa alam, beliau menyaksikan seekor kijang yang selalu didekatnya karena kijang makin tua, maka jiang itu sakit, kian lama semakin lemah sampai kesannya kijang itu mati. Hay mengambil pesan tersirat dari yang sudah ia lihat, bahwa bahwasanya itulah kehidupan. Dari kehidupan tentunya ada sang penguasa, maka beliau berkeyakinan akan adanya Tuhan yang menentukan hidup mati semua makhluk. Di pulau terasing itu, Ibnu Thufail berjumpa dengan Hay. Kemudian Ibnu Thufail mengajari cara bertutur bahasa manusia kepadanya, dan keduanya saling bertukar asumsi. Ibnu Thufail menggambarkan bagaimana alam pikiran Hay yang berkembang dengan sendirinya, mungkin bisa sesuai dengan usulan Ibnu Thufail yang pintar dari masyarakat seorang guru dan hidup di tengah masyarakat.
Pada sebuah ketika Ibnu Thufail dan Hay meninggalkan pulau terasing itu untuk mengembara ke suatu kota yang ramai. Di sana keduanya mengajari orang banyak supaya berbuat zuhud, yakni mementingkan kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia. Setelah Hay berhimpun di tengah masyarakat, Hay melihat bagaimana manusia hidup berfoya-foya dan mengajar harta semata.
Jadi, Hayy Ibn Yaqzan dalam tulisan Ibnu Thufail bukanlah simbol akal aktif, tetapi simbol logika manusia yang tanpa panduan wahyu mampu meraih kebenaran perihal dunia fenomena serta wacana Tuhan dan alam rohaniah lainnya, dan kebenarannya tidak bertentangan dengan kebenaran wahyu.
Kisah di atas merupakan suatu simbolis, di dalam cerita tersebut mengisyaratkan bahwa setiap insan mampu mencari sebuah kebenaran, berdasar terhadap pengalaman dalam hidupnya. Dalam buku yang dituliskan oleh Ibnu Thufail diungkapkan dengan sarat makna
Dia (Hayy bin Yaqzhan) membawakan daun-daun yang segar dan memetik buah-buah cantik untuk disuapkan kepada kepada rusa betina itu. Akan tetapi, rusa betina itu makin lemah dan parah sakitnya, lalu mati. Gerakannya berhenti total, seluruh tubuhnya tidak berfungsi lagi, dan dikala anak laki-laki kecil itu (Hayy bin Yaqzhan) menyaksikan keadaan rusa betina itu, dia menangis tersedu-sedu, bahkan dia nyaris larut dalam kesedihannya…beliau menyaksikan-lihat kuping dan mata rusa betina yang sudah mati itu, dan tidak menemukan sesuatupun yang mampu menciptakan dia mati. Demikian pula, dengan seluruh badan anggotanya yang lain. Dia sungguh berharap bisa menemukan kawasan penyakitnya, lalu mencampakkan penyakit itu dari badan rusa betina tersebut. Kembali beliau membolak balik seluruh anggota tubuh rusa betina itu, tetapi tidak mendapatkan apa pun yang mampu disangka selaku penyebab kematiannya.[25]
D. Pemikiran Ibnu Tufail
Dalam ranah filsafat, di tengah semakin menguatnya pengarus utama Platonisme dan Aristotelianisme, Ibn Thufail lebih condong mampu dimasukkan filsuf bercorak Neoplatonik. Corak filsafat Platonik, menurut Amin Abdullah, lebih menekankan pada faktor idealisme atau rasionalisme. Sementara corak filsafat Aristotelian lebih bercorak emprisisme. Aliran filsafat idealisme memiliki bangunan argumen dasar bahwa episteme diperoleh dari ilham-inspirasi yang dibawa semenjak lahir, meskipun tanpa pertolongan pengetahuan inderawi sekalipun. Sementara pedoman empirisisme menganggap episteme hanya dapat diperoleh lewat realitas inderawi.
Adapun Ibn Thufail dan filsuf-filsuf lain yang cenderung neo-platonis, ciri khususnya yaitu usaha mereka yang sungguh gencar untuk menjembatani antara filsafat dengan mistisisme, antara logika dengan wahyu (agama), antara realitas dengan idealitas, antara fenomena dengan nomena, antara yang fisis dengan metafisis, antara yang fana dengan yang awet, antara syariat dengan ma’rifat bahkan antara yang mawjudat dengan wajibul wujud. Maka, berdasarkan Lenn E. Goodman,[26]fabel filosofis Ibn Thufail, Hayy ibn Yaqzhan, merupakan pertanda yang sangat terang bahwa Ibn Thufail merupakan salah satu penganut fatwa filsafat Neoplatonik. Karena dalam kisah itu, Ibn Thufail menggambarkan kesebangunan antara akal lewat anutan yang mendalam dan jernih dengan identitas wahyu.
Dalam memaparkan pandangan-pandangan filsafatnya, Ibnu Thufail menentukan tata cara khusus dalam bentuk cerita filsafat. Kisah ini banyak dicerotakan dalam bukunya yang terkenal Hayy Ibnu Yaqzhan. Kisah ini ditulis oleh Ibnu Thufail sebagai balasan atas ajakan seorang sahabatnya yang ingin mengetahui hikmah ketimuran (al-Hikmat al-Masyriqiyyat).[27]
Untuk menyelaraskan antara filsafat dengan syari’at maka Ibnu Thufail ingin mengemukakan kebenaran-kebenaran lewat berbagai tujuan. Dia antara maksudnya sudah dituliskan oleh Nadhim Al-Jisr dalam buku Qissat Al-Imam yang dikutif oleh Ahmad Hanafi, adalah selaku berikut:
a. Urutan-urutan tangga makrifat (wawasan) yang ditempuh oleh nalar, dimulai dari objek-objek indrawi yang khusus sampai pada fikiran-fikiran yang Universal.
b. Tanpa pengajaran dan petunjuk, logika insan bisa mengetahui wujud Tuhan, yakni lewat tanda-tanda pada Makhluk-Nya, dan menegakkan dalil-dalil atas wujud-Nya itu.
c. Akal insan ini adakala mengalami ketumpulan dan ketidakmampuan dalam mengemukakan dalil-dalil anggapan, yaitu ketika hendak menggambarkan keazalian mutlak, ketidak akhiran, zaman, qadim, huduts (gres), dan hal-hal lain yang sejenis itu.
d. Baik logika menguatkan qadim-nya alam atau kebaharuannya, tetapi kelanjutan dari iman tersebut adalaj satu juga, yakni adanya Tuhan.
e. Manusia dengan akalnya mampu mengetahui dasar-dasar keistimewaan dan dasar-dasar budpekerti yang bersifat amali dan kemasyarakatan, serta berhiaskan diri dengan keutamaan dasar etika tersebut, di samping menundukkan keinginan-harapan tubuh pada aturan asumsi, tanpa melalaikan hak tubuh, atau meninggalkan sama sekali.
f. Apa yang diperintahkan oleh syari’at Islam, dan apa yang dikenali oleh nalar yang sehat dengan sendirinya, berbentukkebenaran, kebaikan, dan keindahan mampu bertemu kedua-duanya dalam satu titik, tanpa diperselisihkan lagi.
g. Pokok dari semua pesan tersirat adalah apa yang sudah ditetapkan oleh syara’, ialah mengarhkan pembicaraan terhadap orang lain menurut kesanggupan akalnya, tanpa membuka kebenaran dan rahasia-belakang layar filsafat kepada mereka.[28]
Sebelum melangkah lebih jauh perihal filsafat Ibnu Thufail, ada baiknya secara ringkas kita melihat ringkasan kisah kehidupan Hayy Ibnu Yaqzhan yang di kutip eksklusif dari buku karangan Ibnu Thufail yang berjudul Hayy Ibnu Yaqzhan.
1. Kisah Hayy Ibn Yaqzhan
Ibnu Tufail menggambarkan Hayy semenjak bayi tinggal sendiri di suatu pulau di India yang sarat dengan binatang buas. Pulau itu sepi dan terpencil dari kehidupan insan, beriklim sedang, dan terletak di garis khatulistiwa. Menurut ia, bayi itu terlahir dalam dua versi, yang pertama adalah bayi itu terlahir dari seorang wanita yang bekerjasama dengan Yaqzhan atau ayah dari Hayy itu secara sembunyi-sembunyi sebab takut anaknya disiksa dan disakiti oleh sang raja saudara dari ibu Hayy tersebut, maka dari itu Hayy diletakkan didalam peti dan di buang disungai.Versi yang kedua bahwa Hayy telahir dengan sendirinya lewat proses perkembangan alam yang berasal dari segumpal tanah yang meragi di perut bumi dipulau Waqwaq.Tanah yang bergelembung itu berisikan dua bagian yang dipisahkan oleh selaput yang sangat tipis, dan berisi sebuah gas udara yang sangat halus selaku daerah bersemayan ruh dari Tuhan. Dan dari situlah tercipta sebuah janin yang mengalami kemajuan dan berevolusi menjadi seorang bayi yang secara sepontan menangis alasannya merasa lapar. Dalam kondisi seperti itu, datang-datang tiba seekor rusa yang sedang mencari anaknya yang hilang, rusa itu kemudian memungut dan menyusui sampai dia remaja. Hingga suatu ketika, rusa yang dianggap Hayy sebagai sang ‘ibu’ mati. Setelah itu, Hayy berkembang remaja dan menjadi “tuan” di pulau tersebut.
Hayy sangat populer dengan ingatan, perasaan, dan naluri yang berpengaruh. Dan dari kekuatan yang ada di tubuhnya itu sehingga dia memperhatikan alam sekitarnya dan berpikir kenapa hanya ia yang terbuka auratnya sedangkan makhluk-makhluk lainya tidak demikian.
Pikiran ini membuat beliau berupaya untuk menutupi kemaluanya dengan dedaunan. Dia juga melihat burung mencari makan dengan cakar dan paruhnya, setiap hewan memiliki alat untuk melindungi diri dari hewan lain. Maka dari itu terbit pulalah pikiranya untuk menciptakan perkakas yang mampu melindunginya dari musuh, maka dibuatnyalah tongkat untuk membela dirinya.
Di suatu hari terjadilah kebakaran di pulau yang subur itu. Lantas Hayy menjajal mendekatinya dan aben burung di atas baranya, dari daging itu terasa enak, maka ia pun memulai berburu hewan untuk dipanggangnya. Makanan yang tinggal di sampingnya beliau simpan untuk hari esok, beliau takut jikalau-jikalau hari berikutnya hewan buruan tidak beliau dapatkan.
Pada sebuah hari ibunya (rusa) yang selama ini mengasuhnya mengalami sakit yang cukup parah, yang risikonya tidak bergerak lagi. Hayy menjadi susah dan merasa heran kenapa tubuh itu tidak bergerak lagi. Kemudian beliau membedah tubuh ibunya itu, tetapi tak ada satupun anggota yang rusak. Sampai dia berpikir terhadap penyebab akhir hayat tersebut dan ia berpikir bahwa ada sesuatu yang berlainan di luar badan ibunya. Ia terus berpikir siapa dan apa yang menimbulkan ibunya mati. Atas dasar inilah ia sampai kealam metafisika. Dari situlah beliau mulai lebih memperhatikan ihwal bagaimana kondisi alam di sekitarnya. Hayy juga meneropong angkasa luar dan kosmos. Hayy menyakini bahwa semua itu yakni suatu benda yang suatu saat akan rampung. Pada umur 35 tahun beliau sampai pada kesimpulan bahwa jiwa ialah sesuatu yang terpisah dari tubuh. Jiwa memiliki kecenderungan senantiasa rindu kepada Sang Khaliq, dan jiwa itu bersifat baka dan keabadianya ynag dapat mengetahui Sang Khaliq.
Dari sini, Hayy sampai pada wawasan ihwal kebahagiaan. Hayy menyakini bahwa kebahagiaan dan keselamatan dari kesenangan terletak pada kemampuanya menaksikan Sang Khaliq secara terus menerus. lalu sehabis mengenali benda-benda langit itu bercahaya, Hayy mencoba membersikan diri sehingga memungkinkannya terus tenggelam dalam berpikir tentang Sang Khaliq sekaligus melepaskan diri dari segala yang dapat beliau rasa. Hayy tetap berada dalam maqamnya yang mulia itu hingga berumur 50 tahun.
Pada saat itu di pulau lain yang berpenduduk banyak, terdapat dua orang sahabat yang bertengkar tentang hidup yang baik, yaitu Salman dan Absal. Salman berpendapat bahwa hidup yang bagus yakni mematuhi aturan dan bermasyarakat, sementara Absal selalu berupaya memahami jiwa dari hukuman itu. Suatu hari Absal meninggalkan pulau itu dan mencari jalan untuk mendarat di pulau Hayy.
Konon sampailah Absal di pulau itu. Absal lewat bahasa instruksi mampu mengajarkan Hayy berbahasa. Kemudian terjadilah tukar pikiran antara dua orang itu. Dimana Hayy mampu mendengar pemikiran agama dan tafsiran awam. Di samping itu juga terjadi saling isu ihwal pengalaman spiritual masing-masing.
Kemudian keduanya menetapkan untuk pergi ke pulau daerah tinggal Salman untuk mengajar penduduk rahasia hidup. Sampai di pulau itu didapatinya Salman sudah menjadi seorang raja yang shaleh. Dan Salman meminta keduanya untuk mengajarkan terhadap masyarakat tentang pengalamanya, maka kedua orang itu mencoba untuk memberi pemahaman terhadap masyarakat yang mempelajari hukum-hukum norma agama. Dengan demikian kedua budiman itu insaf terhadap tingkatan pengetahuan penduduk tersebut, dan mengakui bahwa hukum-hukum formal itu memang sesuai untuk mengatur masyarakat awam. Atas keterlanjuranya Hayy dan Absal meminta maaf kepada penduduk . Akhirnya keduanya kembali ke pulau asalnya untuk meneguk kehidupan rohani yang tertinggi dalam kesunyian alam.
2. Epistemologi Kisah Hayy Ibn Yaqzan
Risalah ini merupakn dongeng yang memuat banyak sekali aspek sastra, filsafat, tassawuf, pendidikan dan tata cara wawasan (epistemology). Karena cakupanya sangat menawan maka risalah ini sangat diakui oleh banyak kelompok sebagai dongeng filosofi terbaik dalam sejarah filsafat Arab Islam. Kisah ini menggambarkan insan yang mampu hidup tanpa adanya komponen eksternal, mirip masyarakat, bahasa, budaya, agama, maupun dinamika social lainya. Dalam kesendirianya itu, seorang anak insan yang cuma mempergunakan sumber-sumber alam dan dengan kekuatan akal murninya, ternyata mampu meraih wawasan sejati wacana alam atas, yaitu tentang kebenaran Tuhan dan kekekalan jiwa.
Kisah ini juga merupakan gambaran wacana fase-fase perkembangn nalar murni, dan dari alam materi atau alama bawah hingga tahapan tertinggi di dalam filsafat, yaitu alam metafisika. Kisah Hayy ibn Thuffail mencerminkan pemikiran filsafat ibnu Thufail. Meskipun buku Hayy bin Yaqzhan ialah buku roman yang bersifat fiksi dan sarat imajinasi. Hayy selaku lambang akal pikiran, meskipun sudah terasing dari masyarakat, hidup sendirian selaku anak alam, tetapi mampu berkembang dengan sendirinya, beliau dapat mengenal tuhannya tanpa harus belajar dari orang lain. Kalau kita hubungkan dengan al-Qur’an, ini tidak lain ialah merupakan kesinambungan dari manusia dengan Tuhannya atau dengan kata lain melalui filsafat orang juga mampu memakrifati Tuhan sebagaimana orang memakrifatinnya lewat jalan agama.
Absal adalah lambang dari seorang sufi. Ia mengenal tuhannya melalui jalur agama, di samping itu dia senantiasa berhasrat hendak memakrifati tuhan itu dengan daya rohaninya sehingga dia pun merasakan kebahagiaan rohani sebagai hasil dari upayannya itu. Sedangkan Salaman bewrsama penduduk ramai yaitu orang awam yang hidup memenuhi selera di sampinfg juga melakukan aturan formal dari agama yang mereka anut.
Dari kehidupan Hayy bin Yaqzhan terbersit sebuah makna sebagaimana akal manusia itu berkembang dari satu tingkat yang lebih tinggi, yakni:
a. Masa kanak-kanak hidup seperti binatang. Dimana akal belum berfungsi, hidup cuma mengandalkan belas asih dari induknya.
b. Masa mumayyiz, nalar mulai berkembang dan alam sekitar yang menjadi obyek pikir mulai menjadi rujukan anggapan. Hal ini terlambangkan dari mulainya hay mengamati hewan sekitarnya.
c. Masa menginjak baligh, dimana akal telah mulai berpikir wacana metafisika. Hal ini dilambangkan dengan matinya induk kijang yang menyusuinya, sehingga menciptakan beliau mulai berpikir ihwal yang mistik.
d. Masa dewasa dan sadar diri, kedewasaan menciptakan orang sadar terhadap dirinya. Di kurun ini akalnya telah berpikir jauh dan telah menegakan pendirian sendiri tanpa tergoyahkan. Di kurun ini dia menyusun filsafat sebagai pegangannya dalam meraih kebahagiaan yang hakiki. Meskipun Hayy sudah mendengar usulan dan pengalaman dari absal dan Salman beserta rakyatnya, tetapi Hayy tetap pada pendiriannya.
e. Masa tua; kesadaran akal bertambah dan dorongan hati untuk berinfak kian terasa. Perasaan mirip inilah yang membuat Hayy dan Absal kembali ke pulaunya untuk berkhalwat dan beribadat dengan caranya masing-masing, sehingga keduanya di jemput akhir hayat.
Ibnu Thufail menokohkan Hayy selaku personifikasi dari spirit alamiah manusia yang disinari (illuminated) dari “atas”. Spirit tersebut mesti sesuai dengan ruh Nabi Muhammad, yang ucapan-ucapannya perlu ditafsirkan secara metaforis. Ia juga menyadari, dan mengenali bahwa aliran akal murni, hanya mampu dijalankan oleh orang-orang khusus (ahl al-ma’rifat). Orang awam tidak bisa melakukannya. Justru itu, bagi orang awam sangat diperlukan adanya fatwa agama yang dibawa oleh Nabi.[29]
Sedangkan kisah dari ketiga tokoh tersebut tampak, bahwa Ibnu Thufail membagi pengetahuan manusia dalam tingkatan adalah: pengetahuan awam, pengetahuan yang didapat melalui khasyaf, dan wawasan yang didapat melalui akal.
Pengetahuan Awam yakni wawasan yang didasarkan atas budbahasa kebiasaan, sedangkan pengetahuan yang di dapatkan lewat kasyaf adalah pengetahuan yang didapat atas dasar upaya rohaniyah yang senantiasa dilatih untuk mencapai kebenaran hakiki. Pengetahuan ini sama tingginya dengan akal.
Hayy bin Yaqzhan selaku andal logika, yang hidup dalam memperhatikan gerak alam, di mana dengan pengetahuan yang di alaminya dari mengamati gerak alam itu beliau mampu mengenal Tuhan. Dalil gerak alam yang dijadikan oleh Hayy sebagai bukti adanya Tuhan merupakan dalil filsafat yang telah di anut oleh banyak filosof. Ungkapan ini jauh sebelumnya sudah ditemukan oleh Aristoteles, lalu dalil ini meningkat dalam dunia Islam.
3. Metafisika; perihal Tuhan
Pemikiran Ibnu Thufail yang berkaitan dengan metafisika terdapat dua bagian, yakni, perihal Tuhan dan wacana alam. Pertama, metafisika yang berhubungan dengan Tuhan yakni dalam hal Zat dan sifat Allah, Ibnu Thufail sejalan dengan pendapat Mu’tazilah. Sifat-sifat Allah Yang Maha Sempurna tidak berlawanan dengan Zat-Nya. Allah mengenali dan berkuasa bukan dengan sifat ilmu dan qudrat yang melekat pada Zat-Nya, tetapi berdiri dengan Zat-Nya sendiri tanpa bantguan yang lain.[30] Walaupun Sifat sungguh identik dengan Zat, Ibnu Thufail masih membuat detail sifat Allah dengan membagi 2 (dua) golongan, yakni:
a. Sifat-sifat yang memutuskan wujud Zat Allah, sperti ilmu, qudrat, dan pesan yang tersirat. Sifat-sifat ini yakni zat-Nya sendiri. Hal ini untuk menghapus ta’addud al-qudama’ (berbilangnya yang qadim), sebagaimana paham Mu’tazilah.
b. Sifat salab, yakni sifat-sifat yang menafikan paham eksistensi dari Zat Allah. Dengan demikian, Allah suci dari kaitan dengan kebendaan.[31]
Kedua, metafisika Ibnu Thufail berkaitan dengan alam. Dalam buku Hayy Ibn Yaqzhan, Ibn Thufail berbagai menguraikan inspirasi-wangsit dan anutan filsafatnya. Dari sekian luas fatwa filsafatnya, konsep beliau perihal penciptaan alam tidak mampu dipandang sebelah mata. Lebih menawan lagi, rancangan beliau perihal penciptaan alam berlawanan dengan mainstream anutan tentang tema serupa yang berujung pada dua kutub, hadits atau qadim-kah alam ini.
Ibn Thufail lewat analisis yang dihubungan kepada kisah Hayy Ibn Yaqzhan, berusaha menggiring bahwa apapun akibatnya, hadis atau qadim, penciptaan alam mengisyaratkan eksistensi Tuhan. Kesimpulan itu beliau mampu sehabis mengalami beberapa kebingungan. Ia juga meyakini bahwa eksistensi alam tidak mampu terlepas dari benda-benda yang baharu (hadis). Alam mustahil mendahului benda-benda baharu yang ada di dalam alam itu sendiri. Sesuatu yang tidak mampu mendahului benda yang hadis, maka dia juga hadis.
Sebaliknya, ia juga akan dihadapkan pada beberapa kerancuan jika harus me-yakini bahwa alam ialah hadits. Menurut Ibn Thufail dalam buku tersebut, sesuatu yang hadits menuntut pengertian bahwa ia diciptakan setelah sebelumnya tiada. Makna yang demikian tidak akan mampu dimengerti tanpa pandangan bahwa waktu telah diciptakan sebelum alam ini diciptakan. Sementara waktu ialah bagian dari alam, yang tidak bisa lepas dari eksistensi alam. Maka mustahil waktu diciptakan men-dahului alam, sehingga tidak mungkin juga alam bersifat hadis.
C. Kesimpulan
Ibn Bajjah sebagai seorang filsuf juga sebagai seorang penyair, komponis, bahkan di saat Saragosa beliau diandalkan sebagai wazir. Tetapi pada tahun 512 H Ibn Bajjah terpaksa pindah ke Sevilla. Dikota ini dia bekerja selaku dokter lalu beliau pindah ke Granada dan dari sana dia pindah ke Afrika Utara, pusat daulah Murabbitun. Ketika dia melaksanakan perjalanan ke Afrika Utara dia ditangkap oleh Amir Abu Ishaq Ibrahim namun atas jasa Ibn Rusyd Ibn Bajjah dilepaskan kemudian dia melanjutkan pengembaraannya ke Fez di Maroko di sini ia melanjutkan kariernya selaku seorang ilmuan beliau dia mempunyai hubungan baik dengan penguasa istana sehingga dia diangkat sebagai seorang menteri. Akhirnya beliau meninggal pada Tahun 533 H berdasarkan suatu riwayat beliau meninggal karena diracun seorang dokter yang iri hati terhadap kecerdasan, ilmu dan ketenarannya.
Adapun anutan Ibnu Bajjah antara lain perihal (1) Epistemologi yang terdapat dalam bukunya Tadbir Al-Mutawahhid. Ibn bajjah menjelaskan teori alittishal, bahwa manusia mampu bekerjasama dan melebrkan diri dengan akal fa’al atas santunan ilmu dan kemajuan kekuatan insaniah, (2) Metafisika. Menurut Ibn Bajjah bahwa segala yang maujud terbagi dua : a) Bergerak b) Tidak bergerak, (3) Moral. Ibn Bajjah menyampaikan bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan dari tujuan hidup insan di dunia ini dibutuhkan perjuangan yang bersumber pada kemauan bebas dan pertumbuhan logika. (4) Politik, Dari pengertian mutawahhid, kadang kala oran menerka bahwa Ibn Bajjah mengharapkan biar orang mutawahhid ( terasing ) atau menajuhkan diri dari penduduk ramai. Tetapi sebetulnya Ibn Bajjah bermaksud bahwa seorang mutawahhid sekalipun mesti senantiasa berhubungan dengan penduduk .
Sementara anutan Ibnu Tufail terangkum dalam karyanya Hayy Ibn Yaqzha. Ibnu Thufail dengan Karyanya alegorisnya, Hayy Ibn Yaqzhan, bahwasanya ingin membangun sebuah struktur pengetahuan yang lebih dari yang sudah dirintis oleh Ibnu Bajjah lewat teori penyatuannya. Ibnu Thufail bahkan telah sukses menempuh jalan itu. Setelah menelaah karyanya itu, penulis peroleh struktur filsafat Ibnu Thufail dibangun di atas dua versi wawasan sekaligus, adalah pengetahuan diskursif yang dibangun di atas dasar rasio (al-‘aql) dan pengetahuan intuitif mistis(kasyfiyyah-dzauqiyyah) yang didasarkan pada ketajaman intuisi. Struktur inilah yang disebut oleh Ibnu Thufail selaku diam-diam-rahasia filsafat Timur.
Berkat kepiawaiannya dalam menghadirkan suatu novel dengan bahasa yang sederhana namun mempunyai nilai sastra yang tinggi, Ibnu Thufail selaku filosof, sastara maupun agamawan disegani oleh para pemikir dan sastrawan dunia yang terilhami oleh karyanya. Karya itu hingga sekarang masih menarik untuk digali dan dikaji. Karena banyak faktor-aspek yang terkandung didalamnya, mirip falsafah, sastra, tasawuf dan masih banyak lagi. Yang tidak dapat penulis tela’ah semua. Oleh karena itu selaku akademisi kita harus terus mengkaji khazanah ajaran Islam yang juga terdapat pada sastrawan atau filosof lain selain Ibnu Thufail.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, ter. Tim Pustaka Firdaus, Cet. VIII, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997
De Boer, T.J. The History of Philosophy in Islam, Edisi Bahasa Inggris oleh Edward R. Jones BD, New York: Dover Publication inc, 1967
Fakhri, Majid, Sejarah Filsafat Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986
Goodman, Lenn E., Ibnu Bajjah dalam, Seyyed Hosen Naser dan Oliver Leman, (edt), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2003
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004
Nasution, Harun, Islam diTinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Universitas Indonesia, 1985
Syarif, M.M. dkk (edt), History of Muslim Philosophy, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963
Thufail, Ibnu, Hayy bin Yaqzan, Cet. Ke II, Beirut: Dar Al-Falaq Al-Jaidah, 1980
Thufail, Ibnu, Hayy Ibnu Yaqzhan, Tahqiq Faruq Sa’ad, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1974
[1] M.M. Syarif, dkk (edt), History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963), hlm.143
[2] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 255
[3] Ibid., 256
[4] Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hlm. 360
[5] Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, ter. Tim Pustaka Firdaus, Cet. VIII, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 99
[6] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam …, hlm.187
[7] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam …, hlm. 200
[8] A. Mustofa, Filsafat Islam …, hlm. 258
[9] Ahmad Haafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm.158
[10] A. Mustofa, Filsafat Islam …, hlm. 259
[11] Harun Nasution, Akal dan Wahyu … , hlm. 17
[12] M. M. Syarif, Para Filosof …, hlm.163
[13] Ibid., hlm.164
[14] Ahmad Daudy, Filsafat Islam … , hlm.196
[15] A. Mustofa, Filsafat Islm … , hlm. 265
[16] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat … , hlm. 151
[17] Ibid.
[18] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam …, hlm. 195
[19] Harun Nasution, Islam diTinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1985), hlm. 55
[20] Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat …, hlm. 12
[21] Ibid.
[22] A. Mustofa, Filsafat Islam …, hlm. 273
[23] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi … , hlm. 207-208
[24] M. M. Syarif, (edt), History of Muslim Philosophy …, hlm. 178-179
[25] Ibnu Thufail, Hayy bin Yaqzan, Cet. Ke II, (Beirut: Dar Al-Falaq Al-Jaidah, 1980), hlm.132-133
[26] Lenn E.Goodman, Ibnu Bajjah dalam, Seyyed Hosen Naser dan Oliver Leman, (edt), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 405
[27] Ibnu Thufail, Hayy Ibnu Yaqzhan, Tahqiq Faruq Sa’ad, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1974), hlm. 105
[28] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat … , hlm.163-164
[29] T.J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, Edisi Bahasa Inggris oleh Edward R. Jones BD, (New York: Dover Publication inc, 1967), hlm. 184
[30] Ibnu Thufail, Hayy Ibnu Yaqzhan … , hlm. 179
[31] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam …, hlm. 145