Pedoman Filsafat Islam Ibnu Rusyd

Oleh : Syafieh, M. Fil. I

A.      Pendahuluan

Di Andalusia, tepatnya di kota Cordova lahir seorang filosof Muslim terkenal berjulukan Ibnu Rusyd. Ketika itu Andalusia (Spanyol) ialah salah satu pusat peradaban Islam yang maju dan cemerlang serta banyak menghasilkan ilmuan-ilmuan muslim besar mirip Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail. Di segi lain, Eropa (baca: masyarakat kristen Eropa) masih berada dalam zaman kegelapan, kebodohan dan terkungkung dalam hegemoni kekuasaan gereja (The dark middle ages), sehingga dapat dilihat dalam konteks sejarah bahwa dengan hadirnya peradaban Islam di Andalusia, sudah menjadi jembatan bagi Eropa untuk mengetahui dan mempelajari Ilmu wawasan utamanya filsafat. Dengan demikian dunia Islam telah menunjukkan kontribusi yang besar bagi pertumbuhan Eropa.

Sebagai seorang filosof, Ibnu Rusyd banyak memperlihatkan kontribusinya dalam khasanah dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal dari filosof-filosof muslim sebelumnya. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya sungguh mengagumi filsafat Aristoteles dan banyak menunjukkan ulasan-ulasan atau komentar kepada filsafat Aristoteles sehingga beliau terkenal sebagai komentator Aristoteles.

Dalam makalah ini sekilas akan diuraikan beberapa pedoman filsafat Ibnu Rusyd, biografi dan karyanya, jawaban terhadap kritik al-Ghazali, di samping efek pemikirannya dalam ilmu wawasan yang kemudian menimbulkan gerakan Averroisme di Barat.

B.       Ibnu Rusyd

1.      Biografi dan Pendidikannya

Nama lengkapnya, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan di Cordova sebuah kota di Andalus. Ia terlahir pada tahun 510 H/126 M, Ia lebih populer dengan sebutan  Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan sebuah nama Averrois. Sebutan ini bahu-membahu di ambil dari nama kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga yang alim dan terhormat, bahkan terkenal dengan keluarga yang mempunyai banyak keilmuan. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan dia sendiri pada tahun 565 H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu aturan, pada tahun 1173 M beliau dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.[1]

Dalam buku karangan Nurcholis Madjid, diterangkan ihwal penamaan Ibnu Rusyd, bahwa penyebutan Averrios untuk Ibnu Rusyd yakni balasan dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Oleh orang Yahudi, kata Arab Ibnu diucapkan mirip kata Ibrani 9 bahasa Yahudi dengan Aben. Sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd. Akan tetapi, dalam bahasa Spanyol aksara konsonan ”b” diubah menjadi ”v”, maka Aben menjadi Aven Rochd. Melalui asimilasi karakter-huruf konsonan dalam bahasa Arab disebut Idgham lalu berubah menjadi Averrochd, sebab dalam bahasa Latin tidak ada huruf ”sy”, karakter ”sy” dan d dianggap dengan ”s” sehingga menjadi Averriosd. Kemudian, rentetan ”s” dan ”d” dianggap sulit dalam bahasa Latin, maka huruf ”d” dihilangkan sehingga menjadi Averros. Agar tidak terjadi kekacauan antara huruf ”s” dengan ”s” posesif maka antara ”o” dan ”s” diberi sisipan ”e” sehingga Averroes, dan ”e” sering mendapat tekanan sehingga menjadi Averrois.[2]

Ibnu rusyd berkembang dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghairahnya pada ilmu pengetahuan. Hal itu terbukti, Ibnu Rusyd bantu-membantu merivisi buku Imam Malik, Al-Muwaththa, yang dipelajarinya bersama ayahnya Abu Al-Qasim dan beliau menghapalnya. Ia juga juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, akal, filsafat, dan ilmu pengobatan. Guru-gurunya dalam ilmu-ilmu tersebut tidak populer, tetapi secara keseluruhan Cordova terkenal sebagai sentra studi filsafat. Adapun seville populer sebab aktivitas-kegiatan artistiknya. Cordova pada dikala itu menjadi tentangan bagi Damaskus, Baghdad, Kairo, dan kota-kota besar yang lain di negeri-negeri Islam Timur.[3]

Sebagai seorang yang berasal dari keturunan terhormat, dan keluarga ilmuan khususnya fiqih, maka saat remaja beliau diberikan jabatan untuk pertama kalinya yakni selaku hakim pada tahun 565 H/1169 M, di Seville. Kemudian iapun kembali ke Cordova, sepuluh tahun di sana, iapun diangkat menjadi qhadi, selanjutnya dia juga pernah menjadi dokter Istana di Cordova, dan sebagai seorang filosof dan jago dalam hukum beliau mempunyai efek besar di golongan Istana, khususnya di zaman Sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur (1184-99 M). Sebagai seorang fiolosof, pengaruhnya di kelompok Istana tidak diminati oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Sewaktu timbul pertempuran antara Sultan Abu Yusuf dan kaum Kristen, sultan berhajat pada kat-kata kaum ulama dan kaum fuqaha. Maka kedaan menjadi berubah, Ibnu Rusyd dihindari oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ia dituduh membawa aliran filsafat yang tidak sesuai dengan aliran Islam, akhirnya Ibnu Rusyd ditangkap dan diasingkan ke sebuah kawasan yang berjulukan Lucena di kawasan Cordova. Oleh sebab itu, kaum filosof tidak disukai lagi, maka timbullah efek kaum ulama dan kaum fuqaha. Ibnu Rusyd sendiri kemudian dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana dalam usia 72 tahun pada tahun 1198 M.[4]

A.    Karya-Karyanya

Sebagai seorang filsafat Islam di dunia Islam bagian Barat, Ibnu Rusyd juga telah membuat sebuah karya dalam tulisannya. Karya-karya Ibnu Rusyd benar-benar memuat sudut pandang ke arah filsafat. Di antara karya-karyanya ialah sebagai berikut :

a.    Tahafut at-Tahafut. Kitab ini berusaha menjabarkan dengan menyanggah butir demi butir keberatan terhadap al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut lebih luwes daripada fashl dalam menegaskan keunggulan agama yang didasarkan pada wahyu atas nalar yang dikaitkan dengan agama yang murni rasional. Akan tetapi, Tahafut at-Tahafut juga setia terhadap Fashl, melalui persepsi kepada diri Nabi yang mempunyai akl aktif untuk menyaksikan gambaran-citra secara rasional. Seperti halnya juga para filsuf, dan yang mengubah citra-gambaran tersebut dengan mengubah imajinasi menjadi simbol-simbol yang sesuai kebutuhan orang awam. Dengan demikian, rasioanlisme religius Ibnu Rusyd bukan sekedar reduksionisme, mirip halnya paham Al-Muwahhidun, ini ialah akidah pada kemungkinan untuk membangun kemabli rantai akal budi secara aposteriori.[5]

b.    Fash al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal (Kitab ini terdiri dari tentang korelasi antara filsafat dengan agama)

c.    Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi ’Aqa’id al-Millat, (berisikan kritik terhadap tata cara para hebat ilmu kalam dan sufi)

d.   Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (berisikan uraian-uraian di bidang fiqih).

B.       Pemikirannya

Sebagai komentator Aristoteles tak aneh kalau fatwa Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani antik. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk menciptakan syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berupaya mengembalikan ajaran Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan nama Explainer (asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles. Sebagai juru tafsir martabatnya tak lebih rendah dari Alexandre d’Aphrodise (filosof yang menafsirkan filsafat Aristoteles kurun ke-2 Masehi) dan Thamestius.[6]

Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam mengerti filsafat Aristoteles, walaupun dalam beberapa masalah filsafat dia tidak bisa lepas dari pertimbangan dari kedua filosof muslim tersebut. Menurutnya anutan Aristoteles sudah bercampur baur dengan bagian-komponen Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas rekomendasi gurunya Ibnu Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan pikiran-pikiran Aristoteles pada kala dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.[7]

Namun demikian, meskipun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan bermakna dalam berfilsafat ia selalu mengekor dan meniru filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga memiliki persepsi tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya selaku filosof Muslim besar dan terkenal pada era klasik sampai kini.

1.         Pemikiran Epistemologi Ibn Rusyd

Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar alasan bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menawan pelajaran / hikmah / ’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin tepat pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong insan untuk senantiasa memakai daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya.

Jika lalu seseorang dalam pemikirannya makin menjauh dengan dasar-dasar Syar’iy maka ada beberapa kemungkinan, pertama, beliau tidak memiliki kemampuan / kapasitas yang mencukupi berkecimpung dalam dunia filsafat, kedua, ketidakmampuan dirinya menertibkan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang tidak boleh oleh agama dan yang ketiga ialah ketiadaan pendamping /guru yang tangguh yang mampu membimbingnya mengetahui dengan benar tentang suatu obyek aliran tertentu.

Oleh alasannya adalah itu mustahil filsuf akan bermetamorfosis mujtahid, tidak mempercayai keberadaan Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi semacam itu bisa ditentukan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-aspek tersebut. Sebab kemmapuan insan dalam menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari wawasan berlawanan-beda. Ibn Rusyd beropini ada 3 macam cara insan dalam menemukan pengetahuan yaitu:

a.         Lewat sistem al- Khatabiyyah (Retorika)

b.        lewat metode al-Jadaliyyah (dialektika)

c.         Lewat tata cara al-Burhaniyyah (demonstratif)[8]

Pertama, Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak tergolong mahir takwil , ialah orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan secara umum dikuasai manusia. Sebab tidak ada seorangpun yang arif sehat kecuali dari golongan manusia dengan tolok ukur pembuktian semacam ini (khatabi)

Kedua, Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk mahir dalam melaksanakan ta’wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik.

Ketiga, Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk jago dalam melaksanakan ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah bisa alasannya latihan, yaitu latihan filsafat, sehingga bisa berfikir secara demonstratif. Ta’wil yang dikerjakan dengan tata cara Burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan terhadap mereka yang berfikir dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik. Sebab jika metode ta’wil burhani diberikan kepada mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran . Penyebabnya dalah alasannya adalah tujuan ta’wil itu tak lain yaitu membatalkan pengertian lahiriyah dan menetapkan pengertian secara interpretatif. Pernyataan ini merujuk pada Qur’an surat Al-Isra’ : 85 :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي

Artinya: Dan mereka mengajukan pertanyaan kepadamu perihal roh. Katakanlah: “Roh itu tergolong urusan Tuhan-ku. (Q.S. Al-Israa’: 85)

Allah SWT tidak menerangkan pemahaman ruh alasannya tingkat kecerdasan mereka itu tidak / belum mencukupi sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan menyulitkan mereka.

Ketiga tata cara itu telah dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat dalam teks-teks al Qur’an. Metode itu dikenalkan oleh Allah SWt sedemikian rupa mengenang derajat wawasan dan kesanggupan intelektual insan amat bermacam-macam, sehingga Allah SWT tidak menunjukkan sistem pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu macam cara saja.
Satu pendekatan yang diyakini Ibn rusyd bisa mendamaikan antara suara literal teks yang transenden dengan pedoman spekulatif – rasionalistik manusia yaitu acara Ta’wil . Metode ta’wil mampu bikatakan ialah berita sentral dalam kitab dia ini. Al-Qur’an kadang berdiam diri tentang sebuah obyek pengetahuan. Lantas ulama melaksanakan Qiyas (syar’iy) untuk menerangkan kedudukan obyek pedoman yang maskut ‘anhu tersebut. Demikian pula dengan akal Burhani, ia merpakan tata cara ta’wil / qiyas untuk membincangkan dilema-persoalan maujud yang tidak dibicarakan oleh al qur’an.

  Khawarij Dan Murji’Ah

Qiyas burhani itu digunakan ketika terjadi pertentangan anatara ide Qur’anik dengan rancangan rasional-spekulatif fatwa insan. Ibn Rusyd berasumsi bahwa teks syar’iy memiliki kekurangan makna. Oleh karena itu jika terjadi ta’arudl dengan qiyas burhani, maka mesti dilakukan ta’wil atas makna lahiriyyah teks. Ta’wil sendiri didefinisikan selaku : makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang keluar dari konotasinya yang hakiki (riel) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan sebuah cara yang tidak melanggar tradisi bahasa arab dalam mebuat majaz. Misalnya dengan menyebutkan “sesuatu” dengan sebutan “tertentu yang lain” alasannya adalah adanya faktor kemiripan , menjadi alasannya adalah / kesudahannya, menjadi bandingannya atau faktor-aspek lain yang mungkin bisa dikenakan kepada obyek yang permulaan.

Ibn Rusyd berpendapat adanya lafaz dhahir (Eksoteris) dalam nash sehingga perlu dita’wil, biar dimengerti makan bathinyyah (Esoteris) yang tersembunyi di dalamnya ialah dengan tujuan menyelaraskan keberagaman kapasitas akal budi insan dan perbedaan karakter dalam mendapatkan kebenaran . Nash ilahiyyah turun dengan berusaha menyesuaikan bahasa yang paling gampang untuk dikenali oleh insan dengan tidak menutup mata terhdap kecenderungan kelompok ulama yang berilmu (al Rasyikhuna fil ‘Ilm) untuk merenungi makna-makna dibalik lafaz yang tersurat.

2.        Metafisika

Dalam dilema ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah yakni Penggerak Pertama (muharrik al-awwal). Sifat posistif yang dapat diberikan kepada Allah adalah ”Akal”, dan ”Maqqul”. Wujud  Allah beliau;ah Esa-Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak berlainan dari zat-Nya.[9]

Konsepsi Ibn Rusyd wacana ketuhanan jelas sekali ialah pengaruh Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping iman agama Islam yang dipeluknya. Mensifati Tuhan dengan ”Esa” ialah fatwa Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai pelopor Pertama, tidak pernah dijumpai dalam pengertian Islam sebelumnya, cuma di temui dalam filsafat Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.

Dalam pembuktian adanya Tuhan, kalangan Hasywiyah, Shufiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan falasifah, masing-masing kelompok tersebut memiliki dogma yang berlawanan satu sama yang lain, dan menggunakan ta’wil dalam mengartikan kata-kata Syar’i sesuai denngan dogma mereka.[10]

Dalam pembuktian terhadap Tuhan, Ibn Rusyd menerangkan dalil-dalil yang menyakinkan:

a.              Dalil wujud Allah. Dalam menerangkan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah dkemukakan oleh beberapa kelompok sebelumnya alasannya tidak cocok dengan apa yang sudah digariskan oleh Syara’, baik dalam aneka macam ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai ayatnya, dank arena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai, tidak saja bagi orang awam, tetapi juga bagi orang –orang khusus yang cendekia.

b.             Dalil ‘inayah al-Ilahiyah  (pemeliharan Tuhan). Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan manusi. Artinya segala yang ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan insan. Pertama segala yang ada ini sesuai dengan wujud insan. Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaj diciptakan demikian oleh sang pencipta bijaksana. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, al-Naba’:78:6-7

أَلَمْ نَجْعَلِ الأرْضَ مِهَادًا. وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا

Artinya:  Bukankah Kami sudah menyebabkan bumi itu sebagai hamparan?,. dan gunung-gunung selaku pasak? (QS. Al-Naba:6-7)

c.              Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan) Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk ini, mirip ciptaan pada kehidupan benda mati dan aneka macam jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan padanya,sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang dan falak di angkasa tundujk semuanya kepada ketentuannya. Karena itu siapa saja yang ingin mengenali Allah dengan bergotong-royong, maka dia wajib mengenali hakikat segala sesuatu di alam ini agar beliau dapat mengenali ciptaan hakiki pada semua realitas ini. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, al-Hajj: 73

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ

Artinya:  Hai insan, telah dibuat istilah, maka dengarkanlah olehmu ungkapan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak mampu menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan kalau lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. (QS. Al-Hajj:73)

d.             Dalil Harkah (Gerak.) Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan ihwal adanya Allah mirip yang dipakai oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu kondisi, tetapi senantiasa berubah-ubah. Dan semua jenis gerak selsai pada gerak pada ruang, dan gerak pada ruang rampung pada yang bergerak pad dzatnya dengan alasannya pencetus pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada dzatnya maupun pada sifatnya. Akan tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada kesimpulan yang dibilang oleh Aristoteles bahwa gerak itu qadim.

e.              Sifat-sifat Allah. Adapun ajaran Ibn Rusyd perihal sifat-sifat Allah berpijak pada perbedaan alam mistik dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd menyampaikan, orang harus menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan). Berpijak pada dasar keharusan pembedaan Allah dengan insan, maka tidak logis memperbandingkan dua jenis ilmu itu.

3.        Tanggapan Terhadap Al-Ghazali

Ibnu Rusyd di kenal oleh banyak orang sebagai filosof yang menentang al-Ghazali. Hal ini tampakdalam bukunya berjudul Tahafutut-tahafut, yang ialah reaksi buku al-Ghazali berjudul Tahafutut Falasifah.  Dalam bukunya, Ibnu Rusyd membela pertimbangan -pendapat jago filsafat Yunani dan umat Islam yang sudah diserang habis-habisan oleh al-Ghazali. Sebagai pembela Aristoteles (filsafat Yunani), pastinya Ibnu Rusyd menolak prinsip Ijraul-Adat dari al-Ghazali. Begitu pula al-Farabi, ia juga mengemukakan prinsip aturan kausal dari Aristoteles. Perdebatan panjang antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, kiranya tidak akan pernah usai. Karena keduanya memiliki pengikut setia dalam mempertahankan pendapat-pertimbangan dari kedua pemikir Islam tersebut.

Al-Ghazali yakni sebagai kalangan filsafat Islam di dunia Islam Timur, sedangkan Ibn Rusyd adalah sebagai salah satu pemikir dari kalangan filsafat Islam di dunia Islam Barat. Walau pun kita tidak membaca keseluruhan, hanya melihat dari pembagian dalam daftar isi dalam buku itu, kita telah menilai bahwa pemikir Islam Timur dan Barat terang-terang akan mengalami perbedaan pendapat satu dengan yang lainnya.

Melalui buku Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pemikiran Para Filsuf), Al-Ghazali melancarkan kritik keras kepada para filsuf dalam 20 duduk perkara. Tiga dari duduk perkara tersebut, berdasarkan Al-Ghazali, dapat menyebabkan kekafiran: yaitu, qidamnya alam, Tuhan tidak mengenali perincian yang terjadi di alam, dan tidak adanya pembangkitan jasmani.

Sehubungan serangan dan pengkafiran Al-Ghazali, Ibn Rusyd tampil membela para filsuf dari serangan dan pengkafiran tersebut. Dalam rangka pembelaan itulah dia menulis buku Tahafut al-Tahafut (Kekacauan dalam Kekacauan). Berikut perdebatan Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Perincian 20 persoalan di atas yakni sebagai berikut:

1.         Alam qadim (tidal bermula),

2.         Keabadian (abadiah) alam, kurun dan gerak,

3.         Konsep Tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam yaitu produk ciptaan-Nya; uangkapan ini bersifat metaforis,

4.         Demonnstrasi/ pembuktian eksistensi Penciptaan alam,

5.         Argumen rasional bahwa Tuhan itu satu dan tidak mungkin pengandaian dua wajib al wujud,

6.         Penolakan akan sifat-sifat Tuhan,

7.         Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan,

8.         Wujud Tuhan yaitu wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi

9.         Argumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism),

10.     Argumen rasional wacana alasannya adalah dan Pencipta alam (hukum alam tak   mampu   berganti),

11.     Pengetahuan Tuhan tentang selain diri-Nya dan Tuhan mengetahui species dan secara universal,

12.     Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri,

13.     Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara lazim,

14.     Langit yakni mahluk hidup dan mematuhi Tuhan dengan gerak putarnya,

15.     Tujuan yang menggerakkan,

16.     Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula,

17.     Kemustahilan perpisahan dari alasannya alami peristiwa-peristiwa,

18.     Jiwa manusia ialah substansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak ter pateri pada tubuh dan bukan badan,

19.     Jiwa manusia setelah terwujud tidak mampu hancur, dan adab keabadiannya membuatnya tidak mungkin bagi kita membayangkan kehancurannya.

20.     Penolakan terhadap kebangkitan Jasmani. [11]

Dari 20 masalah ini ada 3 hal yang dianggap paling membahayakan “kestabilan” umat yaitu: pertama, alam abadi (qadim) atau awet dalam arti tidak berawal. Filsuf-filsuf menyampaikan (yang juga diyakini Ibn Rusyd) bahwa alam itu qadim. Qadim-nya Tuhan atas alam sama dengan qadim-nya illat atas ma’lul-nya (karena-akhir), ialah dari sisi zat dan tingkatan, bukan dari sisi zaman atau abad.

a.         Pedapat Filosuf tentang  Qadimnya Alam

Namun menurut Al-Ghazali, usulan para filsuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak mampu diterima golongan teologi Islam, alasannya adalah menurut rancangan teologi Islam, Tuhan yakni pencipta. Yang dimaksud pencipta yaitu mengadakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dibilang tidak bermula, memiliki arti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat mirip ini yang memunculkan bentuk kekafiran.

Ibn Rusyd, begitu juga para filsuf lainnya, berpendapat bahwa creatio ex nihilio mustahil terjadi. Dari yang tidak ada (al-‘adam), atau kekosongan, mustahil bermetamorfosis ada (al-wujud). Yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berkembang menjadi “ada” dalam bentuk lain.

Pendapat ini disokong oleh beberapa ayat Alquran yang mengandung pemahaman bahwa Tuhan membuat sesuatu dari sesuatu yang telah ada, bukan dari tiada. Dalam hal ini mereka merujuka pada al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 47-48:

فَلا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ مُخْلِفَ وَعْدِهِ رُسُلَهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ * يَوْمَ تُبَدَّلُ الأرْضُ غَيْرَ الأرْضِ وَالسَّمَاوَاتُ وَبَرَزُوا لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ

“Karena itu janganlah sekali-kali kamu menerka Allah akan menyalahi kesepakatan-Nya kepada rasul-rasul-Nya; bahu-membahu Allah Maha Perkasa, lagi memiliki pembalasan. (Yaitu) pada hari (dikala) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka seluruhnya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (Q.S. Ibrahim: 47-48).

  Filsafat Islam Dunia Islam Barat Ibnu Bajjah Dan Ibnu Thufail

Ayat ini, berdasarkan Ibn Rusyd, mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi sudah ada wujud yang lain, adalah wujud air yang di atasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, dan adanya periode sebelum kurun diciptakannya langit dan bumi. Tegasnya, sebelum langit dan bumi diciptakan, sudah ada air, tahta, dan era.

Menurut al-Ghazali, sesuai dengan kaum teolog Muslim, bahwa alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada (al-’ijad min al’adam, cretio ex nihilo). Penciptaan dari tiadalah yang memutuskan adanya Pencipta. Yang ada tidak memerlukan yang menyelenggarakan. Justru itulah alam ini harus diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, berdasarkan filosof Muslim, alam ini qadim, artinya alam ini diciptakan dari sesuatu (bahan) yang sudah ada.[12]

Bagi Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah keliru dalam mempesona kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang beropini bahwa qadimnya alam sama dengan qadimnya Allah.  Akan tetapi yang mereka maksudkan yakni yang ada berkembang menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-’adam), berdasarkan filosof Muslim ialah suatu yang tidak mungkin dan mustahil terjadi. Dari tidak ada (nihil) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh sebab itu, materi asal alam ini harus qadim. [13]

Al-Ghazali di sini juga membantah bahwa perkataan “Tuhan lebih dulu adanya daripada alam dan kala” adalah bahwa Tuhan telah ada sendirian, sedangkan alam belum ada, lalu Tuhan ada gotong royong dengan alam. Dalam kondisi pertama kita membayangkan adanya zat yang sendirian, ialah zat Tuhan, dan dalam kondisi kedua kita membayangkan dua zat, ialah zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak perlu ada zat (wujud) yang ketiga, yaitu kurun, apalagi yang dimaksud dengan abad ialah gerakan benda (alam), yang bermakna bahwa sebelum ada benda (alam) telah barang pasti belum adanya abad.

Dalam perdebatan di atas, kita akan menerima satu persepsi bahwa perdebatan ini tidak akan pernah usai. Karena dari satu sisi Al-Ghazali menganggap bahwa pertimbangan filsuf dan termasuk Ibn Rusyd tentang qadimnya alam termasuk menenteng kekafiran. Kemudian di segi lainnya Ibn Rusyd juga enggan pendapatnya dianggap akan atau telah menyebabkan kekafiran. Dan lagi, kedua tokoh ini mungkin juga para pengikut keduanya, sama-sama mempunyai dasar yang berpengaruh dan meyakinkan.

Dalam Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pertengkaran antara mereka tentang alam ini hanyalah pertikaian dari sisi penamaan atau semantik.  Lebih lanjut diterangkan, mereka setuju bahwa segala yang ada ini terbagi ke dalam tiga jenis:

1.        Jenis Pertama, wujudnya sebab sesuatu lainnya dari sesuatu, dengan arti wujudnya ada Pencipta dan yang diciptakan dari benda serta didahului dengan indera, seperti hewan, berkembang-flora, udara, dan yang lain. Wujud ini mereka namakan dengan Baharu.

2.        Jenis Kedua, wujudnya tidak sebab sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman. Wjud ini sepakat mereka namakan dengan qadim. Ia hanya mampu dikenali dengan bukti asumsi. Ia yang menciptakan segala yang ada dan memeliharanya. Wjud yang qadim inilah yang disebut Allah.

3.        Wujud yang ketiga ini yaitu wujud di tengah-tengah antara kedua jenis di atas, yakni wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman, namun terjadinya alasannya sesuatu (diciptakan). Wujud jenis ini yaitu alam semesta. Wujud alam ini ada kemiripannya dengan wujud jenis pertama dan yang kedua. Dikatakan mirip dengan jenis yang pertama alasannya adalah wujudnya mampu kita saksikan dengan indera, dan dikatakan wujudnya seperti dengan jenis yang kedua alasannya adalah wujudnya tidak didahului oleh zaman dan adanya semenjak azali. Yang mengutamakan kemiripannya dengan baharu, maka wujud alam ini mereka sebut baharu, dan siapa yang memprioritaskan kemiripannya dengan yang qadim, maka mereka katakan ala ini qadim. Namun bahwasanya, wujud pertengahan (alam) ini tidak betul-betul qadim dan tidak pula sungguh-sungguh baharu. Sebab, yang benar-benar qadim adanya tanpa sebab, dan yang betul-betul baharu pasti bersifat rusak.[14]

b.        Pedapat Filosuf perihal Pengetahuan Tuhan

Masalah Kedua yang digugat oleh Al-Ghazali adalah perihal pengetahuan Tuhan. Golongan filsuf berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal (kejadian-peristiwa) kecil, kecuali dengan cara yang biasa. Alasan mereka ialah bahwa yang gres ini dengan segala peristiwanya senantiasa berubah, sedangkan ilmu senantiasa mengikuti apa yang diketahui. Dengan perkataan lain, perubahan masalah yang diketahui mengakibatkan pergantian ilmu. Kalau ilmu ini berganti, ialah dari tahu menjadi tidak tahu atau sebaliknya, berarti Tuhan mengalami pergeseran, sedangkan perubahan pada zat Tuhan mustahil terjadi (mustahil).

Kritik al-Ghazali kedua yaitu perihal pernyataan yang menyampaikan bahwa Tuhan hanya mengetahui tentang diri-Nya, atau pernyataan yang menyatakan bahwa Tuhan Maha Segala Tahu, tetapi pengetahuan-Nya itu bersifat kulli, tidak dapat dibenarkan. Menurut Al-Ghazali, setiap yang maujud ini diciptakan alasannya kehendak Tuhan, dan juga setiap yang terjadi di alam ini atas kehendak-Nya. Tentulah seluruhnya itu dimengerti oleh Tuhan, alasannya adalah yang berkehendak haruslah mengenali yang dikehendakinya. Jadi, Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu yang secara rinci.

Mengenai penjelasan di atas, Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengenali hal-hal yang kecil, tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadis kepada insiden kecil itu. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal kecil tersebut.

Ibn Rusyd rupanya ingin mengklarifikasi masalah yang diungkap oleh Al-Ghazali. Menurut Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, karena para filsuf tidak ada yang menyampaikan demikian, yang ada yakni pertimbangan mereka bahwa wawasan perihal perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan wawasan manusia wacana perincian itu. Makara menurut Ibn Rusyd, pertentangan antara Al-Ghazali dan para filsuf muncul dari penyamaan wawasan Tuhan dengan wawasan insan. Pengetahuan insan perihal perincian diperoleh melalui panca indera, dan dengan panca indera ini pulalah pengetahuan insan ihwal sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang dicernanya. Sedangkan pengetahuan perihal kulliyah diperoleh melalui akal dan sifatnya tidak berhubungan langsung dengan detail-detail (juziyyah) yang materi itu.

Pendapat kedua fiilosof ini sangat menawan untuk dilihat sudut perbedaannya, oleh alasannya itu Oliver Leaman mencoba mengetahui kedua pemikir tersebut dengan pendekatan anutan agama. Bahwa pembahasan kedua pemikir tersebut didasarkan pada pembedaan wawasan, adalah pengetahuan Tuhan dan Manusia. Dalam bukunya diungkapkan;

Tuduhan yang menawan ini semula timbul dari cara para filosof membedakan antara pengetahuan kita dan wawasan Tuhan. Dilihat dari sudut pandang agama, Islam sungguh jel;as mengajarkan bahwa Tuhan mengenali setiap dan segala sesuatu yang ada di atas dunia yang sementara ini. Seperti seorang insan boleh mengira bahwa pengetahuan seperti itu yakni penting sekali untuk langkah-langkah penentuan keputusan perihal nasib jiwa manusia setelah mati. Bagaimanapun juga, suatu asumsi yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta, lalu sesudah itu melupakannya bukanlah asumsi mempesona bagi paham ortodok Islam. biasnya ada sedikit keraguan, bagaimanakah persepsi al-Qur’an ihwal hakikat kekuasaan Tuhan (Qudrat Tuhan). Bahkan, Tuhan mengetahui semua pedoman-pemikiran manusia “Sesungguhnya Kami telah membuat manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih bersahabat kepadanya dari pada urat lehernya”. Dia (Allah) mengetahui dengan persis individu-individu yang gres dilahirkan.[15]

Kaprikornus, dalam hal ini apakah benar Ibnu Rusyd berpandangan seorang Al-Ghazali salah dalam hal pembacaan sehingga menjadikan kesalahpahaman? Atau ini cuma Ibn Rusyd tidak mememiliki argumen lain ihwal wawasan Tuhan? Di manakah letak problem yang dimaksud Al-Ghazali? Mungkinkah permasalahannya cuma pada kesalahpahaman Al-Ghazali sendiri kepada para filosof, mirip yang dibilang Ibnu Rusyd? Atau sebaliknya?

c.         Pedapat Filosuf tentang Kebangkitan Jasmani

Masalah yang ketiga yang digugat oleh al-Ghazali ialah kebangkitan jasmani. Masalah yang terakhir ini, para filosof menolak rancangan kebangkitan jasmani, alasannya adalah mereka menganggap hal tersebut mustahil. Menurut mereka bagian jasmani (fisik) insan yang telah mati akan diproses oleh alam. Proses alam panjang tersebut tidak menutup kemungkinan merubah unsur pertama menjadi bab dari fisik manusia lainnya. Dengan demikian, kalau kebangkitan ukhrawi insan dalam bentuk fisiknya yang semula, maka terdapat kemungkinan manusia yang dibangkitkan dalam bentuk fisik yang tidak tepat.

Al-Ghazali tidak sepaham dengan usulan para filosof di atas. Dia menyampaikan bahwa jiwa insan tetap wujud sesudah mati (berpisah dengan badan) alasannya dia merupakan substansi yang bangun sendiri. Al-Ghazali mengungkapkan:

“…ialah bertentangan dengan seluruh iman Muslim, akidah mereka yang menyampaikan bahwa tubuh jasmani tidak akan dibangkitkan pada hari Kiamat, tetapi jiwa (roh) yang terpisah dari tubuh yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itupun akan bersifat spiritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam persepsi yang mereka nyatakan itu.”[16]

Dalam membantah gugatan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd mencoba untuk menggambarkan kebangkitan rohani melalui analogi tidur. Ketika insan tidur, jiwa tetap hidup, begitu juga ketika manusia mati, maka badan akan hancur, jiwa tetap hidup bahkan jiwalah yang akan dibangkitkan. Adapun ungkapannya selaku berikut:

“… perbandingan antara akhir hayat dan tidur dalam dilema ini yaitu bukti yang jelas bahwa jiwa itu hidup terus sebab acara dari jiwa berhenti bekerja pada ketika tidur dengan cara membuat tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi eksistensi atau kehidupan jiwa tidaklah terhenti. Maka sudah sebaiknya keadaanya pada dikala akhir hayat akan sama dengan keadaannya dikala tidur..dan bukti inilah yang dapat diketahui oleh seluruh orang dan cocok untuk diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan akan menawarkan jalan bagi orang-orang yang bakir yang keberlangsungan hidup dibandingkan dengan jiwa itu adalah satu hal yang niscaya. Hal inipun terperinci gambling dari firman Tuhan, “Tuhan mengambil jiwa-jiwa pada saat kematiannya untuk kembali kepada-Nya, dan jiwa-jiwa orang yang belum mati pada dikala tidur mereka.[17]

Perdebatan di atas bergotong-royong yaitu perdebatan antara para filosof dan Al-Ghazali. bukan antara Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali. Namun, adanya pendidikan yang dikenyam Ibn Rusyd adalah dari para filosof atau bahkan “kebencian” Ibn Rusyd terhadap Al-Ghazali, maka Ibn Rusyd tidak tinggal diam dengan kecaman Al-Ghazali kepada para filosof. Perdebatan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd pun terjadi

C.           Gerakan  Averroisme di  Eropa

Averroisme ialah ungkapan yang dipakai untuk memperlihatkan penafsiran filsafat Aristoteles yang dikembangkan Ibnu Rusyd oleh pemikir-pemikir Barat-Latin, atau juga disebut gerakan intelektual yang meningkat di Barat pada kala ke 13-17.[18]

  Filsafat Ilmu

Kontak Eropa dengan pemikiran Ibnu Rusyd bermula dari sikap pemerintah al-Muwahhidun setelah kematian Abu Ya’cub tahun 1184 M, seterusnya digantikan oleh putranya Abu Yusuf al-Mansur. Ia terpengaruh oleh fitnah orang yang tidak senang terhadap Ibnu Rusyd, sehingga beliau ditangkap dan disingkirkan ke Lucena di selatan Cardova. Pemerintah juga memerintahkan untuk memperabukan semua karyanya dan sekaligus melarang membaca karya-karyanya.[19] Beberapa pengikut setia dari muridnya mirip Maimunides, Joseph Benjehovah, bangsa Yahudi ini menyambut Rusyd dengan rasa kecintaan di Lucena. Di sini Ibnu Rusyd melanjutkan pekerjaannya mengajar dan mengarang, umumnya murid dia adalah bangsa Yahudi.

Pemikirannya terus berkembang di Eropa dengan diterjemahnya buku-buku Rusyd dari bahasa Arab ke bahasa latin dan Ibrani, berikutnya menggoncangkan sosio-religius yang selama ini telah merantai logika mereka dengan kebijakan gereja.

Pengaruh Ibnu Rusyd ini makin memperlihatkan bentuknya dengan hadirnya gerakan Averroisme di Barat yang menjajal membuatkan pemikiran -ide Ibnu Rusyd yang rasional dan ilmiyah. Pada mulanya ungkapan ini dimaksudkan selaku bentuk penghinaan terhadap pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas menyatakan dirinya selaku penunjang Averroisme. Barulah sehabis masa Johannes Jandun (1328) yang pertama kali menegaskan dirinya secara terbuka sebagai pengikut Averroisme dan dibarengi oleh Urban dari Bologna (1334) serta Paul dari Venesia (1429), para penunjang pedoman Ibnu Rusyd lainnya mulai berani secara jelas-terangan menyatakan pendirian mereka.[20]

Tokoh yang populer selaku pencetus Averroisme yaitu Siger de Brabant (1235-1282) dan diikuti oleh murid-muridnya seperti Boethius de Decie, Berner van Nijvel dan Antonius van Parma.[21]Para mahasiswa tersebut mempelajari, meneliti dan menela’ah karya-karya ulasan Ibnu Rusyd kepada filsafat Aristoteles. Landasan rasionalitas yang dikembangkan Ibnu Rusyd ternyata sungguh menarik perhatian mereka. Timbul kesadaran di golongan sarjana-sarjana Barat untuk memaksimalkan penggunaan logika dan meninggalkan paham-paham yang bertentangan dengan semangat rasional. Pada gilirannya Barat berdiri dari keterpurukan menuju puncak pengetahuan, sehingga Nouruzzaman mengatakan Spanyol sebagai jembatan penyebrangan muslim ke Barat.[22]

Ajaran-anutan mereka yang terilhami oleh pemikiran Ibnu Rusyd antara lain ialah pandangan mereka perihal pembuktian keberadaan Tuhan dengan teori gerak. Sama dengan Ibnu Rusyd, mereka memandang bahwa segala sesuatu di dunia ini harus ada yang menggerakkannya. Karena tidak mungkin ada rentetan gerak yang tiada hentinya itu tanpa ada penggeraknya, maka sampailah mereka pada kesimpulan adanya pelopor utama. Itulah yang dalam bahasa Ibnu Rusyd disebut al-Muharrik al-Awwal (Tuhan).[23] atau Prima Causa berdasarkan Aristoteles.

Berdasarkan persepsi ini, mereka juga mengikuti Ibnu Rusyd dalam persepsi mereka tentang teori kausalitas. Meskipun Tuhan yaitu penyebab segala sesuatu, Tuhan hanyalah menciptakan akal pertama saja, sedangkan secara seterusnya diciptakan oleh akal-akal berikutnya. Inilah yang dimaksud Ibnu Rusyd dengan hukum-aturan alam kepada penciptaan Tuhan. Jadi, sebagaimana Ibnu Rusyd, mereka mengerti bahwa penciptaan Tuhan terhadap segala sesuatu bukanlah secara pribadi, namun lewat aturan-aturan alam yang tetap yang telah diciptakan-Nya kepada segala ciptaan-Nya tersebut

Pada tahun 1270, paham Averroisme yang diajarkan Siger van Brabant dan murid-muridnya diharamkan oleh gereja. Para penguasa Katolik dikala itu menilai fatwa Ibnu Rusyd berbahaya bagi akidah orang Kristen. Lalu pada tahun 1277 M pandangan-pandangan Averroisme secara resmi dilarang di Paris melalui suatu undang-undang yang dikeluarkan gereja. Siger van Brabant sendiri karenanya dihukum mati oleh gereja tujuh tahun lalu. Pada tahun-tahun selanjutnya, Paus kian memajukan aksinya menentang universitas yang mengajarkan anutan Aristoteles dan Ibnu Rusyd. Banyak tokoh-tokoh Averroisme dieksekusi dan buku-buku karangan Ibnu Rusyd dibakar. Selama tahun 1481-1801, tidak kurang dari 340.000 pengikut Rusyd dieksekusi, dan hamper 32.000 diantaranya dibakar hidup-hidup.[24] Pendapat lain menyampaikan sejak tahun 1481-1499 pengikut Rusyd sudah dibakar sebanyak 10.022 orang dan 66.860 orang dieksekusi gantung serta 97.023 orang duhukum dengan berbagai sisksaan.[25]

Namun demikian, larangan dan kutukan gereja terhadap Averroisme tidak membuat surut pertumbuhan gerakan intelektual ini, malah sebaliknya semakin menyebar ke aneka macam daerah lainnya di Eropa.[26] Apalagi sehabis Johannes mengeluarkan statemen bahwa Averroisme itu benar, kitab Suci juga benar, baginya kebenaran ada dua yaitu kebenaran filosofis dan kebenaran teologi.[27]

Gerakan Averroisme yang ditandai oleh semangat rasional inilah yang yang melahirkan renaisans di Eropa, artinya kebangkitan Eropa dalam bidang ilmu wawasan warisan Yunani dan Romawi yang pernah padam. Sekaligus melepaskan keterikatan dengan gereja sebagai agama secara umum dikuasai Eropa. Era renaisans Eropa timbul pada masa ke-14 sampai sekitar pertengahan masa ke-17.[28]

Inti renaisans ialah mengangkat kembali kedaulatan insan yang sudah dirampas oleh Dewa dan motologi dalam waktu yang berabad-kurun lamanya. Kehidupan berpusat pada insan bukan pada Tuhan. Tokoh-tokoh Averroisme meyakini kebenaran pandangan Ibnu Rusyd ihwal keserasian antara akal dan wahyu, filsafat dan agama, menjadikan kesadaran bagi mereka untuk mempelajari filsafat dan ilmu wawasan selaku warisan dari peradaban Yunani dan Islam.

D.      Kesimpulan

Jika mau menganggap dengan jujur, maka perjuangan pendamaian agama dan filsafat yang dilakukan Ibnu Rusyd melebihi upaya yang dikerjakan para filosof Muslim mirip al_kindi, al-Farabi dan lain-lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh kebenaran agama dan filsafat dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya berangkat dari aliran agama Islam. Dengan keunggulan itu, Ibnu Rusyd mampu mematahkan “serangan” Al-Ghazali dengan cara yang lebih tajam dan jelas.

Maka dari itu terlihat perilaku tegas, jujur, terbuka dan penguasaan serta kedalaman ilmu pengetahuan pada diri Ibnu rusyd. Dari sikap dan pandangannya demikian pula kemudian Ibnu Rusyd terlihat seorang filsuf Islam yang paling erat pandangan keagamaannya dengan golongan orthodoks. Dan dari riwayat hidupnya dimengerti bahwa diantara filsuf Islam, tidak ada yang menyamainya dalam keahliannya dalam bidang figh Islam.

DAFTAR BACAAN

Athif al-Iraqi, Muhammad. Al-Naz’ah al- “Aqliyah fi Falsafah Ibnu Rusyd, Kairo: Dar al-Ma’akil, 1979.

Asari, Hasan. Dari Yunani Hingga Renaisans: Melacak Peranan Peradaban Islam Dalam Tradisi Intelektual Barat, Journal Analytica Islamica, Volume I, Nomor I, Medan: Pasca Sarjana IAIN SUMUT, 1999.

Al-Nadwi, Abu al-Hasan. Islam and The World, Lucknow: Academy of Islamic Recearch and Publication, 1979.

Abduh, Muhammad. Ilmu dan Peradaban Islam Menurut Islam dan Kristen, terj. Mahyuddin syah. Bandung; Diponegoro, 1992.

Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd, Jakarta: Bulan Bintang: 1975.

Al-Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat Islam, penyunting: Sutardji Calzoum Bachri, Cet. Kedelapan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.

Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Mesir: Dar al-ma’bakir, t. t.

Hossein Nasir, Seyyed. Intelektual Islam, terj. Suharsono & Djamaluddin M.Z., Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996.

Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Iqbal, Muhammad. Ibn Rusyd & Averroisme, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.

Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah, Jakarta: Rajawali, 1989.

Madjid, Nurcholis, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997

Muhammad Amin, Miska. Epistemologi Islam. Jakarta: UI-Press, 1983.

Madkur, Ibrahim. Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-1, Kairo: Dar al-Ma’terpelajar, 1968.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Cet keempat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Nasution, Harun. Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-2, Kairo: Dar al-Ma’terpelajar, 1976

______________,Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995.

———————-,”Al-Ghazali dan Filsafat”, Makalah Simposium tentang Al-Ghazali diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta Se-Indonesia, Jakarta: 26 Januari 1985

Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, terj. Hasan Basari, Jakarta: yayasan Obor, 1991.

Qasim, Mahmud. Dirasah fi al-Falsafah al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Ma’bakir, 1973.

______________, Falsafah Ibnu Rusyd wa Atharruha fi al-Tafkir al-Gharbi, Sudan: Jamia’ah Ummi Durman al-Islamiyah, 1967.

Rusyd, Ibnu, Fashl al-Maqal wa Taqrir Bayin al-Syari’ah wa al-Hikmat min al-Ittishal, Tahkik Muhammad Immarat, Kairo: Dar al-Ma’cerdik, 1972

—————-. Kaitan Filsafat dengan Syari’at, judul asli, Fashl al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, terj. Ahmad Shodiq Noor, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.

Syarif, M.M. History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963

Shiddiqi, Nauruzzaman. Tamaddum Muslim Bunga Rampai Kebudataan Muslim: Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

Qasim, Mahmud, Falsafah Ibnu Rusyd wa Atharruha fi al-Tafkir al-Gharbi Sudan: Jamia’ah Ummi Durman al-Islamiyah, 1967

Zar, Sirajuddin,  Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004

[1] M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963) , hal. 197

[2] Nurcholis Madjid,  Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 94-95

[3] M.M. Syarif, Para Filosof … , hal. 199

[4] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX,( Jakarta: Bulan Bintang, 1973.) hlm. 47

[5] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam … , hlm. 229

[6] Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, Cet. kedelapan (Jakarta: Pustaka Firdaus,1997), h. 108

[7] Ibid, Hal. 110

[8] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hal. 116

[9] Ibid, hal.. 117

[10] Ibid

[11] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hal. 83-84

[12] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) , hal. 226

[13] Harun Nasution,”Al-Ghazali dan Filsafat”, Makalah Simposium perihal Al-Ghazali diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta Se-Indonesia, (Jakarta: 26 Januari 1985), hlm. 5

[14] Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal wa Taqrir Bayin al-Syari’ah wa al-Hikmat min al-Ittishal, Tahkik Muhammad Immarat, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972), hal.40-42

[15] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat … , hlm.161

[16] Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal …, hlm. 76

[17] Ibid., hlm.147

[18] Harun Nasution, Islam Rasional,( Bandung: Mizan, 1995), hal. 116

[19] Mahmud Qasim, Falsafah Ibnu Rusyd wa Atharruha fi al-Tafkir al-Gharbi (Sudan: Jamia’ah Ummi Durman al-Islamiyah, 1967), hal. 12

[20] Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd & Averroisme (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hal. 96

[21] Ibid, hal. 97

[22] Nauruzzaman Shiddiqi, Tamaddum Muslim Bunga Rampai Kebudataan Muslim (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 67

[23] Hasyimsyah, Filsafat…, hal. 119

[24] Abu al-Hasan al-Nadwi, Islam and The World (Lucknow: Academy of Islamic Recearch and Publication, 1979), hal. 114

[25] Muhammad Abduh, Ilmu dan Peradaban Islam Menurut Islam dan Kristen, terj. Mahyuddin syah (Bandung: Diponegoro, 1992), hal. 53

[26] Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd.., hal. 99.

[27] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibnu Rusyd (Jakarta: Bulan Bintang: 1975), hal. 70

[28] Hasan Asari, Dari Yunani Hingga Renaisans: Melacak Peranan Peradaban Islam Dalam Tradisi Intelektual Barat, Journal Analytica Islamica, Volume I, Nomor I, (Medan: Pasca Sarjana IAIN SUMUT, 1999), hal. 35.