Oleh: Syafieh, M. Fil. I *
Abstrak
Gerakan pemikiran Islam liberal memiliki dampak yang cukup kuat bagi umat Islam di Indonesia, khususnya di kelompok intelektual muslim, sebagai bentuk Islam popular, Islam yang tidak teramat ketat terhadap syariah, yang menghadirkan cara gres dalam beragama terbuka dan modern di tengah masyarakat yang pluralistik. Munculnya Islam liberal di Indonesia kian menguatkan fatwa Islam kultural yang banyak dianut oleh dominan masyarakat Indonesia.
Embrio aliran Islam liberal telah ada di Indonesia semenjak tahun 1970. Dimana gagasan fatwa Islam liberal dipelopori oleh kalangan yang disebut kaum modernis seperti Nurcholis Madjid, Djohan Effendy, Dawam Rahardja, dan Ahmad Wahib. Terdapat kesamaan wangsit dan bentuk pedoman yang dikembangkan oleh kelompok Islam liberal yang timbul pada permulaan milenium ketiga (2001) dengan golongan modernis yang muncul semenjak tahun 1970-an. Gagasan ajaran yang ditawarkan Islam liberal ialah sekulerisme dan liberalisme. Gagasan ini dapat tampakdalam bentuk- bentuk aliran cabang yang terkait dengan masalah ketuhanan, keyakinan agama, tafsir Al Alquran dan Hadist, muamalah, dan syariah. Islam liberal di Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan dari sisi penggiat dan pendukungnya.
Lahirnya pemikiran Islam liberal memang sudah mengakibatkan kontradiksi dikalangan kaum muslim sendiri. Oleh karena itu, karya ilmiah ini diperlukan kaum muslim untuk senantiasa bersikap kritis dan bijak dalam menyikapi pedoman Islam liberal. Secara sekilas pedoman Islam liberal memang menawarkan ide pedoman yang terbaru dan maju akan namun tidak semua ajaran Islam liberal sesuai dengan pandangan Islam. Oleh karena itu perlu dilaksanakan pengkajian yang lebih mendalam terkait dengan aliran dan pertumbuhan Islam liberal sehingga dapat membuat lebih mudah kaum muslim dalam mengkritisi pemikiran Islam liberal.
Kata Kunci: Islam Liberal, pluralisme, Sekularisme.
A. Pendahuluan
Paradigma Liberalisme dalam menawarkan makna tentang kebebasan sering di terjemahkan dalam makna yang tidak pada tempatnya. Pemahaman liberal cenderung mengarah kepada keleluasaan tanpa batas, meskipun ada sebagian para penggerak paham liberal, bahwa liberal juga punya batasan wacana sebuah kebebasan antara individu dan sosial. Namun dalam realita makna keleluasaan hanya terbatas pada ranah individu, bukan keleluasaan dalam makna secara universal.
Ketika membedah liberalisme akan nampak suatu kecerobohan dalam paham yang di anut sebagian masyarakat yang ingin suatu kebebasan berekspresi dan berinovasi, padahal kebebasan individu akan menghasilkan suatu tatanan yang kurang sempurna dalam kehidupan sosial. Sebab kebebasan individu yang di gaungkan para kaum liberal dalam menerjemahkan sebuah makna kehidupan, telah mengantarkan dalam teladan pikir destruktif dalam penerjemahan wacana berbagai dilema.
Liberalisme dalam kemajuan dan kelanjutannya, telah masuk dalam ranah tidak sebatas dilema ekonomi, sosial, budaya dan berbagai bidang yang lain. Bahkan liberalisme sudah mengarah masuk keranah agama Islam. Sehingga dengan keadaan liberalisme masuk dalam makna keagamaan, sudah mengalami sebuah persoalan dalam penafsiran. Sebab paham liberal dalam menafsirkan Islam cenderung mengarah pada daya nalar, tanpa melihat sisi teks maupun konteks secara tepat, padahal fatwa Islam dalam mengajarkan sebuah tafsir harus melalui berbagai paradigma secara kaffah, bukan cuma sebatas satu segi belaka.
Keberadaan tafsir Islam dalam paham liberal condong mengarah pada kerancuan antara teks dan konteks. Sebab liberalisme lebih menekankan pada faktor konteks dalam menafsirkan banyak sekali ajaran Islam. Berangkat dari sinilah terdapat dilema besar suatu pengertian agama antara akal dengan wahyu.
Kekuatan ruh dalam ajaran Islam tidak sebatas problem kebebasan dalam berargumen. Sebab jikalau Islam hanya sebatas kebebasan belaka, bermakna mempersempit makna Islam itu sendiri. Karena Islam ialah ajaran kaffah tentang insan dikala bekerjasama denganTuhan, begitu juga ketika manusia berafiliasi dengan sesama. Inilah catatan terpenting dalam dunia Islam, bahwa Islam bukan sebatas semangat keleluasaan dalam menerjemahkan antara teks dan konteks. Namun Islam lebih luas lagi dalam memberikan suatu citra tentang banyak sekali duduk perkara kehidupan insan.
Liberalisme dalam pandangan Islam sungguh jauh dari suatu Nilai-nilai Islam ihwal semangat kemaslahatan secara kaffah. Sebab liberalisme sebatas semangat kebebasan dalam cara pandang tentang menerjemahkan suatu ajaran Islam. Sedangkan Islam mengajarkan ihwal semangat mencari kemaslahatan, bukan suatu keleluasaan tanpa menyaksikan dari segi kemaslahatan secara kaffah.
Gagasan liberalisme nampak terjebak wacana makna sebuah kebebasan semu dalam memberikan sebuah penafsiran ihwal kehidupan. Sehingga antara profan dan sakral tidak terjadi suatu sinergi yang saling menguatkan dan mengokohkan. Sedangkan Islam merupakan suatu bangunan keseimbangan antara profan dengan sakral dalam mengajarkan semangat mencari rahmat di jalan Allah dalam pencapaian menuju suatu kebenaran haqiqi.
Melihat dari argumen tentang liberalisme dalam persepsi Islam, bahwa liberalisme tidak mengarah pada kemaslahatan antara profan dan sakral, mempunyai arti liberalisme sebatas mengarah pada kehidupan materialisme dalam menawarkan makna sebuah kehidupan. Maka perlu ada sebuah keseimbangan antara profan dan sakral dalam menerjemahkan banyak sekali multi real perihal sebuah kehidupan. Dan Allah maha penguasa segala sesuatu, pengatur segala ciptaan di langit maupun di bumi, maka saya bersaksi tiada Tuhan selain Dia.
B. Liberalisme dan Islam Liberal
Istilah ‘liberalisme’ berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Hingga penghujung kurun ke-18 Masehi, perumpamaan ini terkait bersahabat dengan rancangan manusia merdeka, bisa sejak lahir ataupun sesudah dibebaskan, yakni mantan budak (freedman). Dari sinilah muncul perumpamaan ‘liberal arts’ yang memiliki arti ilmu yang memiliki kegunaan bagi dan sepantasnya dimiliki oleh setiap orang merdeka, yakni arithmetik, geometri, astronomi dan musik (quadrivium) serta grammatika, nalar dan rhetorika (trivium). Di zaman Pencerahan, kaum intelektual dan politisi Eropa menggunakan perumpamaan liberal untuk membedakan diri mereka dari golongan lain.
Sebagai adjektif, kata ‘liberal’ dipakai untuk menunjuk sikap anti feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas lagi terbuka (open-minded) dan, oleh alasannya adalah itu, andal (magnanimous). Dalam politik, liberalisme dimaknai selaku metode dan kecenderungan yang bertentangan dengan dan menentang ‘mati-matian’ sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik menggantikan kerajaan-kerajaan konon tidak terlepas dari liberalisme ini.
Sementara dalam masalah agama, liberalisme mempunyai arti keleluasaan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderungan, keinginandan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu, liberalisme mereduksi agama menjadi permasalahan privat. Artinya, rancangan amar ma’ruf maupun nahi munkar bukan saja dinilai tidak berhubungan , bahkan dianggap berlawanan dengan semangat liberalisme. Asal tidak merugikan pihak lain, orang yang berzina tidak boleh dieksekusi, terlebih jika dilakukan atas dasar suka sama suka, menurut prinsip ini. Karena menggusur peran agama dan otoritas wahyu dari wilayah politik, ekonomi, maupun sosial, maka tidak salah jikalau liberalisme dipadankan dengan sekularisme.
Sebagai anak kandung Humanisme dan Reformasi abad ke-15 dan 16, liberalisme dikembangkan oleh para pemikir dan cendekiawan di Inggris (Locke dan Hume), di Perancis (Rousseau dan Diderot) dan di Jerman (Lessing dan Kant). Gagasan ini banyak diminati oleh elit terpelajar dan ningrat yang menyukai kebebasan berpikir tanpa batas. Sebagaimana dinyatakan oleh Germaine de Staël dalam karyanya, Considérations sur les principaux événements de la Révolution française (1818), kaum liberal menuntut keleluasaan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja.
Pada awalnya, liberalisme meningkat di golongan Protestant saja. Namun belakangan wabah liberalisme menyebar di golongan Katholik juga. Tokoh-tokoh Kristen liberal semacam Benjamin Constant antara lain menginginkan agar acuan kekerabatan antara institusi Gereja, pemerintah, dan masyarakat ditinjau ulang dan dikelola lagi. Mereka juga menuntut reformasi kepada kepercayaan-iman dan disiplin yang dibuat oleh pihak Gereja Katholik di Roma, supaya ‘disesuaikan’ dengan semangat zaman yang sedang dan terus berubah, biar sejalan dengan prinsip-prinsip liberal dan tidak bertentangan dengan sains yang walaupun anti-Tuhan tetapi dianggap benar.
Secara umum, yang diinginkan yaitu keleluasaan bagi siapa pun untuk menafsirkan pedoman agama dan kitab sucinya, ketidak-terikatan dengan hukum-hukum maupun keputusan-keputusan yang dikeluarkan pihak Gereja, akreditasi otoritas pemerintah vis-à-vis otoritas Gereja, dan peniadaan sistem kependetaan (clericalism). Inilah yang kemudian dikecam oleh Paus Pius ke-9, Leo ke-13 dan Pius ke-10. Kecenderungan-kecenderungan mirip ini mereka sebut “modernisme” (Lihat: Jean Reville, Liberal Christianity (London, 1903); Georges Weill, Histoire de Catholicisme libéral en France, 1828-1908 (Paris, 1909); dan Orestes A. Brownson, Conversations on Liberalism and the Church (New York, 1869).
Istilah “Islam Liberal” pertama kali digunakan oleh para penulis Barat seperti Leonard Binder, seorang guru besar UCLA, dikala menulis buku berjudul Islamic Liberalism (University of Chicago Press, 1988) memberinya arti “Islamic political liberalism” dengan penerapannya pada negara-negara Muslim di Timur Tengah. Mungkin di luar dugaan sebagian orang, buku itu selain menghidangkan usulan Ali Abd Raziq (Mesir) yang memang liberal sebab tidak menyaksikan adanya desain atau tawaran negara Islam, tetapi juga membahas fikiran Maududi (Pakistan) yang pastinya lebih sempurna disebut sebagai tokoh fundamentalis atau revivalis.
Islam liberal muncul di antara gerakan-gerakan revivalis pada abad ke-18, kala yang subur bagi perdebatan keislaman. (Nehemia Levtzion dan John O. Voll, 1987:xvii) Liberalisme dan liberal adalah salah satu karakterisasi terhadap gerakan kebangkitan Islam yang dimulai semenjak kurun ke-19. (W. M. Watt, 1997:131). Istilah ini merujuk kepada sikap umum pada pembaharu Muslim dalam menghadapi keadaan umat Islam, khususnya dalam bidang fatwa. Istilah Liberal sendiri baru dipakai belakangan sekitar tahun 1950-an, yang mana para sarjana di Barat mulai banyak menulis tentang fenomena modern kebangkitan Islam.
Sebaliknya bagi Greg Barton, dalam bukunya berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Penerbit Paramadina, Jakarta, 1999) perumpamaan “Islamic liberalism” nampaknya cukup terperinci. Dalam bukunya yang berasal dari disertasi itu dia menyampaikan bahwa Islam liberal di Indonesia ialah sama dengan pembaruan Islam atau Islam neo-modernis. Selanjutnya, dalam observasi yang mengcover kurun 1968-1980 itu, Barton menghalangi diri pada pedoman empat orang tokoh dari kaum neo-modernis, ialah Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid.
Seperti dimengerti, perumpamaan neo-modernis berasal dari Fazlur Rahman, seorang tokoh neo-modernis muslim asal Pakistan yang terakhir menjadi Guru Besar studi keislaman di Universitas Chicago. Fazlur Rahman, sebagaimana dikutip Greg Barton, membedakan gerakan pembaruan Islam dalam dua abad terakhir terhadap empat macam, adalah: revivalisme Islam, modernisme Islam, neo-revivalisme Islam, dan neo-modernisme Islam. Dengan revivalisme Islam dimaksudkan gerakan pada masa ke-18 yang diwakili oleh Wahabiyyah di Arab, Sanusiyyah di Afrika Utara, dan Fulaniyyah di Afrika Barat. Sedangkan modernisme Islam di pelopori oleh Sayyid Ahmad Khan (W 1898) di India, Jamaluddin al-Afghani (W 1897) di Timur Tengah, dan Muhammad Abduh (W 1905) di Mesir. Adapun neo-revivalisme diwakili oleh Maududi dengan organisasinya yang populer, Jama’ati Islami, di Pakistan. Kemudian neo-modernisme Islam contohnya yaitu Fazlur Rahman sendiri dengan karakteristik sintesis progresif dari rasionalitas modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik (Greg Barton, 1999:9). Meskipun tipologi Fazlur Rahman ini dimaksudkan untuk seluruh dunia Islam, tetapi tipologi keempat diwakili juga oleh tokoh-tokoh Indonesia, terutama empat orang yang disebutkan di atas.
Di Indonesia terdapat beberapa buku yang sering dinilai sebagai usulan kelompok Islam liberal, dua diantaranya yakni buku Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Jakarta, 2005) yang ditulis oleh Tim Pengarusutamaan Gender pimpinan Musdah Mulia dan buku Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004). Kalau kita cermati isi kedua buku itu terlihatlah bahwa banyak usulan dan argumen di dalam kedua buku itu yang sama atau mungkin diambil dari anggapan-pikiran Muhammad Syahrur, seorang sarjana teknik Syria yang pernah belajar di Moskow, tetapi kemudian mengarang banyak buku wacana Islam, diantaranya yang terkenal adalah Nahw Ushûl Jadîdah fî al-Fiqh al-Islâmî yang telah diterbitkan juga dalam bahasa Indonesia dengan judul Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ, 2004). Ini bermakna bahwa anutan Islam liberal Indonesia bukanlah original, tetapi dampak literatur internasional. Apalagi Fazlur Rahman memang ialah guru Nurcholish Madjid dan mempunyai korelasi dengan kaum pemikir Islam Indonesia. Pemikir Timur Tengah lain yang memiliki efek terhadap aliran Islam liberal di Indonesia utamanya mengenai penggunaan hermeneutik untuk mengetahui Al Qur’an adalah Hamid Nasr Abu Zaid.
C. Perkembangan Islam Liberal di Indonesia
Sejak awal tahun 1970-an, berbarengan dengan munculnya Orde Baru yang menunjukkan tantangan tersendiri bagi umat Islam, beberapa cendekiawan Muslim menjajal memberikan respon kepada suasana yang dinilai tidak memberi keleluasaan berpikir. Kelompok inilah yang kemudian memunculkan ilham-pandangan baru ihwal “Pembaharuan Pemikiran Islam”. Kelompok ini mencoba menafsirkan Islam tidak hanya secara tekstual namun justru lebih ke penafsiran kontekstual. Mereka mampu digolongkan selaku Islam liberal dalam arti menolak taklid, menganjurkan ijtihad, serta menolak otoritas bahwa cuma individu atau golongan tertentu yang berhak menafsirkan pemikiran Islam.
Menurut Fachri Aly dan Bactiar Effendi (1986: 170-173) terdapat sedikitnya empat versi Islam liberal, adalah modernisme, universalisme, sosialisme demokrasi, dan neo-modernisme. Modernisme menyebarkan contoh ajaran yang menekankan pada aspek rasionalitas dan pembaruan fatwa Islam sesuai dengan keadaan-keadaan terbaru. Tokoh-tokoh yang dianggap mewakili aliran modernisme antara lain Ahmad Syafii Ma‘cendekia, Nurcholish Madjid, dan Djohan Effendi. Adapun universalisme bekerjsama ialah penunjang modernisme yang secara spesifik beropini bahwa, pada dasarnya Islam itu bersifat universal. Betul bahwa Islam berada dalam konteks nasional, tetapi nasionalisasi itu bukanlah tujuan tamat Islam itu sendiri. Karena itu, intinya, mereka tidak memedulikan dikotomi antara nasionalisme dan Islamisme. Keduanya saling menunjang. Masalah akan muncul jika Islam yang me-nasional atau melokal itu menimbulkan terjadinya penyimpangan kepada hakikat Islam yang bersifat universal. Pola anutan ini, secara kurang jelas terlihat pada ajaran Jalaluddin Rahmat, M. Amien Rais, A.M. Saefuddin, Endang Saefudin Anshari dan mungkin juga Imaduddin Abdul Rahim.
Pola pemikiran sosialisme–demokrasi menilai bahwa kehadiran Islam harus memberi makna pada manusia. Untuk mencapai tujuan ini, Islam mesti menjadi kekuatan yang mampu menjadi motivator secara terus menerus dalam aneka macam faktor kehidupan manusia. Para pendukung sosialis-demokrasi melihat bahwa struktur sosial politik dan, terutama, ekonomi di beberapa negara Islam tergolong Indonesia, masih belum merefleksikan makna kemanusiaan, sehingga mampu dikatakan belum Islami. Proses Islamisasi, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang formalistik. Islamisasi dalam refleksi aliran mereka yaitu karya-karya produktif yang berorientasi terhadap pergeseran-perubahan sosial ekonomi dan politik menuju terciptanya penduduk yang adil dan demokratis. Adi Sasono, M. Dawam Rahardjo, serta Kuntowidjojo mampu dimasukkan dalam contoh ajaran ini.
Sedangkan neo-modernisme memiliki perkiraan dasar bahwa Islam mesti dilibatkan dalam proses pergulatan modernisme. Bahkan kalau mungkin, Islam dibutuhkan menjadi leading ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di kala depan. Namun demikian, hal itu tidak bermakna menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalil) al-muhâfazhat ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd alashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi gres yang lebih baik). Pada segi lain, penunjang neo modernisme condong meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup nasional. Ada dua tokoh intelektual yang menjadi pendukung utama neo modernisme ini ialah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid.
Tampaknya aliran Nurcholish (Prisma, nomor extra , 1984: 10-22), lebih dipengaruhi oleh wangsit Fazlur Rahman, gurunya di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Sedang anutan neo modernisme Abdurrahman Wahid sudah dibentuk sejak permulaan alasannya adalah dia dibesarkan dalam kultur ahlussunnah wal jama’ah model Indonesia, golongan NU. Karena itu, ilham-ide keislamannya tampak jauh lebih empiris, khususnya dalam pemikirannya ihwal korelasi Islam dan politik. (Prisma, Nomor ekstra, 1984: 3-9; dan Prisma, 4 April 1984: 31-38).
Sejak akhir tahun 1990an timbul kelompok-kelompok anak muda yang menamakan diri kelompok “Islam Liberal” yang menjajal memberikan respon kepada urusan-masalah yang timbul pada final kala ke- 20. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyaksikan betapa bahayanya fatwa-pemikiran yang dikembangkan oleh kalangan ini, sehingga pada Munasnya yang ke-7 pada tanggal 25-29 Juli 2005 mengeluarkan aliran bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalism ialah paham yang berlawanan dengan aliran agama Islam. Oleh alasannya itu umat Islam haram hukumnya mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama (Adian Husaini, t.th: 2-4). Dalam Keputusan MUI No. 7/MUNAS VII/11/2005 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan liberalisme ialah mengerti nash-nash agama (Al Qur’an dan As-Sunnah) memakai logika fikiran yang bebas, dan cuma mendapatkan kepercayaan-dogma agama yang tepat dengan logika anggapan semata.
Islam liberal di Indonesia kala reformasi nampak lebih konkret sehabis didirikannya sebuah “jaringan” kelompok diskusi pada tanggal 8 Maret 2001, yang maksudnya ialah untuk kepentingan pencerahan dan pembebasan aliran Islam Indonesia. Usahanya dilakukan dengan membangun milis ( islamliberal@yahoo.com). Kegiatan utama golongan ini adalah berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam, negara, dan info-gosip kemasyarakatan. Menurut hasil diskusi yang dirilis pada tanggal 1 Maret 2002, Jaringan Islam Liberal (JIL) mengklaim sudah berhasil mendatangkan 200 orang anggota diskusi yang berasal dari kelompok para penulis, intelektual dan para pengamat politik. Di antara mereka muncul nama-nama mirip; Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep Saefullah Fatah, Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Muzani, Hamid Basyaib, Ade Armando dan Luthfi Assaukanie. Tentu tidak siapa pun yang hadir diskusi bermakna mendukung inspirasi-pandangan baru JIL.
Diskusi awal yang diangkat oleh JIL ialah seputar definisi dan perilaku Islam Liberal seputar berita-info Islam, negara dan isu-informasi kemasyarakatan. Pendefinisian Islam Liberal diawali dengan kajian kepada buku Kurzman yang memilah tradisi keislaman dalam tiga kategori adalah, customary Islam, fundamentalis atau Wahabis atau Salafis, dan liberal Islam. Kategori ketiga diklaim sebagai koreksi dan respon terhadap dua klasifikasi yang disebut pertama. Pertanyaan yang timbul dalam diskusi awal itu ialah apakah Islam Liberal di Indonesia akan bersifat elitis dan sekedar membangun wacana atau Islam Liberal yang menyediakan refleksi empiris, dan memiliki apresiasi kepada realitas? Kalau Islam Liberal itu paralel dengan civicculture (pro pluralisme, equal opportunity, moderasi, trust, tolerance, mempunyai sence of community yang nasional, lalu di mana Islamnya? Atau Islam Liberal adalah skeptisisme dan agnostisme yang hidup dalam penduduk Islam? Diskusi dalam milis yang panjang kesannya tidak menyepakati suatu definisi tentang Islam Liberal. Tetapi mereka menandai sebuah gerakan dan pemikiran yang menjajal memperlihatkan respon terhadap kaum modernis, tradisional, dan fundamentalis.
Islam Liberal berkembang lewat media massa. Surat kabar utama yang menjadi corong aliran Islam Liberal adalah Jawa Pos yang terbit di Surabaya, Tempo di Jakarta dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta. Melalui media tersebut disebarkan pemikiran -ide dan penafsiran liberal. Karya-karya yang dicurigai sebagai representasi ajaran liberal Islam dibicarakan dan dikutuk oleh musuh-lawannya, terutama melalui khutbah dan pengajian. Buku mirip Fiqih Lintas Agama (Tim Penulis Paramadina), Menjadi Muslim Liberal (Ulil Abshar-Abdalla) Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Musda Mulia dkk), Indahnya Perkawinan Antar Jenis (Jurnal IAIN Walisongo) dan banyak lagi postingan tentang Islam yang mengikuti arus utama anutan liberal. Ketegangan antara yang pro dan kontra JIL, memuncak sehabis keluarnya Fatwa MUI ihwal haramnya liberalisme, sekularisme dan pluralisme pada tahun 2005. Ketegangan sedikit menurun sehabis salah seorang contributor dan sekaligus kordinator JIL, Ulil Abshar-Abdalla pergi ke luar negeri, mencar ilmu ke Amerika Serikat.
Ulil lewat bukunya Menjadi Muslim Liberal menolak jenis-jenis tafsir keagamaan yang hegemonik, tidak pluralis, antidemokrasi, yang menurutnya memiliki potensi menggerogoti persendian Islam sendiri. Pemikiran Ulil tidak bebas seratus persen. Sebagai alumni pesantren, ia tetap apresiatif terhadap keilmuan pesantren. Melalui kolomnya On Being Muslim kita tahu bahwa Ulil ternyata menerima akar-akar liberalism ajaran keislamannya juga dari ilmu-ilmu tradisional mirip ushûl alfiqh, qawâ‘id al-fiqhiyah yang dulu diajarkan oleh para ustadznya di pesantren. Ilmu-ilmu pesantren semacam balaghah dan mantiq (nalar) sepertinya turut melatih Ulil tentang bagaimana menstrukturkan kata dan kalimat, mensistematisasikan argumen serta mengukuhkan kekuatan dalam bernalar.
D. Pemikiran Islam Liberal di Indonesia
Dalam memotret anutan Islam Liberal di Indonesia, Zuly Qodir mengatakan pembahasan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Jaringan Islam Liberal ini adalah problem yang kekinian yang sedang hangatnya dibicarakan oleh masyarakat global mirip Islam dan Negara, Islam dan Kesetaraan gender, Islam dan Demokrasi, islam dan Pluralisme, Islam dan Syariah, Islam dan Hukum Internasional Modern, Islam dan Ideologi Modern. (Zuly Qodir, 2003:17-22).
Dalam membahas tema-tema diatas mereka mempunyai landasan dalam memeriksa masalah tersebut seperti yang termuat dalam situs web resmi milik JIL adalah www.islamlib.com/id/, dicantumkan beberapa landasan sebagai pijakan kelompok JIL. Menurut pemahaman penulis, mungkin saja landasan tersebut ialah AD/ART bagi mereka.
Dalam websitenya disebutkan bahwa Islam Liberal adalah sebuah bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut: (Zuly Qodir, 2003:17-22)
1. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal yakin bahwa ijtihad atau pikiran sehat rasional atas teks-teks keislaman yakni prinsip utama yang memungkinkan Islam terus mampu bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, ialah bahaya atas Islam itu sendiri, alasannya dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad mampu diselenggarakan dalam semua sisi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).
2. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam menurut semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara inovatif menjadi bab dari peradaban kemanusiaan universal.
3. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada ide tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) selaku sesuatu yang relatif, alasannya adalah suatu penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, alasannya setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, karena penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, yakni cerminan dari keperluan seorang penafsir di sebuah abad dan ruang yang terus berganti-ubah.
4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas ialah bertentangan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.
5. Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal meyakini bahwa masalah beragama dan tidak beragama adalah hak individual yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
Menurut JIL, Islam tidak beda dengan agama kufur dan syirik manapun, semuanya masuk surga. Semua orang beragama ialah mukmin, oleh karena itu semua bersaudara dan halal saling menikahi. Meyakini Islam satu-satunya agama yang benar dilarang. Oleh alasannya adalah itu dakwah islamiyah pun dilarang. Wajib diganti dengan dialog, tukar menukar pengalaman dan kolaborasi dalam bidang sosial keagamaan. Mereka disini cenderung mengartikan islam bukan nama sebuah agama, namun islam dalam pemahaman etimologi adalah tunduk dan patuh.
Hal ini berdasarkan atas landasan yang digunakan oleh para intelektual JIL yang berasumsi bahwa kebenaran bersifat relatif, terbuka dan plural. Dengan begitu, mereka berpendapat semua agama itu ialah jalan untuk menuju kepada Yang Maha Benar.
Dalam islam tidak mengenal paksaan dalam memeluk agama dan HAM juga mendukung akan hal itu, alasannya adalah HAM menjamin keleluasaan insan. Namun perlu diketahui, keleluasaan ini bukan untuk hal-hal yan kebablasan, dengan adanya wacana yang seperti ini akan menimbulkan bias antara agama-agama, dan prinsip toleransi akan hilang dan disalah gunakan.
6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal percaya bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik yaitu negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama ialah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak mempunyai hak suci untuk memilih segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik mesti diselenggarakan melalui proses konsensus.
Dalam hal ini mereka ingin memisahkan antara kehidupan duniawi dengan ukhrawi, ialah menempatkan hal-hal yang bersifat keduniaan dalam kawasan seharusnya dan melepaskan umat dalam mengukhrawikan hal-hal yang semacam (duniawi) itu.
Fungsi manusia selaku khalifah di bumi adalah mengurus bumi untuk mencapai perbaikan hidup di bumi dan memberi ruang kebebasan dalam berbuat untuk mencapai perbaikan itu. Makara, agama cuma bersifat eksklusif tidak untuk mengontrol sikap manusia dalam kehidupan.
Namun, hal ini sedikit menjadikan tentang yang kiranya akan mengubah persepsi umat islam dalam hal mua’amalah (kekerabatan antar insan) akan lebih rancu dan tidak terkendali. Semua umat Islam tahu bahwa Al-Qur’an ialah fatwa hidup bagi umat insan, dan kandungan Al-Qur’an diterangkan oleh hadist Nabi Muhammad saw. Dan kita wajib mengimani dan menjalankan isi dari Al-Qur’an yang merupakan firman Allah. Jika adanya sekulerisasi dalam agama maka yang timbul ialah lenyapnya budpekerti dalam melakukan relasi sesama manusia.
E. Bahaya Pemikiran Islam Liberal
Liberalisme memang tak lepas dari peradaban Barat. Periode peradaban Barat yang dianggap sungguh penting dalam menjadikan ajaran liberalisme ialah kurun terbaru dan postmodern. Barat terbaru adalah era sejarah peradaban barat setelah kebangkitan penduduk Barat dari masa kegelapan. Pada era modern, sains berkembang begitu pesat. Bahkan modernitas telah menatap sains sebagai sesuatu yang sentral dalam penduduk dan akhirnya mengesampingkan iktikad agama.
Dari kala terbaru ini menjadikan ungkapan modernisme. Modernisme dapat diartikan selaku gerakan yang berupaya mendundukkan prinsip-prinsip agama di bawah nilai-nilai dan rancangan peradaban Barat dan teladan berpikirnya dalam segala kehidupan.(Busthomi Muhammad Said, 1992:94) Jadi terperinci pada kala terbaru akar liberalisme telah berkembang dan bahkan menjadi sebuah ideologi tersendiri dari kehidupan masyarakat Barat.
Postmodern hadir selaku kelanjutan era terbaru. Dalam kala ini masih bepijak pada fatwa modernisme. Akan tetapi, yang menjadi corak tata cara postmodernisme ini adalah menetralisir aliran perihal metafisika atau mampu disebut sistem yang tanpa anutan metafisis.(Hamid Fahmy Zarkasyi, 2008:12)
Sejalan dengan kemajuan sains dan ajaran, pada kedua abad itu lahirlah ideologi liberalisme. Trend liberalisme bermula dari upaya pembebasan individu di bidang ekonomi dan politik. Adapun maksud pembebasan adalah meminimalisir atau menghilangkan campur tangan penguasa (pemerintah) dalam mempengaruhi hak ekonomi dan politik rakyat (masyarakat). Selain kedua animo liberalisme di atas, masyarakat Barat terobsesi juga untuk membebaskan diri mereka dalam bidang yang lebih luas, yakni bidang intelektual, keagamaan, supernatural dan bahkan Tuhan.
Pada bidang keagamaan, upaya pembebasan diri dari agama dan doktrin-doktrinnya lewat liberalisasi pemikiran sangat mengancam agama-agama di dunia. Kemunculan kaum liberal di Barat sebenarnya tidak lepas dari problematika Katolik yang menjadi agama terbesar di Barat. Problematika Kristen yang menjadi alasannya hadirnya liberalisasi pedoman keagamaan ialah: (1) problema sejarah Nasrani yang sarat dengan konflik, (2) problema teks Alkitab yang penuh dengan kontradiktif dan (3) problema teologi Kristen yang tidak jelas dan tidak rasional.(Afif Hasan, 2008:54)
Berkembangnya paham liberalisme di Barat rupanya ingin dikembangkan juga ke masyarakat Timur dan penduduk Islam. Ada aneka macam sarana atau alat yang mereka gunakan dalam membuatkan inspirasi liberalisme ini. Tak ketinggalan pula dana yang melimpah juga mereka sediakan dalam upaya meliberalisasi fatwa orang Timur. Missionaris, orientalis dan kolonialis adalah tiga agen utama yang saling pundak membahu dalam penyebaran ideologi aliran Barat ke dunia Timur dan terutama dunia Islam.
Islam dijadikan sasaran utama oleh kaum missionaris-orientalis dengan banyak sekali macam cara. Salah satunya yaitu permintaan kritik terhadap al-Qur’an. Seruan untuk mengkritik teks al-Qur’an oleh missionaris-orientalis ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan orang Nasrani dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan disebabkan oleh kecemburuan mereka kepada umat Islam dan kitab suci al-Qur’an.(Syamsuddin Arif, Jurnal Al-Insan, vol I, No. 1, Januari 2005) Sudah menjadi rahasia umum bahwa Bibel sekarang telah tidak asli lagi. Ketidakaslian itu sebab banyaknya campur tangan manusia di dalamnya, sehingga cendikiawan Katolik terpaksa mendapatkan realita pahit ini.
Indonesia selaku negara yang secara umum dikuasai orangnya muslim tidak lepas dari serangan kaum liberal Barat. Dengan disokong dana yang besar mereka sengaja ingin merombak persepsi umat Islam Indonesia dengan nilai-nilai liberal. The Asia Foundation (TAF) salah satu pendonor dana terhadap LSM-LSM atau organisasi lain di Indonesia guna memperlancar program mereka dalam menanamkan nilai-nilai liberalisme. Selain itu, The Asia Foundation bareng USAID (US Agency for International Development) juga memiliki program reformasi pendidikan di seluruh Indonesia baik pendidikan formal maupun informal, termasuk reformasi pendidikan di pesantren. (Zarkasyi,2008: 84)
Kaum muslim di Indonesia maupun di dunia mempunyai tantangan berat dalam melawan liberalisme ini. Kesadaran para musuh Islam bahwa Islam tidak mampu ditundukkan dengan perang fisik semata membuat mereka bersepakat dalam satu seni manajemen yang populer dengan ghazwul fikri (perang fatwa). (Lutfi Bashori, 2006:16)
Mereka melancarkan perang ideologi dengan mengusung liberalisme terhadap umat Islam. Nilai-nilai liberalisme makin gencar dilancarkan kepada umat Islam. Di Indonesia sendiri banyak dari kelompok cendikiawan muslim baik yang berstatus mahasiswa, dosen atau aktifis yang telah tersusupi paham liberalisme.
Bahaya yang ditimbulkan liberalisme anutan keagamaan bukanlah satu hal yang kecil. Liberalisme mampu membuat orang tidak percaya dengan agamanya sendiri. Bahkan paham liberalisme menciptakan ketidakyakinan adanya Tuhan yang berkuasa.
Di Indonesia sudah banyak aktifis baik di dalam kampus maupun di luar kampus yang mengadopsi fatwa Barat. Dengan jaringan yang teratur mereka aktif mengembangkan wangsit-ide liberalisme. Sarana yang mereka tempuh antara lain melalui penerbitan buku-buku yang mengusung pemikiran mereka. Mereka menerbitkan buku-buku baik yang pengarangnya dari dalam negeri maupun terjemahan karya tokoh-tokoh liberal dunia. Dengan penerbitan buku-buku tersebut, penyebaran ideologi liberalisme mampu disebarkan ke penduduk luas. Sedangkan dalam pendidikan formal, mereka sudah menyusupkan wangsit-pandangan baru mereka ke dalam kurikulum, khususnya pada akademi tinggi yang berbasis Islam.
Sudah menjadi kewajiban bagi umat muslim untuk tidak membisu dalam menghadapi arus liberalisasi fatwa ini. Dalam merespon serangan liberalisasi fatwa, setidaknya setiap individu muslim berupaya membentengi diri dari pedoman liberal. Sehingga setiap muslim tidak mudah tergerus arus liberalisme. Dengan demikian, aqidah umat Islam akan selamat dari erosi yang ditimbulkan oleh pandangan liberalisme tersebut.
F. Kesimpulan
Dari evaluasi yang dilakukan oleh penulis, mampu disimpulkan bahwa Islam Liberal Indonesia merupakan gerakan para intelektual Islam yang menginginkan adanya reinpretasi dalam agama, mereka terpengaruh dengan dunia barat, kawasan dimana mereka mengembangkan ilmu. Adanya isu-gosip yang diangkat oleh jaringan ini bertujuan untuk membumikan Al-Qur’an. Namun anutan yang bermaksud baik akan mengakibatkan hal yang negatif kalau pemikiran tersebut sampai menimbulkan kerancuan dalam berpikir.
Dari latar belakang sejarah liberalisme yang sudah dipaparkan di atas, kita mampu menilai bahwa liberalisme terang sungguh bertolak belakang dengan ajaran Islam. Sejarah kemunculannya yang sungguh dipengaruhi oleh suasana sosial-politik dan persoalan teologi Katolik dikala itu mampu kita jadikan alasan bahwa Islam tidak perlu, dan tidak akan perlu menerima liberalisme. Karena sepanjang sejarahnya, Islam tidak pernah mengalami duduk perkara sebagaimana yang dialami oleh agama Kristen. Oleh sebab itu, tidak ada alasan fundamental bagi Islam untuk mendapatkan konsep liberalisme dengan semua bentuknya.
Apalagi bila ditilik dari konsep pokoknya, pemikiran liberalisme sungguh bertentangan dengan pemikiran Islam. Kebebasan mutlak ala liberalisme adalah kebebasan yang mencederai iktikad Islam, aliran paling pokok dalam agama ini. Liberalisme mengajarkan keleluasaan menuruti semua keinginan manusia, sementara Islam mengajarkan untuk menahannya supaya tidak keluar dari ketundukan kepada Allah. Hakikat kebebasan dalam ajaran Islam yaitu, bahwa Islam membebaskan insan dari penghambaan kepada sesama makhluk, kepada penghambaan terhadap Rabb makhluk.
Begitu pun dengan otoritas nalar sebagai sumber nilai dan kebenaran dalam ‘fatwa’ liberalisme. Sumber kebenaran dalam Islam yaitu wahyu, bukan nalar insan yang terbatas dalam mengenali kebenaran. Dengan demikian, mendapatkan liberalisme memiliki arti menolak Islam, dan tunduk terhadap Islam berkonsekwensi menanggalkan faham liberal.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Syamsuddin, “Al-Qur’an, Orientalisme dan Luxenberg”, dalam Jurnal Al-Insan, vol I, No. 1, Januari 2005
Aly, Fachri & Effendi, Bachtiar, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1986.
Afiah (ed.), Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru: Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, t.th.
Ahmad Jaiz, Hartono, Ada Pemurtadan di IAIN, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2006.
———————–, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2006
Abdallah, Ulil Absar, Menjadi Muslim Liberal, Jakarta: Nalar, 2005
Bashori, Lutfi, Musuh Besar Umat Islam, Jakarta: LPPI, 2006
Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1999
Burhani, Ahmad Najib, “Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM): Pemberontakan Melawan Puritanisme dan Skripturalisme Persyarikatan” dalam Imam Tholkhah dan Neng Dara
Hasan, M Afif, Fragmentasi Ortodoksi Islam, Membongkar Akar Sekularisme, Malang: Pustaka Bayan, 2008
Husaeni, Adian, Membedah Islam Liberal. Bandung: PT. Syaamil Cipta Media, 2003.
——————-, Pluralisme Agama: Haram, Fatwa MUI yang Tegas & Tidak Kontroversial, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Jurnal Justisia “Indahnya Kawin Sesama Jenis”, Edisi 25, Th XI 2004, Fakultas Syari’ah IAIN Semarang
Keputusan Fatwa MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 perihal Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.
Kusman, Charles, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer wacana Isu-info Global, Jakarta: Paramadina, 2003
Mahmada, Nong Darol dan Burhanuddin, “Jaringan Islam Liberal (JIL): Pewaris Pemikiran Pembaruan Islam di Indonesia” dalam Imam Tholkhah dan Neng Dara Afiah (ed.), Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru: Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, t.th.
Madjid, Nurcholish, “Suatu Tatapan Islam kepada Masa Depan Politik Indonesia”, Prisma, nomor extra ,1984.
Muhammad Said, Busthomi, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam, Ponorogo: PSIA, 1992
Musda Mulia dkk, Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Pengarusutamaan Gender, 2004
Tim penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Mun’im A. Sirry (edit), Jakarta:Paramadina, 2004
Qodir, Zuly, Islam Liberal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Wahid, Abdurrahman, “NU dan Islam di Indonesia Dewasa ini”, Prisma, No 4 April 1984.
—————————-, “Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa”, Prisma, nomor extra , 1984.
Zarkasyi, Hamid Fahmy, Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis), Ponorogo: CIOS, 2008
Internet:
My.opera.com download Ahad, 27 Oktober 2013 jam 02.45
Http://al-aziziyah.com/ruang-dosen87-ruang-dosen160-siapa-jil.html download Ahad, 27 Oktober 2013 jam 02.18
http://www.alislamu.com download ahad, 27 Oktober 2013 jam 02.15
* penulis yaitu dosen jurusan Syari’ah STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa bidang Mata Kuliah Ilmu Kalam